Sungai Vertikal Rocky Gerung dan Tatal Pohon Yudi Latif




Dr. H. Sutrisno Muslimin (Ketua KPH Bakti Mulya 400) Rocky Gerung, Prof. Yudi Latif, Ph. D, dan Balques Manisang pada sesi berfoto usai acara Diskusi Panel. Foto milik Akun Instgarm Bakti Mulya 400.

Jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.

Kejutan di Pagi Hari

“Saya ingin guru saya pintar-pintar. Guru saya terus bertumbuh. Mindset-nya tidak tetap, tidak fixed mindset, tapi growth mindset. … guru-guru saya kelihatan agak fresh hari ini. Karena hari ini, kita juga akan kasih gaji ke-15.” Sutrisno Muslimin, KPH BM 400.

Saya mengenal baik Sutrisno Muslimin, pemikiran, dan filosofi hidupnya. Maka, saat keinginan memiliki guru-guru pintar disampaikannya saat membuka Seminar Nasional dan Diskusi Panel bertajuk: "Membangun Kurikulum Etika Lingkungan dan Pembelajaran Mendalam Berbasis SDGs: Integrasi Filsafat, Nilai Kebangsaan, dan Kebijakan Berkelanjutan di Sekolah” Kamis, 10 Juli di BM 400, Cibubur, saya sudah tidak terlalu terkejut. Juga soal “gaji ke-15” itu.

Gaji ke-15 itu informasi di pagi yang cerah seperti ini sangat “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” sebagai konteks apresiasi. Guru mana yang tidak semringah? Wahai guru BM 400, “Maka nikmat-nikmat Tuhan kalian yang manakah yang kalian dustakan?” Ahahahah.

Atmosfer “mindful, meaningfull”, dan tentu “joyful” yang ditebar Sutrisno itu semacam kedermawanan manusiawi. Ini filosofi bahagia untuk mencerna topik berat semisal SDGs (Sustainable Development Goals) yang dihubungkan dengan kurikulum. Jadi, seberat apa pun topik yang dibicarakan, asalkan ia dimulai dengan kegembiraan, beda hasilnya apabila memulai topik dengan hati kusut masai dan wajah muram meskipun topik yang dibicarakan seringan kerupuk kulit.

Sebagai peserta tamu pada diskusi ini, saya juga semringah. Sebentar setelah acara dibuka, Rocky Gerung dan Yudi Latif pasti akan menyajikan menu growth mindset. Sebagai tamu, ini nutrisi otak buat saya, “otak ke-15” yang saya inginkan terus bertumbuh.

“Tidak ada sekolah hebat, bila tidak diisi guru-guru hebat.” Sutrisno mengatakan itu di podium kehormatan saat dia membuka acara. Dihadirkannya Rocky Gerung dan Yudi Latif, itu jalan ikhtiar agar sapaan “guru hebat” itu punya nilai karena otak diberi nutrisi yang cukup. Jadi, “guru hebat” itu bukan sekadar sapaan basa-basi yang tidak punya korelasi dengan ikhtiarnya.

Sungai Vertikal Rocky Gerung

Balques Manisang, Host TV One sang moderator membuka acara dengan salam. Ow, rupanya Balques itu lulusan Universitas Islam Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi. Mengertilah saya, pantas salamnya fasih. Jurnalis ini dikenal sebagai reporter yang kritis dan berani dalam menyuarakan kebenaran. Diskusi panel ini jadi seperti perpaduan host, narasumber, dan topik panel yang presisi rasanya.

Rocky Gerung langsung menghentak nalar pada menit pertama bicara. “Jadi sebetulnya, menjadi guru artinya, menuntun negeri ini untuk tiba pada janji Proklamasi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru diberi beban itu oleh founding parents kita,” tegas Rocky.

Rocky lalu mengutip buku Yudi Latif yang memberi dasar filosofis soal ini: Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jadi menurut Rocky lagi, “tak ada keparipurnaan negara tanpa ada peran guru. Negara menjadi paripurna kalau di dalamnya ada kegiatan berpikir. Jadi kita terhubung dengan sejarah pendirian bangsa kita. Bung Karno adalah guru, Panglima Soedirman adalah guru, Bung Hatta adalah guru, Natsir adalah guru, Buya Hamka adalah guru, Sutan Sjahrir adalah guru. Jadi, keguruan itu sebetulnya fondasi epistemik dari negeri ini.” Begitu kata Rocky.

Bukan Rocky bila tidak membuat otak ini bergelombang. Filsuf dan Pengamat Sosial-Politik ini membagi pikirannya supaya orang ikut mikir problem yang dia sodorkan. Dibukalah hasil riset di Eropa oleh Rocky bahwa pendidikan di Indonesia hari ini berada pada status berbahaya. Karena dosen memplagiasi, karena dosen bermain, karena artikel bodong dipaksa masuk ke jurnal-jurnal predator—jurnal ilmiah yang memprioritaskan keuntungan finansial di atas kualitas penelitian. Jadi terlihat, bahwa ada jarak moral antara apa yang pernah dibayangkan oleh the founding parents dahulu, dengan yang dilaksanakan sistem pendidikan kita hari ini. Ini problem besar. Siapa yang bertanggung jawab pada kemandegan berpikir ini.

Begitulah Rocky. Dia tajam menyorot soal kemandegan berpikir ini dengan analogi: “jalan tol makin panjang, jalan pikiran makin pendek.” APBN dihabiskan untuk selesaikan tol, sementara kurikulum dibiarkan terlantar. Karena itu katanya perlu ada upaya untuk menghasilkan Indonesia kembali berpikir.

Rocky menyebut, setiap hari kita dilibatkan dengan kurikulum tanpa paham bahwa dunia sedang menagih kurikulum baru yang namanya environmental ethics, environmental logic supaya kita bisa cum island SDGs. Namun, pemerintah berupaya mem-playtener SDGs padahal sebetulnya mereka sudah gagal dari awal.

Karena hal yang paling strategis dari SDGs adalah memelihara konservasi lingkungan yang dua dekade diucapkan sebagai “New Kind of Revere”—orang yang menghormati alam bukan hanya lewat kata, tapi lewat tindakan nyata—di dalam kurikulum dunia. Akan tetapi, Rocky menyayangkan anak Indonesia, peneliti Indonesia, dosen Indonesia, pejabat Indonesia, menteri Indonesia, saat tiba di seminar-seminar global baik Asia dan Eropa, mereka “be do not speak environmental ethics” padahal karena grammer pengetahuan.

Otak saya mulai terang saat Rocky mempertegas paparannya yang terlalu filosofis serta kekayaan diksi yang seolah tidak ada habis-habisnya dia lontarkan dengan dunia sekolah. Rocky berkata, sangat bagus bila sekolah mengucapkan kepedulian lingkungan di kelas-kelas maupun di halaman sekolah sebagai bentuk kurikulum environmental ethics, environmental logic.

Rocky melansir kebijakan hijau yang digagas Kapolda Riau sebagai perbandingan. Dia tahu persis dan terlibat soal ini. Bayangkan, dalam sepuluh tahun terakhir, hutan di Riau tinggal 60 persen, sekarang tinggal 12 persen. Ini terjadi karena persoalan pengabaian environmental ethics, environmental logic. Di hulu pohon ditebang, di hilirnya para komisaris menikmati keuntungan dari proyek hilirisasi tambang. Hulu sungai ibarat sarang bagi-bagi rezeki segelintir orang tanpa paham apa itu environmental ethics, environmental logic.

Rocky menyinggung kasus ekstrem yang dialami Nauru. Tahun 2000 kata Rocky, Nauru masih menjadi negara terkaya di dunia karena kandungan kekayaan fosfat berlimpah yang dieksploitasi secara besar-besaran. Tapi, dalam dua dekade, Nauru menjadi negara bagkrut, menjadi negara paling miskin di dunia, dikirim makanan oleh PBB. Tanahnya rusak akibat eksploitasi sebab pemimpinnya tidak mampu berpikir ekologis. Indonesia punya potensi itu kalau pemimpinnya tidak punya kualitas leader, kalau pemimpinnya kualitas dealer.

Satu poin yang juga menghentak dari Rocky Gerung soal kurikulum yang berpihak pada etika lingkungan ketika dia mendefinisikan sungai versi kurikulum lama. Dalam kurikulum lama, sungai diartikan sebagai air yang mengalir dari hulu ke laut. Tapi hari ini, sungai yang tiba di muara adalah sisa-sisa dari sungai vertikal. Rocky melihat pohon itu sebagai sungai. Setiap satu batang pohon adalah sungai vertikal. Ini definisi sungai dengan cara berpikir ekologis.

Bagaimana bisa?

Dalam satu batang pohon, di dalamnya ada pembuluh kapiler. Oleh matahari, dipanggil tiba di daun melalui proses fotosintesis. Maka, terbentuklah klorofil atau zat hijau daun. Ditimbunlah di situ karbohidrat. Diuapkan pada malam hari menjadi karbon dioksida (CO2). Dan disejukkan di pagi hari karena pohon memproduksi oksigen (O2). Jadi, kita ajarkan kepada anak, bahwa konsep lama tentang sungai itu sudah berubah. Sekarang, setiap pohon adalah sungai, maka menebang pohon artinya mengotori sungai. Jauh betul lompatan logikanya. Tapi, itulah yang kita sebut do think the unthinkable yang tidak pernah terpikir kebanyakan orang.

Konsep-konsep seperti inilah yang dipertandingkan pada seminar-seminar internasional, soal lingkungan. Indonesia sibuk dengan hilirisasi. Rocky cerita ketika ditanya seorang mahasiswa saat dia memberikan kuliah di Warsaw, Warsawa, Polandia. Mahasiswa itu tahu bahwa hari ini Indonesia sedang mengupayakan proses nilai tambang. Artinya, musti ada energi bersih. Akan tetapi, pertanyaan ekologisnya adalah, proses hilirisasi itu di hulunya berkumpul para komisaris yang bagi-bagi rezeki tanpa paham apa itu etika lingkungan. Hak pengelolaan hutan dan tambang hanya diberikan kepada beberapa gelintir orang dari oligarki. Hutan di Riau yang tinggal 12 persen itu menjadi contoh jalan pikiran Rocky bahwa etika lingkungan diabaikan atas nama hilirisasi.

Terlalu padat poin yang disampaikan Rocky Gerung pada sesinya. Terlalu filosofis juga uraiannya sehingga agak payah saya mencerna. Pada bagian yang terlalu filosofis itu saya skip pada tulisan ini namun tidak mengurangi kekayaan pesan dari awal hingga akhir Rocky bicara. Saya cukupkan pada statement akhir Rocky tentang apa yang mesti dibekalkan pada anak-anak didik kita supaya suatu waktu mereka akan katakan “now to can talk BM 400 do speak environmental ethics.”

Tatal Kayu Prof. Yudi Latif, Ph.D

Melontarkan pertanyaan mumpung narsumbernya berkelas. Bertanya itu penting, jarang bertanya kecuali kepada narasumber berkelas itu pilihan. Foto milik Anisa Muthi.

Di awal sesi, Prof. Yudi Latif berangkat dari mengutip pendapat Hatta yang mengulas hubungan pendidikan dan kebudayaan. Khas akademisi, penerima Nabil Award dari Yayasan Nation Building pada 2012 ini memulai sesi dengan definisi. Akademisi ini berusaha menyatukan tema etika lingkungan dengan kurikulum deep learning, kebijakan keberlanjutan di sekolah, budaya, dan filsafat pendidikan.

Pendidikan dimaknai Yudi sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hidup. Jadi, pendidikan bicara tentang bagaimana proses memanusia. Apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri itu adalah proses pembudayaan. Di sinilah bedanya pendidikan dan pengajaran. Pengajaran lebih mengarah kepada kognitif atau skill.

Bila hewan umumnya belajar melalui nature (insting), belajarnya manusia tidak hanya lewat insting, tapi by nature, dengan budaya. Jadi cara manusia belajar dari kehidupan itu dimediasikan dengan kebudayaan dan juga mereproduksi kebudayaan. Oleh karena itu, setiap kita mulai belajar tentang kurikulum pendidikan, pada hakikatnya mencari tahu tentang yang koheren antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan kebudayaan, manusia bisa memaknai sesuatu atau membuat sesuatu itu bermakna. Tanpa kebudayaan, hidup akan meaningless. Maka, pendidikan menjadi jembatan agar hidup manusia itu punya makna, punya budaya.

Sistem makna ini biasanya diungkapkan dalam nilai. Pertama manusia harus tahu nilai etis, soal mana yang baik mana yang buruk. Kedua, manusia harus tahu nilai ilmiah atau nilai logis, yakni soal mana yang benar mana yang salah. Ketiga, manusia juga harus tahu nilai estetis, soal mana yang pantas mana yang tidak pantas. Keempat, manusia juga harus tahu nilai pragmatis, soal maslahat dan mudharat. Pada dasarnya, pendidikan harus mengajarkan manusia nilai-nilai—etis, logis, estetis, dan nilai pragmatis—itu.

Yudi Latif menyebut empat nilai-nilai di atas sebagai empat kelopak bunga dengan satu tangkai. Tangkai dari semua nilai itu namanya spiritualitas. Yudi Latif mengaitkannya dengan mazhab Eduard Spranger yang menyatakan apa pun yang tampak dari peradaban kita—peradaban itu korup atau tidak, merusak lingkungan atau tidak—itu jelas-jelas cerminan dari jiwa budaya kita. Dan, inti dari jiwa budaya kita adalah nilai-nilai spiritual. Sementara Arnold Toynbee yang juga dikutip Yudi latif budaya itu berlapis-lapis. Lapisan paling luarnya adalah sain dan teknologi, di dalamnya lagi estetika, di dalamnya lagi etika, paling dalam lagi adalah visi spiritual.

Jalan berpikir ini sesuai dengan jalan berpikir filsafat think. Jadi, apa yang disebut sebagai berpikir, reasoning, nalar, itu sebenarnya hanya aspek paling permukaan dari kesadaran (uppermind). Di bawahnya ada kesadaran yang lebih mendalam yang disebut citta. Citta berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna kekuatan yang tumbuh dari dalam. Dalam istilah Islam, kekuatan terdalam itu namanya dzauq, qlabu. Qalbu itu instrumennya, dzauq itu epistemologinya, cara memperolehnya. Jadi, ada jenis pengetahuan didasarkan pada kemampuan mengakses inti terdalam dan daya intuitif. Dengan kemampuan spiritual manusia bisa melihat kebenaran seperti kristal.

Kekuatan-kekuatan daya spiritual ini biasanya diolah oleh kekuatan-kekuatan meditatif, riyadhoh atau latihan-latihan spiritual yang mengantarkan kita bisa menemukan semacam pancaran cahaya yang tadinya gelap tiba-tiba menjadi menyala. Biasanya daya spiritual ini membuat orang mampu memobilisasi energi rohani, membangun daya harmoni, dan membangun relasi kita dengan kosmos yang damai. Pancaran spiritual ini yang men-drive energi kreatif orang, harmoninya, dan daya hidupnya.

Ekspresi spiritual ini diarahkan pada tiga hubungan harmoni: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas ini yang ilahi, dunia tengah ini yang insani, dunia bawah ini alam semesta. Dalam konsep Islam ini yang disebut hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal ‘alam. Yang ketiga ini sering dilupakan, padahal Islam sangat menekankan relasi harmoni dengan alam. Dalam konteks ibadah haji misalnya, setelah memakai kain ihram ada larangan membunuh binatang dan menebang pohon.

Dalam konteks ini, Yudi Latif mengutip Al-Qur’an surah Al-An’am [4] : 38 sebagai kaitan term komunitas umat yang makna sebenarnya sebagai satu totalitas makhluk hidup. "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu." Dalam konteks Indonesia dan Pancasila, tiga domain ini diwakili sila pertama tentang Ketuhanan, sila kedua Kemanusiaan, dan sila ketiga Persatuan; persatuan manusia dengan tanah airnya. Ketiga sila ini punya relasional yang kuat.

Hari ini, berbagai lembaga bisnis dan lembaga pendidikan mengajarkan Mindfulness —keadaan pikiran yang muncul dari perhatian yang disengaja, saat ini, dan tanpa penilaian. Ini adalah kemampuan untuk hadir sepenuhnya, menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar dan dalam diri kita pada saat ini. Coba sekali-kali saat mengajarkan berdoa kepada anak-anak bukan hanya doa’ yang dizahirkan, tapi masuk dalam ritme detak jantung dan berdoa dalam hening. Yudi Latif menyebut teknik hening cipta. Hening cipta merupakan instrumen untuk menjangkau aspek intuitif yang paling dalam yang akan memancarkan daya spiritual.

Maka sepanjang sejarah pendidikan, lima nilai-nilai: etis, logis, estetis, pragmatis, dan nilai spiritual lah yang konstanta diajarkan. Dan, namanya pendidikan itu seperti filosofi pohon, seperti ilustrasi dalam Qur’an surat Ibrahim ayat 24. Sebaik-baik manusia itu seperti pohon yang baik. Pohon yang baik itu akarnya kuat menghujam dalam, batangnya menjulang tinggi, kemudian berbuah sepanjang tahun.

Dalam konteks pendidikan, Yudi Latif menggambarkannya sebagai pohon pendidikan. Akarnya itu adalah karakter. Pendidikan tahap awal seperti PAUD seharusnya hanya belajar dasar-dasar menjadi manusia baik; seperti menghormati orang lain, mengapresiasi, membuang sampah pada tempatnya, dan belajar mandiri. Pada tingkat SD anak belajar dasar-dasar menjadi manusia pembelajar; seperti menulis, membaca, menghitung, menutur yang terkoneksi dengan nilai-nilai karakter. Lalu pada tingkat menengah belajar dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sifatnya lebih generik memaparkan berbagai jenis ilmu pengetahuan dasar. Barulah masuk pada perguruan tinggi belajar menjadi manusia berwawasan generalis yang memiliki keahlian spesifik.

Akar pohon itu adalah nilai-nilai karakter, cabang dan rantingnya adalah keterampilan, skill, dan tata kelola, dahan yang rindang adalah kolaborasi-kolaborasi, barulah yang disebut buahanya itu adalah kreativitas dan inovasi. Maka, pendidikan itu menyasar manusia berkumpul dengan karakter, berkumpul dengan pengetahuan, berkumpul dengan skill. Inilah manusia yang harus dibangun dengan kurikulum apa pun.

Deep learning di mata Yudi Latif itu satu pembelajaran yang memberikan kajian pada proses. Setiap orang itu punya potensi dasarnya, punya moral perbes dalam hidupnya, punya passion-nya masing-masing, dan proses itu harus dihargai. Oleh karena itu, tidak semua hasil proses belajar harus diukur dengan skor yang anehnya di sekolah disebut nilai. Nanti, ada hal yang kontradiktif antara konsep deep learning dengan soal ujian berbasis multiple choice dan hasil asesmen dalam bentuk skor yang tidak mengukur secara utuh nilai estetis, nilai etis, dan nilai spiritual.

Paparan panel dari Yudi Latif saya akhiri dengan contoh yang dilontarkannya saat dahulu mendampingi anaknya sekolah di Australia. Ini tentang kurikulum berkelanjutan dan pembelajaran berwawasan ekologis. Ada pohon besar yang sudah tua. Sudah lama pohon ini mengayomi lingkungan di dekat sekolah. Saatnya tiba ia harus ditebang karena faktor usia. Dikhawatirkan apabila ada angin kencang, ia tumbang dan membahayakan nyawa banyak orang.

Di Australia, menebang pohon tidak seperti pembalak hutan di Indonesia yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan yang berkelanjutan. Tidak memedulikan environmental ethics dan environmental logic seperti yang diusungkan Rocky Gerung. Bayangkan, setelah pohon itu ditebang, anak-anak sekolah diajak hadir di pokok pohon. Mereka mengelilingi pokok pohon yang sudah tumbang itu. Mereka dituntun menyampaikan selamat jalan secara simbolik pada “sungai vertikal”yang selama ini telah setia menyuplai oksigen kepada mereka.

Tidak sampai di situ, setiap anak diberi beberapa tatal (pecahan kayu pohon) dibungkus tisu untuk dibawa pulang dan mereka menyimpannya di rumah. Apa maksudnya? Untuk menyambungkan jiwa anak agar mereka terus tersambung dengan pohon yang sudah berjasa itu pada kehidupan mereka meski sekarang pohon itu sudah tiada. Bukankah ini bentuk environmental ethics dan environmental logic pada lingkungan berkelanjutan yang paling dasar?

Saya kehabisan argumen untuk mendalilkan bahwa Rocky Gerung dan Prof. Yudi Latif, Ph.D membawakan panel ini luar bisa menarik. Tapi, harus jujur saya akui, paparan keduanya masih sangat filosofis buat saya. Butuh waktu jeda mencerna apa yang mereka paparkan untuk diterjemahkan pada tataran praksis. Akan tetapi, boleh jadi bagi Insan BM 400, Bung Rocky dan Yudi Latif sekadar menguatkan cita-cita pendidikan mereka yang sudah melompati batas pendidikan di Indonesia yang terlalu mainstream.

Tengkyu Pak Tris dan BM 400.

Depok, 12 Juli 2025.
Sabtu yang penat bersama flu yang belum mereda.

Kiai Dahlan Michael Fullan Abdul Mu’ti dan Insect Hotel

Saya dan Tim Penyelaras E-Modul MTs. Pembangunan Jakarta di Grand Zuri, BSD City. Foto milik Fauzan Salmanto.

Schooling without learning is a terrible waste of precious resources and of human potential" – The South Asian paradox. International Journal of Educational Development. Volume 103 2023, 102904.

Pada 2 sampai 4 Juli kemarin, berkesempatan menyerap paparan dari Nur Luthfi Rizqa Herianingtyas, M.Pd. Bu Rizqa —panggilan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dalam kesehariannya— termasuk salah seorang dari Tim penyusun Naskah Akademik Pembelajaran Mendalam Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua yang digagas Mendiknas, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M. Ed. Bu Rizqa ada banyak mengulas soal deep learning. Untuk ini, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Fauzan, M.A. Direktur Pendidikan Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta yang mencantumkan saya sebagai peserta pelatihan.

Terima kasih ini bukan sekadar soal menikmati fasilitas di Grand Zuri. Atau, distingsi hotel di BSD ini yang menyediakan menu mie instan rebus atau goreng yang jarang ditemui di hotel-hotel lain. Pak Fauzan membisiki saya, hanya di hotel ini ada menu model begini, katanya. Ah, sebagai penyuka mie, saya ingin mencoba. Dan, hmmmm, rasanya sama dengan buatan istri saya di rumah, hanya beda kelas saja. šŸ˜‚

Sejak masih di Grand Zuri menyimak paparan Bu Rizqa, saya teringat pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan. Seperti ada benang merah yang menghubungkan pemikiran pendiri Muhammadiyah itu dengan Michael Fullan dan Pak Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini. Saya katakan demikian, sepanjang membaca literatur Kiai Dahlan dan pemikirannya tentang pendidikan, serpihan jejak konsep deep learning bisa dijumpai di beberapa sumber. Memang tidak sama persis dan presisi, tapi spiritnya sangat jelas terbaca.

Sutrisno Kutoyo misalnya, dalam bukunya Kiai Haji Ahmad Dahlan pada halaman 69 memuat cita-cita Kiai Dahlan. Ditulis di sana, melalui Muhammadiyah, Kiai Dahlan ingin “Memajukan serta menggembirakan pelajaran dan pengajaran agama Islam, memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam bagi seluruh anggota-anggota.” Begitu bunyinya. Diksi “menggembirakan” yang dipilih Kiai Dahlan, serupa dengan “joyful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas. Ini serpihan yang pertama.

Serpihan kedua bisa dijumpai dari kasus “Al-Maun” yang merekam protes Soedja', santri Kiai Dahlan. Kisah ini begitu populer di kalangan orang Muhammadiyah. Farid Setiawan, dalam bukunya Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942 pada halaman 269-270 ada merekam dialog santri Sodja’ dan Kiai Dahlan soal “Al-Maun” ini.

"Kiai, mengapa hanya QS. Al-Ma'un yang diajarkan pada kami?" protes Soedja'. Terjadilah dialog singkat antara kiai dan santrinya berikut ini:

"Apa kamu sudah mengerti betul?" tanya Kiai Dahlan kepada Soedja'.

"Kita sudah hafal semua, Kiai," jawab Soedja'.

"Kalau sudah hafal, apa sudah kamu amalkan?" tanya Kiai Dahlan.

"Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Ma'un pun berulang kali kami baca untuk rangkapan Fatihah di kala kami solat?” Jawab Soedja'.

"Bukan itu yang saya maksudkan. Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu, mulai pagi ini saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa pulang ke rumahmu masing-masing. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan-minum dan tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga, pengajian saya tutup dan saudara-saudara melaksanakan petunjuk-petunjuk saya tadi."

Sekiranya saya tidak salah memahami tujuan dan pesan dari dialog Kiai Dahlan di atas, rasanya ia serupa dengan “mindful learning” dan “meaningful learning”-nya konsep Pembelajaran Mendalam Mendiknas juga. Dengan dua serpihan ini, sampailah saya pada satu kesimpulan bahwa sejak awal Kiai Dahlan sudah mewacanakan deep learning kepada santrinya dan pada pendidikan Muhammadiyah yang digagasnya meskipun tidak dinyatakan sebagai deep learning secara eksplisit.

Maka, menjadi tidak mengejutkan bila pada 15 Februari 1923, Kiai Dahlan meresmikan klinik kesehatan Muhammadiyah yang sekarang menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah Jl K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Ngupasan Gondomanan Yogyakarta sebagai bagian dari proses pembelajaran mendalam, bermakna, dan menggembirakan dari QS. Al-Maun. Sebulan sebelumnya, Kiai Dahlan lebih dulu meresmikan Rumah Singgah untuk orang miskin, PKO (Poesat Kesengsaraan Omoem). Pada waktu itu, siapa saja yang merasa sengsara tanpa melihat suku, agama, ras maka wajib ditolong oleh PKO Muhammadiyah. Dan, 23 Februari 1923 Kiai Dahlan wafat dengan meninggalkan legacy proses dari deep learning yang menginstitusi.

Ada dua hal besar yang ditinggalkan Kiai Dahlan. Pertama, bahwa Muhammadiyah adalah implementasi deep learning itu sendiri. Kedua, bahwa pengajaran dan pembelajaran Islam harus bermakna, mendalam, dan menggembirakan yang menawarkan problem solving dari permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Lahirnya PKO, Rumah Singgah, Panti Asuhan, Rumah Sakit dan berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, rasa-rasanya tidak salah bila kehadirannya dinyatakan sebagai buah dari implementasi deep learning pengajaran Kiai Dahlan.|

Pembelajaran Mendalam gagasan Pak Mu’ti ini bertemu pula pada pemikiran Michael Fullan. Pemikiran Fullan tentang deep learning tampaknya banyak dirujuk oleh Tim Deep Learning Kemendikdasmen. Framework Dimensi Profil Lulusan (DPL) PM mengambil 6 kompetensi yang digagas oleh Fullan. “Deep Learning is the process of acquiring these six global competencies: character, citizenship, collaboration, communication, creativity, and critical thinking."

Pada aspek prinsip, pengalaman pembelajaran, dan kerangka pembelajarannya pun tampaknya merujuk Fullan. Fullan memang mengulas banyak hal tentang deep learning ini dalam karyanya "Deep Learning: Engage the World Change the World” yang terbit pada 2018.

Pesan yang disampaikan Fullan, deep learning itu bukanlah kurikulum, melainkan pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran baru ini dibangun untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi global melalui pemecahan masalah kehidupan nyata. Jadi, pembelajaran didekatkan pada problem lingkungan sosial peserta didik.

Pendekatan ini melibatkan perubahan peran guru. Di sini, guru menjadi aktivator dalam merancang pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Jadi, peran guru lebih dari sekadar pengajar. Fullan juga menekankan bahwa deep learning bukan hanya tentang penguasaan konten, tapi juga tentang pengembangan karakter, kewarganegaraan, dan keterampilan abad ke-21 yang dikenal sebagai "6Cs" yang sudah disinggung di atas.|

V. B Kovač dkk, dalam “The Why, What and How of Deep Learning: Critical Analysis and Additional Concerns” menyebut mengapa deep learning ini penting. Pertama, untuk merespons masyarakat global modern yang berubah dengan cepat. Kedua, untuk memproses sejumlah besar informasi baru yang terus masuk. Ketiga, untuk menghadapi kemunculan teknologi-teknologi baru. Keempat, untuk memahami bentuk-bentuk pengetahuan baru dalam dunia yang kompleks.

Bagi V. B Kovač, deep learning itu mencari makna dan pemahaman dengan mengungkap pola yang dapat memperkecil jarak antara potongan-potongan pengetahuan yang tampaknya tidak berhubungan. Maka, deep learning memungkinkan proses transfer pengetahuan ke bidang mata pelajaran lain. Dengan demikian, deep learning memfasilitasi pemahaman mendalam peserta didik terhadap konsep-konsep yang kompleks.

Langkah-langkah yang ditawarkan Kovač bagaimana deep learning itu dijalankan, pertama secara bertahap peserta didik mengambil peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran mereka. Kedua, mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari dalam situasi yang tidak familiar. Ketiga, melihat relevansi dan konteks, berpikir dengan cara baru, bersikap kreatif, dan penuh rasa ingin tahu. Keempat, mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam satu konteks ke situasi baru untuk menemukan solusi. Kelima, melihat keterkaitan antar mata pelajaran dan secara aktif melakukan refleksi terhadap proses belajar mereka sendiri maupun siswa lainnya. Keenam, perlu merumuskan pertanyaan serta mencari jawabannya melalui upaya kolaboratif.|

Entah, apa karena saya yang belum memahami betul konsep deep learning ini, deep learning terasa terlalu saintifik pada mulanya. Ia sangat cocok untuk mata pelajaran science semisal IPAS atau Matematika. Rasanya, untuk mata pelajaran seperti Al-Qur’an Hadits, Fikih, Akidah Akhlak, apalagi SKI, kerangka operasional deep learning masih berkabut karena banyak berada pada domain afeksi.

Apalagi, dalam workshop-workshop yang berhubungan dengan desain pembelajaran, Mapel Agama sangat minim contoh dokumen yang tawarkan narasumber. Sementara contoh untuk Mapel IPAS atau Matematika dari Sabang sampai Merauke bisa dihadirkan. Huh! always annoying! šŸ˜‚šŸ˜‚

Maka, contoh yang dikemukakan Bu Rizqa di Grand Zuri itu tentang Insect Hotel (Hotel Serangga) hasil dari proses deep learning kelas 5 SD di Australia, bagi saya sangat mencengangkan, tapi juga sangat menarik, menantang, bahkan terlalu bermakna. Ini gila, pikir saya meskipun tetap seperti blind untuk subjek yang saya ampu.

Saya resumekan soal Insect Hotel itu di sini sedikit dari merenungi contoh ini. Jadi, ada problem yang harus dipecahkan para siswa. Problem utama yang disodorkan adalah tanaman petani yang dimakan hama dan penggunaan pestisida. Bayangkan, anak kelas 5 SD disodorkan problem ini dan guru mereka membimbing proses pembelajaran yang deep. Mereka diajak memahami dunia serangga, jenis, karakter, dan manfaatnya di lapangan. Demikian pula mendalami tentang manfaat dan bahaya pestisida bagi tumbuhan, serangga, dan lingkungan. Lalu, siswa diminta menawarkan solusi atas problem di atas. Rasanya, ini berat banget ya, bila konteksnya anak kelas 5 SD di negara Konoha.

Rupanya, serangga dan penggunaan pestisida punya problem turunan bila dihubungkan dengan hasil temuan anak SD kelas 5 itu dari proses pembelajaran mereka. Pertama, tidak semua hewan kecil (minibeasts) adalah hama. Kedua, serangga baik membantu menyerbuki tanaman, menguraikan flora dan fauna yang telah mati, membuat tanah menjadi gembur, dan menjadi sumber makanan bagi satwa liar lainnya. Ketiga, penggunaan pestisida akan turut membunuh hama-hama saleh yang beriman itu tanpa kecuali, sedangkan tidak menggunakan pestisida membiarkan hama jahat yang kafir-kafir dan durhaka itu bebas merusak tanaman petani.😪

Problem inilah yang diolah dalam proses pembelajaran mendalam hingga menemukan kesimpulan pemecahan masalah. Pertama, ciptakan lingkungan yang ramah bagi serangga baik dengan menanam banyak tanaman asli, bunga liar, dan tanaman herbal. Kedua, gunakan pengendalian hama bebas bahan kimia ketika hama mulai bermunculan.

Kesimpulan pemecahan masalah ini  yang memantik ide. Pertama, lahirnya inovasi  Insect Hotel. Dengan pemahaman mendalam, bermakna, menggembirakan, dan kolaborasi, anak kelas 5 SD itu membangun semacam rumah yang menarik semua serangga dari merusak tanaman petani pindah menempati Insect Hotel yang mereka bangun. Serangga-serangga itu, hama baik dan hama jahat hidup berdampingan di dalam habitat baru; Insect Hotle. Hama-hama itu juga selamat dari dampak penggunaan bahan kimia karena penggunaan pengendalian hama bebas bahan kimia. Kedua, lingkungan terbebas dari dampak buruk penggunaan zat beracun. Dan ketiga, tanaman bebas hama. Ajiib!|

Saya dan Kepala Madrasah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIM 2 Cpayung, Depok usai sharing deep learning. Foto milik MIM 2 Cipayung, Depok.

Dua hari sebelum berangkat ke Grand Zuri, ada permintaan Kepala Madrasah dan Kepala Sekolah Muhammadiyah di Depok. Saya diminta membawakan topik "Deep Learning" dalam rangkaian acara Raker Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Sementara saya baru bersiap untuk berangkat menadah limpahan materi deep learning ini. Ya sudah, mainkan.

Karena sama-sama guru dan bukanlah pakar deep learning semisal Bu Rizqa atau Pak Djamal yang ketua IGI DKI itu, saya mengambil istilah sharing, "Sharing Deep Learning" dari hasil karantina tiga hari di Grand Zuri dan pengalaman mengajar. Masih berdiri sharing deep learning ini di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, dihubungi SMA Muhammadiyah 4 Depok, salah satu sekolah swasta favorit di Kota Depok untuk acara yang sama. Pusing kepala Barbie. Apalagi medannya adalah guru-guru SMA. Biarlah, yang penting saya menang tua dari guru-guru berkemauan itu. Haaa.

Saya suka sekali foto saat sharing deep learning di depan guru-guru SMA Muhammadiyah 4 Depok ini. Saya tampak langsing di sana. Terima kasih fotonya Bu Ika.šŸ˜‡

Klik! Neuron bekerja. Dendrit, bagian dari sel saraf neuron yang berbentuk seperti cabang pohon yang menerima dan meneruskan impuls saraf dari neuron lain atau dari reseptor sensorik ke badan sel saraf soma saya bekerja sepanjang menyiapkan materi sharing. “Sensor!”

Tiba-tiba saja saya teringat materi wudhu pada pelajaran fikih.

Ah, pendekatan deep learning bisa sangat scientific pada pelajaran fikih dengan pola kemitraan pada pelajaran IPAS. Guru fikih menggarap pemahaman mendalam dan kebermaknaannya. Sedangkan guru IPAS menggarap sisi menggembirakan dan aplikatifnya dalam praktik problem solving-nya.

Selama ini dari sisi fikih, berwudhu itu hanya soal mengangkat hadas kecil dengan air yang suci dan menyucikan. Asal sudah memenuhi syarat dan rukunnya, sahlah wudhu itu. Dan, pembelajaran berhenti sampai di sini.

Akan tetapi, daya inovatif dan kreativitas guru fikih yang kuat dapat melihat peluang pada hadits Nabi kepada Sa’ad. “Kenapa kamu memakai air banyak sekali ya, sa’ad?” Maka sa’ad berkata: ‘Apakah ketika berwudhu tidak boleh memakai air terlalu banyak?’ Beliau bersabda: “Ya, walaupun kamu berwudhu di sungai sekalipun.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).

Problemnya, tiap kali berwudhu, ada begitu banyak air yang terbuang mubazir. Boleh jadi, volume air yang terbuang lebih banyak daripada air yang digunakan untuk membasuh anggota wudhu saat tangan tidak menadah air yang mengucur dari keran. Fenomena ini terus berlangsung sepanjang hari. Apalagi pemahaman tentang hemat air ketika berwudhu belum merata di kalangan umat islam. Problemnya adalah, berapa volume air terbuang sia-sia dalam sekali wudhu, sehari semalam, seminggu, sebulan, atau setahun? Sedangkan mubazir itu temannya setan.

Saya belum mendapati model pembelajaran deep learning untuk memecahkan problem ini, tapi, bayangan di kepala saya, langkah-langkahnya tidak jauh berbeda dengan langkah-langkah pembelajaran Insect Hotel anak Kelas 5 SD di Australia itu. Jadi, guru fikih dan guru science bermitra pembelajaran, berkolaborasi untuk merancang pembelajaran mendalam berbasis problem mubazir air.

Di sini, siswa belajar mendalam tentang wudhu dan belajar mendalam tentang cara kerja keran air otomatis yang bisa mengalirkan dan berhenti secara otomatis menggunakan sensor untuk mendeteksi keberadaan benda di dekatnya. Belajar bagaimana mengaktifkan katup solenoid untuk membuka aliran air. Belajar tentang sensor yang akan mengirim sinyal untuk menutup katup. Hasilnya sistem keran yang bekerja otomatis, di mana saat tangan menadah keran, air mengalir. Saat tangan diangkat untuk membasuh anggota tubuh, air berhenti mengalir secara otomatis.

Yeey! Ajiib Pak Aqsol guru fikih yang keren. Gaskeun!|

Insect Hotel dan keran wudhu otomatis ini saya jadikan contoh bagaimana model pembelajaran deep learning dijalankan. Feeling saya meraba, dua contoh inilah yang membuka kunci pemahaman guru-gguru berkemajuan itu soal deep learning. Di sana saya menemukan “AHA moment” dari binar mata mereka yang menyala di akhir sesi.

Barakallah guru-guru pencerah, guru-guru berkemajuan. Tengkyu sudah ngelibatin saya kali ini. Kita semua punya tanggung jawab besar menihilkan "Schooling without Learning" di mana peserta didik sekolah tapi tidak belajar melalui pendekatan deep learning. 

Depok, 9 Juli 2025.
Di antara sesapan kopi dan kerut dahi menyelaras E-Modul with Deep Learning.