Langsung ke konten utama

Seminar Menulis di Bawah Flamboyan


Flamboyan di IAIN

Siapa yang ingat flamboyan di halaman kampus IAIN (sekarang UIN) Jakarta?

Tentu, alumni IAIN tahun 1995 ke belakang pasti masih ingat. Saya termasuk alumni yang tidak bisa melupakan flamboyan itu. Apalagi saat ia mekar, merah menyala. Saya bahkan sempat menuliskan syair lagu karena begitu menikmati saat ia berbunga. Hanya saja, saya sudah lupa liriknya kecuali hanya beberapa kalimat saja. Catatannya pun, entah raib kemana.
Wahai kau burung penyanyi
jangan dulu engkau dendangkan
tunggulah sampai ia datang
memberiku seikat kembang
Wahai kau bunga flamboyan
jangan dulu gugur ke bumi
Tunggulah sampai ia datang
memberiku sekeping hati
Hemm. Terasa terlempar lagi ke masa-masa kuliah dulu.
Akan tetapi, flamboyan itu sudah tidak ada lagi. Ia hanya hidup dan berbunga di benak saya yang kian menua pada setiap musim.

Sahidup dan Program Konversi

Sahidup, kawan seiring saya di kampus. Kami sama-sama mahasiswa konversi dari program Diploma II ke jenjang Strata 1 Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam. Seingat saya, Sahidup bersama Mas Tohari, Yadi Setiadi, Mukhson, dan beberapa teman yang lain gigih memperjuangkan agar mahasiswa Diploma bisa melanjutkan ke jenjang S-1 setelah lulus nanti. Berkat lobi-lobi Dekan (waktu itu Prof. DR. Salman Harun, MA), Rektor IAIN, Prof. Dr. Quraish Shihab, MA menerbitkan Surat Keputusan yang mengizinkan mahasiswa Diploma untuk melanjutkan studi pada 1995 melalui program konversi.

Keputusan itu tentu sangat menggembirakan. Kakak kelas yang sudah lulus, merasakan berkahnya. Beberapa dari mereka kemudian ikut mendaftar mengambil program konversi ini. Sedangkan adik kelas, tinggal mengikuti tanpa mereka harus ikut tes masuk IAIN lagi. Saya sendiri tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Karena itu, bagi saya, Prof Dr. Quraish Shihab bukan saja Rektor yang mengantarkan saya bisa menikmati kuliah di program S-1, melainkan yang menyambung nasihat ayah agar saya tetap mencoba peruntungan masuk IAIN.

Pada 1993, saya keluar dari sebuah kampus setelah duduk satu semester. Saya keluar karena sejak semula memang ingin masuk IAIN. Hanya karena kampus yang saya masuki pada 1991 itu kampus baru dan menawarkan biaya murah, niat masuk IAIN tahun itu urung. Akan tetapi, apa lacur, saya tidak betah dan keluar di kampus murah itu. Dan belakangan, ternyata itu kampus abal-abal, kampus bermasalah.

Lalu, pada 1993 saya mendaftar IAIN dan ditolak. Bagian pendaftaran mengatakan, ijazah saya sudah lewat dua tahun, tidak bisa untuk mendaftar S-1, kecuali mendaftar untuk program Diploma II. Saya tidak tertarik. Saya memilih menarik berkas, sebab tujuan saya bukan kuliah program Diploma.

Pulang dengan wajah lesu membawa sesal. Menyesal, mengapa dulu saya tergiur masuk kampus baru. Akan tetapi, ayah memberi saran yang masuk akal.

“Kalau kamu ngotot ingin kuliah S-1 di sana, selamanya kamu tidak bisa masuk IAIN. Ambil saja program Diploma itu. Lagi pula, kamu sudah mengajar di MI. Ijazah Diploma, kan untuk program MI. Kalau nanti kamu diterima, ya syukuri saja, akhirnya kamu bisa kuliah di IAIN.”

Begitulah. Akhirnya, saya ambil program Diploma dan bisa konversi ke S-1. Pada 1999, saya lulus IAIN. Tahun 2000 wisuda. Sementara Sahidup, teman yang mengantarkan riset saya dan lulus, belum lulus-lulus. Beruntung, Sahidup pun akhirnya lulus. Karirnya makin moncer di kampung halaman sebagai PNS dan Kepala Sekolah.

Di Bawah Flamboyan

Sahidup, mahasiswa asal Brebes teman akrab sekelas di Kampus Pembaharu. Duduk berdekatan saat kuliah, memilih dosen S2 atau S3 untuk mata kuliah tertentu di mana ada banyak teman malah menghindar dari dosen tersebut, teman diskusi sebelum maju membawakan makalah, dan banyak hal selama kuliah. Sahidup pula yang mengongkosi riset saya ke Garut. Ini momen yang tidak bisa saya lupakan. Karena, riset itu adalah penentu studi saya selesai di IAIN.

Satu kali, di bawah pohon flamboyan, saat kami menuju ruang kelas, Sahidup menemukan sesuatu. Bukan dompet, bukan uang, atau barang berharga lainnya. Akan tetapi, Sahidup tampak sangat senang menemukannya. Diberikannya sesuatu itu pada saya.

Hanya sebuah ID Card. Bisa jadi, pemiliknya tidak sadar ID Card-nya jatuh saat melintas atau sedang terburu-buru menuju rapat atau urusan penting di kampus. Kami sama-sama beruntung menemukan sesuatu itu. Hanya saja, belakangan saya sedikit menyesal, mengapa bukan kami berdua saja yang mengantarkan kepada pemiliknya waktu itu. Kami memilih menyerahkan pada Satpam untuk disampaikan kepada sang pemilik. Padahal bisa saja, jika kami yang mengantarnya langsung dan diterima di kantornya, kami punya kesempatan untuk berbincang meskipun tentulah beliau sangat sibuk.

Saya tidak pernah melupakan nama yang tertera pada ID Card tersebut: M. Quraish Shihab.

Ke Kampus Lagi

Selasa 12 Oktober 2021 esok, saya mendapat undangan sebagai pembicara pada acara Seminar Ketrampilan Menulis Efektif dan Produktif Bagi Calon Alumni. Seminar bertema “Kiat Menulis Efektif dan Produktif di Era Pandemi” dijadwalkan mulai pukul 10.00 sampai dengan 12.00 WIB bertempat di Gedung Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ini kali kesekian saya ke kampus setelah lulus. Memang, semuanya serba berbeda dari IAIN yang dulu. Kampus ini sudah berganti nomenklatur menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Gedungnya yang berubah megah, tidak lagi pantas diejek sebagai kampus yang lebih mirip “Pabrik Kaos” oleh Daoed Joesoef–seperti cerita dosen saya sewaktu kuliah–sebagai bentuk sikap memandang sebelah mata kampus Islam. Tentu saja, saya tidak akan menjumpai lagi flamboyan di sini, kecuali kenangannya yang tetap merah menyala.

Diundang almamater sebagai narasumber untuk berbagi pengalaman, tentu berbeda dari datang sebagai bekas mahasiswa yang mengurus legalisir atau urusan administrasi kampus. Bila dirasa detak jantung pelan-pelan, hari ini pun sudah terasa detaknya sedikit lebih cepat dari sebelum mendapat undangan. Sebab, saya merasa masih belum bisa move on dari flamboyan. Membayangkan menjadi pembicara tamu pada Selasa esok pun, laiknya membawakan “Seminar Menulis di Bawah Flamboyan”.

Semoga dimudahkan. Allahumma yassir wa laa tu'assir.[]

Komentar

  1. Mantap,sukses untuk Sang kyai Adung !

    BalasHapus
  2. Kamu layak mendapatkan itu semua sahabatku, tanpa kamu mungkin saya lulus lebih lama, ingatan saya seolah kembali ketahun kuluah, dimana tempat kumpul kita dibawah pohon flamboyan, sayang sudah tinggal kenangan, semiga sukses selalu, kalau dekat aky pastikan duduk di barisan depan, untuk belajar cara menjadi seorang penulus

    BalasHapus
  3. Alhamdulillaah kami turut bangga padamu.Kami jg pernah menyanyikan karyamu walaupun sdh lupa liriknya hanya judulnya yg masih ingat"Two D Group".Senyum khasmu jg masih terbayang...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap