Langsung ke konten utama

DAKWAH MEDIA PROFETIK




Kover Majalah Tabligh

Kewajiban Dakwah

TUGAS dakwah terus berpindah. Semula, tugas berat ini hanya diemban para Nabi, sendirian saja sebelum mendapatkan pengikut. Awalnya dengan sembunyi-sembunyi, lalu secara terbuka dan terang-terangan seiring seruan mendapatkan sambutan.

Dunia dakwah mengalami pasang surut dan berliku. Pertama karena tantangan dakwah tidak ringan. Kedua karena pendakwah bergeming pada kebenaran yang diserukan. Kedua hal ini akan terus bergelut untuk saling mengalahkan. Konsekuensinya pun ada dua kemungkinan; dakwah akan terus berlangsung karena keteguhan pendakwah, atau surut ke belakang karena tantangan semakin berat.

Keyakinan pada kebenaran menjadi kunci dakwah terus tersambung sampai sekarang. Memang begitulah janji Al-Quran apabila yang haq telah datang, maka akan hancurlah segala kebatilan (QS. Al Isra [17] : 81). Dan, karena tantangan ini, semangat dakwah bukan malah padam melainkan kian berkobar. Sebaliknya, manakala keyakinan pada kebenaran yang disampaikan itu sudah hilang, tak perlu badai besar, embusan angin kecil pun sudah cukup memadamkan seruan.

Strategi Dakwah

DAKWAH pada era Nabi SAW dan generasi terbaik sesudahnya tidak lepas dari strategi. Pada era dakwah paling awal di Makkah itu, dakwah dilakukan sembunyi-sembunyi, dengan berbisik dari mulut ke mulut, kepada keluarga dan sahabat dekat lebih dahulu. Tidak ada pilihan strategi dakwah yang lebih canggih selain cara itu. Meskipun demikian, strategi ini sangat efektif.

Strategi dakwah seperti main petak umpet ini berlangsung tiga tahun. Nabi SAW dan para sahabat berhasil merebut hati lebih dari 40 generasi Islam pertama yang militan. Mereka inilah yang dalam sejarah Islam ditulis dengan tinta emas sebagai as-Sabiqun al-Awwalun, generasi paling awal yang memeluk Islam pada kisaran 610-613 M.

Pada era dakwah terbuka dan terang-terangan yang berlangsung sejak 614 M hingga ditutup dengan peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Yatsrib–nama sebelum diganti menjadi Madinah– pada 622M, dakwah periode Makkah hampir sampai pada titik kritis. Aksi penyiksaan dan isolasi dari kaum Quraisy bisa saja mematahkan iman kaum muslimin yang masih sangat muda waktu itu. Akan tetapi, alih-alih mereka berbalik murtad, keteguhan hati para sahabat malah semakin mengkristal sampai pada periode dakwah Madinah yang berlangsung 10 tahun (622-632 M).

Media dan Islamophobia

DAKWAH sebagai jalan haq akan selalu berhadapan dengan kebatilan. Adakalanya yang haq bisa meluluhlantakkan yang batil atau sebaliknya. Karena itu, strategi lagi-lagi menjadi jawaban untuk memenangkan pertarungan.

Ungkapan “Al haqqu bi laa nizham yaghlibuhul baathilu bin nizham”, kebenaran yang tidak terorganisir bisa saja akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir sering ada benarnya. Boleh jadi, kebatilan yang terorganisir malah sudah menang berkali-kali tanpa disadari juru dakwah sporadis.

Hari ini, media memegang peran penting untuk memenangkan pertarungan, apa pun itu, termasuk upaya-upaya memenangkan atau “mematikan” dakwah. Dalam konteks "mematikan" dakwah, Islamophobia termasuk anasir yang terus bermetamorfosis. Islamophobia di tengah arus media digital hari ini semakin rapi daripada Islamophobia zaman jahiliyah pada era kenabian dahulu. Melalui pengorganisasian kendali media, Islamophobia disebarkan melalui media cetak, film, media online, poster, brosur, artikel, buku, bahkan hingga komik secara sangat efektif.

Asrinda Amalia dan Aidil Haris, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Riau menulis “WACANA ISLAMOPHOBIA DI MEDIA MASSA” pada Jurnal Medium Volume 7 Nomor 1, Juni 2019. Penulis mengambil sampel "tribunnews.com" dan "detik.com." Menurut Asrinda dan Aidil, 
"tribunnews.com" dan "detik.com." telah terjebak pada dimensi pewacanaan mendiskreditkan Islam dengan labeling teroris. Dari 10 sampel berita seputar teroris yang dipilih Asrinda dan Aidil, keduanya berupaya untuk menggulirkan wacana Islamophobia di Indonesia. Meski wacana yang digulirkan kedua media itu tidak melabelkan aqidah, namun simbol-simbol Islam dilarutkan dalam pemberitaan kedua media tersebut.

Ada juga Islamophobia berbasis pemikiran. Kelompok ini lebih rapi dan dan terorganisir memanfaatkan media elektronik dan cetak. Mereka mengusung dan mempropagandakan liberalisme Islam. Sangat getol melontarkan gagasan-gagasan “nyeleneh”. 

Ungkapan seperti, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar” yang dilontarkan pentolan jaringan ini masih bisa diakses sampai hari ini di media online. Dari mereka, ada juga yang berkata: “Jilbab pada intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency)”. Pernyatan ini tendensius ingin menganulir syariat jilbab. Seolah jilbab yang bertujuan menutup aurat sebenarnya hanya persoalan budaya, dan perempuan muslimah tidak wajib berjilbab.

Persoalan ‘iddah pun diserang. Ia dikatakan sebagai konstruk budaya Arab. Salah seorang penulis liberal menyatakan “’Iddah sebagai konsep keagamaan lebih merupakan konstruk budaya dari pada ajaran agama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi mengecek ada tidaknya kehamilan. Di sisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istri pada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yang dipakai sebagai alasan keagamaan.” Oleh sebab itu, maka konsep ‘iddah pun harus direvisi menurut sang penulis.

Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran kelompok liberal adalah "Jawa Pos" yang terbit di Surabaya, "Tempo" di Jakarta, dan Radio Kantor Berita 68H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut gagasan-gagasan dan penafsiran liberal disebarkan secara masif.

Karya-karya cetak berupa buku representasi pemikiran liberal antara lain Fiqih Lintas Agama, Menjadi Muslim Liberal, Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Lubang Hitam Agama, dan banyak lagi buku serta artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.

Lontaran gagasan itu terkesan cerdas sebab pelakunya orang bergelar akademik mentereng. Akan tetapi, gagasan itu tidak kurang tidak lebih bentuk Islamophobia berbaju intelektual. Bagaimana bisa kawin sesama jenis dipandang indah sedangkan syariat mengharamkan hal itu? Bukankah ini bentuk phobia pada syariat?

Untuk memperjelas masalah ini, setidaknya ada enam butir produk pemikiran liberal dalam timbangan apakah pemikiran liberal sedang menunjukkan jalan kebaikan sebagaimana tujuan dakwah profetik, ataukah jalan untuk merusak syariat. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi. Kedua, poligami harus dilarang. Ketiga, mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau istri. Keempat, masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati. Kelima, pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya. Keenam, perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim. Di luar enam butir poin di atas, masih banyak gagasan "nyeleneh" yang tidak kalah ngawur yang jelas-jelas menyelisihi syari'at. 

Dakwah Media Profetik

PARA pegiat Islamophobia dan kelompok liberal memanfaatkan media pada dasarnya adalah “dakwah” juga, dakwah dalam arti mempengaruhi pembaca dengan wacana, gagasan, dan ide-ide yang umumnya kontra dengan ajaran Islam.

Pada era dakwah kenabian, mayoritas musyrikin Arab itu penganut Islamophobia. Mereka menuduh Alquran sebagai dongeng orang-orang terdahulu (asathirul awwalin). Mereka mengatakan itu dalam rangka “dakwah” mempengaruhi masyarakat Quraisy untuk menolak Alquran, menolak mengikuti risalah Muhammad SAW. Dan di zaman ini, pengasong liberalisme Islam Indonesia ada pula menulis hal senada pada akun Twitternya: “Kekuatan Al-Quran bukan sebagai kitab sejarah, tapi kitab kisah atawa dongeng”. Apa bedanya pengasong liberal itu dengan Nadhar bin al Harits, phobia Islam musyrikin Arab yang menuduh Alquran sebagai 
asathirul awwalin?

Pada masa tertentu, didukung dana-dana asing yang kuat, pengasong liberalisme sangat leluasa memanfaatkan media sebagai sarana yang efektif menyampaikan pesan destruktif berkedok humanisme, toleransi, dan HAM. The Asia Foundation dan dana-dana domestik dari Amerika dan Eropa ditengarai sebagai mesin “ATM” untuk proyek liberalisme mereka melalui media online maupun media cetak.

Meskipun belum sepenuhnya redup, bandrol jualan liberalisme melalui media belum turun. Situs mereka masih memasang stok. Barangkali karena mereka masih punya modal dari sisa-sisa tabungan setelah lembaga donor berhenti mengucurkan uang karena menganggap liberalisme Islam di Indonesia telah gagal merebut mikrofon mimbar di masjid-masjid dan surau-surau.

Menuju Dakwah Media

DAKWAH dengan orasi yang memukau memang tetap relevan. Namun, dakwah dengan ketajaman pena melalui media juga sudah saatnya dikencangkan. Peran itu harus diambil para da’i, mubaligh, ustaz atau guru-guru agama. Tujuan utamanya menyebarkan kebaikan melalui media, baik cetak maupun elektronik, termasuk media online.

Hanya saja, problem utama dakwah media adalah keterampilan menulis. Harus diakui, menulis itu tidak mudah. Meskipun banyak pelatihan yang memotivasi bahwa menulis itu mudah, nyatanya, tetap saja susah. Ujung-ujungnya tidak pernah menulis.

Susah yang pertama merasa tidak ada ide, tidak tahu mau menulis apa. Susah kedua tidak tahu mau mulai dari mana. Susah ketiga takut tulisan jelek. Susah keempat malas memulai menulis. Susah kelima merasa tidak punya waktu cukup karena sibuk. Ini sebagian kecil problem menulis. Namun, problem pokoknya hanya satu; belum memiliki skill menulis. Itu saja.

Skill menulis tidak datang sendiri. Ia juga bukan bakat bawaan. Ia bisa dikuasai dengan berlatih, pembiasaan, dan konsisten menulis. Bila sudah dilatih, dibiasakan, dan konsisten menulis, maka keenam susah yang disinggung di atas bukan lagi masalah. Ide menulis berserakan di mana-mana, bisa dimulai dari mana saja, jelek bisa diperbaiki, dan urusan malas, shalat saja bisa datang malasnya apalagi menulis. Menulis tidak perlu berjam-jam sekali duduk. Hanya menulis lima menit untuk satu paragraf asalkan kontinyu bisa jadi kesibukan baru yang mengasyikkan.

Bila difokuskan pada dakwah media, maka skill menulis berita, artikel, opini, atau esai mau tidak mau harus dikuasai para da’i, mubaligh, ustaz, guru-guru agama, dan aktivis dakwah persyarikatan. Apalagi bila berniat mahir menulis buku yang bernuansa dakwah, ini keren. Maka, mulailah. Jangan lagi dibelenggu enam susah di atas. Jangan mau tidak menulis seumur hidup.

Jadi, kapan mulai menulis?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Three Cycles of Certainty

Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono. BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik . Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis . Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences – di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"

Draft "Tarawih Terakhir" Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower. INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan. Mengapa Milad? Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah

2920 HARI

Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/ TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu. Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu. 17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu. *** TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit cap