Langsung ke konten utama

DAFFODIL

Bunga Daffodil: Foto credit: Detikcom

Bagian 1

SELEBARAN tentang Sisi masih menempel di tembok-tembok terminal, stasiun, pangkalan ojek, dan di mana tempat orang biasa berkerumun. Belakangan, kabar hilangnya gadis itu disiarkan televisi, radio, dan tersebar di akun-akun media sosial. Namun, belum ada pihak yang memberikan kabar keberadaan Sisi sejak gadis itu menghilang seminggu lalu. Belum juga ada pihak yang mengaku bertanggung jawab akan keberadaan gadis itu. Kuat dugaan, Sisi diculik.

Sisi gadis remaja kelas sembilan. Parasnya tak secantik Berlin, juga tidak seberuntung Berlin yang anak gedongan. Pantaslah Berlin sangat populer dan menjadi idola para siswa di sekolahnya. Akan tetapi, Sisi masih lebih populer karena kecerdasannya. Sisi pernah menjadi juara olimpiade Sains tingkat Nasional. Putri anak marbot masjid itu dikenal karena prestasi akademiknya yang mengangkat nama dan pamor sekolahnya.

Sisi dan Berlin bersahabat, karib sekali. Berlin kerap mengajak Sisi ke rumahnya selepas pulang sekolah. Bukan tanpa maksud, Berlin melakukannya bila hari itu ia merasa kesulitan memahami materi belajar, terutama biologi, fisika, dan matematika. Sementara Sisi juga senang karena punya kesempatan bisa belajar piano dan biola dari Berlin.[]


SEPERTI biasa, sekali dalam seminggu, Berlin mengajak Sisi ke rumahnya. Hari itu, Berlin setengah memaksa karena besok ada ulangan matematika. Berlin tidak ingin dapat nilai pas-pasan lagi seperti ulangan kemarin-kemarin.

Sore itu selepas belajar, di taman di belakang rumah Berlin, mereka mengobrol lagi. Es jeruk dan biskuit menemani mereka. Nanti lepas Asar, mereka baru menyudahi obrolan.

Angin sepoi menggoda anak-anak rambut dua gadis itu. Burung-burung liar terbang ke sana ke mari di antara rindang pohon hias dan palem mencari makan. Memang, suasana taman belakang rumah Berlin yang asri itu membuat betah.

“Aku baru sadar, bunga-bunga di taman rumahmu itu, Bel. Padahal setiap kali ke sini, aku pasti melihatnya.” Sisi menyinggung bunga-bunga selepas meletakkan biola di atas meja.

“Ah, aku kira hanya bunga. Ditanam, tumbuh, berbunga, mati. Beli lagi, mati lagi. Selesai.”

Chamomile, chrysanthemum, mawar, dan rosela. Bunga-bunga itu bukan hanya indah, tapi bagus untuk kesehatan.”

“Caranya?” Berlin menanggapi sambil pura-pura serius. Sebagai penyuka bunga dan tanaman hias, bunga cukup dijelaskan dalam satu kata: indah. Namun meski Sisi belum menjawab pertanyaannya, Berlin paham, Sisi tidak asal bicara menilai bunga-bunga itu.

“Tadi di perpustakaan, aku baca Ensiklopedia Biologi, Encyclopedia of Plants and Flowers. Bunga-bunga itu bisa dimanfaatkan untuk teh herbal.”

”Ah, dasar kau guru biologi. Besok, gantikan saja Bu Eha ngajar di kelas kita.” Berlin menanggapi sambil berkelakar. Sisi tidak peduli, dia semakin serius.

“Tapi, hati-hati dengan bunga dan pohon yang di sana itu.” Sisi menunjuk sekumpulan bunga berbeda.

Belum sempat Berlin bertanya lagi, Sisi sudah menyebut satu persatu bunga-bunga itu. Fasih sekali gadis itu menjelaskan layaknya ilmuwan sekelas Janaki Ammal, ahli botani, ilmuwan tumbuhan wanita pertama India.

Berlin bengong.

Sisi mengangguk, datar tanpa menoleh Berlin. Diteguknya sisa sirup sebelum ia pamit pulang. Meskipun Berlin menahannya, Sisi tetap ingin pulang cepat. Hari itu, ia tidak membawa handphone sekadar untuk mengabari orang tuanya jika terlambat pulang. Berlin menawarkan handphone miliknya untuk mengabari, tapi Sisi menolak. Ia ingin pulang saja.

Begitulah Berlin dan Sisi masih bersama-sama belajar dan mengobrol pada Senin sore. Sampai Selasa pagi keesokan harinya, Sisi tidak kembali ke rumahnya. Gadis itu dikabarkan hilang.[]


SISI masih terbaring di rumah sakit. Gadis itu masih menjalani perawatan intensif karena belum sadarkan diri. Ada banyak luka gores di tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, bibirnya kering, pada beberapa bagian dari kakinya memar dan membiru.

Empat jam sebelum Sisi dirawat, Nana Suryana, penduduk kampung Sengon, Bogor, yang menemukan Sisi di ladangnya, segera menghubungi perangkat desa meminta bantuan. Sisi segera dilarikan ke rumah sakit.

Beruntung Sisi cepat dikenali identitasnya dari kartu anggota perpustakaan di sakunya. Dari kartu anggota perpustakaan itulah perangkat desa mengontak nomor telepon sekolah. Maka, misteri hilangnya Sisi sedikit terkuak. Sekolah Sisi heboh.

Bersama papanya dan orang tua Sisi, Berlin menuju Bogor menjenguk Sisi di rumah sakit. Wali kelas Sisi dan beberapa guru menyusul kemudian. Namun, Sisi masih belum sadarkan diri meskipun kondisinya berangsur membaik. Sehari kemudian Sisi baru siuman. Wajahnya sedikit memerah. Bibirnya tidak lagi pucat pasi. Sorot matanya menyala perlahan.

Dokter segera memeriksa Sisi, memberi suster resep beberapa obat yang harus diberikan pada Sisi, dan meminta suster mengecek perkembangan gadis itu setiap jam. Dokter menyarankan Sisi istirahat total selama beberapa hari untuk mempercepat proses pemulihan. Orang yang diizinkan menjenguk hanya keluarganya saja.[]


SISI sudah kembali ke Jakarta. Keadaannya sudah pulih. Sudah bisa berkomunikasi dan bercerita atas apa yang telah terjadi padanya selama lebih dari tiga minggu terakhir. Hanya saja, Sisi masih harus beristirahat di rumah untuk beberapa hari. Ia masih belum diizinkan masuk sekolah.

Berlin senang sekali Sisi sudah pulih. Dialah orang pertama yang menjenguk Sisi di rumahnya yang sederhana, rapi, dan bersih. Aroma wangi dari lantai pembersih yang tertiup angin masih tercium menabrak hidung.

Rumah sederhana Sisi itu, hanya terdiri dari dua kamar, ruang tamu dan dapur. Barang-barang perabotan di dalamanya hanya perabot yang sangat perlu sesuai fungsinya. Itu pun hanya beberapa saja yang dimiliki. Kecuali itu, hampir di setiap pojok, berderet-deret piala-piala milik Sisi. Tembok yang berwarna krem agak cerah, penuh sesak dengan pigura sertifikat dan penghargaan juara lomba. Milik siapa lagi kalau bukan Sisi.

Sisi tinggal hanya dengan ayahnya. Ibunya sudah lama wafat. Untuk mengurus rumah dan keperluan mereka berdua, Sisi dibantu bibinya, Fatimah. Fatimah adik kandung ayah Sisi datang setiap pagi untuk menyiapkan keperluan kakaknya dan Sisi. Setelah itu ia langsung berangkat bekerja. Nanti sepulang bekerja, Fatimah kembali datang untuk menyiapkan atau mengantar makan malam. Fatimah meluangkan waktu membantu kakaknya itu sejak Sisi berumur lima tahun, sebulan setelah ditinggal wafat ibunya Sisi. 

Hari itu saat Berlin berkunjung menjenguk, ayah Sisi sudah berangkat ke masjid untuk mempersiapkan keperluan shalat Jum’at. Sisi sendirian di rumah. 

Sisi senang sekali Berlin datang. Apalagi, Berlin membawa makanan dan minuman kesukaan mereka berdua yang biasa mereka nikmati saat mengobrol di taman belakang rumah Berlin.

Dan, Sisi menceritakan rahasia kehilangannya hari itu.

“Lalu, bagaimana kamu bisa keluar dari sana?”

Daffodil!”

Daffodil? Apa maksudnya?”

“Nanti aku jelaskan. Ada yang lebih penting dari bagaimana aku bisa keluar dari rumah itu dan daffodil.

Sisi lalu menyampaikan hal yang penting itu. Seketika Berlin panik. Jantungnya mendadak seperti berhenti berdetak. Keringat dingin mengembun dari dahi Berlin yang putih. Mata gadis anak orang kaya itu berkaca-kaca. Berlin mulai terisak.

“Sis, aku takut!”

“Sekarang kamu harus hati-hati, Bel. Sampaikan pada papamu. Kalau perlu, segera lapor polisi.”

Berlin menutup wajahnya. Ia tidak tahu, bahwa selama ini jiwanya terancam.[]


PERISTIWA itu terjadi begitu cepat. Sisi merasakannya hanya dalam hitungan detik.

Baru beberapa meter Sisi keluar dari rumah Berlin, tiba-tiba matanya gelap. Badannya terasa melayang. Setelahnya entah untuk berapa lama, Sisi tidak sadarkan diri, tidak tahu sedang berada di mana.

Sisi baru sadar saat ia sudah tergolek di sebuah ruangan remang-remang di atas sofa tua. Dinding ruangan itu kusam, lembab, apek, dan dingin. Langit-langit ruangan itu dipenuhi sarang laba-laba hampir di setiap pojoknya. 

Tangan dan kaki Sisi diikat. Tas dan dompetnya dilucuti, entah di mana saat itu.

Sementara di sebelah ruangan Sisi berada, terdengar orang sedang marah-marah. Suaranya jelas sekali ditangkap Sisi. Ada sekitar empat orang dengan yang marah-marah itu.

“Bodoh semua! Idiot!”

“Maaf, Bos!”

“Maaf! Maaf! Makan sama berak saja pinternya kalian! Urusan sepele begini tidak becus kalian urus!”

Brak! Krak! Krak!

Terdengar kursi dibanting. Menyusul meja yang digebrak-gebrak. Suaranya berderak-derak.

“Terus, bagaimana urusan dengan anak itu, Bos?”

Plak!

Terdengar tamparan keras. Yang ditampar meringis-ringis. Namun, semakin dia meringis, tamparan mendarat berkali-kali.

“Sekarang jawab, bagaimana bisa kalian salah ambil? Heh!?”

“Maaf, Bos. Saat kita ambil, anak itu pakai masker. Kami tidak mengenali kalau itu bukan target.”

Bugh! Kali ini suara pukulan di perut.

Hek!

“Buka maskernya dulu, bego!”

Sisi sadar sedang berada pada situasi apa dia sekarang. Sisi menggigil. Terdengar jelas, ia baru akan dilepaskan saat mereka berhasil menculik target yang mereka inginkan untuk meminta uang tebusan.

“Awasi anak itu jangan sampai kabur! Jangan kalian sentuh atau kalian sakiti. Cukupi makan dan minumnya! Ingat, minggu depan target harus sudah kalian bawa ke sini! Paham!”

Beberapa saat kemudian, Sisi dipindahkan ke ruang yang lebih bersih dan terang. Ada tempat tidur dengan bantal dan selimut.

“Hei, dengar baik-baik! Kami tidak akan menyakitimu. Jangan coba-coba kabur! Kalau kamu coba-coba kabur dan tertangkap, tubuhmu kami akan kami lemparkan ke dalam sumur tua di belakang rumah ini. Ngerti!?”

Sisi menggigil. Ia mengangguk.

“Itu makan malam! Makan!” Kata orang berbadan tinggi, lengan bertato, dan ada luka bekas sayatan di pipi kirinya. Seram sekali. Saat ia menyeringai sambil mengancam sebelum berlalu pergi, Sisi melihatnya seperti algojo yang siap mencabut nyawanya.

Malam itu, Sisi tidak bisa tidur. Matanya tidak bisa dipejamkan barang sepicing pun. Ia gelisah sambil meratapi nasib sialnya saja. Ia baru tenang dengan mengingat kata-kata bahwa ia tidak akan disakiti dan akan dipenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Namun, hanya sekejap saja hatinya tenang. Pada detik berikutnya ia sudah gelisah dan takut lagi. Bahkan Sisi tak yakin akan tetap aman. Sebab ia sedang berada di tangan orang-orang jahat.

Sisi menepi ke jendela. Disibaknya kain gorden. Di luar tampak hujan rintik berjatuhan ditembak cahaya lampu. Sisi bertanya-tanya ini di mana? Malamnya terlalu senyap seperti bukan di Jakarta. Terlalu dingin, tidak seperti cuaca Jakarta yang panas meski malam sudah larut. 

Sambil memandang keluar jendela, mata Sisi menangkap kehijauan. Di luar sana banyak tumbuh sayuran. Ada selada dan sawi caisim. Jelas, Sisi yakin, ia berada di suatu tempat yang jauh, bukan di Jakarta. Tapi, entah di mana.

Rasa laparnya tidak ia hiraukan. Menanggung nasibnya saja sudah membunuh selera makannya. Apalagi, dirinya sekarang seperati anak perawan di sarang penyamun. 

Barulah Sisi menyerah saat perutnya semakin melilit. Dilirik jam tangannya; pukul tiga pagi. Makan malamnya yang sudah terlalu dingin disentuh juga beberapa suap. Setelah itu, ia tidak kuat lagi menahan kantuk.[]

Bersambung ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap