Jumat, 15 Agustus 2025
Kyai Adung is Back?
![]() |
| Kyai Kocak. Narasi "Wajahmu" dalam karya komik. Komik milik Vbi_Djengotten. |
“Buku apa yang paling menarik Anda baca?Dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. Sampai hari ini, “Kyai Kocak” masih menyepi sambil menikmati kenangan masa lalu yang yang terus bergulir menjauh.
Ini pertanyaan biasa, hampir setiap pembaca bisa menjawab. Boleh jadi jawaban tiap pembaca tidak sama, bergantung latar masing-masing. Akan tetapi, lain hal bila pertanyaannya demikian: “Buku apa yang paling menarik saat Anda tulis?”
Saya punya jawaban spesifik untuk pertanyaan kedua: “Kyai Kocak”, buku ringan dengan karakter “Kyai Adung”, tokoh fiksi yang kolot, tapi cerdas, juga jail. Dari semua buku saya yang sudah terbit, “Kyai Kocak” punya tempat tersendiri.
Setidaknya ada tiga momen yang menjadikan buku ini paling berkesan buat saya. Pertama, ini debut pertama menapaki ikhtiar menjadi penulis. “Kyai Kocak” adalah representasi isi pikiran saya merespons sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis) dengan cara yang jenaka, tapi, argumentatif dalam karya buku.
Kali pertama, “Kyai Kocak” menyapa pembaca melalui “ijtihad” self-publishing, ditangani Kang Dani Ardiansyah, pemilik Indie Publishing saat itu. Dari Indie Publishing, saya berkenalan dengan Vbi_Djenggotten, nama pena komikus Veby Surya Wibawa, ikon dari komik “33 Pesan Nabi”. Saya pernah bertemu Mas Vbi sekali di Cirendeu. Kami mengobrol sambil makan sop kambing. Kata Vbi, buku “Kyai Kocak” itu “komikal” banget.
“Kyai Kocak” besutan Kang Dani sempat merebut hati pembaca. Satu waktu, saya iseng menyambangi beberapa toko buku Gramedia sekitar Jakarta Selatan dan Depok. Kepada “penunggu” Gramedia, pura-pura saya tanya-tanya soal “Kyai Kocak”. Rupanya, laku juga buku ini. Beberapa Gramedia stok “Kyai Kocak” bahkan sudah kosong.
Kedua, pertemuan saya dengan Woro Lestari di Facebook membuka jalan “Kyai Kocak” bertemu tokoh perbukuan nasional dan penulis-penulis berkelas di penerbit Pustaka Al-Kautsar. Ini adalah pengalaman mahal. Setidaknya bagi saya, penulis pemula yang belum punya bentuk bisa tersambungkan dengan Pustaka Al-Kautsar penerbit buku-buku Islam ternama dan penulis-penulis andal. Apatah lagi melalui Pustaka Al-Kautsar, “Kyai Kocak” dapat panggung Islamic Book Fair. Jadi, bertemu Pustaka Al-Kautsar adalah takdir kedua, panggung Islamic Book Fair dan royalti adalah berkahnya.
Ketiga, forum akademisi INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) pernah memberi kesempatan saya mengulas buku ini dalam diskusi INSISTS Saturday Forum. INSISTS Saturday Forum itu forum ilmiah dan bergengsi. Narasumbernya cendekiawan kaliber nasional dan internasional yang getol membendung arus liberalisme. Pesertanya aktivis kampus, aktivis dakwah, dosen, dan peminat pemikiran kelas berat.
Saya memang sempat sering mengikuti forum ini sebagai peserta. Akan tetapi, diberi kursi untuk duduk sebagai narasumber di INSISTS Saturday Forum, itu “bagai memindahkan air ke bukit”. Bersyukurnya saat itu, sampai juga air itu saya pindahkan ke bukit meski dengan gemuruh dada seperti suara beduk bertalu-talu.
Begitulah dahulu “Kyai Kocak” pernah mengisi hati sebagian kecil peminat buku. Ia buku ringan yang penulisnya sempat merasakan “kursi angker” intelektual INSISTS Saturday Forum. Maka, pengalaman menarik menulis buku ini jadi dikenang lagi. Hanya saja dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya.
Saya punya jawaban spesifik untuk pertanyaan kedua: “Kyai Kocak”, buku ringan dengan karakter “Kyai Adung”, tokoh fiksi yang kolot, tapi cerdas, juga jail. Dari semua buku saya yang sudah terbit, “Kyai Kocak” punya tempat tersendiri.
Setidaknya ada tiga momen yang menjadikan buku ini paling berkesan buat saya. Pertama, ini debut pertama menapaki ikhtiar menjadi penulis. “Kyai Kocak” adalah representasi isi pikiran saya merespons sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis) dengan cara yang jenaka, tapi, argumentatif dalam karya buku.
Kali pertama, “Kyai Kocak” menyapa pembaca melalui “ijtihad” self-publishing, ditangani Kang Dani Ardiansyah, pemilik Indie Publishing saat itu. Dari Indie Publishing, saya berkenalan dengan Vbi_Djenggotten, nama pena komikus Veby Surya Wibawa, ikon dari komik “33 Pesan Nabi”. Saya pernah bertemu Mas Vbi sekali di Cirendeu. Kami mengobrol sambil makan sop kambing. Kata Vbi, buku “Kyai Kocak” itu “komikal” banget.
“Kyai Kocak” besutan Kang Dani sempat merebut hati pembaca. Satu waktu, saya iseng menyambangi beberapa toko buku Gramedia sekitar Jakarta Selatan dan Depok. Kepada “penunggu” Gramedia, pura-pura saya tanya-tanya soal “Kyai Kocak”. Rupanya, laku juga buku ini. Beberapa Gramedia stok “Kyai Kocak” bahkan sudah kosong.
Kedua, pertemuan saya dengan Woro Lestari di Facebook membuka jalan “Kyai Kocak” bertemu tokoh perbukuan nasional dan penulis-penulis berkelas di penerbit Pustaka Al-Kautsar. Ini adalah pengalaman mahal. Setidaknya bagi saya, penulis pemula yang belum punya bentuk bisa tersambungkan dengan Pustaka Al-Kautsar penerbit buku-buku Islam ternama dan penulis-penulis andal. Apatah lagi melalui Pustaka Al-Kautsar, “Kyai Kocak” dapat panggung Islamic Book Fair. Jadi, bertemu Pustaka Al-Kautsar adalah takdir kedua, panggung Islamic Book Fair dan royalti adalah berkahnya.
Ketiga, forum akademisi INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) pernah memberi kesempatan saya mengulas buku ini dalam diskusi INSISTS Saturday Forum. INSISTS Saturday Forum itu forum ilmiah dan bergengsi. Narasumbernya cendekiawan kaliber nasional dan internasional yang getol membendung arus liberalisme. Pesertanya aktivis kampus, aktivis dakwah, dosen, dan peminat pemikiran kelas berat.
Saya memang sempat sering mengikuti forum ini sebagai peserta. Akan tetapi, diberi kursi untuk duduk sebagai narasumber di INSISTS Saturday Forum, itu “bagai memindahkan air ke bukit”. Bersyukurnya saat itu, sampai juga air itu saya pindahkan ke bukit meski dengan gemuruh dada seperti suara beduk bertalu-talu.
Begitulah dahulu “Kyai Kocak” pernah mengisi hati sebagian kecil peminat buku. Ia buku ringan yang penulisnya sempat merasakan “kursi angker” intelektual INSISTS Saturday Forum. Maka, pengalaman menarik menulis buku ini jadi dikenang lagi. Hanya saja dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya.
^o^
Pukul 16.44 sore, Kamis 7 Agustus 2025, Mbak Aminah Mustari menyapa melalui WA. Lama sekali tidak tersambungkan dengan penulis keren di Pustaka Al-Kautsar ini. Maka dengan segera pesan saya balas. Syukur-syukur ada kabar yang melimpah berkah.
Kamis kemarin, 14 Agustus 2025 kami bertemu di bilangan Pondok Cina. Hampir satu jam kami berbincang menjajaki kemungkinan “membangunkan” “Kyai Adung” si “Kyai Kocak” yang masih semedi. Hanya saja, apakah “Kyai Kocak” masih kontekstual sebagai counter liberalism yang gaungnya mulai meredup?
Dahulu, “Kyai Kocak” turun gunung di tengah badai hiruk-pikuk liberalisme. Hari ini, angin liberalisme memang masih bertiup meski tidak sekencang 13 tahun lalu saat pertama kali “Kyai Kocak” bersilat lidah melawan liberalisme dengan caranya sendiri.
Boleh jadi, “Kyai Adung” harus dibisiki untuk menyudahi semedinya. Angin grafik liberalisme memang sudah melandai, tapi, grafik angin buzzer dan relawan pemuja tokoh politik sedang menggila dan kehilangan akal sehat. Ini realitas yang membikin gerah seperti gerahnya “Kyai Adung” kepada para pemuja Sepilis.
Sampai hari ini, “Kyai Kocak” masih menyepi sambil menikmati kenangan masa lalu yang yang terus bergulir menjauh. Lalu, akankah “Kyai Kocak” akan kembali turun gunung, Mbak Aminah?
Ciputat, Jum’at penuh berkah, 15 Agustus 2025.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)

Tidak ada komentar :
Posting Komentar