Langsung ke konten utama

MAS ROID NAIK HAJI


Makkah al-Mukarramah. Foto Credit https://sp.spa.gov.sa/

AKU memanggilnya Mas Roid. Nama "Roid" itu mirip karakter bintang dalam satu dua film Bollywood; "Rohid". Ah, tidak. Mas Roid yang nama penuhnya "FAROID", ini lebih keren dari sekadar nama Mithun Chakraborty.

Aku coba googling. Sepi. Jarang sekali orang memakai kata itu sebagai nama diri. Artinya, nama ini tidak pasaran. Unik. Namaku saja kalau di-googling di mesin search engine, ngampar. Artinya, namaku itu pasaran. "Mulyati", pasaran. "Rosidah", pasaran. "Slamet", juga pasaran. Apalagi "Yadi", "Ratu", atau "Yayat", lebih pasaran. Haaaa.

Yang lebih pasaran dari nama-nama pasaran di atas adalah namaku. Kerap, ia dipakai untuk nama masjid jami, musala, madrasah atau pondok pesantren, juga majelis taklim. Rasanya, di usia yang sudah kepala 5 ini, belum pernah aku menjumpai sebuah masjid tertulis di papan namanya "Masjid Jami Mulyati". Jadi, betapa pasarannya namaku, dan betapa masih uniknya nama Mulyati itu. Aih.

Akan tetapi, sebagai identitas, nama tetap mulia (seperti “Mulyati” yang bermakna “mulia) betapa pun pasarannya ia. Sebab, nama adalah doa, harapan, dan marwah pemberian orang tua. Ia harus dijaga dan dihormati oleh yang menyandang dan orang-orang yang mengenalnya. Menghormati sebuah nama, sama halnya dengan menghormati orang tua, orang yang berbinar-binar dan berseri-seri saat memberikan nama itu.

Lalu, aku menerka-nerka, boleh jadi orang tua Mas Roid ingin agar kelak putranya ini menjadi seorang yang faqih pada satu cabang ilmu yang amat penting, yaitu Ilmu Faraid. Jadi, ia diharap akan menjadi rujukan banyak orang yang tengah bingung untuk memecah-mecah harta warisan, berapa bagian yang akan diterima orang itu sebagai ahli waris. Maka, datanglah ia kepada Mas Roid. Dan, selesailah urusannya karena Mas Roid ahli Faraid.

Namun, tulisan ini bukan untuk ngomongin warisan. Lagi pula, tafsir atas nama Mas Roid datang begitu saja sekelebatan di kepalaku lalu aku tuliskan. Ini hanya narasi, sekadar coretan teman lama di atas keyboard yang sedang bahagia karena tahun ini Mas Roid akan jadi duyufurrahman, akan jadi bagian dari para tamu Allah di Tanah Suci. Mas Roid akan berhaji memenuhi panggilan Allah, menggenapkan rukun Islam yang akan menyatu dengan iman dan Islam Mas Roid untuk seumur hidup. Maka, betapa senangnya hatiku mendapati kabar perihal ini.

Andaikata jarak Depok-Purbalingga itu hanya sekelok saja, maka, subuh-subuh yang gulita, aku akan datang menyambangi rumah Mas Roid untuk melepasnya berhaji. Apatah lagi sudah lebih dari 20 tahun aku tak bersua. Kangen, dan momen pertemuan tentu membahagiakan bercampur mengharukan.

Maka, bila saja kesempatan itu ada, aku akan memeluk Mas Roid sebelum ia terbang ke tanah tandus di mana Baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan di sana, Makkah al-Mukarramah. Bukan sekadar agar luruh kangen ini, melainkan memuaskan rasa syukur bahwa Mas Roid adalah satu dari ribuan umat Islam yang akan mendapat tambahan lagi kesempatan masuk surga karena membawa haji yang mabrur.

Aku yakin, tidak ada keinginan ziarah yang paling diidam-idamkan seorang muslim melebihi idaman keinginan berhaji. Memang, Allah begitu dekat dengan hamba-Nya yang salih di mana pun ia berada. Akan tetapi, membisikan doa di pelataran Masjidil Haram, di depan Baitullah Ka'bah yang mulia, rasanya sudah tidak lagi ada jarak antara Allah dengan hamba-Nya itu yang bersusah payah mendekat sampai ke rumah-Nya. Allahu Akbar!

Wajarlah bila air mata tak lagi dapat dibendung saat wajah sudah menatap Ka'bah. Keharuan tak bisa lagi disembunyikan saat thawaf dikerjakan sehitungan tujuh putaran. Apalagi bila takdir mencium Hajar Aswad Allah berikan cuma-cuma di antara lautan manusia yang berebutan ingin menciumnya, Allahu Akbar! Sungguh-sungguh amat beruntung, meski mencium Hajar Aswad bukanlah perkara wajib.

Temanku yang lain, teman sekelas waktu kuliah dahulu yang derajatnya didekatkan dengan Ka’bah adalah Mas Mono. Mas Mono punya kedudukan sendiri yang jarang didapat banyak orang. Ilmu dan pengalamannya tentang Baitullah di atas rata-rata di antara kami teman-temannya. Bahkan, Mas Mono sudah menjadi rujukan umat dalam hal ini, juga dalam hal perkara kehidupan dan kematian. Maka, tidak ada sikap selain menaruh rasa hormat pada kawan seperti dia.

Demikianlah hari ini hatiku berbunga-bunga, semarak seperti warna-warni tulip yang mekar di bulan April di Konstantinopel. Selalu begitu tiap kali ada orang yang aku kenal akan berangkat menunaikan ibadah haji, meski tidak semua aku narasikan seperti untuk persembahanku pada Mas Roid.

Selamat menunaikan ibadah haji Mas Roid dan keluarga. Mugi-mugi jadi haji mabrur. “Allahummaj'alhu hajjan mabruro, wa sa’yan masykuro, wa tijarotan lan tabur”. 

Titip doa ya, Mas. Semoga kami yang belum berhaji segera menyusul memenuhi panggilan pemilik Baitullah ke Tanah Haram. Aamiin.

Perpustakaan, Rabu, 21 Juni 2023, menjelang mulih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap