Langsung ke konten utama

KETIKA JAKARTA TIDAK LAGI MENJADI IBU KOTA NEGARA

Behind The Gates. Foto Credit Marcel Ardivan on Usnpalsh.

RASANYA, saya belum berhenti menikmati selebrasi sebagai pendatang baru. Seakan, hati bak bunga mekar, segar terus. Bagaimana tidak, satu karya puisi saya lolos di antara karya para penyair hebat. Ini sesuatu banget.

Bermula dari teman sejawat; Alvian Novaldi Sutisna yang mengundang saya untuk ikut menulis puisi pada satu event bertajuk “KETIKA JAKARTA TIDAK LAGI MENJADI IBU KOTA NEGARA”. Naskah yang dipandang layak, akan dimuat dalam satu buku antologi puisi setelah melewati proses kurasi.

“Puisi, ya?” Tanya saya.

Alvian mengangguk. “Ikutlah,” katanya meyakinkan.

Saya tidak yakin, alias tidak punya “keyakinan” untuk menulis puisi. Meskipun saya menyukai dunia literasi menulis, tapi menulis puisi hampir tidak pernah saya lakukan. Apalagi menulis puisi untuk diikutsertakan pada satu event, ini lebih “mengerikan”. Tak lah, saya tak berani.

Alvian terus menggoda saya, lebih tepatnya memprovokasi. Saya bergeming. Akan tetapi, saya tak tahan. Lama-lama, saya tergoda juga. Saya mulai tanya-tanya dari sisi substansi, teknik, gaya, sebekal pengetahuan saya tentang puisi yang sangat terbatas kepada Alvian. Saya lihat, Alvian tersenyum, dan saya tahu arti senyumnya. Maka dengan senang hati, Alvian “menjamu” saya soal puisi dengan semangat karena provokasinya mulai membuahkan hasil.

Alvian mencerahkan saya, secerah wajahnya yang sebentar lagi akan mengabadikan pasangan hidupnya dalam mahligai cinta yang pernuh berkah. Sedikit ilmu soal teknik menulis puisi pun dia terangkan. Alvian memang terbiasa menulis puisi dan guru Bahasa Indonesia pula di sekolah tempat kami mengajar. Saya serius menyerap penjelasan Alvian dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya saat itu.

“Ah, susah lah itu,” gumam saya dalam hati.

Jadi, saya berkesimpulan, menulis puisi itu tidak gampang meskipun sedikit modal penguasaan menulis ada di genggaman. Persoalannya, menurut dugaan saya, menulis puisi begitu rumit. Unsur keterlibatan “ruh” agar bait-baitnya menjadi bernyawa sangat dominan. Saya nyerah di sini.|


SAYA terhenyak. Naskah puisi saya lolos kurasi. Alvian mengabarkan begitu. Namun, saya baru percaya saat hasil pengumuman dewan kurator di-forward ke WA saya. Sejak itu, seperti di awal saya katakan, selebrasi seperti tidak berakhir saya rasakan.

Memang, akhirnya saya putuskan ikut event ini. Dengan membaca bismilah berkali-kali, didampingi tasbih, istighfar, dan hawqalah, satu naskah puisi saya layangkan. Itu pun dibaca berkali-kali seperti dulu membaca surat dari kekasih.

Sejak itu saya gelisah. Akan tetapi, saya hibur kegelisahan itu kembali ke titik awal, bahwa ini tahap belajar, bukan tahap kontestasi bagi saya. Lolos, syukur. Tidak, juga tak apa. Lagi pula, lolos tidak lolos, itu bukan urusan saya lagi, bukan pula urusan Alvian. Urusan saya dan Alvian hanya ikhtiar, ambil bagian untuk meramaikan literasi.

Akan tetapi, embusan angin berubaha haluan. Dari gelisah, sekarang berubah tak sabar, kapan buku kumpulan puisi itu terbit. Meskipun bisa jadi, nilai karya puisi saya paling bawah dari daftar nilai yang lolos kurasi setelah diurutkan. Tak apa, itu tak terlalu saya perhatikan karena sudah terlanjur senang. Pembelajaranlah yang terpenting dari itu semua. Tentu saja, pembelajaran dari para penyair dengan karya-karya mereka yang memesona dalam buku itu nanti.

Meski sudah tergabung dalam WA Grup Menuju KLB 4 (Komunitas Literasi Betawi), yang menggagas event, saya sebatas silent reader. Namun, tiap kali membaca kabar perkembangan kapan akan antologi terbit, gemuruh di dada lebih ramai dari taluan bedug menjelang lebaran.

Aiih, biarlah tak jadi pujangga tulen, setengah pujangga pun tak apa. Bahagia menunggu buku terbit.

Depok, 25 Juni 2023. Akhir Pekan yang menyenangkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap