Langsung ke konten utama

MISTERI KUOTA INTERNET; Sebuah Sampel Novel 9 Bab






Chapter 1

SEJAK Berlianti tidak sengaja menangkap percakapan Pak Gusnadi dengan Bu Nuril, ia seperti mendengar dialog para penyamun soal bancakan. Sepotong bait Lagu Indonesia Raya “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya”, ia rasa sudah tidak bertuah lagi. Lagu Kebangsaan itu memang masih menggema setiap Senin pagi di sekolah itu, tapi spiritnya sudah banyak disimpan di bawah alas kaki.

“Papa lihat, sudah dua hari kamu banyak diam. Ada apa?”
“Muak, Pa.”
“Muak?”
“Berlin mau mundur saja dari madrasah.”
“Serius?”
“Budi Mulia sudah roboh, Papa. Madrasah itu sudah jadi sarang penyamun. Sudah cukup Berlin di sana.” Berlianti berkata datar, tanpa ekspresi.

Bachtiar terhenyak. Dia menatap Berlianti dengan mata menyelisik. Dia tahu persis watak putri tunggalnya itu. Dia keras seperti almarhum ibunya. Bahkan, putri biologisnya itu sudah pula naik levelnya menjadi anak ideologis sejak dia bergabung menjadi Menwa sewaktu kuliah. Apabila Berlianti sudah mengatakan sesuatu dengan pilihan kata yang lugas seperti kata “muak”, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres di mata putrinya itu.

Bachtiar meletakkan album foto di tangannya. Nostalgia yang tengah dia kenang buyar seketika. Tadinya, mata Bachtiar menyala-nyala menatap satu demi satu foto di album itu, foto saat dia masih mengenakan seragam loreng. Sekarang, perhatiannya pindah pada Berlianti, sepenuh perhatian seorang Ayah yang sedang membimbing putri kecilnya melangkah di jalan yang terjal.

“Berlin, ada apa sebenarnya?”

Berlianti menggeleng. Dia tidak menjawab pertanyaan Papanya.

“Tak usahlah Papa tahu.”
“Baik. Lalu, kalau kamu mundur, siapa yang akan mengajar matematika anak-anak itu? Para penyamun?”
“Itu bukan urusanku lagi, Papa.”
“Itu harus jadi urusanmu sekarang.”

Berlianti menatap wibawa di mata Papanya. Itu satu-satunya tatapan mata meluluhkan yang membuat Berlianti tidak berdaya. Seakan Berlianti tersedot masuk ke dalam jiwa sang Papa melalui kornea, iris, pupil, sklera, dan konjungtiva mata sang Papa yang tak tampak sudah meredup karena ia menua. Namun, wibawa di mata itu belum redup. Ia masih menyala seperti mata prajurit sejati. Berlianti berlutut di sana.

Tatapan mata Sang Papa adalah kesetiaan bagi gadis itu. Bagaimana tidak, Bachtiar memilih tetap menduda sepanjang hidup untuk membesarkan Berlianti sendirian. Laki-laki itu tidak mau mencari pengganti Tika. Dia tidak bersedia membagi cintanya lagi setelah Tika tiada. Cintanya hanya tersisa cinta seorang Papa kepada putrinya. Maka, Bachtiar adalah segalanya bagi gadis itu. Dia bukan saja seorang Papa, tetapi sekaligus Mama baginya yang sangat dia dengar kata-katanya.|

LAGU Indonesia Raya menggema setiap upacara Senin pagi di sekolah itu. Bagi Berlianti, Indonesia Raya adalah darah yang mengalir dan tulang yang menyangga idealismenya. Lagu itulah awal mula yang memanggil jiwa Berlianti menjadi guru, tepat sebulan dia menetap di desa Makmur. Seolah, Wage Rudolf Supratman sedang berdiri di muka pintu kelas sambil tersenyum dan melambaikan tangan kepadanya saat lagu itu menggema. Di belakangnya, berdiri para perempuan. Mereka personifikasi dari Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Malahayati, Cut Nyak Meutia, Nyi Ageng Serang, Maria Walanda Maramis, Nyai Dahlan, dan Kartini. Begitulah imajinasi Berlianti menghadirkan bayangan sosok-sosok permaisuri nusantara itu tiap kali upacara digelar.

Hari itu, kelompok paduan suara, siswa, guru, staf Tata Usaha, sampai penjaga sekolah dan tukang sapu khidmat menyanyikan Indonesia Raya dengan sikap sempurna. Orang-orang yang lalu lalang di muka sekolah pun berhenti sejenak. Petani yang berangkat ke sawah, ibu-ibu yang pulang dari atau menuju warung sayur, buruh yang tergesa berangkat ke pabrik, atau para kuli panggul yang hendak mengais rezeki di pasar, berdiri mematung sejenak sampai lagu Indonesia Raya berakhir. Mata mereka mengawal bendera yang dikerek tangan-tangan mungil naik ke angkasa dan berkibar mengikuti irama paduan suara. Semua ikut bernyanyi.

Belakangan, Lagu Indonesia Raya di halaman sekolah itu dinyanyikan dengan iringan musik seperti musik upacara bendera memperingati detik-detik proklamasi di Istana Negara. Sound system dan VCD player mengambil alih Lagu Kebangsaan itu jadi lebih menggelegar, melangit ke seantero desa tetangga.

Berlianti selalu menyaksikan saat upacara di sekolah itu berlangsung dari balik jendela kamarnya. Berlianti tak puas. Satu waktu, ia turun dari kamarnya. Ia melangkah mendekati sekolah itu membaur dengan para perempuan desa Makmur. Ia ikut berdiri saat bendera berkibar-kibar merangkak naik sambil menyanyikan Lagu Indonesia Raya, lagu yang selalu memanggil-manggil jiwanya kapanpun lagu itu ditangkap telinganya.

Setelah upacara selesai, Berlianti mengamati dari dekat sekolah itu. Rasanya, ia tengah menikmati hidangan cinta tanah air lewat semua rangkaian upacara bendera yang telah usai. Darahnya terasa menghangat dan dadanya bergemuruh. Matanya terasa panas karena kebanggaan yang meluap-luap. Entah mengapa, Berlianti teringat pada sosok perempuan yang paling ia kagumi saat ia berada di sana. Sosok itu seolah-olah menyampaikan pesan agar ia turut merawat pesan ibu pertiwi di sini.

Mengajar tidak pernah terbayangkan bagi seorang Berlianti. Dia bukan lulusan sekolah keguruan atau sarjana fakultas ilmu pedagogik. Idealisme patriotik lah yang mendorongnya menjalani profesi itu. Berlianti seakan menjawab lambaian para pahlawan itu dengan berdiri bersama mereka menjadi pandu ibu pertiwi untuk ikut berperang di medan pendidikan, medan perang yang asing baginya.|

“NENG orang baru, ya?” tanya seorang perempuan pada Berlianti selepas upacara usai.

Berlianti melempar senyum dan mengangguk. Lalu, dia menyapa beberapa perempuan seraya memperkenalkan diri. Beberapa dari perempuan itu mengajak Berlianti duduk di warung sekadar menikmati makanan ringan dengan teh hangat sambil berbincang. Berlianti menyambut ajakan bersahaja itu, ajakan tulus khas orang-orang desa yang lugu.

Warung itu sederhana. Akan tetapi, ia tampak bersih dan sehat. Tidak ada makanan yang terbuka. Semuanya tertutup. Sepertinya, pemilik warung itu sangat mengerti tentang kesehatan makanan. 

Pemilik warung itu seorang perempuan berbadan tambun, tapi manis dan ramah. Bu Umi namanya. Berlianti tahu nama itu dari beberapa perempuan yang menanyakan ada makanan apa saja pagi hari itu. Rupanya, beberapa dari para perempuan itu adalah orang tua siswa yang biasa mengantar anak mereka ke sekolah dan mangkal di warung Bu Umi sebelum mereka pulang.

Suasana terasa cepat sekali mencair. Berlianti yang supel segera bisa menyesuaikan diri berbincang ringan dengan mereka. Selanjutnya, sambil mereka menikmati bala-bala yang yang masih mengepul, para perempuan di warung Bu Umi menghujani Berlianti dengan pertanyaan-pertanyaan menggoda. Berlianti seperti artis yang sedang diwawancarai wartawan infotainment. Ibu-ibu itu seakan berlomba-lomba menanyakan semuanya perihal Berlianti, dari menanyakan asal Berlianti sampai mengapa wajahnya bisa secantik itu.

Bu Umi, si pemilik warung yang paling menggebu-gebu. Ia bertanya apa saja sampai pada urusan Berlianti yang bersifat pribadi. Dengan gaya berseloroh, perempuan berbadan tambun itu menyelisik, apakah Berlianti sudah punya pacar atau belum. Kalau sudah punya pacar, Bu Umi mengaku terlambat. Kalau belum, berarti ada harapan buat Bu Umi punya menantu secantik Berlianti.

“Ah, kamu kepedean, Umi.”
“Yang namanya usaha, tidak ada salahnya, Saroh.” Bu Umi menjawab tudingan seorang perempuan bernama Saroh.
“Ayo kita taruhan. Anakmu, atau anakku yang nanti berjodoh dengan Neng Berlin.” Saroh menantang.

Tawa para perempuan pecah berderai-derai. Obrolan jadi semakin riuh.

Perempuan yang lain tidak mau kalah. Merasa ada juga dari mereka yang memiliki anak perjaka, mereka lebih nekat dari Bu Umi dan Saroh. Suasana lalu berubah seperti kontes perkenalan para calon mertua di hadapan Berlianti di Senin pagi itu. Masing-masing memperkenalkan anak lelaki mereka dengan berseloroh. Ada yang mengaku anak perjakanya seganteng bintang film India, sekeren bintang drama Korea, bahkan ada yang terlalu nekat menyebut ketampanan anaknya mendekati ketampanan Nabi Yusuf.

Wajah Berlianti bersemu memerah disuguhi keluguan para perempuan desa itu. Meskipun begitu, Berlianti merasa terhibur. Ia merasakan kepolosan orang desa yang jarang ditemukan saat ia masih tinggal di Jakarta. Untuk kali pertama, Berlianti menikmati kebersahajaan itu sejak dia menetap di sini.

Bu Umi mengurai keriuhan yang dia ciptakan sendiri. Ia menegaskan pada Berlianti bahwa mereka semua hanya bercanda. Berlianti menimpali pula sambil berseloroh. Kata Berlianti, bila saja Bu Umi dan ibu-ibu itu sungguh-sungguh pun, Berlianti menyesal, mengapa baru sekarang ia pindah ke desa makmur.

“Memangnya kenapa, Neng? Kok, menyesal?”
“Sebab, ternyata di sini cowoknya keren-keren, Bu Umi. Sementara, saya sudah jatuh hati pada laki-laki lain. Kasihan kan kalau saya tinggalin laki-laki itu gara-gara ada cowok setampan Nabi Yusuf di sini?”

Tawa kembali pecah berderai.

Sementara, halaman sekolah sudah mulai sepi dari anak-anak. Hanya tampak beberapa petugas sedang merapikan peralatan upacara. Kelas-kelas mulai hidup. Suara beberapa guru terdengar jelas sudah mengajar. Akan tetapi, beberapa siswa malah keluar dari kelas menuju warung Bu Umi. Mereka membaur, memesan teh manis, mie rebus, atau memesan bala-bala yang dicacah di atas piring lalu disiram kuah sambal. Saat anak-anak itu diingatkan Bu Umi agar mereka kembali masuk kelas, mereka mengaku belum sarapan. Dalam keadaan perut kosong, mereka sukar konsentrasi. Malah, mereka mengaku konsentrasi belajar mereka pindah ke warung Bu Umi.

“Lagian, nggak ada gurunya kok,” ucap salah seorang dari mereka.
“Lha, kok setiap Senin pagi, nggak ada gurunya? Senin kemarin, nggak ada gurunya. Kemarinnya lagi, nggak ada gurunya juga. Sekarang, nggak ada gurunya lagi. Kalian bohong ya?” Bu Umi menyelisik.
“Beneran Bu Umiii,” jawab anak itu dengan nada menekan buat meyakinkan Bu Umi. “Nggak tahu, tuh. Sudah sebulan gurunya gak masuk. Kalo nggak percaya, coba aja Bu Umi masuk kelas. Terus gantiin Pak Uston ngajar matematika,” ujar anak itu lagi sambil menikmati cacahan bala-bala dengan kuah sambal.

Bu Umi cemberut mendengar jawaban lugas salah seorang dari anak-anak itu. Sekarang, giliran tawa riuh anak-anak sekolah yang mengisi warung Bu Umi. Anak-anak itu tampak amat riang. Entah, apakah riang karena guru mereka tidak hadir di kelas, ataukah karena meledek Bu Umi dengan memintanya mengajar menggantikan guru mereka.

Berlianti menikmati keluguan anak-anak itu, sama seperti dahulu ia begitu senang apabila ada guru yang tidak hadir di kelasnya. Apalagi, guru yang tidak hadir itu mengampu mata pelajaran yang tidak ia sukai, berarti itu hadiah “free time”. Rasanya, kelas seketika berubah menjadi arena bermain yang menyenangkan. Berlianti bisa ke kantin seperti yang dilakukan anak-anak itu saat ini. Lain waktu, dia bergabung ke kelas sebelah yang kebetulan guru mereka pun tidak masuk.

Di SMA, istilah “free time” bahkan menjadi brand di kelas Berlianti. Ada guru favorit karena free time-nya tak habis-habis. Guru itu hadir di sekolah, masuk kelas sebentar, lalu ia pamit, “Anak-anak! Bapak ada urusan. Sekarang free time, ya.” Dan, sekelas Berilanti bersorak kegirangan. Berlianti masih ingat betul, ia pula yang kemudian berujar, “Thank you so much Mr. Free Time! I love you full!”

Guru itu memang terkenal sibuk. Selain sibuk mengajar, ia juga sibuk ikut seminar, pelatihan, mendampingi siswa yang mengikuti lomba, dan berbagai kesibukan urusan kedinasan. Maka, free time-nya guru itu banyak sekali. Semakin senang Berlianti dan teman-teman sekelasnya tiap kali hadiah free time itu ia dapatkan.

Di lain hari, Berlianti dan teman-temannya memberi julukan guru itu sebagai “Bapak Free Time”. Saat acara reuni, Bapak Free Time lah yang paling banyak mereka bicarakan. Berlianti dan teman-temannya baru berhenti menggunakan panggilan Bapak Free Time setelah guru mereka itu wafat. Tak urung, ada perasaan bersalah menyergap Berlianti. Rasa bersalah itu muncul kembali di benak Berlianti di warung Bu Umi saat itu.

Berlianti tersenyum mendengar para siswa itu menimpali ocehan Bu Umi. Dia jadi tergoda ingin menimpali. Selain itu, Berlianti ingin menyampaikan pesan pada mereka agar benar-benar menggunakan waktu belajar untuk belajar, bukan untuk hal-hal yang tidak penting.

“Terus, kalian tidak dikasih tugas?” Berlianti bertanya sungguh-sungguh.
“Tugasnya susah. Matematika. Nggak ngerti, Kak.”
“Ada yang bawa tugasnya? Coba kakak lihat.”

Seorang dari siswa memberikan buku matematika kepada Berlianti. Di antara para siswa yang sudah mulai menikmati jajanannya, hanya anak itu satu-satunya siswa yang membawa buku matematika lengkap dengan alat tulis. Berlianti bertanya tugas mana yang harus mereka kerjakan.

Siswa tersebut menunjukkannya dengan cepat. Bahkan siswa itu sudah menandai halaman tugas yang harus dikerjakan. Berlianti menyelisik tugas pada halaman buku itu.

“Oh. Ini namanya persamaan kuadrat. Tugas kalian menyelesaikan persamaan kuadrat dengan cara faktorisasi.”

Berlianti meminjam pensil, mencorat-coret sambil menjelaskan cara penyelesaian soal latihan persamaan kuadrat di atas buku siswa itu. Para siswa menyimak sambil menikmati sarapan mereka.

Para perempuan yang tengah menyantap bala-bala di warung Bu Umi memerhatikan. Gadis Jakarta yang barusan mereka tanyai macam-macam itu, persis seperti seorang guru cantik yang sedang memecahkan soal-soal matematika di depan kelas. Anak-anak itu pun tampak senang mendapat penjelasan gratis dari seorang gadis cantik yang baru mereka kenal.

“Nah, selesai soal nomor satu. Gampang, kan?”

Berlianti menyudahi penjelasannya. Ia meneguk sisa teh manis sambil menyudahi bala-balanya yang tinggal separuh. Para siswa itu pun bergumam sambil manggut-manggut mengikuti penjelasan Berlianti yang dengan mudah dan cepat menyelesaikan soal latihan itu.

Sekarang, para siswa itu yang menyerbu Berlianti dengan berbagai pertanyaan yang tidak berhubungan dengan penjelasan Berlianti tentang persamaan kuadrat. Di antara mereka, ada pula yang sedikit “nakal” menanyakan urusan pribadi Berlianti. Bu Umi meradang.

“He! Masih kecil sudah tanya-tanya Neng Berlin sudah punya pacar atau belom!” ucap Bu Umi sambil memonyongkan bibirnya. “Udah! Cepatan makannya! Nanti Pak Murad tahu kalian ada di sini, Bu Umi yang disalahin!” Pungkas Bu Umi.

Belum kering mulut Bu Umi mengingatkan anak-anak itu, seorang laki-laki berbaju safari datang dan berdiri di depan warungnya. Rupanya itu Pak Murad, Kepala Sekolah. Pak Murad menegur siswa-siswanya dan meminta mereka segera kembali ke kelas. Anak-anak itu berhamburan, lari tunggang langgang meninggalkan jajanan mereka. Jajanan mereka pun belum sempat mereka bayar, namun Pak Murad keburu datang. Bu Umi juga tidak luput kena tegur.

“Lain kali, jangan layani mereka di saat jam belajar, Bu Umi. Nanti dilihat anak-anak kelas lain yang sedang belajar, mengganggu konsentrasi mereka.”
“Sudah saya ingatkan, Pak. Mereka bilang belum sarapan. Katanya, kelas mereka juga kosong. Emang kemana sih Pak, gurunya?” Bu Umi membela diri dengan pertanyaan menohok Pak Murad.

Pak Murad agak terkejut atas ucapan Bu Umi. Ia menatap pemilik warung itu dengan tatapan seolah kurang berkenan. Lalu, Pak Murad berganti menatap para perempuan yang balik menatap Pak Murad. Sampai tatapannya bertemu pada wajah Berlianti, Pak Murad tampak kikuk. Mungkin karena dia baru melihat wajah gadis itu pertama kali. Berlianti mengangguk, melempar senyum, dan mengucap salam.

“Iya, Bu Umi. Guru matematika mengundurkan diri. Sekolah belum punya guru pengganti. Susah cari guru matematika. Kasian juga mereka, sudah kelas sembilan, sebentar lagi Ujian Nasional. Jika Bu Umi punya kerabat yang bisa mengajar matematika, dipersilakan mengajukan lamaran,” kata Pak Murad sebeum ia kembali ke sekolah.

“Neng Berlin saja yang ngajar,” ucap Bu Umi setelah Pak Murad pergi.

Berlianti menjawab dengan berseloroh. Ia berkata tidak berbakat menjadi guru. Kalau ia jadi guru, anak-anak bukan tambah pintar, bisa jadi malah tambah tidak mengerti apa yang mereka pelajari.

Berlianti pamit. Sebelum ia meninggalkan warung, ia membayarkan semua harga jajanan Bu Umi yang nikmati ibu-ibu dan anak-anak itu. Tidak lupa, Berlianti mengundang Bu Umi dan ibu-ibu bertandang ke rumahnya.|

Bersambung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap