Langsung ke konten utama

PAKE GIGI

Mengupas kelapa dengan gigi. Foto Credit : https://pekanbaru.tribunnews.com/

Muhammadiyah itu seperti gadis belia, cantik memesona. Padahal, usianya sudah tidak muda lagi, sudah satu abad lebih. Akan tetapi, semakin tua usianya, Muhammadiyah semakin menarik di mata banyak orang.

Bukan hanya orang bangsa sendiri yang terpesona pada Muhammadiyah, orang bule juga banyak yang kepincut. Sebut saja James L. Peacock, Clifford Geertz, Howard M Federspiel, dan Robert van Niel yang menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern-moderat. Mereka-mereka ini, selalu memasang mata dan telinga mengikuti kiprah Muhammadiyah, menuliskannya dalam jurnal, buku, dan hasil penelitian lalu mempublikasikannya. Bagi mereka, Muhammadiyah begitu menarik dicermati.

Robert Hefner, juga termasuk bule yang kepincut itu. Di mata Hafner yang Guru Besar Antropologi Boston University, Muhammadiyah merupakan organisasi masyarakat (Ormas) agama tersukses di dunia.

Demikian juga orang Asia, akademisi dan penulis bermata sipit, ada yang begitu respect pada Muhammadiyah. Prof. Mitsuo Nakamura lah orangnya. Ia sangat konsisten mengamati dan mengkaji organisasi yang berdiri pada 1912 di Kauman. Antropolog dari Universitas Chiba, Jepang ini bahkan meluangkan waktu puluhan tahun untuk mendalami Muhammadiyah. Dan jangan heran, hampir di semua perhelatan Muktamar Muhammadiyah, Nakamura selalu hadir di arena muktamar “saking” ia tertarik dengan Muhammadiyah. Bukunya, Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin: Studi Tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Sekitar 1910-2010 merupakan karya monumental Nakamura tentang Muhammadiyah.

Ada lagi Hyung Jun Kim, orang Korea. Menurut Guru Besar Antropologi Kangwon National University Korea Selatan ini, Muhammadiyah terlalu tawadhu walaupun Muhammadiyah sedemikian besarnya. Dalam tesisnya, Organisasi Islam besar pada umumnya membuat para pengikutnya memiliki sifat fanatik. Pandangan subjektif bahwa organisasinya adalah yang paling benar diikuti dengan kebanggaan memakai simbol atau identitas organisasi. Uniknya, menurut Kim, hal semacam ini tidak ditemukan di dalam Muhammadiyah.

Menurut kaca mata Kim, kultur rasio sangat kuat di Muhammadiyah, demokrasi, dan kesetaraan di Muhammadiyah membuat aktivis dan anggotanya tidak terjatuh dalam fanatisme kelompok. Maka, sepanjang pengamatan Kim, jarang ditemukan kasus para Pengurus Muhammadiyah yang sangat fanatik, tapi tidak menunjukkan fanatiknya itu terhadap orang dengan merayu orang lain untuk bergabung dengan Muhammadiyah.

Begitulah ketertarikan para akademisi, baik ia bule atau bermata sipit pada Muhammadiyah dalam bentuknya yang positif konstruktif. Meskipun demikian, sikap mereka itu tidak membuat Muhammadiyah menjadi jemawa, besar kepala, dan terlena-lena. Biasa saja, proporsional Muhammadiyah menanggapinya.

Di Indonesia, tempat lahir Muhammadiyah, beragam orang menilai organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Ada yang menilai positif, ada juga sebaliknya, negatif alias kurang senang. Orang yang menilai Muhammadiyah dalam bingkai positif bisa jadi karena ia anggota persyarikatan, para simpatisannya, atau “orang Muhammadiyah” yang punya kepentingan politik karena masa Muhammadiyah yang cukup besar dan potensial suaranya didulang.

Menjelang pemilu atau Pilkada, orang model ketiga ini banyak bermunculan. Para politisi itu “jatuh cinta” pada Muhammadiyah. Mereka ini orang partai yang sok kenal dan sok dekat dengan Muhammadiyah. Akan tetapi, ujung-ujungnya ngajak nyoblos calon dari partainya. Jadi, semacam istilah berlaku “ada udang di balik tepung”. Bersikap manis jatuh cinta pada Muhammadiyah karena ada maunya.

Orang pribumi yang “kurang senang” dengan Muhammadiyah juga tidak sedikit. Kadang, ketidaksenangan itu ditunjukkan dengan cara yang sangat naif plus agak-agak norak. Sebegitu naif dan noraknya, kapasitasnya mentereng, gelar akademis tinggi, strata 3 pula yang disandang, tapi kualitas kritiknya macam orang tidak sekolah. Kritiknya lebih mengarah pada lambe nyinyir dan bernuansa membenturkan Muhammadiyah dengan pemerintah.

Ada juga yang tidak senangnya pada Muhammadiyah ditunjukkan dengan cara membabi buta. Sampai harus menghalalkan darah dan mengeluarkan ancaman “bunuh” bagi warga Muhammadiyah. Serem.

Kelakuan seperti ini mirip karakter Marsose, serdadu bayaran Belanda, soldier of fortune yang dibentuk untuk melawan pribumi dan siapa saja yang melawan Belanda. Karena dibayar Belanda, Marsose asyik-asyik saja membunuh sesama pribumi. Marsose atau Londo Ireng itu, kadang berkelakuan lebih Belanda dari orang Belanda itu sendiri.

Meskipun demikian, Muhammadiyah menyikapinya dengan santai, tidak anarkis, dan dewasa. Muhammadiyah lebih memilih jalur hukum. Jalur hukum itu, pun ditempuh sebagai hak jawab, bukan semata menuruti permintaan “Si Marsose” sendiri. “SILAKAN LAPORKAN KOMEN SAYA DENGAN ANCAMAN PASAL PEMBUNUHAN !!! SAYA SIAP DIPENJARA” Begitu ia menantang.

Ada juga oknum Ustaz yang kurang suka dengan Muhammadiyah. Meskipun dijuluki “Ustaz”, tapi komentarnya tidak sekelas Ustaz. Muhammadiyah disebutnya sekte dan anggotanya disuruh melek dalam unggahan di sosial media miliknya. Lalu, di akhir statusnya dia berkoar “Ber-Islam lah tanpa ormas".

Di akun Facebooknya, ia menulis "Yang masih menganut sekte Muhamm*diyah segeralah bertaubat, ini sisi kesamaannya dengan Syiah. Apa yang dicari dari ormas pemecah belah ini? Berislam lah tanpa ormas," katanya lagi.

Saya jadi bertanya, menurut Ustadz itu, Muhammadiyah itu sekte atau Ormas? Lier.

Bisa jadi benar analisis Hyung Jun Kim, bahwa Muhammadiyah terlalu tawadhu di mana tidak ada kasus para Pengurus Muhammadiyah yang merayu orang lain untuk bergabung dengan Muhammadiyah. Sebaliknya, orang seperti oknum Ustaz di atas itu yang getol sekali merayu dan menarik-narik orang Muhammadiyah masuk ke dalam lingkaran dakwahnya. Mereka shalat di masjid-masjid Muhammadiyah, menggunakan fasilitas AUM Muhammadiyah, tapi memengaruhi warga Muhammadiyah untuk mengikuti cara-cara beragama ala mereka. Bahkan pada batas tertentu, mereka terang-terangan menentang kebijakan Muhammadiyah seperti soal penggunaan hisab haqiqi wujudul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Ramadhan dan 1 Syawal yang digunakan Muhammadiyah.

Secara umum, saya pribadi, menaruh simpati dengan model dakwah harakah mana pun selama dakwahnya berpegang pada Alquran dan Sunnah. Simpati juga dengan semangat anti bid’ah mereka, sebab Muhammadiyah punya spirit yang sama dalam konteks bid'ah. Sebelum peristiwa perbedaan hari raya kemarin itu, simpati pada dakwah model oknum Ustaz di atas masih saya rawat.

Namun sekarang, rasa simpati itu mulai menurun kadarnya. Sebabnya bukan soal perbedaan pada pilihan soal hisab-rukyat, tapi karena ekses sesama warga Muhammadiyah. Ada anak dan bapak harus bersitegang, padahal sama-sama “orang penting” Muhammadiyah hanya untuk meyakinkan agar mereka tetap shalat Id bersama-sama jamaah Muhammadiyah. Lha, ini kan, aneh.

Bisa jadi pula, diam-diam ada warga Muhammadiyah dan Aisyiyah yang harus mengurut dada sebab ada dari keluarga mereka yang memilih menyempal berbeda shalat Id dan hari raya karena lebih memilih keputusan Itsbat. Bukan semata soal perbedaan pilihan dan keyakinan, sekali lagi bukan, ini soal eksesnya, ada bekas goresan di hari di mana hati harus melepaskan segala sumbatan. Warga persyarikatan, apalagi pengurus Muhammadiyah memang sepatutnya mengikuti keputusan Muhammadiyah, agar tidak ada ekses sesama mereka.

Sepuluh atau lima belas tahun lebih sedikit ke belakang, fenomena seperti di atas tidak terjadi di kalangan Muhammadiyah di sebuah kampung antah berantah. Semua warga Muhammadiyah satu barisan, berjalin berkelindan, dan gembira dalam satu shaf yang rapi di tanah lapang untuk shalat Id dan berhari raya. Andaikan terjadi perbedaan hari raya, semua tetap berdiri pada shaf shalat Id yang sama dan berhari raya di hari yang sama sebagaimana maklumat PP Muhammadiyah. Tua-muda, laki-perempuan, remaja-kanak-kanak, pengurus-simpatisan, semua gembira dalam kebersamaan raya yang khidmat. Satu harmoni yang elegan.

Sekarang tidak lagi harmoni, kurang elegan. Ada riak-riak kecil. Entah, siapa yang mula pertama menciptakan riak-riak itu. Meskipun ada yang tahu, tapi barangkali enggan untuk dikatakan. Akan tetapi, suatu hari, biarlah dituliskan saja sejarah awal mula riak kecil itu bergelombang. Biar warga Muhammadiyah di kampung itu melek.

Ber-Islam-lah tanpa Ormas!

Pernyataan seperti ini tidak salah, tapi tidak maslahat. Memang, menjadi muslim akan tetap muslim meskipun tidak bergabung pada Muhammadiyah atau Ormas mana pun. Islamnya sah. Amal salihnya sah. Kalau mati, sangat mungkin akan masuk surga dengan bekal Islam dan amal salihnya itu.

Perlu juga dimengerti, mengkultuskan sebuah Ormas Islam itu tidak baik. Menganggapnya remeh dan mengkerdilkannya juga sama tidak baiknya. Sebab, Ormas Islam atau katakanlah Muhammadiyah, itu hanya sarana, hanya alat, bukan tujuan. Muhammadiyah adalah sarana atau alat untuk menegakkan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar agar terbentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya menurut paham dan keyakinan Muhammadiyah di atas dasar Alquran dan sunnah.

Ibarat mengupas kelapa, orang boleh menggunakan golok agar bisa lebih mudah mengeluarkan dagingnya. Bagi yang tidak mau menggunakan golok, ia tetap bisa mengeluarkan daging kelapa itu dengan digarot misalnya, walaupun sedikit lebih menyulitkan dan bisa jadi ada gigi yang patah atau bibir pecah-pecah meskipun menggunakan gigi juga masih termasuk menggunakan alat. 

Akan tetapi, baik yang menggunakan golok atau gigi, sama-sama bertujuan mengeluarkan daging kelapa dari tempurungnya. Hanya saja, mengupas kelapa menggunakan golok lebih maslahat daripada menggunakan gigi. Itulah sisi maslahat-nya ormas, maslahat Muhammadiyah hadir di tengah-tengah umat.

Bayangkan, ada berapa rumah sakit dan klinik yang didirikan Muhammadiyah, Perguruan Tinggi, sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, dan pondok pesantrennya, panti asuhannya, dan lebih dari 1 Triliun digelontorkan Muhammadiyah membantu pemerintah untuk penanganan Covid-19 kemarin. Bukan untuk pamer, tapi untuk menguji otak supaya otak berfungsi soal penting dan tidak pentingnya kehadiran Ormas. Semua aset yang disebutkan di atas ringan sekali didirikan Muhammadiyah karena ditanggung renteng, sama-sama bergerak dalam satu ikatan organisasi.

Sendirian? Apa sanggup seperti Muhammadiyah? Pasti sanggup. Akan tetapi, tidak sedahsyat, se-spektakuler, secepat, sebesar, dan se-maslahat yang dikerjakan Muhammadiyah.

Jadi, masih mau mengupas kelapa pake gigi? Silakan, itu pilihan. Yang pasti, Muhammadiyah memang selalu menarik dibincangkan orang.

Depok, 30 April 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap