Langsung ke konten utama

Wisdom di Transit Manggarai dan Gambir

Saya dan Kiai Miftah. Foto koleksi Kiai Miftah

Pada Sabtu 10 Februari kemarin, di atas Commuterline, kami bertemu. Saya senang sekali. Sesederhana itu bahagia menyeruak. Cukup dengan bertemu setelah hampir tiga puluh tiga tahun tak bersua. Terasa betul, pertemuan yang tidak direncanakan, bahagianya autentik.

Tidak semua perjumpaan sama hangatnya, sama bahagianya. Tidak. Boleh jadi karena sepanjang pengalaman bergaul, ada wisdom di sana meski seberat butiran debu. Sebaliknya, mungkin saja ada perjumpaan yang tidak pernah diharap-harap meski sudah berhadapan muka. Itu karena, boleh jadi ada unwish di masa yang lalu.

Saya sudah mengenali saat kali pertama bersitatap di Commuterline itu. Seulas senyum saya berikan. Tapi, dia belum merespons. Tidak mengapa pikir saya, asalkan dia masih menyimpan wisdom, dia pasti mengenali.

Mungkin karena perubahan fisik dan umur, atau karena takut salah orang, dia bergeming dalam acuh. Memang, waktu kerap menjadikan gerak respons melambat perlahan, apalagi mengidentifikasi segala pengalaman yang bertimbun-timbun lebih dari tiga puluh tahun. Dugaan takut salah orang pun, sering menunda merespon sapaan atau menyapa lebih dahulu.

Tapi saya percaya, feeling saya benar. Sekali lagi saya perhatikan wajahnya. Dan, saat mata kami bertemu pada kali kedua, dia merespons. Saya menangkap sorot mata bersahaja dan gerak bibir yang menyebut nama saya. Benar saja, dia mengenali saya.

Ada yang tidak berubah dari sosoknya, murah senyum yang awet. Satu lagi, tutur katanya yang sopan masih sama seperti dulu. Dialah Kiai Miftah, adik kelas saya di Madrasah Aliyah di pondok milik Allahuyarham KH. Achmad Sjaichu.

Ada pelajaran penting yang saya ambil dari berbincang dengan Kiai Miftah, yakni soal pendampingan pendidikan anak-anak di rumah. Saya catat itu dalam benak, sebab saya punya  banyak titipan mendidik anak-anak di rumah.

Senang sekali bertemu Kiai Miftah meskipun singkat sesingkat jarak tempuh Commuterline di stasiun pemberhentian sepanjang berbincang.|



Pintu Tumur Stasiun Gambir
Senin sore kemarin selepas mengajar, saya bergegas menuju Stasiun Gambir. Saya sangat ingin bertemu sahabat karib sewaktu kuliah. Dia baru menjalani pemeriksaan ke-9 di RS. Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Saya hanya ingin mendengar keluhan, perasaan, dan memastikan keadaannya baik-baik saja.

Pukul 18.04 WIB dia bilang sudah akan naik kereta untuk kembali ke Brebes. Saya kalkulasi saat berkemas di meja kerja, ada waktu lebih kurang tiga jam sebelum jadwal keberangkatannya pulang. Sudah pukul 15.00 WIB usai berkemas. Semoga bisa menjangkau.

Untuk sampai di Gambir pada jam sibuk, butuh waktu kira-kira dua jam dari Madrasah Pembangunan. Tapi, saya masih harus menunggu putri saya beberapa menit menjemput dari mengurus KRS semester akhirnya di UIN lalu mengantarnya pulang ke Depok. Dipotong waktu shalat Ashar dan menunggu kereta, bisa lebih dari dua jam perkiraan. Bisa-bisa, paling cepat sampai di Gambir pukul 17.30 WIB. Artinya, saya butuh 2 jam 30 menit waktu tempuh untuk pertemuan sepanjang tidak lebih dari 30 menit saja.

Akan tetapi, 30 menit itu sangat berharga bagi saya. Sebab dahulu sewaktu kuliah, begitu banyak wisdom di antara kami. Apalagi pertemuan ini bukan pada situasi gembira. 

Pukul 17.17 WIB saya tiba di pintu timur stasiun. Lega. Segera saya menuju ruang tunggu. Saya lihat, dia duduk tertidur. Wajahnya terlihat lelah, lelah sekali. Sengaja tidak saya usik tidurnya. Saya hanya duduk memandanginya beberapa saat.

Matanya berbinar saat saya menyapa. Mengalirlah obrolan kami sambil melepas kangen. Wajah yang kelihatan lelah dan agak pucat itu, berbinar juga seperti matanya.

Ada ketulusan saat dia berkata di sela kami berbincang. Katanya, dia bersyukur karena dia yang harus menjalani semua ini, bukan anak-anaknya.

Bersyukur?

Saya menelan ludah mendengarnya. Dia mengatakan itu seperti tanpa beban. Padahal sepanjang observasi yang tengah dijalani, dia mengaku pernah harus menebus obat seharga 10 juta untuk 99 butir pil.

Begitulah, mahal sekali kesehatan itu. Lebih mahal lagi bersedia bersyukur di kala kesehatan sedang diuji. Bagi saya, ini pertemuan yang membahagiakan. Bukan karena gurih kuah Soto Sulung stasiun Gambir yang kami nikmati sepanjang berbincang, melainkan karena mendapat pelajaran atas kesabaran dan wisdom dari sahabat di saat sempit. Semoga sehat kembali seperti sedia kala.| 

Dalam tiga hari, bertemu dengan teman lama yang berkesan itu adalah rezeki. Rezeki memang tidak melulu materi, tapi bisa berupa refleksi, kesadaran, dan pengalaman berharga.

Kita bisa belajar banyak hal dari sebuah perjumpaan. Ia seperti mutiara hikmah yang berserak. Sedangkan hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Maka, saat saya menemukannya, saya tidak ingin mengabaikannya begitu saja.|


Depok, 13 Februari 2024.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap