Langsung ke konten utama

KRISTENISASI; MASALAH KLASIK YANG SELALU BARU





Foto Credit: Aho’ Khoironi/PWMU.CO

PAGI hari ini, Rabu 09 Maret 2022, salah seorang anggota Grup WA KMMD (Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok) memosting video berisi dugaan aksi kristenisasi. Ini isu sensitif sebenarnya. Hanya saja, isu kristenisasi merupakan persoalan klasik, masalah tua yang tidak akan pernah mati. Saya rasa, kristenisasi baru berhenti apabila penduduk bumi sudah jadi Kristen semua, sudah masuk dalam daftar orang yang diselamatkan dalam versi gereja. Bukankah demikian seperti pesan dalam “Extra Ecclesiam Nulla Salus”, bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan?

Kristenisasi itu sendiri dipandang sebagai bagian dari Misi. David. J Bosch menegaskan bahwa Misi berarti penyebaran iman, perluasan pemerintahan Allah, dan pendirian jemaat-jemaat baru. Oleh ACMC (Advancing Church Mission Commitment ), makna Misi diuraikan dalam definisi yang lebih operasional. Konon, definisi ini disepakati oleh kira-kira 170 orang pimpinan gereja dan badan-badan Misi.

Dikatakan ACMC, pertama, bahwa Misi adalah setiap usaha yang ditujukan dengan sasaran untuk menjangkau melampaui kebutuhan gereja dengan tujuan untuk melaksanakan Amanat Agung dengan menyatakan kabar baik dari Yesus Kristus, menjadikan murid, dan dikaitkan dengan kebutuhan yang utuh dari manusia, baik jasmani maupun rohani.

Kedua, gereja yang aktif dan sehat adalah gereja yang mengambil sikap agresif dalam penginjilan sedunia, di mana setiap anggota jemaat melihat dirinya sebagai komponen kunci dalam menggenapi Amanat Agung dan memobilisasi sumber-sumber dayanya semaksimal mungkin untuk tugas ini.

Militansi Para Penginjil


Dogma “Extra Ecclesiam Nulla Salus” dan beberapa ayat Bibel menjadi dasar teologis yang mendorong para penginjil giat melakukan kristenisasi dengan berbagai cara. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman,” adalah Matius 28:19-20 yang menjadi dasar para penginjil menjalankan misi. Demikian pula pesan dalam Matius 28: 30 ditegaskan, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.”

Maka tidak heran, misi kristenisasi tidak mengenal wilayah teritorial. Pada kasus nusantara, Dr. Kurt Koch menduga, Penginjil Thomas yang menjalankan misi di India mungkin saja berlayar ke wilayah Indonesia bersama para pedagang India. Masa inilah yang disebut para sarjana Kristen sebagai periode “bapak-bapak Kristen awal”.

Teori lain menyebut, Portugis dengan Katoliknya adalah bangsa Eropa pertama yang berhasil mendaratkan perahu-perahunya di Maluku pada abad ke-16 lalu melebarkan ekspansinya ke Goa dan Malaka kemudian menjadikannya sebagai wilayah pusat misi Kristen di nusantara paling awal. Portugis menancapkan simbol salib di setiap daerah di mana mereka berlabuh. Berdirilah gereja pertama di Maluku pada 1522. Beberapa waktu kemudian, didatangkanlah sejumlah misionaris dari India untuk mengajarkan Injil.

Alwi Shihab, dengan mengutip H. Berkhof, menyatakan bahwa misionaris paling awal dan paling populer adalah Francis Xavier (1506-1552). Xavier tergabung dalam Society of Jesus. Sejak kelahirannya, ia dipanggil sebagai “Rasul untuk orang-orang Indonesia” karena dianggap sukses menjalankan misinya di Maluku dan Ternate. Dalam pengakuannya, Xavier menulis, “(jika) selusin saja setiap tahunnya para pendeta datang ke sini dari Eropa, maka gerakan Islam tidak akan bertahan lama dan semua penduduk kepulauan Indonesia akan menjadi pengikut agama Kristen".

Pada masa kolonial Belanda, Protestan dengan dukungan penuh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak pula ketinggalan buat menjalankan Misi Kristenisasi. Tidak kurang dari 245 pendeta disebar ke Hindia Belanda, terutama ke daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol di Maluku, Minahasa, dan lain-lain dalam misi Kristenisasi.

Akan tetapi, sasaran utama Misi Kristenisasi Belanda adalah Jawa seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Jawa dipandang paling mudah dikristenkan berdasar asumsi para misionaris begitu mudahnya Islam diterima masyarakat Jawa melalui pintu sinkretik yang kental. Terbukti, dari sekian banyak daerah yang menjadi sasaran Kristenisasi, wilayah Jawa menuai sukses luar biasa yang tidak bisa ditandingi keberhasilan misi Kristenisasi di wilayah Islam manapun.

Respons KH. Ahmad Dahlan

Dua tahun sebelum Muhammadiyah didirikan, adalah Alexander Willem Frederik Idenburg, Gubernur ­Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1909-1916, ­secara langsung menegaskan posisi dan tujuan Belanda menduduki Hindia Belanda. Sang Gubernur berkata menegaskan Belanda untuk“... tidak meninggalkan Hindia-Belanda sebelum mereka mengubahnya menjadi sebuah negara kristen”.

Bisa jadi, atas pernyataan provokatif Idenburg ini, semangat keagamaan Kiai Dahlan ­menyala-nyala. ­Didirikanlah ­Muhammadiyah oleh beliau sebagai salah satu respons nyata umat Islam terhadap ­tujuan-tujuan Belanda, khususnya ­zending, yaitu organisasi-organisasi yang menyebarluaskan ­agama Kristen Protestan ke mana dan kapan pun juga. Memang, Gubernur ­Jenderal ­Idenburg ­dengan persetujuan Susuhunan PB X dan Sri Paduka Mangkunegara VII, memberikan izin permohonan ­kegiatan pekabaran Injil secara resmi di Surakarta. Surakarta resmi terbuka untuk pekabaran Injil sejak tahun 1910. Zending der ­Gereformeerd Kerken ­kemudian mengutus Pendeta ­zending Huibert Antonie van Andel.

Kiai Dahlan menilai adanya rencana politik Kristenisasi dari pemerintah Belanda untuk kepentingan politik kolonialismenya. Di mata Kiai Dahlan, Belanda sengaja membangun konspirasi melalui kebijakan-kebijakan yang seolah netral agama, tapi dibalik itu semua mereka menjalankan misi ingin mengkristenkan pribumi.

Bagi Kiai Dahlan, kebijakan-kebijakan Belanda pada dasarnya adalah upaya penjajah untuk membendung laju pertumbuhan Islam dengan memantau dan membatasi kegiatan pengamalan ajaran Islam penduduk pribumi. Lalu, Belanda dengan lembaga zending-nya melakukan Kristenisasi kepada penduduk pribumi dengan berbagai cara seperti membuat sekolah, menerjemahkan Alkitab (ke dalam bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda), melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempat seperti memakai blangkon, memakai pakaian Jawa, memberikan lapangan pekerjaan melalui penyediaan lahan pertanian, dan lain sebagainya.

Maka, pada periode awal Muhammadiyah didirikan, persyarikatan ini merupakan respons Kiai Dahlan atas maraknya kristenisasi di Jawa. Kristenisasi harus dilawan. Dan, Kiai Dahlan melawannya dengan akal sehat, bukan dengan perlawanan fisik konfrontatif. Maka, lahirlah dari rahim Muhammadiyah sekolah-sekolah, rumah jompo, rumah sakit, panti yatim, dan berbagai amal usaha dalam bidang sosial budaya untuk mengcounter misi Kristenisasi di Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya.

Cara Cerdik Pak AR Fachrudin

Pak AR (sapaan akrab Pak AR Fachrudin) adalah Ketua PP. Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo pada 1969, Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang pada 1971, Muktamar ke-40 tahun 1978 di Surabaya, dan Muktamar ke-41 tahun 1985 di Surakarta. Di balik “kejenakaan”-nya yang populer itu, Pak AR termasuk yang amat prihatin atas fenomena Kristenisasi di tanah air.

Saat kunjungan Paus Yohanes Paulus II yang berlangsung 9 sampai dengan 14 Oktober 1989 ke Indonesia, beberapa kota seperti Jakarta, Jogjakarta, Medan, dan Maumere disambangi Sri Paus. Pak AR pun mengambil sikap. Pak AR menyempatkan menulis surat untuk Sri Paus. Surat Pak AR diberi judul ”Sugeng Rawuh, Sugeng Kondur” (Selamat Datang, Selamat Jalan). Ditulis dalam bahasa Jawa halus, kromo inggil. Surat itu berisi rasa hormat Pak AR pada Sri Paus yang dibarengi dengan rasa prihatin yang mendalam atas fenomena Kristenisasi di Indonesia.

Surat dengan sampul bergambar ilustrasi wajah Pak AR dan Sri Paus itu dicetak 2000 eksemplar. Surat itu lalu disebarkan kepada warga Katolik. Dikirim ke Akademi Kateketik di Jalan Ahmad Jazuli, koran Kedaulatan Rakyat, dan koran Bernas.

Pak AR menilai, kedatangan Sri Paus merupakan kesempatan emas untuk mengangkat isu kerukunan beragama di Indonesia yang pelaksanaannya tidak benar. Oleh karena itu, meski sedang beristirahat di rumah sakit, Pak AR tetap melakukan dakwah; memikirkan dan membela umat melalui surat. Indonesia adalah negara yang penduduknya sudah beragama Islam. Maka hemat Pak AR, jangan rakyat menjadi objek Kristenisasi yang dilakukan kalangan Katolik secara tidak gentle. Hebohlah orang Katolik dan Kristen. Akan tetapi, terbetik kabar dari orang Timor Timur, konon Sri Paus sangat berterima kasih pada Pak AR atas surat untuknya itu.

Pada kesempatan berbeda, satu kali, Pak AR pernah didatangi beberapa mahasiswa yang ngekos di sekitar Kali Code, Yogyakarta. Mereka mengadu, membawa kabar tengah ada program kristenisasi. Kata mahasiswa itu, seorang pastur datang tiap hari Ahad ke wilayah itu memberikan pengajaran pada anak-anak dengan menyelipkan misi Kristen. Sang pastur juga kerap membagi-bagikan permen dan buku tulis. Anak-anak senang dan sangat tertarik.

Pak AR mendengarkan dengan khidmat lalu membuka dialog.

“Kalau begitu apa yang sudah kalian lakukan?” Tanya Pak AR.

“Kami belum bisa apa-apa. Belum ada yang kami lakukan,” jawab mereka.

Pak AR menyelisik, menanyakan lagi apakah ada di antara mahasiswa itu yang bisa bernyanyi, memainkan gitar, membuat mainan dari kertas, mengajar berhitung, mendongeng, dan mengaji. Mahasiswa itu menjawab bisa.

Pak AR tersenyum. “Kalau begitu, biarkan Romo pastur datang setiap hari Ahad. Senin, kalian ajak anak-anak bikin mainan kertas, Selasa kalian ajari berhitung, Rabu kalian ajari menyanyi sambil maen gitar, Kamis kalian ajari mendongeng, Jum’at kalian ajari mengaji, Sabtu kalian ajari bahasa, sejarah, atau terserah kalian. Urusan permen dan buku bagian saya. Silakan ambil besok. Program dimulai minggu depan,” kata Pak AR menutup perbincangan.

Mahasiswa itu terperangah bercampur senang dengan buah pikir Pak AR. Mereka setuju dan siap menjalankan misi. Lalu, sebelum mahasiswa-mahasiswa itu pulang, Pak AR menitip lagu “Topi Saya Bundar” untuk diajarkan pada anak-anak dengan syair yang sudah diubah.
Tuhan saya satu, satu Tuhan saya, kalau tidak satu, bukan Tuhan saya.
Sebulan berlalu sudah. Para mahasiswa datang lagi menjumpai Pak AR. Mereka mengabari bahwa Romo pastur sudah tak berkunjung lagi. Pak AR tersenyum lalu menasihati mereka supaya kegiatan itu jangan berhenti. Pengajian, menyanyi, mendongeng, berhitung, bahasa, dan membuat mainan kertas harus tetap berjalan. 

Cerita tentang kristenisasi di Kali Code pun pudar. Sebuah kecerdikan melawan kristenisasi dengan anggun ala Pak AR. Pantas saja, banyak orang merindukan sosok Pak AR di persyaikatan yang kian bertambah usia.

Rasanya, para da’i, mubaligh, dan ulama persyarikatan harus lebih sigap menghadapi fenomena kristenisasi ke depan. Perlu ada kursus-kursus kristologi untuk memberikan insight agar para kader dakwah Muhammadiyah siap secara keilmuan dan kecerdikan meskipun tidak secerdik Pak AR. Hmm. Kristenisasi, memang masalah klasik yang selalu baru.

Salam sehat selalu.|

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap