Langsung ke konten utama

BARISTA MUDA KOPI KEBUN

Fitriyanti, Dwi Ferdyana, Ahmad Sandy Rizani, Abdul, Dani Wahyudi di Kopi Kebun. Foto Credit: Ahmad Rudianto.

Benua Hitam

SIAPA yang tidak mengenalnya? Ia sangat familiar. Boleh jadi, semua orang pernah merasakan sensasi rasanya. Tak terkecuali Anda. Atau, barangkali Anda adalah salah seorang dari penikmat fanatik minuman beraroma khas ini.

Dari cerita yang beredar, konon bahan dari minuman ini ditemukan di Ethiopia, Afrika, pada abad ke-9. Bermula dari para penggembala kambing di benua hitam itu yang menemukannya secara tidak disengaja. Mereka heran, ada apa dengan ternak-ternak mereka yang selalu terjaga di malam hari. Sampailah pada satu kesimpulan; dedaunan dari pohon pendek berbuah kecil-kecil yang banyak dimakan ternak mereka di siang hari. Ya, kopi! Dedaunan dari pohon pendek berbuah kecil-kecil itu adalah kopi.|

Kopi Berkelas



Kopi Pala, salah satu sajian kopi khas Kopi Kebun. Foto Credit: Kopi Kebun

KOPI sudah menjadi trend. Dari lapak-lapak warung tradisional, rumah makan, cafe-cafe, sampai restoran berkelas menyajikan kopi. Pendek kata, kopi sudah menjadi nomenklatur minuman yang amat digemari dari masyarakat biasa sampai orang gedean.

Meski demikian, bagi penikmat kopi fanatik, tempat bukanlah ukuran kepuasan menikmati kopi. Generasi 90-an ke belakang di kampung saya, “ngopi” baru disebut “ngopi” bila yang mereka teguk adalah kopi merk Liong Bulan atau Kopi Liong. Selain kopi merk itu, ’gak nendang’ meskipun di meja mereka ada sajian kopi resto paling top sekalipun.

Sampai hari ini, sisa-sisa generasi 90-an ke belakang itu masih bertahan dengan kopi Liong. Hujan badai tiada arti jika sudah berhadapan dengan seduhan Kopi Liong cap gambar naga dan bulan sabit tua. Tak ada Liong, tak ada “ngopi” kata mereka.

Di Jl. Cendrawasih 1 No.59, Sawah Baru, Kec. Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten 15415, ada tempat ngopi dengan racikan berkelas. Lokasinya tidak jauh dari kota satelit Bintaro. Meskipun berada di kawasan padat penduduk, tempat kopi ini rimbun, seperti konsep yang dikembangkan pemiliknya sebagai Kopi Kebun. Kopi di sini kopi generasi baru, generasi yang tidak sempat berkenalan dengan Liong.

Dibangun di area seluas lebih kurang 6000 meter persegi, Kopi Kebun bukan saja lapang, ia juga menghadirkan pepohonan seperti kecapi, bambu, rambutan, dan beberapa jenis pohon lain layaknya kebun. Ada juga sepetak rumpun padi. Dari batangnya yang agak tinggi, kemungkinan itu rumpun padi jenis padi beras ketan.

Lebih dari itu, sajian kopinya berkelas.|

Dari Tangan Barista Muda


Dwi Ferdyana , salah satu owner Kopi Kebun. Foto Credit: Ahmad Sandy Rizani

USIANYA masih muda. Ganteng pula wajahnya. Sekilas, rupa anak muda ini seperti WNI keturunan. Bisa jadi, tapi entahlah. Riskan juga menanyakannya soal itu. Gak penting juga buat diselisik. Apalagi, perhatian sudah terpesona pada cita rasa dari racikan kopi yang dihidangkan.

Barista Muda ini salah satu dari pemilik Kopi Kebun. Ia belajar seluk beluk kopi sampai Gayo Takengon, Aceh, ke markas GAM sebab ia penikmat kopi cukup fanatik. Dari petualangannya menguak rahasia kopi ini, Kopi Kebun adalah sintesis dari rasa kopi yang ia cicip di mana kopi dihidangkan sepanjang daerah yang dijelajahi sampai ke Aceh itu.

Ia bertutur, rasa kopi ditentukan oleh banyak faktor. Kopi Gayo yang ditanam di area dengan ketinggian 1400 MDPL (Meter di Atas Permukaan Laut) dengan 1200 MDPL, tidak sama dalam cita rasa padahal ia sama-sama kopi Gayo. Kopi yang ditanam dengan tumpang sari pohon cokelat tidak akan sama rasanya dengan kopi tumpang sari pohon pisang, singkong, atau palawija.

Begitulah kopi.

Rasa kopi memang kompleks. Kata barista muda ini lebih lanjut, 60% rasa kopi ditentukan petani, 30% rostery, dan 10%-nya ada di tangan barista.

“Makanya, kata saya, mempelajari kopi lebih sulit dari mempelajari wanita, Pak.” Kata Barista Muda ini.

Ups! Segitunya?|

Masa Lalu

HUJAN deras mengguyur. Dingin, namun tak berarti lagi sebab sesapan kopi panas Kopi Kebun membuat rasa itu luruh. Perbincangan jadi mengalir hangat hasil perpaduan kopi yang masih mengepul dan topik kopi yang menarik. Apalagi soal Rahma, dan masa lalu Barista Muda ini, rasanya perbincangan seperti jalan yang tak berujung. Oh, Rahma.

Sesekali perbincangan terputus karena backsound petir yang mengiringi hujan bersahutan. Meski begitu nyaringnya bak memecah langit, petir tidak mengganggu perbincangan sore kemarin.

“Kepikiran ‘nggak waktu di sekolah, bakalan punya usaha kopi?” Tanya saya.

Barista Muda ini menggeleng.

Memulai usaha dengan modal hampir setengah miliar, dalam jangka waktu satu setengah tahun sudah BEP (Break Even Point). Bahkan sekarang, Kopi Kebun berkembang dengan kehadiran Dapur Kebun. Di Dapur Kebun, pengunjung bisa menikmati menu kampung, menu sudah langka tapi bisa membawa pada masa lalu yang bersahaja. Sebut saja tumis genjer. Aih, sedapnya. Ada juga tumis daun pepaya dan menu lain yang ngangenin mengajak ingin kembali lagi ke Dapur Kebun.

Top, dah.|

Almamater Berkesan


Suasana Kopi Kebun di malam hari. Foto Credit: Kopi Kebun

RASANYA, waktu berjalan begitu cepat. Perbincangan harus segera disudahi sebab ia adalah batas ruang dan waktu. Hujan pun mulai reda. Tinggal rinai-rinai halus hujan yang masih jatuh dari langit Kopi Kebun.

Barista Muda ini, Dwi Ferdyana, punya kesan saat dahulu belajar di Madrasah Pembangunan (MP). Alumnus 2011 ini merasakan pengalaman belajar di MP, almamaternya dengan ragam gaya guru-guru yang masih melekat di benaknya. Ia fasih sekali menyebut gaya guru-gurunya itu, tanpa beban, lepas, dan membuncah.

“Pak Abdul kayaknya, termasuk killer waktu ngajar dulu.”

Jyaaaaaah. Nasib. Ternyata, oh ternyata.

Dwi merasa mendapat tanaman nilai-nilai dari MP yang dirasanya berguna pada kehidupannya sekarang. Dwi merasa tidak harus jumawa atau besar kepala dengan capaiannya sekarang di usia 25 tahun. Punya omset cukup besar, keren, tapi dalam takaran tertentu Dwi merasa ia biasa-biasa saja. Kedua orang tua Dwi juga mengajarkan hal yang sama; kerendahan hati, sedekah, dan shalat Subuh di masjid.

Hmm, sore itu saya dan guru-guru Dwi; Pak Sandy, Bu Fitri, Pak Dani dan sahabat kami Bang Rudi seperti belajar pada murid sendiri; belajar tentang kopi dan kehidupan.

Teruslah menebar kebaikan ya, Dwi. We are proud of you!


Perpustakaan, Kamis 19 Syawal penuh berkah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap