Langsung ke konten utama

Misread Google Map yang Berakhir Bahagia


Icebreaker; Pak Fuad sedang 'menggoda' santri peserta workshop. Video credit Ahmad Rudianto.

INI workshop yang menyenangkan. Semua pesertanya “makhluk halus”. Sekitar 250-an dari mereka berparas halus, imut, cantik, manis, ya begitulah. Mereka santriwati setingkat SMP dan SMA peserta workshop menulis bertajuk “Gemar Literasi”.

Tagline workshop ini mentereng: “Meluruskan Cakrawala Dunia Memperkuat Ujung Tombak Peradaban”. Merupakan rangkaian dari gelaran Wonderful Muharam Fest 2022. Diselenggarakan oleh Pengasuh santri putri Pondok Pesantren Modern Nurul Huda, Setu, Bekasi. Ini kali pertama acara Wonderful Muharam Fest digelar dan mengusung literasi menulis. Ada bazar buku juga. Keren.

Panitia penyelanggara di boot bazar buku-buku Pustaka MP.  Foto credit, Ahmad Rudianto.

Google Map

SEHARI sebelum workshop, tiga orang dari Tim Pustaka MP meluncur. Tim Membawa beberapa buku untuk bazar dan memastikan lokasi acara.

Pukul 09.00 pagi, Tim sudah berangkat dari Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Karena hari itu hari Jumat, direncanakan 45 menit sebelum Jumatan mereka harus sudah sampai. Karena itu, driver yang mengantar dipilih yang paling senior, yang kemampuan menyetirnya setara dengan pereli Paris Dakar. Paling tidak, mendekati Patrick Zaniroli, pereli asal Perancis peraih juara Paris Dakar pada 1985 dengan Mitsubishi Pajero yang dikendarainya. Bisa jadi karena ini misi penting, meskipun bukan misi rahasia. Jadi, harus dipastikan, Tim sampai di lokasi tepat waktu dan tepat lokasi. Tentu, yang paling diutamakan sampai di lokasi dengan selamat.

Jl. Setu Cisaat, Desa Cikarageman, Kec. Setu, Kab. Bekasi, Prov. Jawa Barat – 17320, inilah titik koordinat yang menjadi tanggung jawab driver mengantar Tim. 24 jam sebelum berangkat, driver sudah saya bekali dengan Share Location via WhatsApp. Maksudnya supaya jangan nyasar.

“Siap Bos, 86!” respons driver menjawab pesan saya.

Aman.

Misread Google Map

DI SINI, drama dimulai. Entah, apakah drama itu berlangsung karena misread google map, atau wrong location sharing antara saya dan driver. Tim diarahkan map ke lokasi yang unconvincing, jalan yang kian mengerucut sempit dan tak beraspal di area persawahan. Google Map, mesin pintar yang katanya memberi sinyal citra satelit, peta jalan, panorama 360°, kondisi lalu lintas, dan perencanaan rute untuk bepergian canggih itu, kenyataannya membuat driver dan Tim spaneng.

“Anda sudah sampai. Lokasi Anda ada di sebelah kanan.” Suara Google Map mengakhiri panduan dengan sangat meyakinkan.

Akan tetapi, semua melongo, sebab lokasi sebelah kanan yang dikatakan Google Map hanyalah kebun kosong. Tidak ada bangunan, apalagi bangunan sekelas pondok pesantren modern.

“Lha, kok, kebon Pak Dani. Mana pondoknya?” Ungkap driver pada ketua Tim.

“Bisa jadi, Rud. Dalam penglihatan Pak Abdul, kemarin ada Pondok pesantren di kebun itu.” Ucap Pak Dani, ketua Tim separuh berkelakar, separuh sewot.

Beberapa penduduk di area itu, pun tampak bingung melihat ada mobil tak lazim nyelonong ke situ. Mau ngapain? Barangkali di dalam benak mereka, sedang sengit berkelahi antara percaya dan tidak percaya,

“Itu ngapain orang bawa mobil masuk kebun kosong?”

“Mungkin mau mencari tempat pesugihan.”

Wkwkwkwkwk.

Saat Ketua Tim bertanya pada penduduk tentang lokasi yang hendak dituju Tim, mereka seperti orang linglung, tidak tahu lokasi yang ditanyakan. Mimik wajah mereka juga sukar digambarkan, antara curiga, heran, melas, atau bahkan seperti wajah orang yang sedang ditimpa musibah.

Saya yang disuguhi narasi detail cerita soal kesasar mereka sejak dari Madrasah Pembangunan sampai di gerbang Nurul Huda pada hari keberangkatan mengisi workshop, membayangkan, pasti isi kepala orang satu mobil itu juga kusut masai sambil meracau. “Ini maksud Pak Abdul apaan, sih? Mana hari Jumat lagi.”

Saya tidak tahu, ini tidak diceritakan, apakah Pak Dani sempat menghubungi Bu Nila atau tidak saat mereka kesasar masuk kebun kosong itu untuk minta nasihat dan petunjuk. Saya lupa pula menanyakan kepada Bu Nila di sela-sela workshop yang berjalan menurut saya very impressive.

Yang jelas, kata Pak Fuad, masalah teratasi setelah ia berpikir cepat dengan browsing. Di layar gawai miliknya muncul informasi Pondok Pesantren Modern Nurul Huda, Jl. Setu Cisaat, Desa Cikarageman, Kec. Setu, Kab. Bekasi, Prov. Jawa Barat – 17320.

Impressive Spontaneity

ANDAI saja kolaborasi spontanitas yang mengesankan pada workshop kemarin itu diulang lagi pada workshop-workshop berikutnya, rasanya saya akan punya Tim Workshop Menulis yang keren. Bisa jadi. #Cubit Pak Fuad, Pak Dani, Pak Sandy, dan Bang Rudi.#

Saya dan buku terbitan Pustaka MP untuk hadiah.  Foto credit, Ahmad Rudianto.

Beberapa waktu lalu, saya, Pak Sandy, dan Pak Firman sempat ngobrol ringan rencana menggagas acara “Writing Camp”. Selama tiga hari, di villa atau di tempat-tempat yang nyaman dan eksotik, peserta dibimbing teknik menulis sampai jadi satu naskah cerita dan dibukukan. Bila antusiasme peserta “Writing Camp” seperti antusiasme “Makhluk Halus” peserta workshop kemarin di Pondok Pesantren Nurul Huda itu, gak kebayang dahsyatnya, pasti gemuruh sepanjang hampir tiga jam workshop berlangsung akan terulang lagi. Gemuruh itu terus menggema karena sentuhan Icebreaker no. 2 di Indonesia itu, Ahmad Fu’ad Basyir.

Ayolah!


Antusiasme santri putri Pondok Pesantren Modern Nurul Huda mengikuti workshop menulis dan icebreaking. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Pertemuan Pertama yang Mengesankan

MATERI workshop yang dibawakan Tim dan saya kemarin terhitung materi menulis paling ringan. Akan tetapi, atmosfer “mengesankan” sudah kami dapat sejak mula berbincang dengan Pak Kiai di ruang kerjanya. Kesan itu semakin kuat pada detik pertama sesi workshop sampai detik terakhir acara ditutup. Saya tidak pula menduga, Pak Kiai berkenan mengikuti sesi workshop sampai tuntas. Ngeri-ngeri sedap, sih.😅

Saya dan workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Saya berasumsi, geliat pembiasaan literasi menulis paling mungkin bisa tumbuh dari pondok pesantren. Santri memiliki banyak peluang untuk tekun mengembangkan keterampilan menulis di sini. Beberapa peluang yang saya sebut, bisa jadi terlalu sedikit. Akan tetapi, yang terlalu sedikit itu sudah cukup menjadi pemicu bahwa gerakan literasi menulis yang paling ideal bisa berkembang memang dari sini.

Ahmad Sandy Rizani, arranger acara pada sesi break materi workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Pertama, pola kehidupan santri yang teratur dengan jadwal yang tetap memungkinkan santri memasukkan agenda kegiatan menulis rutin setiap hari di asrama. Pola hidup dengan jadwal yang tetap bisa diterapkan pada pembiasaan menulis menjadi rutinitas yang tetap dan terjadwal pula.

Kedua, berada dalam pengawasan ustaz/ustazah selama 24 jam. Kebiasaan menulis bisa dimasukkan pada jadwal pola pengawasan ustaz/ustazah. Setiap saat, ustaz/ustazah bisa mengecek aktivitas menulis mereka secara berkala dan berkesinambungan. Pola ini sangat efektif untuk menjaga konsistensi menulis santri berlangsung ajeg.

Dani Wahyudi, Pimpinan Pustaka MP sedang memberikan kuiz saat workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Ketiga, kaya pengalaman. Kehidupan di pondok pasti berlangsung dengan warna yang sangat menarik dan beragam. Pola interaksi antar santri, santri dengan Kiai atau ustaz/ustazah, dan santri dengan masyarakat sekitar menjadi sumber ide menulis yang tidak akan pernah habis digali. Apalagi aktivitas individu santri sendiri dalam mengatur pola kehidupannya di asrama, dari mulai tradisi makan, mencuci, piket, masuk kelas bahasa, bangun malam, cerita santri yang tidak betah dan berusaha kabur dari asrama, atau kehilangan sandal jepit berkali-kali menjadi ide-ide yang layak mereka tulis. Bahkan bisa menjadi narasi yang unik khas santri dan khas pondok pesantren.

Keempat, kebiasaan santri menulis diary untuk menumpahkan uneg-unegnya selama di asrama, bisa dipindahkan menjadi konten tulisan produktif yang bermanfaat, menginspirasi banyak orang, dan sangat mungkin mendatangkan keuntungan finansial. Banyak para penulis memulai karier menulisnya dari kebiasaan menulis diary seperti Raditya Dika, komedian yang terkenal dengan bukunya Kambing Jantan.

Nila Maulana Nur, pembina santri putri Pondok Pesantren Modern Nurul Huda memberikan cendera mat untuk Tim workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Kelima, untuk kasus Pesantren Nurul Huda, dukungan Pak Kiai yang besar pada pengembangan literasi menjadi poin yang sangat penting. Saya kira, dukungan inilah yang akan mendorong pengembangan literasi menulis menjadi tumbuh cepat. Sebagaimana tradisi pesantren, Kiai merupakan otoritas. Kata-katanya bak titah, perilakunya patron, dan sosoknya memutuskan. Bila sosok Kiai sudah memberikan sinyal lampu hijau, selesailah urusan.

Pengasuh Pondok Pesantren Modern Nurul Huda menyampaikan kata sambutan dan membuka acara workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

 Apalagi, pertemuan workshop pertama di Pondok Kiai Atok Romli kemarin sukses. Jadi, meskipun ada drama Misread Google Map hingga Tim tersesat ke kebun kosong pada hari Jumat, workshop dan layanan pondok sungguh menggoda dan mengesankan. Semuanya berakhir bahagia.

Bukan begitu, Pak Fuad?

Salam literasi.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap