Langsung ke konten utama

Gadget Lebih Penting Dari Khutbah?

Kecanduan game.(Shutterstock)


Technology is a useful servant but a dangerous master. 

Saya hampir-hampir setuju dengan quote Christian Lous Lange di atas. Bisa jadi, Anda juga demikian. Rasanya, membaca sekilas quote Lous Lange itu, kita tidak membutuhkan banyak argumen untuk menerima pendapat bahwa, “teknologi adalah hamba yang berguna, tetapi tuan yang berbahaya”.

Adalah saya secara kebetulan selama beberapa Jumat memerhatikan fenomena. Namun kali ini, apakah pembaca sepakat bahwa fenomena yang saya amati sudah melewati batas kewajaran atau tidak, itu soal kedua. Namun, yang pertama, dan ini adalah core dari kegelisahan saya, bahwa pecandu gadget seperti sudah tidak punya ruang untuk sakralitas Jumatan.

Ceritanya, saya benar-benar heran. Pada Jumatan beberapa minggu yang lewat, saya tak kuasa dari tidak terheran-heran. Seorang remaja–lebih pantasnya seperti mahasiswa–sejak awal datang dan duduk, tidak lepas dari gadget. Saya pikir, nanti ia akan berhenti saat nanti azan berkumandang. Ternyata, tidak. Ia masih asyik dengan gedgetnya. Dalam hati saya tetap berhusnuzan, bisa jadi, ia masih sempat menjawab dalam hati apa yang diucapkan muazin meskipun jari-jemarinya sibuk menari-nari di atas layar gadget. Bisa saja, kan?

Namun dugaan saya meleset. Bahkan sampai khatib membaca doa penutup pada khutbah kedua, pun ia masih asyik dengan gadgetnya. Jari-jemarinya masih sibuk scrolling mengusap ke atas dan ke bawah punggung gadgetnya. Saya begitu penasaran, sedikit mengintip, apa sih yang membuatnya sedemikian ‘hormat’ dengan gadget dan mengabaikan pahala mendengarkan khutbah?

Rupanya dia asyik membaca komik digital.

Hari ini, di tempat yang sama, remaja yang sama, dengan kelakuan yang sama pula. Bedanya, sejak datang dan duduk, dia asyik ber-Instagram, ber-WhatsApp, dan lagi; membaca komik digital. Saya tahu, karena saya mengintip dari awal sampai akhir. Lagi, dan kali ini saya harus mengelus dada. Sampai doa penutup khutbah kedua, ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia tetap fokus pada gadgetnya. Saya akui, konsentrasi saya pun pecah dari menyimak isi khutbah tentang makna Isra dan Mikraj karena ‘gregetan’ dengan kelakuan remaja itu.

Ya Tuhan, apakah perasaan ‘gregetan’ saya dapat dibenarkan melihat kelakuan model begitu?

Fikih mengajarkan, bahwa ibadah Jumat itu sangat agung. Bahkan, untuk sampai pada taraf kesempurnaan berjumat, kaum muslimin terbiasa mengamalkan sunnah-sunnah sebelum berangkat ke masjid agar keagungan Jumat tidak berlalu begitu saja. Mandi, memotong kuku dan kumis, memakai pakaian yang bersih–lebih utama yang berwarna putih–dan memakai wangi-wangian sudah menjadi bagian dari literasi berjumat.

Sesaat kaki akan melangkah untuk berjumat pun, masih ada amalan yang akan menambah bobot pahala Jumat. Berdoa ketika keluar rumah dan disunnahkan segera menuju ke masjid dengan berjalan kaki perlahan-lahan dan tidak banyak bicara. Nanti sesampainya di masjid, ketika masuk masjid melangkah dengan kaki kanan dan membaca doa. Terus melaksanakan salat sunnah tahiyyatul masjid. Kemudian iktikaf sambil membaca Al-Qur’an, berzikir, atau bersalawat jika khatib belum naik mimbar. Jika khatib sudah naik ke mimbar, maka zikir atau bacaan Al-Qur’an pun disudahi untuk mendengarkan khutbah.

Amalan-amalan tersebut tentu bukan sekadar amalan sunnah, melainkan sebagai penghormatan akan pentingnya ibadah Jumat hingga adab-adabnya pun diajarkan secara rinci. Dan, yang perlu digarisbawahi, betapa mulianya kedudukan khutbah pada penyelenggaraan ibadah Jumat.

“Barangsiapa yang berbuat sia-sia, maka tidak ada (pahala) shalat Jumat untuknya.” Demikian bunyi sebuah riwayat dari Imam Ahmad.

Bisa jadi semua orang sepakat bahwa kesia-siaan adalah perkara buruk. Namun, kesia-siaan sebagai akibat dari tidak mengindahkan marwah ibadah Jumat bukan saja perkara buruk, melainkan sudah jatuh pada perilaku merendahkan syariat berjumat.

Sibuk bergadget ria saat khatib menyampaikan khutbah, tentu sukar diterima. Bukan saja sukar diterima dengan segudang dalil tentang kewajiban menjaga dari kesia-siaan berjumat, tapi juga atas pertimbangan standar perasaan dan akal budi. Memang, apa yang diharap dari bermain gadget saat khatib berkhutbah?  Apakah masih tak cukup waktu sibuk dengan gadget di luar masjid? Apabila pada kondisi sakral saja tidak bisa lepas dari gadget, bagaimana pada kondisi di luar itu?

Kalau Christian Lous Lange berkata, “Technology is a useful servant but a dangerous master”, Al-Quran menyitir ada manusia yang terang-terangan mempertuhankan hawa nafsu yang disembah-sembah (lihat QS. Al Furqãn [25]: 43). Secara tidak sadar, bisa jadi, bagi segelintir orang, gadget sudah menjadi ‘tuhan-tuhan’ kecil dalam kehidupan modern hari ini meskipun saat ia bersimpuh di lantai masjid.

Bolehlah kita bertanya, mengapa itu bisa terjadi?

Untuk hal ini, literasi berjumat kepada jamaah rasanya sudah tidak cukup sekadar imbauan untuk menonaktifkan HP atau alat komunikasi. Rasanya, literasi digital menjadi sangat mendesak menjadi kurikulum ibadah bagi kaum muslimin untuk disampaikan hingga ke bilik-bilik rumah tangga agar ibadah mereka tidak sia-sia karena ketidakmengertian yang tidak perlu.

Allahu a’lam.

Ciputat, 12 Maret 2021.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap