Langsung ke konten utama

HARI GURU DAN SENSE of TOGETHERNESS








25 November lazim disebut Hari Guru Nasional. Ada juga Hari Guru Sedunia (World Teachers' Day) yang diperingati setiap tanggal 5 Oktober. Konon, sudah sejak 1994 World Teachers' Day diperingati. Berarti, pada 2022 ini, sudah kali ke-28 World Teachers' Day berlangsung. Sebulan dari World Teachers' Day ditetapkan, Presiden Soeharto menetapkan Hari Guru Nasional pada tahun yang sama.

Adakah signifikansinya bagi guru baik secara ekonomi, skill, dan kemampuan beradaptasi untuk menjawab proses pembelajaran masa depan setiap kali perayaan itu digelar?

Dua tahun kemarin, guru nyaris kehilangan momentum maksimal mengawal proses pembelajaran karena pandemi. Selebihnya, malah beban di pundak guru teramat berat, termasuk menghadapi persoalan dapur keluarga.

Tentu, tidak semua guru menghadapi problem ini. Sebagian kecil mereka hidup makmur, kaya, punya kendaraan dan rumah bagus, serta tugas tambahan yang menopang kemakmurannya. Namun sebagian besar guru di Indonesia, pandemi membuat dapur mereka morat-marit.

Akan tetapi, yang sebagian besar itu, dengan segera akan dihibur dengan nyanyian syahdu “Pahlawan Tanpa Tanda jasa” pada hymne yang kerap dibawakan secara koor. Lagu yang digubah oleh Sartono–mantan guru seni musik yayasan swasta di Kota Madiun, Jawa Timur–akan mengalihkan segala ketimpangan di balik kata “ikhlas” yang selalu dilekatkan pada profesi ini. Sartono lalu populer karena prestasinya menciptakan lagu "Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" itu pada 1980-an. Bolehlah Sartono disebut sebagai kolega sang pelipur lara.

Peringatan Hari Guru Nasional dan World Teachers' Day itu sendiri memang bertujuan untuk memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan mereka bahwa keberlangsungan generasi pada masa depan ditentukan oleh guru. Mulia dan berat sekali tugas guru itu bukan?

Tugas Tambahan

Ada banyak rekan guru menerima “tugas tambahan” sebagai tukang ojek, berjualan kecil-kecilan, loper koran, atau apalah asalkan dapurnya tetap mengepul. Memang, ini bukan tugas tambahan resmi seperti yang berlaku pada nomenklatur manajemen sekolah. Mungkin bukan sebutan” tugas tambahan” yang lebih pas, tapi “tugas sampingan”. Setelah atau sebelum mengajar, ia menyamping sekedar dapat uang lebih untuk menutupi belanja rumah tangga. Dan, jumlah mereka, entah ada berapa digit di kolong langit Indonesia ini. Dan, mereka menjalaninya dengan bergairah, atau terpaksa bergairah sebab urusan dapur tidak bisa dibiarkan tidak mengepul berlama-lama.

Bila tugas sampingan saja mereka lakukan dengan bergairah, apatah lagi “tugas tambahan” sesuai nomenklatur seperti menjadi Kepala Sekolah atau Wakil Kepala Sekolah, Kepala UPT, Kepala Laboratorium, dan sebagainya. Hanya saja, tugas tambahan dengan nomenklatur di atas sangat terbatas. Hanya satu, tidak mungkin lebih, dan terbatas pula yang berkesempatan mengembannya. Lagi pula, untuk meraih “tugas tambahan” itu ada syarat dan ketentuan yang cukup ketat, tidak seperti “tugas sampingan” yang umumnya hanya butuh mental tahan malu saja.

Tugas Plus

Bolehlah ini disebut tugas plus. Ada nomenklaturnya, tapi sedikit lebih rendah dari nomenklatur tugas tambahan. Menjadi panitia-panitia event tertentu yang sifatnya rutin atau spontan yang paralel dengan program sekolah masuk dalam lingkup ini.

Tugas plus juga peran yang cukup menggairahkan. Ada yang “basah” di sana. Yang “basah” itulah pemicu kegairahan yang banyak diharap-harap para guru. Bila harapan itu berjodoh, senanglah rasa hati. Bila belum berjodoh, berharap lagi mungkin esok atau lusa akan ketiban durian runtuh, jodoh datang bertubi-tubi tanpa mampu ditolak. Banyak-banyaklah berdoa siang dan malam agar jodoh itu datang dan tidak salah alamat.

Oleh sebab ada yang “basah” itu, tugas plus butuh manajemen yang baik, rasional, memenuhi rasa keadilan, dan asas pemerataan yang proporsional. Ia tidak bisa diatur dengan siasat “like and dislike” atau skala prioritas, apalagi kubu-kubuan. Tidak boleh ada pihak yang selalu “kebasahan” atau dibuat selalu ”basah”. Sebab, efeknya akan ada pihak yang “kekeringan” dan dibuat “kering”.

Sumber “basah” itu resources milik sekolah, titipan wali peserta didik yang dipindahtangankan untuk dikelola dengan baik. Jadi, ia bukan milik siapa-siapa, tapi titipan yang setiap rupiah pasti akan ada pertanggungjawaban administratif duniawi dan ukhrawi, sedangkan agama mengajarkan “..supaya resources itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..”.

Sense of Togetherness

Selain menikmati resources, sense of togetherness pada setiap pengemban tugas plus juga harus hidup. Jangan bergairah menikmati “kebasahan” saja, tapi sense of togetherness-nya mati kering.

Mengapa ini penting?

Penting, sebab relasi dalam satu organisasi itu bergerak bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Bisa jadi semua program bisa tetap dijalankan dengan siasat “like and dislike”, tapi pasti ada meninggalkan bekas luka pada sebagian sebab prosesnya yang mengabaikan sense of togetherness itu.

Sense of togetherness tidak ada sekolah formalnya, tidak pula butuh strata satu sampai tiga strata. Ia hanya butuh daya untuk berani menolak dengan halus guna memberikan kesempatan kepada yang lain “berbasah-basah”. Ada rasa iba yang menegur hati nurani bila tugas plus sudah datang lagi sementara laporan tugas yang lalu saja belum selesai disusun. Jangan merasa nyaman mulut menikmati roti sendirian, sementara ada mata yang mengintip dari balik pintu menelan ludah sambil mengelus dada berujar, “dia lagi dia lagi” mengiringi irama perut yang keroncongan.

Begitulah, menumbuhkan sense of togetherness sesama kolega pada Hari Guru Nasional atau World Teachers' Day bagi sekolah dengan resources memadai, jauh lebih bermakna dari sekadar menerima pujian syair “Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru ….”

Guru memang terpuji karena alasan autentik, sebagaimana kata Ibn 'Ashur, "Sesungguhnya manusia secara alami diciptakan menjadi pengajar, karena karakter manusia suka menyampaikan hal yang diketahuinya kepada orang lain." Dan, guru akan jauh lebih terpuji sampai ke langit bila sense of togetherness dihadirkan di tengah-tengah komunitasnya sendiri dulu, lalu melebar ke mana-mana.[]



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap