Langsung ke konten utama

WISUDA 38 MILIAR

Toga. Foto Credit: https://rejogja.republika.co.id/

PKM dan Saya

Pada Sabtu 19 Agustus 2023 kemarin, saya menghadiri acara wisuda. Bukan wisuda anak-anak TK, SD, SMP, atau SMA yang kemarin sempat ramai dibincangkan media, ini wisuda pendidikan nonformal untuk para mubaligh Muhammadiyah. Jadi, setelah empat bulan mengikuti Pendidikan Kader Mubaligh (PKM), mereka yang dinyatakan lulus berhak diwisuda.

Meskipun wisuda dikemas sederhana, wajah-wajah wisudawan tampak ceria. Bisa jadi, keceriaan itu adalah ekspresi gembira karena mereka lulus dan berhak diwisuda. Apalagi, acara dirangkai pesan bernas dari Ketua Korps Mubaligh, ketua PDM Kota Depok, dan diakhiri ceramah pencerahan dari KH. Fahmi Salim, Lc., MA. Isi ceramah Kiai Fahmi bahkan boleh saya sebut “mewah” sekali. Jadi, ini sungguh-sungguh wisuda yang mencerahkan yang memantik alumni PKM Angkatan ke-2 punya wawasan global.

Saya pribadi punya catatan sendiri pada PKM. Entah, apakah Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok sebagai penyelenggara sekadar melibatkan supaya saya tidak “nganggur”, atau memang saya pantas menyampaikan materi “Sejarah Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam”. Hahahahah.

Namun apalah itu, memang ada kebahagiaan bisa sharing di sana. Bukan bermaksud ge er, sih, sewaktu kuliah dahulu, nilai saya untuk mata kuliah yang membahas topik ini dapat nilai sempurna A. Semoga dosen lulusan McGill University yang mengampu mata kuliah ini bukan karena telah salah orang memberi nilai A untuk saya.

Soal Wisuda


Wisuda itu sudah tua umurnya bila bertolak dari sejarah peradaban Islam. Pada masa keemasan  abad pertengahan, wisuda adalah media pensyukuran, penghargaan, dan pengagungan atas ilmu dan pengajarnya. Jadi, bukan sekadar acara seremonial belaka dengan penyematan toga atau pengalungan medali, tapi, kering dari spirit penghargaan atas ilmu dan ulama.

Orang sekarang boleh percaya boleh tidak, wisuda kala itu merupakan penghargaan ketika para pelajar menyelesaikan suatu pembelajaran. Para wali begitu sangat bersyukur dan mewujudkan syukur itu dengan memberi hadiah kepada pihak yang telah membimbing pembelajaran anaknya. Dan, penghargaan serta rasa syukur itu bukan kualitas kaleng-kaleng.

Ismail bin Hammad, cucu Imam Abu Hanifah rahimahullah menceritakan ketika ayahnya, Hammad, menyelesaikan hafalan al-Fatihahnya dengan mutqin, kakeknya Abu Hanifah memberikan kepada guru pembimbingnya 500 dirham.

Ajiib! 500 dirham itu sekitar 40 juta rupiah sekarang, loh! Itu baru al-Fatihah, bagaimana kalau al-Baqarah atau Ali Imran?

Lain lagi cerita dari Ibnu Raqiq tentang Al-Qadhi Abdullah bin Ghanim. Ketika anak Al-Qadhi Abdullah pulang dari rumah gurunya, Al-Qadhi Abdullah menanyakan apa yang tadi dipelajari dan yang telah dihafalkan dari al-Qur’an. Lalu, sang anak menjawab dengan membacakan surah al-Fatihah dengan bacaan yang bagus.

Karena gembiranya, Al-Qadhi Abdullah lalu mengirimkan hadiah kepada guru ngaji anaknya sebesar 20 dinar. Duit semua itu. Dan, ya salam, bila dikonversi, 20 dinar itu senilai 80 juta rupiah. 

Fenomena apa ini? Tentu itu fenomena syukur.

Sang guru terperangah. Ia menolak karena merasa tidak pantas menerima hadiah sebesar itu hanya karena mengajarkan al-Fatihah. “Apa ini yang engkau berikan? Janganlah membuatku berprasangka yang bukan-bukan,” respons sang guru.

Sang guru lebih terperangah saat Al-Qadhi Abdullah menjawab. “Aku hanya memberi segitu wahai guru. Dan, tahukah engkau apa yang telah dirimu ajarkan kepada anakku? Engkau telah mengajarkan surah al-Fatihah. Satu huruf darinya yang telah engkau ajarkan, lebih baik daripada dunia dan seisinya bagiku.”

Masya Allah!

Khalifah al-Musta’shim billah (khalifah ke-8 Bani Abbas, berkuasa 833-845 M) saat wisuda kelulusannya dari menghafal dan mempelajari al-Qur’an dari gurunya Ali bin Nayyar diadakan pesta perayaan yang besar. Kepada sang guru, ia menghadiahkan uang sebesar 6000 dinar, atau sekitar 24 miliar.

Begitu juga saat wisuda al-Mu’taz, putra Khalifah al-Mutawakkil (khalifah ke-10 Bani Abbas, berkuasa 847-861). Salah satu pegawai istana yang bernama Syafi’ menceritakan tugasnya saat ia membagi-bagikan hadiah di acara wisuda. Syafi’i mengaku, hadiah yang diberikan Khalifah al-Mutawakkil kepada sang guru; Muhammad bin Imran yang mengajar al-Mu’taz adalah sebuah guci dari perak yang berisi 9.500 dinar. Gila! Ini setara dengan 38 miliar, guys!

Guru Ngaji Zaman Milenial

Maka, bolehlah kita heran, di zaman milenial ini, masih ada wali muslim hanya bersedia menyusun anggaran untuk honor les ngaji anak-anak mereka delapan kali lebih kecil nilainya dari honor les Bahasa Inggris atau les piano. “Ajib” kagak?

Ada pula cerita kawan saya dari Rangkas, honor qari (pembaca al-Qur'an) di acara maulid di kampungnya dianggarkan panitia lebih kecil dari anggaran untuk membeli petasan yang dibakar supaya maulid meledak lebih semarak. Ini, kan malah“ajib seribu kali ajib.

Ini tidak salah, apa?

Tidak. Karena di zaman ini, dunia dipandang lebih berharga dari akhirat, agama dianggap tidak penting daripada bisnis, dan timbangan amal di yaumil qiyamah tidak seberat daripada bobot neraca ekonomi dagang dengan ukuran untung-rugi. Padahal nanti di akhirat, bacaan al-Qur’an lah yang menjadi syafaat, bukan sapaan “good morning” atau suara denting piano, apalagi dentuman petasan. Ups! Maaf.

Memang, al-Qur’an tidak bisa diganti dengan uang. Akan tetapi, bukan berarti pengajarnya hanya berhak menikmati harga obral di antara para pengajar yang lain. Hanya saja, ya, mau bagaimana lagi?

Kita memang seperti tengah berada di negeri dongeng. Para politikus fanatik di negeri ini kadang menyanjung penguasa kelewat ceroboh. Satu waktu penguasa dipuji mirip Khalifah Abu Bakar, lain waktu mirip dengan Umar bin Khattab, di kali yang lain mirip Utsman bin Affan, dan di waktu yang akhir mirip Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, penguasanya malah menggelar karpet merah, persembahan kepada para penyanyi dan pelawak daripada kepada qari dan guru ngaji.

Ampun, dah!

Pesan Wisuda Kiai Fahmi

Pencerahan dari KH. Fahmi Salim, Lc,. MA., mahal nilainya. Ulama muda Muhammadiyah, Founder Al-Fahmu Insititute, dan penulis produktif ini mengajak wisudawan berwawasan global, mampu menjawab tantangan dakwah global, punya daya literasi yang kuat, menjadi mubaligh Muhammadiyah yang tegak lurus pada al-Qur'an dan Sunnah, serta berdakwah dengan cara santun sekaligus berkemajuan.

Penulis buku“Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal”, buku favorit lahapan saya di kala senggang ini menyinggung kerusakan yang kerap dilakukan oleh para phobia Islam dan kaum oportunis alias golongan munafikun. Kadang, pelaku Islamophobia itu suka sekali bermesaraan dangan kaum oportunis.

Secara khusus, kiai Fahmi berpesan agar para mubaligh mewaspadai tipu daya dan makar kaum munafik. Sudah banyak contoh kerusakan yang menodai peradaban karena ulah mereka. Terpecah belahnya sebuah bangsa menjadi contoh konkret aksi makar mereka pada tiap penggalan sejarah dan peradaban.

Dipikir-pikir, benar sekali nasihat Kiai Fahmi ini. Negeri dongeng saja, bisa jadi oleng karena ulah mereka. Masa, negeri ini harus pula oleng digoyang mereka dengan tutur bahasa tipuan atas nama demokrasi, HAM, liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, serta islamophobia para buzzer?

Jangan, ah!

Hmmm. Sebuah acara wisuda yang mencerahkan dan menggembirakan.  

Ahad sore yang sejuk, 20 Agustus 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap