Langsung ke konten utama

RAMADHAN TERINDAH

Doa Bunda. Ilustrasi milik urbanjabar.com

AKU pasrah. Barangkali mataku memang tidak bisa lagi disembuhkan. Bundaku sudah membawaku berobat dari satu dokter spesialis mata ke dokter spesialis mata yang lain. Namun, bukan kesembuhan yang kuterima. Malah sekarang, mata kananku mulai merabun.

Aku semakin cemas, jangan-jangan sebentar lagi, mata kananku ini akan seperti mata kiriku yang sudah buta total. Dahulu juga begitu, mata kiriku mula-mula merabun, lalu semuanya menjadi gelap hanya dalam hitungan hari. Aku rasa, tahi lalat di atas kelopak mata kiriku juga tambah menghitam. Ya Allah, apakah aku akan menjadi gadis tunanetra? Bagaimana dengan cita-citaku?

Aku sudah membayangkan hidup dalam kebutaan. Setiap hari, pasti aku hanya berteman dengan gelap. Tidak bisa lagi memandang indahnya bunga-bunga mekar dengan kupu-kupu cantik yang terbang ke sana kemari di halaman rumahku. Apalagi melihat pelangi yang indah. Atau memandangi foto di atas meja kamarku berlama-lama. Tidak. Yang kulihat hanya hitam, gelap, dan serba kelam. Sia-sia saja Nikon yang baru dibelikan mama hadiah ulang tahun alat untuk melampiaskan hobiku.

“Loh, kok anak bunda masih belum siap? Ayo sayang, ganti baju. Sebentar lagi kita berangkat.”

Bundaku datang tanpa aku sadari. Seperti biasa, bunda selalu semangat menemaniku saat akan pergi ke dokter mata. Hari itu, aku terlalu sedih dan melamun sehingga tak menyadari bunda masuk ke kamarku.

“Sudah lah, Bunda. Mira sudah capek.”

Bundaku merapatkan tubuhnya. Seperti biasa, bunda memelukku sambil membisikkan harapan bahwa manusia tidak boleh putus asa. Hari ini, bahkan bunda sambil terisak, menangis meratapi nasibku yang buruk sambil terus memelukku.

“Ini bulan Ramadhan, sayang. Bulan penuh berkah. Bulan di mana doa-doa dikabulkan. Semoga Allah mengabulkan permintaan kita kali ini.” Ucap bunda dengan suara bergetar.

“Tapi, Bunda. Sudah berapa dokter yang kita datangi?”

“Mira, bunda tidak peduli. Berapa pun dokter yang harus kita datangi. Asalkan, Mira gadis kecil bunda yang jenaka akan sembuh.”

Aku beruntung memiliki bunda yang sangat menyayangiku. Bunda yang selalu menyemangati hidupku, menolongku saat aku terpuruk, dan menghiburku di saat aku sedih. Aku tak membayangkan jika bunda tak ada di sisiku. Apa yang akan terjadi? Pasti hidupku bertambah gelap, lebih hitam dari sepasang mataku yang semakin gelap. Sebab yang aku punya hanya Bunda seorang.|


PAGI pukul sepuluh kurang lima menit, aku sudah tiba di Malang. Penerbangan dari Cengkareng pukul 08.15, pesawat yang aku tumpangi sudah mendarat di Bandar Udara Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur.

Dari bandara, aku menuju klinik Ainun, klinik spesialis mata terkenal di Malang. Di sanalah aku dibawa bunda untuk berobat. Aku akan ditangani oleh dokter spesialis mata terbaik se-Asia Tenggara lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Mataku yang sudah tak bisa melihat lagi, hanya berair, tidak berfungsi merekam keindahan kota Malang, Kota Apel dari balik kaca mobil sepanjang perjalanan menuju klinik. Aku hanya bisa merasakan hawa sejuk kota Malang di pagi beranjak siang. Itupun hanya sebentar saja, hanya sekitar dua puluh menit, bunda berkata bahwa kami sudah sampai. Karena bunda sudah membuat janji sebelumnya, aku langsung ditangani dokter terbaik itu, dokter Faisal namanya.

“Halo, Mira. Selamat datang di Malang. Wah, senang sekali dokter bisa bertemu Mira hari ini.” Dokter Faisal menyapaku, ramah sekali. Aku hanya menjawab terima kasih dan sedikit senyum.

Aku tak bisa mereka-reka wajah dokter Faisal yang kata bunda selalu berseri-seri dan menyenangkan. Padahal, percuma saja bunda memberi tahu soal wajah dokter itu. Bagiku, wajah dokter Faisal pasti hitam, sehitam gelap malam yang pekat. Ah, malang nian nasibku.

“Salam, Dokter.” Suara Bunda membalas sapaan dokter Faisal padaku.

“Salam, Bunda Mira. Terima kasih telah berkunjung.”

“Sama-sama dokter. Maaf, sedikit telat.”

“Enggak, enggak telat. Saya juga baru sampai beberapa menit yang lalu. Hari ini, saya ditemani putri saya. Saya khawatir malah saya yang telat karena menunggu putri saya berkemas. Dia lupa menaruh jam tangan kesayangannya di mana. Oh, sepertinya, putri saya seumur dengan Mira.”

Aku mendengarkan saja pembicaraan bunda dengan dokter Faisal sebelum pemeriksaan awal mataku dimulai. Kudengar, sesekali dia memanggil asistennya meminta beberapa berkas yang harus dia periksa. Entah, mungkin itu berkas tentang aku, berbagai informasi tentang kebutaanku.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah-langkah kecil mendekat. Ia memanggil-manggil. Suaranya nyaring, khas suara gadis kecil yang sedang teriak bahagia karena mendapatkan hadiah dari sang ayah. Rupanya, suara langkah dan nyaring panggilannya adalah milik gadis kecil putri dokter Faisal yang diceritakannya barusan.

“Hai, sayang. Mari sini. Kita kedatangan gadis cantik.”

“Ini, putri dokter Faisal?” Kudengar bunda menanyakan hal gadis kecil itu.

“Iya. Ayo sayang, perkenalkan namamu dan sapa gadis cantik tamu kita hari ini.”

Gadis kecil itu mengucap salam. Aku mendengarnya dengan jelas. Bunda membalas. Aku bisa merasakan keramahan dan kehangatan mereka. Tapi, hanya sebatas itu. Aku hanya bisa mendengar. Mataku tak berdaya.

Tiba-tiba hatiku berdebar-debar. Seperti ada kekuatan yang memukul-mukul rongga dadaku saat gadis kecil itu menyebutkan namanya. Detak jantungku semakin memburu saat gadis itu kudengar langkahnya mendekatiku. Semakin dekat, semakin hatiku berdebar. Wajahku terasa menghangat.

Aneh, dalam bayanganku, gadis kecil itu seperti terkejut melihatku. Matanya membulat. Mulutnya menganga, seperti tak kuasa menerima gadis yang duduk di hadapannya. Itu jelas sekali dalam benakku. Seakan aku bisa melihat dengan mata kepalaku lagi, seakan aku tidak buta.

“Ha … hai.”

“Hai.” Aku membalas menyapa. Suaraku parau.

“Ka … kamu. Mi .. ra. Ya, kamu Mira Naomi Asir, kan? Kamu pasienku, kan?”

Aku menggeleng.

“Aku tahu kamu Mira. Tahi lalat di kelopak matamu milik Mira, sahabatku.”

Seketika tubuhku terasa melayang. Mataku bertambah gelap.|


2 tahun yang lalu. Di Kelas 5 Sekolah Budi Mulia

HARI ini pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Nur memulai pelajaran dengan membacakan dongeng Si Kura-Kura yang bercita-cita ingin menjadi dokter. Alasan si Kura-Kura ingin menjadi dokter karena banyak penghuni rawa yang sakit dan mati. Tidak ada dokter yang menolong karena tidak ada satu pun penduduk rawa yang berprofesi dokter. Semua mereka berprofesi penyelam. Bagi penduduk rawa, penyelam merupakan profesi bergengsi dan bisa menjamin kebutuhan hidup mereka.

Setelah cerita selesai dibacakan, Bu Nur menanyakan cita-cita kami semua. Ada yang ingin menjadi pilot, tentara, saudagar, polisi, ada pula yang bercita-cita menjadi dosen, guru, bahkan ada yang ini menjadi bintang sinetron terkenal.

Tibalah giliranku dan Putri.

“Putri, apa cita-citamu?”

“Jadi dokter, Bu.”

“Bagus. Mira, apa cita-citamu?”

“Pasiennya Putri, Bu.”

Tiba-tiba semua menyoraki jawabanku. Kelas menjadi gaduh. Putri ikut tertawa karena merasa jawabanku aneh dan konyol.

“Loh, mengapa begitu, Mira?” Bu Nur tidak kalah heran. Sambil tersenyum, Bu Nur menanyakan alasanku.

“Aku kasihan sama Putri, Bu.”

“Apa alasannya?”

“Kasihan Putri kalau jadi dokter, tapi tidak ada pasiennya.”

Lagi, kelas menjadi gaduh. Aku juga tertawa, sambil merangkul Putri yang duduk di sebelahku. Kali ini, Putri terbengong-bengong mendengar jawabanku lalu mencubit pinggangku. Bu Nur juga semakin tertawa lebar.

Memang, aku sengaja tidak ingin seperti teman-temanku yang mematok cita-cita. Jujur, aku memang tidak tertarik membicarakan soal cita-cita saat itu. Maka, jawabanku waktu itu sekadar aku punya cita-cita. Itupun bukan asli jawabanku. Aku meniru dari buku cerita humor yang pernah aku baca. Tapi, kepada Putri aku katakan cita-citaku yang ingin aku raih. Jadi hanya Putri dan bundaku yang tahu cita-citaku.

Namun, aku tidak menduga. Hari itu merupakan hari terakhir aku dan Putri duduk sebangku. Esok harinya, Putri tidak lagi masuk sekolah. Kata Bu Nur, Putri harus ikut ayahnya yang mendadak ditugaskan keluar daerah. Persahabatan kami terputus. Aku tidak tahu Putri pindah ke mana. Putri juga tidak meninggalkan kabar akan pindah ke mana. Putri hanya menitipkan selembar foto pada Bu Nur untukku. Di balik foto itu, Putri menulis pesan: “Untuk Pasienku”. Sahabat terbaikku.

Aku dan Putri tidak sempat bertemu. Bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal, selamat berpisah.|


OPERASI mataku berjalan lancar. Aku lega. Bundaku masih belum tenang.

Dua jam lagi, perban di mataku akan dibuka. Dokter Faisal meyakinkanku, bahwa sembilan puluh sembilan persen aku akan dapat melihat kembali. Bunda terus memegang tanganku. Bunda tidak kalah berdebar-debar menunggu saat itu tiba. Dari mulutnya masih terdengar doa-doa lirih untuk kebaikanku.

Alhamdulillah. Apa yang dikatakan dokter Faisal benar. Mataku kembali dapat melihat. Aku sangat bersyukur, doa-doaku dan Bunda dikabulkan Allah. Bahkan Allah memberiku hadiah terindah, Allah mempertemukanku pada Putri, sahabat yang setiap saat fotonya aku pandangi untuk melepas rindu di kamarku. Sekarang, bukan saja foto Putri yang bisa aku pandangi, aku bisa menatap lagi wajahnya yang mungil, bergigi renggang, dan berambut ikal bergelombang.

Putri memelukku. Aku membalas pelukannya. Kami berdua menangis bahagia. Bahagia karena dipertemukan kembali dan bahagia karena penglihatanku sudah kembali. Sungguh ini adalah Ramadhan terindah buatku.

“Selamat datang fotografer.” Ucap bunda sambil memberikan Nikon kesayanganku.

Aku menghambur memeluk bundaku. Aku berjanji akan membalas kebaikan bunda, meskipun aku tahu, aku tidak akan pernah bisa membalas kasih bunda walau sepenggal saja dari hidupku. Seketika aku teringat ayah. Semoga ayah bahagia di alam kuburnya.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap