Langsung ke konten utama

KETIBAN TAKRA

Foto credit, https://www.pikiran-rakyat.com/

KETIBAN Takra
, istilah tua, anak milenial jarang yang mengerti. Tapi, bagi 'generasi kolonial', istilah ini adalah bahasa sehari-hari.

Ketiban Takra itu tidak enak, lebih tidak enak dari ketiban tangga. Rasa sakit ketiban tangga, mungkin sehari dua hari sudah hilang sakitnya. Paling lama seminggu atau sebulan. Akan tetapi, Ketiban Takra bisa berbulan-bulan, bisa jadi berbilang tahun sakitnya tidak juga hilang.

Jadi, saya pernah Ketiban Takra. Ceritanya begini. Satu kali, ada orang datang tanya-tanya soal umrah. Orang tanya, ya saya jawab. Jawaban berdasar pengalaman, bukan ngasal jawaban ngalor ngidul.

Rupanya, mertua orang yang tanya-tanya itu mau umrah. Keren. Harus dibantu meskipun sekadar bantuan informasi.

"Kemaren Babe umrah, pake travel mana, Ji?"

Eeeh, tak kira mau tanya kaifiat umrah? Cuma mau tanya soal travel, toh. 😄

"Pelayanannya gimana? Memuaskan tidak?"

Wah, gak bisa kasih informasi detail kalau pertanyaan soal kepuasan travel, yang bisa menjelaskan tentu orang yang pake travel itu. Salah alamat ini.

"Wah, tanya Babe kalau soal itu."

Berangkatlah orang itu nemuin Babe.|

Eh, orang itu balik lagi, nanyain soal travel dan minta diantar ke travel di mana Babe berangkat umrah.

Berangkatlah pake motor saya, bensin saya yang isi, orang itu tinggal nangkring sampai ke travel. Kan maen, dah.🤣

Memang, travel ini punya kawan saya. Kawan pun hanya kawan selewatan saja, tidak akrab, sekadar kenal.

Saya pun bukan bagian dari travel milik kawan ini, tidak juga tanam saham, muthawwif-nya juga bukan. Pendek kata, saya tidak punya hubungan bisnis atau kemitraan dengan travel itu. Saya benar-benar orang asing bagi travel milik kawan ini.

Namun, karena kawan yang punya travel ini ia kenal baik saya, saya diperlakukan lebih dari sekadar tamu saat mengantar orang itu mendaftar. Ini kali kedua bertemu soal urusan umrah setelah ngurus umrah Babe.

Kawan ini begitu senang tersambung silaturahim lagi. Bahkan kawan ini sempat menawari saya mengisi kajian pada tiap Sabtu untuk calon jamaah umrah travelnya. Namun saya tidak menyanggupi.

Kewajiban saya diminta mengantar selesai. Tidak ada komisi, tidak ada uang tanda terima kasih, baik dari travel atau dari orang yang minta diantar. Asli, memang niat saya bukan cari komisi, cuma nganter.

Seterusnya, orang yang mendaftarkan umrah mertuanya ini jalan sendiri. Ya, karena sudah tahu travelnya. Segala transaksi, segala tetek bengek, dan segala administrasi apa pun antara calon jamaah umrah dengan travel, menjadi tanggung jawabnya.

Hampir dua tahun berlalu. Tak ada kontak lagi.|

Tiba-tiba, jebred! Heboh. Travel itu kolap. Banyak jamaah tidak diberangkatkan. Jamaah merasa ditipu.

Mertua si orang yang minta diantar itu termasuk yang tidak diberangkatkan ke Makkah. Kasihan.

Rupanya, cerita tidak selesai sampai di sini. Seolah-olah, saya dianggap turut bertanggung jawab atas gagalnya sang mertua orang ini berangkat umrah. Ia datang berkali-kali membawa wajah masam. Istrinya juga masam.

Naluri saya berkata, meski tidak diucap, saya tahu, saya dituduh. Saya dituduh ikut menipu. Orang itu sendiri yang mengutip omongan salah seorang keluarga mertuanya bahwa kepindahan saya ke Meruyung karena alasan malu, buat membuang rasa malu karena menipu.

Lha, padahal, sewaktu kali pertama orang itu minta informasi soal travel, dia datangnya ke Meruyung, rumah sewa yang saya tinggali. Lha, coba itu. Mungkin dia lelah.|

Suatu hari, saya sudah putus asa. Daripada dikejar-kejar melulu, lebih baik diganti sajalah uangnya. Cuma, istri saya ngotot.

"Apa urusannya kamu mengganti untuk uang yang kamu tidak tahu apa-apa? Ini bukan soal uang, ini soal harga diri. Kalau itu kamu lakukan, secara tidak langsung kamu mengakui bahwa kamu ikut menipu dan menikmati uang itu! No! La! Nehi!"

Bener juga.

Pada kedatangan orang itu yang kesekian kali, dia bawa serta pamannya. Wah, tambah ribed ini, pikir saya.

Akan tetapi, hati orang siapa tahu. Tanpa saya duga, sang paman malah membela saya setelah mendengar penjelasan bagaimana duduk perkara yang sebenarnya dari saya.

"Bapak ini tidak salah. Salah alamat kalau dituntut harus ikut bertanggung jawab."

Twew!

Nasrun minallaah wa fathun qariib.|

Waw! Rupanya, kasus ini ramai dibicarakan beberapa orang bagian utara kampung saya, tempat orang yang minta diantar itu. Bisa jadi, nama saya sudah begitu buruknya jadi bahan omongan. Buruklah pokoknya. Inilah kasus Ketiban Takra yang saya alami. Tidak tahu soal duduk perkara, didudukkan seperti pelaku.

Adalah Bibi saya, orang yang sampai hari kemarin masih menyimpan teka-teki soal jamaah yang tertipu travel itu, soal yang saya sendiri sudah nyaris melupakan karena sudah hampir lebih dari 4 tahun berlalu.

Jadi rupanya, selama ini, Bibi saya itu selalu memikirkan saya. Dari cerita yang saya dengar darinya malam Jumat kemarin, hati nuraninya seakan bertarung antara percaya dan tidak atas keterlibatan saya.

"Masa sih si Aa begitu? Si Aa begimana sih, ya? Enggak mungkin ah si Aa begitu."

Demikianlah hati Bibi saya itu bolak-balik. Ah, bisa jadi, tiap kali Bibi saya hadir dalam kajian-kajian yang saya sampaikan, mendengar saya ceramah, hatinya semakin sengit berkelahi. Apa lagi kalau bukan informasi yang Bibi tahu dari mulut ke mulut bahwa saya adalah bagian dari travel yang telah menelantarkan jamaah umrah. Saya adalah bagian dari penipu uang jamaah.

Barulah setelah saya sampaikan duduk perkara di mana posisi saya dalam kasus travel itu, tampak sekali Bibi saya lega.

Saya mengerti, kasihan jamaah yang mengalami kasus seperti yang saya kisahkan ini. Kasihan kawan saya yang pemilik travel itu. Dari informasi berbeda yang saya dengar, uang jamaah digondol orang dekatnya sendiri. Kawan saya itu juga korban. Namun apapun itu, kawan saya harus menerima risiko dipenjarakan jamaah yang merasa ditipu.

Betapa sakitnya banyak pihak yang tersangkut kasus travel itu. Betapa pahitnya Ketiban Takra. Mudah-mudahan dapat ganti ketiban rezeki.😁

Sabtu, 13 Syawwal yang penuh berkah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap