Langsung ke konten utama

Gaji Guru dan Konflik di Ruang Dapur


Ilustrasi Gandum. FOTO/iStockphoto

Catatan ini berangkat dari citra guru pada era keemasan Islam. Sedikit capek menyelisik beberapa jurnal berbahasa Arab dan mengikuti ulasan seorang Kiai Muda dengan wawasan sejarah peradaban Islam yang keren, catatan ini hadir mendahului Hari Guru yang akan jatuh pada Sabtu, 25 November 2023 esok. Karena itu, catatan ini juga agak panjang. Tidak seperti catatan-catatan saya yang lain.

Tidak mengapa catatan ini mendahului Hari Guru yang substansinya juga belum jelas untuk apa. Akan tetapi, substansi dari peradaban Islam yang menempatkan guru begitu terhormat, seolah nasib guru hari ini mundur ribuan tahun. Coba simak pelan-pelan catatan ini sambil ngopi-ngopi dengan kakanda atau adinda di rumah.

Pada masa peradaban Islam, gaji guru –ini salah satu poinnya–bikin ngiler. Andaikata zaman ini bisa diputar ulang –seperti cerita sinetron Lorong Waktu-nya Deddy Mizwar– banyak guru akan menekan tombol “Masa Khilafah Islam”, terlempar dan mendarat di pusat Madinah, Baghdad, Damaskus, atau Andalusia, lalu mendaftar menjadi guru atau dosen untuk mencicipi manisnya buah peradaban yang tinggi di sana.

Berangan-angan, boleh dong. Namun boleh jadi, berangan-angan masuk ke lorong waktu untuk bisa nyicipin gaji guru di masa khilafah itu bisa dicap halu di siang bolong. Guru berprestasi bukan, malah jadi ‘guru halu’. Haaaaaa.

Akan tetapi, masih bahagia guru halu ketimbang guru ngenes. Se-halu-halu-nya guru halu, masih bisa tidur nyenyak. Guru halu masih bisa senyum meskipun itu senyum utopis. Sedangkan guru ngenes, senyumnya saja senyum breakdown, apalagi tangisannya.

Link Provokasi

Kemarin, ada teman yang berbaik hati menyodorkan link berita soal kasus guru di gorontalo.tribunnews. Saya tahu maksudnya, dia ‘mancing-mancing’ agar muncul tulisan saya ala kadarnya menanggapi. Teman ini tahu betul kelemahan saya yang mudah diprovokasi bila sudah berurusan dengan menulis.

gorontalo.tribunnews memuat akar konflik guru vs yayasan di sebuah sekolah. Seperti umumnya konflik dua entitas sekolah ini meletup, lagi-lagi pangkalnya adalah urusan kesejahteraan atau urusan honor. Ini masalah klasik. 19 tahun yang lalu saya mengalami hal ini.

Kasus-kasus seperti yang diangkat gorontalo.tribunnews ini selalu berulang. Ada yang kasusnya diekspos, ada yang disenyapkan. Boleh jadi, kasus yang disenyapkan tidak terhitung intensitasnya karena terlalu sering dan senyap.

Silakan browsing saja di internet untuk membaca lebih jelas beritanya. Ketik saja keyword “Yayasan Al-Azhar Gorontalo” pada search engine Google Chrome Anda.

Martabat Guru di Era Khalifah Rasyidah

Hampir seribu tahun lalu di era khilafah, profesi paling bergengsi adalah guru. Potensi intelektual dan aktivitas mengajar mereka benar-benar ditempatkan pada maqam terhormat. Besaran gaji mereka pada masa itu benar-benar mencitrakan guru sebagai pahlawan dengan tanda jasa.

Meskipun gaji bukanlah segala-galanya, penguasa dan masyarakat menjaga muruah guru dengan memberikan gaji yang cukup. Penguasa dan masyarakat sangat mengerti bahwa waktu guru lebih banyak untuk berkhidmat kepada ilmu dan mengajar. Maka, tidak ada penghormatan bagi guru secara materi selain memberikan mereka gaji yang cukup sebanding dengan sumbangsihnya mencerdaskan umat.

Ibnu Abi Syaibah mengisahkan soal kisaran gaji seorang guru di Madinah pada masa khulafaurrasyidin. “Di Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Umar memberi masing-masing mereka gaji sebesar lima belas setiap bulan.” kata Ibnu Abi Syaibah.

15 apa? Dinar atau dirham? Kita selisik saja keduanya. Lalu timbang, yang mana yang lebih masuk akal.

Standar Dinar adalah emas, dan standar Dirham adalah perak. Satu Dinar di masa Nabi SAW setara dengan harga satu ekor kambing kualitas super. Patokan ini berdasar riwayat Imam Bukhari bahwa Nabi SAW pernah memberi Urwah satu Dinar untuk dibelikan seekor kambing.

Anggaplah hari ini seekor kambing kualitas super harganya Rp. 2.950.000. Bila harga ini dijadikan patokan Dinar, artinya gaji yang diberikan Khalifah Umar RA yang sebesar 15 Dinar kepada guru anak-anak di Madinah itu setara Rp. 44.250.000.

Ah, masa iya gaji guru untuk mengajar anak-anak sebesar itu. Boleh jadi banyak di antara kita terheran heran dan bertanya demikian. Boleh jadi pula keheranan itu lahir dari pengalaman praktis melihat atau merasakan gaji guru hari ini.

Oke lah. Mungkin gaji sebesar itu tidak rasional. Angkanya terlalu fantastis. Gaji sebesar itu, bikin guru halu bertambah halu saja. Kita konversi saja dengan ukuran 15 Dirham.

Pada masa Khalifah Umar, 1 ekor kambing kualitas super harganya 6 dirham. Bila patokan harga 1 Dirham yang dipakai adalah Rp. 491.000, berarti harga seekor kambing seharga Rp. 2.950.000. Iya, kan? Nah, bila dikalikan dengan 15 Dirham, maka besaran gaji guru anak-anak di masa Umar RA sebesar Rp.7.366.500 per bulan.

Tampaknya, angka ini lebih rasional bila dicocokkan dengan struk gaji guru di suatu madrasah di negeri antah berantah.

15 Dinar atau 15 Dirham?

kanzunqalam.com sempat menurunkan tulisan yang meluruskan kekeliruan soal gaji guru anak-anak di masa Umar RA ini. Menurutnya, yang benar bukan 15 Dinar, melainkan 15 Dirham. Namun, 15 Dinar menurut saya lebih tepat daripada 15 Dirham. Berikut alasannya.

Pertama, sudah dimaklumi, pada masa khalifah Umar RA, kebijakan perluasan wilayah Islam meraih sukses gilang gemilang. Negara di bawah khalifah Umar mencakup Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Oleh Khalifah Umar RA, administrasi pemerintah dibagi menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Konsekuensinya, wilayah Islam yang membentang sangat luas itu berpengaruh signifikan pada pendapatan negara dari berbagai sumber keuangan.

Kedua, Khalifah Umar RA adalah penguasa pertama yang menetapkan kebijakan keuangan dalam Islam. Umar lah khalifah pertama yang mengatur pendapatan dan pengeluaran keuangan, bagian-bagiannya, dan mengatur pembukuannya masing-masing.

Ketiga, khalifah Umar RA mengatur distribusi Baitul Mal kepada tiap-tiap golongan dengan besaran yang berbeda-beda, sebagai berikut:
Kepada Aisyah RA dan Abbas bin Abdul Muthalib RA masing-masing diberikan 12.000 dirham;
Para istri Nabi selain Aisyah RA masing-masing diberikan 10.000 dirham;
Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr masing-masing diberikan 5.000 dirham;
Para pejuang Uhud dan migran ke Abyssinia masing-masing diberikan 5.000 dirham;
Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Makkah masing-masing diberikan 3.000 dirham;
Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah masing-masing diberikan 2.000 dirham.
Orang-orang Makkah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham;
Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah.
Dengan catatan di atas, rasanya, gaji guru pada pada masa Khalifah Umar RA sebesar 15 Dinar, atau setara dengan Rp. 44.250.000 per bulan itu sangat masuk akal. Dengan kebijakan keuangan negara yang difokuskan khalifah Umar RA untuk kesejahteraan rakyat, termasuk guru, boleh jadi 15 Dinar bukan angka fantastis.

Kasus Perang Badar dan Upah Mengajar Calistung

Pada peristiwa Perang Badar –17 Ramadan 2 H/13 Maret 624 M–, 68 orang dari musyrikin Makkah menjadi tawanan perang. Nabi SAW menetapkan, harga tebusan tawanan saat itu nilainya 1.000 sampai 4.000 Dirham sesuai tingkat kekayaan masing-masing tawanan.

Yang menarik, bagi tawanan yang tidak sanggup membayar tebusan karena kemiskinan dan dia pandai baca tulis, dia dibebaskan dengan syarat. Syaratnya dia harus mengajar sepuluh anak-anak Madinah keterampilan menulis.

Catat, jika satu Dirham senilai Rp. 491.000 itu dikonversi dengan harga tebusan yang terendah yaitu 1.000 Dirham, itu artinya, harga satu tawanan Badar nilainya Rp. 491.000.000. Bila angka itu dibagi 12 sebagai ukuran gaji per bulan, nilainya Rp. 40.916.000.

Waw! Angka ini mendekati gaji per bulan mengajar menulis anak Madinah di masa Umar RA yang 15 Dinar per bulan.

Insentif Guru di Era Khilafah

Di era khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji guru tak ada ada obat. Cicit dari Umar bin Khattab RA, khalifah ke-8 Daulah Bani Umayyah ini pernah menginstruksikan para gubernurnya untuk mendata orang-orang yang berprofesi sebagai guru. Khalifah kemudian memerintahkan para gubernur memberikan setiap guru sebesar 100 Dinar dari kas negara. Alasan khalifah, karena guru sudah terlalu sibuk mengajar hingga tidak punya waktu banyak untuk mengurus urusan dapur mereka.

Di era Daulah Bani Abbas pada masa Harun al-Rasyid memerintah, khalifah ke-5 yang naik tahta pada usia 20 tahun menggantikan kakaknya, Abu Muhammad Musa al-Hadi (764-786 M) mengeluarkan kebijakan bikin ngiler. Guru dan ulama benar-benar dimuliakan karena aktivitas dan karya kreatif di bidang literasi ilmiah. Karya tulis guru dan ulama, baik karya sendiri maupun terjemahan ditimbang. Seberapa pun berat buku karya mereka dihargai dengan emas seberat bobot timbangan buku atau karya terjemahan mereka.

Saat Daulah Ayyubiyah berkuasa, Ayyubiyah fokus membangun angkatan perang dan program-program militer guna menghadapi pasukan salib yang menjajah sebagian wilayah kaum muslimin termasuk menguasai al-Quds. Meskipun demikian, menurut laporan Imam Suyuthi rahimahullah, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tetap memperhatikan pendidikan. Gaji guru pada masa itu bikin bengong sambil ngiler guru di suatu madrasah di negeri antah berantah.

Di madrasah yang didirikannya –Madrasah Ash-Shalahiyyah– Sultan memberikan gaji guru sebesar 40 dinar setiap bulan. Ini setara dengan Rp. 156.000.000. Gaji juga diberikan masing-masing sekitar 10 dinar atau sekitar Rp. 39.000.000 untuk pengelola madrasah. Selain gaji pokok, Sultan juga memberikan tunjangan makanan pokok sebesar 60 rithl Mesir – kurang lebih 10 kg– setiap hari kepada para guru dan pengelola madrasah.

Di zaman ini, gaji guru untuk mengajar anak-anak pada masa Umar RA yang sebesar Rp. 40.916.000 per bulan, itu bukan fakta yang musykil diterima. Tengoklah Austria. Gaji guru di negara yang terletak di bagian tengah Eropa Utara ini adalah gaji guru paling rendah di antara 10 negara dengan gaji guru tertinggi di dunia. Meskipun angkanya paling rendah, gaji rata-rata guru di Austria adalah US$ 50.000 per tahun atau setara Rp. 715.000.000 atau Rp. 56.500.000 per bulan.

Angka Rp. 56.500.000 gaji guru di Austria per bulan hari ini, selisihnya hanya Rp.15.584.000 lebih tinggi dari gaji yang diberikan Umar RA 1.379 tahun yang lalu.

Rasa-rasanya, Khalifah Umar RA lebih paham soal kedudukan ilmu dan kemuliaan guru daripada pemerintah Austria. Maka, 15 Dinar gaji guru untuk mengajar anak-anak di Madinah yang diberikan Umar RA menjadi masuk akal.

Rp. 44.250.000 per bulan untuk menggaji guru memang cukup berat untuk ukuran negeri antah berantah di mana tingkat korupsi dan kebocoran anggaran negaranya sangat tinggi. Apalagi, 1% orang terkaya di negeri antah berantah itu menguasai 46% kekayaan penduduk negeri. Ya, bagaimana bisa menggaji guru anak-anak bangsa Rp. 44.250.000 per bulan?

Dilema Antara Muruah dan Gaji

Mengajar yang dijalani guru di kelas lebih banyak berpaut pada urusan hati daripada urusan uang. Guru selalu senang menjalani hari-hari bersama peserta didik. Apalagi bila kehadiran guru selalu dirindukan murid, seketika itu juga batin guru sudah terpuaskan. Guru menjadi lupa, berapa angka gaji yang diterimanya tiap bulan saking bahagianya.

Akan tetapi, bila guru sudah di rumah, berkumpul dengan anak dan istri, lalu menengok dapurnya, maka urusan kepuasan hati di kelasnya tadi pagi, saat itu juga sudah dilupakan. Mengapa? Karena di tengah-tengah keluarga, jiwa guru sudah masuk dimensi materi. Urusannya bukan lagi kepuasan batin di kelas, melainkan soal isi dompet untuk menghidupi keluarga. Seindah apa pun cerita pengalaman mengajar yang menyenangkan di kelasnya tadi pagi tidak bisa dipakai untuk membeli nasi dan lauk pauk.

Maka, bila dapur guru sudah tidak mengepul karena logistik sudah habis, tidak ada pilihan, guru akan mencari pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup. Tidak heran, ada banyak guru honorer yang nyambi jadi ‘pilot’ ojek online dan beragam pilihan pekerjaan halal meskipun batinnya meronta-ronta. Pernahkah Anda membayangkan perasaan seorang guru yang mengantar pesanan Goofood? Dan, anak remaja tanggung yang menerima pesanana itu bergumam seakan tidak percaya: "Eh, Pak Guru?"

Pada kondisi demikian, profesi guru bukan lagi menara gading yang harus dipertahankan muruahnya di tengah-tengah keterbatasan ekonomi. Saat itu, yang diperjuangkan guru adalah merebut menara pengintai untuk melihat peluang mendapatkan uang buat menambal gaji yang bertahan hanya sampai tanggal 15 tiap bulan. Di sini, konflik di ruang dapur guru akan selalu berlangsung tiap bulan. 

Tentu, problem seperti ini dialami kebanyakan guru honorer bergaji kecil. Mereka guru-guru yang tidak mendapat tunjangan jabatan, tidak pula tunjangan kesehatan, atau tunjangan beras, atau mereka guru-guru hebat yang padat dengan job kepanitiaan yang sambung menyambung. Bukan pula guru-guru dengan latar belakang finansial keluarga yang mapan. Juga bukan guru penerima sertifikasi yang tidak pernah tahu berapa saldo tunjangan profesi itu di rekeningnya karena belum pernah sekalipun dibelanjakan sejak kali pertama sertifikasi dicairkan pemerintah.

Dilema-dilema seperti di atas sering menimbulkan problem mendasar guru bergaji kecil di negeri antah berantah ini. Maklumlah, kesenjangan penghasilan masih menganga di antara mereka. Dan, problem dilematik menyedihkan seperti ini rasanya tidak dialami para guru era Khlalifah Rasyidah atau di era keemasan Islam pada abad pertengahan.

Kembali ke Jiwa Guru

Di mana pun, konflik kerap terjadi dalam skala yang berbeda-beda kadarnya. Ada konflik yang selesai dengan diam seiring waktu berjalan. Ada konflik yang diselesaikan dengan musyawarah kekeluargaan. Ada konflik yang baru bisa diatasi bila salah satu pihak mengalah lalu menarik diri. Namun, ada juga konflik yang baru bisa diselesaikan lewat jalur hukum.

Di lembaga pendidikan, tempat proses pendewasaan peserta didik berlangsung, konflik juga kerap terjadi, baik konflik ringan atau berat. Konflik seperti yang diberitakan gorontalo.tribunnews sudah termasuk konflik berat yang dipicu soal ketidakpuasan guru pada yayasan dalam pengelolaan keuangan.

Konflik yang menyangkut urusan keuangan di lembaga pendidikan sebenarnya bisa ditekan. Syaratnya cuma satu; kembali ke jiwa guru yang autentik. Guru yang autentik adalah jiwa yang lebih fokus pada proses transmisi pengetahuan, pendewasaan, dan penciptaan kesadaran belajar berkelanjutan pada peserta didik. Di situlah energi guru dihabiskan. Akan tetapi, bila jiwa autentik guru sudah berjalin berkelindan dengan urusan keuangan, dari sinilah percikan-percikan potensi konflik kerap meletup kapan saja.

Apakah ini bererti guru tidak boleh dilibatkan dalam pengelolaan keuangan sekolah?

Boleh-boleh saja asalkan ada batasannya. Batasannya itu adalah teori “asalkan”. Asalkan mencerminkan keadilan distribusi, asalkan tidak ada campur tangan leader yang terlalu jauh kepada tim yang ditugaskan mengelola satu kegiatan dalam soal pembiayaan dan fee, asalkan formulasi honorarium diberikan sesuai beban kerja, asalkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dijalankan, dan asalkan-asalkan yang lain yang sesuai prinsip-prinsip pengelolaan keuangan. Bila teori “asalkan” ini dijalankan, meskipun gaji guru belum setara pada masa khalifah Umar RA, jiwa autentik guru akan tetap lestari. 

Selamat menjelang Hari Guru.

Ruang Guru, Kamis, 23 November 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap