Langsung ke konten utama

Generasi Baper

Baper. Resource https://tirto.id/

SEJAK internet mendunia, smartphone jadi personal device, dan media sosial jadi diary, orang bisa membaca isi hati dan isi pikiran orang lain melalui status, notes, atau video reels yang diposting melalui akun media sosial masing-masing.

Dunia jadi lebih ramai dengan loncatan efisiensi waktu yang tidak terkira. Dalam hitungan detik, guru di sebuah sekolah di Ciputat misalnya, bisa tahu seorang temannya yang tinggal di luar Jawa sedang makan di restoran mewah menikmati menu ‘Pecak Oncom’ dari unggahan video di Instagram miliknya.

Guru di Ciputat itu terbit air liurnya sebab unggahan itu dilihatnya di saat jam makan siang. Sayangnya, dia sedang tidak punya uang untuk membeli nasi karena tanggal tua. Jadilah dia guru baper dan menganggap postingan itu ‘tidak manusiawi’. Lalu, dorongan baper itu menuntun jarinya memberi komentar : “UNFAEDAH!”. Ditulis dengan CapsLock. Di-bold pula. Diikuti tanda seru (!). 

Dan, ‘perang’ dimulai.

Unggahan Pecak Oncom itu hanya ilustrasi. Akan tetapi, begitu banyak fakta kasus serupa terjadi. Kasus baper sebenarnya, tapi kadang berujung di pengadilan. Gara-gara status, video atau foto unggahan, baper bermain, orang berkelahi di media sosial, dan berlanjut pertarungan itu di Meja Hijau. Ini baper membawa sengsara. Padahal, mental anti baper adalah salah satu saham utama literasi digital dalam transaksi di media sosial.

Orang baperan itu seperti orang yang ketakutan tidak kebagian oksigen. Otak dan dadanya jadi sempit. Orang nge-share video atau foto, disangka sedang menggurui dia. Apa pun status orang yang dia baca, seolah itu khusus ditujukan pada dirinya. Membaca quote milik teman sebelah, disangka sedang menyindir. Membaca notes yang beririsan dengan pengalaman pribadi, disangka sedang menguliti aibnya. Lha?

Jadi, apa pun unggahan orang di akun media sosial, semua dipersepsikan sebagai tengah menunjuk batang hidungnya. Semua pesan itu dijustifikasi sebagai ‘ini gue banget’ dalam konotasi negatif. Ini baper level paling kacau dalam komunitas media sosial.

Orang baperan itu lupa, setiap pengguna media sosial dengan segala konten yang mereka unggah,  itu punya kepentingan masing-masing dan sangat subjektif sifatnya. Itu hak dia, subjektivitas dia.

Hanya saja, memang, dan ini karakter dunia maya yang tanpa batas, subjektivitas itu menjadi area terbuka di mana setiap orang akan menafsirkan sesuai dengan subjektivitasnya masing-masing juga. Lha, kalo baper jadi modal analisis untuk menafsirkan status atau konten orang lain, sampai kucing berjengger pun hidup dalam komunitas medsos tidak akan pernah bisa tenang.

Akan tetapi faktanya, hari ini medsos memang selalu 'hamil' dan melahirkan jutaan generasi baper.  Perangkat teknologi jadi bukan membuat hidup mereka menjadi mudah, malah menambah susah hati, susah tidur, susah makan, susah be a be, susah napas, akhirnya susah sosialisasi.

Baperan itu tidak ada obatnya, kecuali ojo baperan. Supaya punya sikap ojo baperan, pahami saja nasihat Grand Syeikh Al-Azhar Asy Syarif, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi.

Kata Syaikh: ”Likulli syakhsin nazhratuh, fa laa ta’tab nafsaka lituhsina ‘inda al-aa’khariin”. Jadi, “Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing, maka tak usah berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain”.

Begitu kata Syeikh Thantawi yang diangkat menjadi Mufti Negara Mesir pada 28 Oktober 1986, diangkat sebagai Syekh Universitas Al-Azhar pada 1996 menggantikan Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, dan wafat pada Rabu pagi, 10 Maret 2010 waktu Saudi Arabia. Syeikh Thantawi wafat di Saudi dalam usia 82 tahun akibat serangan jantung.

Salam anti baper.

Ruang Guru. Rabu, 4 Oktober 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap