SPEECHLESS

JIS (Jakarta International Stadium) Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Foto Credit Instargam @aniesbaswedan.

HARI ke-2 Futsal Training caMP bertajuk “Feel The Real Training caMP” bagi enam belas peserta didik Madrasah Pembangunan bikin speechless saya. Asli speechless.

Mulanya, speechless saya sangat pragmatis. Bagaimana tidak, saya sedang reschedule wawancara dengan Dr. Andy Hadiyantyo, MA–akademisi Universitas Negeri Jakarta, pernah menjabat Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial UNJ– yang beberapa kali kesempatan tertunda karena kesibukan beliau. Lha, tak disangka, Futsal Training caMP hari ke-2 dilaksanakan di UNJ, di Fakultas Ilmu Olahraga UNJ.

Kepada Pak Saroni yang punya acara saya bertanya, apakah guru SKI sah bila ikut acara? Ternyata, katanya sah dan boleh. Nah, saya speechless, dong. Memang, saya bukan murni mau mengikuti acara Futsal Training caMP-nya Pak Saroni dengan khusyuk dan khidmat. Saya hanya butuh tumpangan ke UNJ.

Segera saya kontak Dr. Andy. Duh, Pak Andy hari itu tidak sedang di UNJ. Beliau sedang ada acara di hotel Swiss-Belresidences, Kalibata. Namun, terlanjur sudah dibolehkan ikut ke UNJ dan kebaikan Dr. Andy, saya diberi waktu bertemu di Swiss Bell jam 3 sore untuk wawancara. Ah, biarlah hitung-hitung ngisi liburan murah meriah dan bisa berbincang dengan akademisi. Nanti dari UNJ, langsung ke Kalibata.|

DI UNJ, Futsal Training caMP saya kira cuma main-main. Ternyata enggak. Seluruh peserta mendapatkan pengalaman melakukan serangkaian tes dari instruktur UNJ. Ada empat item tes; Reaksi, Kelentukan, Kekuatan, dan Kelincahan. Bagi Pak Saroni, hasil tes itu bisa jadi sangat penting untuk mengetahui kualitas peserta Futsal Training caMP atau sebagai treatment saat berlatih di madrasah, tapi bagi guru SKI mungkin harus dicarikan alasan relevansinya bagi belajar sejarah.

Peserta Futsal Training caMP berpose sebelum sesi pelatihan bersama pelatih Futsal, Pak Saroni. Foto Credit Abdul Mutaqin.

Tes dilakukan di salah satu ruang Gedung Olahraga UNJ, gedung olahraga dengan fasilitas modern dan nyaman. Ada ruang Exercise Physiology Lab, Biomechanics Lab, Sports Nutrition Lab, Ruang Tunggu Wasit, 2 Ruang Sport Message, Weight Training Room, Ruang Panel, Lift, dan Ruang Ganti masing-masing untuk pria dan wanita, serta toilet. Kata Pak Sandy, toiletnya bersih dan wangi. Pantas saja, lama sekali guru Fisika itu berkunjung buat “meninggalkan jejak” di sana. Toilet pun disediakan lengkap, laki-laki, perempuan, dan toilet untuk difabel.

Peserta Futsal Training caMP sedang menerima instruksi dari instruktur UNJ. Foto Credit Abdul Mutaqin

Ngebayangin jika Madrasah pembangunan punya fasilitas olahraga kayak gitu. Rasanya, semua guru bisa menikmati fasilitas menuju “Men Sana in Corpore Sano” saban hari.|

TERNYATA, saya dapat jatah makan siang dari Futsal Training caMP. Alhamdulillah, terima kasih Pak Roni, terima kasih Pak Eko. Jadi enak dan berasa sejahtera. Semoga kalian panjang umur, murah rezeki, dan jadi pejabat. Semoga Haji Fajar mengaminkan. Aamiin.

Dan, belum selesai acara makan di UNJ, speechless berikutnya menyusul. Jakarta International Stadium (JIS) membuka pintu lebar-lebar untuk peserta Futsal Training caMP. What? Kok, bisa?

Saya mulai gamang. Masalahnya, niatan dari UNJ akan berpisah menuju Kalibata untuk wawancara mulai menipis. Apalagi, Pak Sandy berubah jadi provokator. Guru Fisika itu memprovokasi saya terus-terusan bahwa saya masih bisa ikut ke JIS dan tetap bisa wawancara. Kata dia lagi, ini kesempatan langka, dan jarak JIS-Kalibata masih bisa dikejar dalam hitungan tidak sampai satu jam.

Saya percaya, memang guru Fisika pandai sekali mengukur jarak dan waktu, juga peluang. Itu keahliannya. Saya ini siapa? Cuman remah-remah doang. Jadi, hampir tidak ada alasan untuk membantah pendapat ahli. Artinya, tidak ada alasan untuk tidak ikut ke JIS dan tetap bisa wawancara.

Buseng deh, baru kali ini saya tergoda laki-laki seperti Pak Sandy. Tahulah saya, dia itu bukan saja guru Fisika, ahli mengukur jarak waktu dan peluang, tapi juga laki-laki perayu ulung. Pak Eko saja speechless. Mungkin Pak Eko heran, mengapa saya bisa bisa berubah arah dalam hitungan sepersekian detik. Ini jarang terjadi.|

WAW! Bisa jadi, bisa jadi, tapi jangan geram dulu, ini cuma hipotesis saya.

Bisa jadi, sayalah guru SKI pertama yang menginjakkan kaki di atas rumput stadion kebanggaan Jakarta; Jakarta International Stadium. Fantástico!

Jakarta International Stadium ramah lingkungan, punya daya tampung 82 ribu, dibangun oleh arsitek dan para pekerja Indonesia, menelan biaya kira-kira hampir 4,5 triliun, dan tentu berkelas internasional. Bisa menginjak rumputnya, berasa menginjak The Allianz Arena, a famous Landmark in Munich and the home of the football club FC Bayern Munich.

The Allianz Arena, Werner-Heisenberg-Alee 25, 80939, Germany. Foto Credit Suara.com

Pokoknya, speechless banget Futsal Training caMP bisa ke sini. Bisa jadi, dan moga-moga saja tahun depan Futsal Training caMP menginjak rumput Allianz Arena.

Mas Faris, orang JIS yang mendampingi tamu dari Futsal Training caMP bertanya pada saya.

“Bapak, dari mana?”

“Dari Madrasah Pembangunan, Mas,” Jawab saya, sedikit berlagak seperti pemegang otoritas futsal di MP setelah Pak Roni.

“Di mana itu?”

“Ciputat, deket UIN.”

“Oh, tahu saya. Ini keren loh, Pak. Kok, bisa masuk ke sini? Nggak bisa sembarang orang, apalagi rombongan untuk saat ini bisa masuk.” Ungkap Mas Faris heran.

Lha? Saya lebih heran. Lalu, ini saya bisa masuk ke sini atas perbuatan siapa? Apa mungkin ini hasil konspirasi Pak Eko?

Jakarta International Stadium. Video Credit Abdul Mutaqin.

Ealah, ternyata karena keberkahan terselubung. Ada rekomendasi seseorang di balik rumput JIS. Semoga ada rekomendasi kedua dari orang yang sama untuk peserta Futsal Training caMP dan pendampingnya suatu saat bisa merasakan megahnya rumput Allianz Arena di Munich. Kita doakan orang yang kasih rekomendasi itu jadi Gubernur DKI. Gus Djamal, barangkali tahu siapa dia?|

HIKS! Jarak, waktu, dan peluang tidak sesuai rumus fisika. Saya telat mengejar wawancara. Pukul 14.45, posisi saya masih di Jatinegara dari JIS menuju Swiss Bell. Tampaknya, tak akan bisa mengejar sampai jam 3 di lokasi.

Hai, guru Fisikaaaaaaaaa!

Akan tetapi, saya speechless lagi. Dr. Andy memaklumi dan memberi waktu saya untuk wawancara Kamis esok di UNJ. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah, Engkau kirimkan orang-orang baik buat saya hari ini.

Pak Roni, kalau masih ada sisa-sisa Jersey Futsal Training caMP, bolehlah satu. Saya baru tahu dari membuka kamus, ternyata Jersey salah satu artinya “Baju Kaos”, tidak mesti kaos seragam bola tendang, basket, bulutangkis, atau kaos olahraga. Hahahah, ternyata saya masih “miskin” literasi Jersey.|

JASAD YANG TAK RAPUH

Wisudawan berpose usai acara berlangsung. Foto credit Abdul Mutaqin.

BERUNTUNG selamanya dunia akhirat bagi yang menghafalkannya. Bagaimana tidak, saat ia meninggal jasadnya tetap utuh (tidak dirusak tanah)

Ya Allah, Nak. Jasad kalian saja lebih mulia dariku. Apatah lagi hati dan jiwa kalian. Asal kau ingat, akulah orang pertama yang meminta keberkahan Alquran dalam perantaraan kalian.|

HARI ini hari air mata. Bukan karena mengupas bawang di bibir retina. Bukan. Air mata ini berurai karena sebelas laki-laki dan sebelas perempuan peserta didik MTS Pembangunan UIN Jakarta kelas 9. Mereka meniupkan angin sejuk beraoma hijaiyah. Lebih dahsyat dari percikan aroma bawang. Mata terasa sejuk haru, bukan panas berair, dan lalu meleleh. Lelehannya hangat mengharukan. Ini "air mata Alquran".

Bagaimana tidak, dua puluh dua mereka telah hafal di atas 10 juz, satu orang hafal 22 juz, dan dua orang telah khatam hafal 30 juz. Hari ini mereka diwisuda, memakai mahkota tahfizh, dan melelehkan air mata orang yang menyaksikan. Sanad qira'ah mereka bersambung pada KH. Moenawar Chalil, Krapyak, Yogyakarta. Pembimbing mereka yang menyambungkan transmisi itu sampai kepada para penghafal di MTS Pembangunan. MasyaAllah.

Percaya atau tidak, bila ada pesarta didik kita fasih bernyanyi, rancak kompak ratoh jaroe, juara sain, atau apa pun prestasi yang mereka raih, tentu kita patut bersyukur, bergembira, dan terhibur. Jiwa yang lelah seketika terasa segar kembali. Akan tetapi, air mata senikmat yang merembes karena Alquran tidak kita dapatkan di sana, air mata yang sanggup membangunkan jiwa yang mati. Kepala Madrasah Tsanawiyah, Momon Mujiburrahman, MA tak urung meleleh jua air matanya saat menyampaikan kata sambutan.|

MADRASAH Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta bukan madrasah khusus tahfizh. Ia hanya madrasah yang memiliki distingsi. Tahfizh salah satu disting itu. Rasanya, distingsi ini menjadi distingsi yang amat bergengsi di mata para pecinta Alquran. Boleh jadi, ia bisa dijadikan sebagai center of distinction dari distingsi-distingsi lain yang dibangun di sini.

Yang saya maksud, Alquran memang seharusnya menjadi pusat spirit pengembangan karakter, apa pun nilai karakter baik yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Bila Alquran menjadi center of distinction, maka mulialah seluruh bangunan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Pak Direktur kembali mengulang hidup mulia dengan Alquran seperti yang disampaikannya pada acara parade tahfizh beberapa waktu yang lalu.

Lalu, bolehkah Madrasah Pembangunan berkiblat pada model pendidikan luar negeri yang seharum melati itu?

Boleh saja, asalkan ruhnya tetap ruh Alquran, karakternya karakter qurani, moralnya akhlak sosok yang disebut Alquran sebagai manusia yang melekat padanya predikat "wa innaka la'ala khuluqin 'azhiim".

Ambil yang baik dari luar. Sisihkan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islami dan karakter bangsa ini. Begitulah seharusnya bersikap adil menilai dunia luar, tidak menerima secara mebabi buta atau menolak secara apriori.

Memang, kadang, mata selalu silau dengan kemilau lentera orang lain. Padahal bisa jadi, lentera yang kita miliki sebenarnya lebih terang cahanya. Akan tetapi, mengapa itu terjadi?

Itu terjadi karena lentera orang lain menyala di tengah gelap gulita, sementara lentera milik kita, ia menyala di tengah pendar ruang yang bermandi cahaya. Bukankah Alquran adalah nur yang dikirim dari nur 'alannuur, cahaya di atas cahaya?

Jadi, dalam soal pendidikan, jangan sampai "rumput luar negeri tampak lebih hijau daripada rumput milik negeri sendiri". Sedangkan pendidikan Islam pernah jadi kiblat dunia di era pertangahan.|

Generasi Qurani adalah tema yang diusung Wisuda Tahfizh hari ini. Memang, tidak ada peradaban Islam bahkan peradaban dunia bisa tegak tanpa generasi qurani.

Queena Fairuz Zahura (kiri), saya, dan Raisa Madania yang menamatkan hafalan 30 juz. Foto credit Abdul Mutaqin.

Sejak era kenabian, era shabat, dan era tabi'in, bangunan peradaban adalah Alquran, bukan yang lain. Bahkan, The Golden Age yang berhasil ditorehkan sejak era kenabian sampai tabi'it tabi'in berangkat dari spirit penghayatan dan pengamalan Alquran. Boleh jadi, dunia akan tetap gelap gulita bila cahaya Alquran tidak menembusnya.

Bersyukur ada Prof. Dr. HD. Hidayat MA, wali peserta didik mengingatkan lagi hal ini dalam kata sambutan mewakili wali peserta didik wisudawan. Contoh sederhana disodorkan Prof. Hidayat; Arabic Numeric. Itu warisan perdaban Alquran, itu peradaban Islam. Kepada Alkhawarizmi (780-850 M) Arabic Numeric itu bisa dirujuk.

Bisa jadi pemikiran seperti ini dianggap terlalu utopis, tidak bisa move on dari masa lalu. Arabisme, dan berbagai tuduhan yang tidak kalah halu dari halu-nya remaja yang baru ditinggal kawin kekasihnya.

Biar saja. Toh, spirit dan nilai-nilai Alquran selalu kompatibel dengan segala zaman. Alquran tidak pernah usang, sementara para penuduh utopis itu paling hanya bertahan 60 sampai 80 tahun saja. Setelah masa itu terlewatkan, mati pula jasadnya berkalang tanah. Sementara, Alquran tetap bercahaya di atas tanah, di bawah langit dunia yang menaungi tanah.|

PENGAWAS, Hj. Azzah Zumrud Muallif, M.Pd. secara terbuka mengakui saat berbincang usai acara. Menurut beliau, Tahfizh menjadi ikon yang harus terus dikembangkan di Madrasah Pembangunan setelah literasi.

Saya "mendelik" (mendadak like) saat literasi beliau singgung. Kata beliau lagi, di saat madrasah-madrasah baru mau belajar mengembangkan literasi menulis, bahkan sukar sekali memulainya, Madrasah Pembanguna sudah jauh di depan. Literasi Madrasah Pembangunan seharusnya diadopsi madrasah-madrasah lain.
Hj. Azzah Zumrud Muallif, M.Pd dan saya menyampaikan salam literasi untuk MTS Pembangunan. Foto credit Abdul Mutaqin.

Wah, ini penting saya teruskan kepada pimpinan MTS. Biar greget literasi dikencangkan lagi di hari-hari mendatang. Bukankah iqra adalah spirit literasi Alquran yang digaungkan pertama kali sebelum Alquran dihafal?|

Mengembalikan kejayaan peradaban pendidikan, rasanya, jangan sungkan kembali pada spirit literasi Alquran.

Selamat untuk para huffazh, Pimpinan MTS, para pembimbing, para orang tua, dan orang-orang yang berharap kecipratan berkah dari mereka seperti saya.|

MENYUNTING GURU LITERAT

 

Menyunting naskah. Foto Credit Avel Chuklanov, Unsplash.

SEPATUTNYA, guru belajar menyunting. Apa urgensinya? Sangat urgen. Mari kita bicarakan agak serius. Saya akan membahasnya dari pengalaman mengikuti webinar pada sore kemarin, Rabu 22 Juni 2022.Webinar ini keren, mengajak "Menjadi Guru Penyunting Andal Bersama Penyunting Profesional". Narasumbernya Ahmad San, editor Jawa Pos.

Meskipun webinar ini mengarahkan peserta pada kemahiran menyunting naskah berita, esai, artikel atau opini, bagi saya, bekal ilmu menyunting bisa diterapkan lebih spesifik pada domain pedagogik.

Selain mengajar, guru kerap melakukan aktivitas menulis; menulis kisi-kisi atau menulis soal. Nah, di sinilah urgensi kemahiran menyunting bagi guru yang saya maksud spesifik itu.

Apabila diperluas dengan keharusan menulis modul atau buku ajar, tentu bobot kepentingan mahir menyunting lebih substantif. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi substansi kepentingan untuk penyuntingan naskah kisi-kisi atau soal. Dan patut dicatat, penyuntingan sangat diperlukan untuk semua dokumen tertulis selain produk jurnalistik sekalipun, seperti menyunting naskah soal ujian.

Menyunting Soal

SELAIN memperhatikan kaidah penulisan soal yang baik, guru sebagai penulis soal harus memastikan tidak terjadi kesalahan tik. Kesalahan tik tidak saja mengganggu struktur kalimat, tapi merusak struktur soal. Soal menjadi sukar untuk dipahami atau maknanya menjadi ambigu.

Ketika Rasulullah menyepi di gua Hira pada Senin 17 Ramadhan 610 M, malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu pertama surat ... ayat 1-5. Ini contoh bentuk soal melengkapi. Tidak ada salah tik. Akan tetapi, bila kata "ketika" tertulis "ketiak", apa yang Anda rasakan?

Bila guru bekerja dengan Google Drive, pilihan menggunakan layanan Google Docs akan sangat membantu proses penyuntingan ringan. Google Docs membantu mendeteksi kesalahan tik dan memberikan koreksi secara otomatis. Kata "ketiak" pada contoh soal di atas misalnya, akan bergaris bawah warna merah. Itu artinya salah tik. Bila kata "ketiak" itu diklik, Google Docs akan memunculkan kata "ketika" sebagai saran perbaikan.

Kesalahan struktur kalimat soal, kesalahan diksi, kesalahan konsep, fakta atau data soal yang disajikan, termasuk kesalahan fatal. Kesalahan fatal ini tidak bisa dideteksi Google Docs. Ia hanya bisa diketahui dan diperbaiki dengan pengetahuan tentang pokok soal dan kemahiran menyunting guru sebagai penulis soal.

Kasus soal yang diralat atau dibonuskan saat diujikan, banyak terjadi karena proses penyuntingan tidak maksimal atau bahkan tidak dilakukan. Masalahnya bermuara pada kelemahan kemampuan menyunting, terutama menyunting struktur kalimat soal.

Penelaah Soal

PENELAAH soal adalah penyunting sebelum soal diujikan. Ia bukan saja harus menguasai substansi pengetahuan, fakta, dan data rumusan soal, tapi guru yang mahir menyunting.

Maka, seorang penelaah soal adalah mereka yang kaya kosakata, mampu menyusun kalimat efektif, mengerti diksi, dan paham tata bahasa. Pendek kata, seorang penelaah soal memiliki kemampuan berbahasa tulis di atas rata-rata. Seperti itulah syarat penelaah soal yang ideal sebab ia akan menjalankan tugas penyuntingan, sebuah pekerjaan linguistik yang kompleks.

Keberadaan penelaah soal jangan terkesan sekadar ada penelaah, sekadar memenuhi tuntutan administrasi tanpa proses pembekalan kemampuan menyunting. Ini tidak efektif. Sering terjadi, setelah soal ditelaah, masih saja dijumpai kesalahan, baik kesalahan tik maupun kesalahan yang lebih substantif.

Apabila dijumpai satu sampai dua kesalahan pada soal, bolehlah dianggap wajar meskipun proses telaah bisa disebut tidak efektif. Akan tetapi, di atas lima kasus kesalahan, ini bisa disebut proses telaah tidak berjalan alias gagal. Atau, bisa jadi proses telaah memang tidak dilaksanakan.

Guru Penyunting

WEBINAR, workshop, atau pelatihan menyunting tidak sesanter webinar, workshop, atau pelatihan menulis. Apalagi, yang spesifik pada penyuntingan naskah soal, bahkan amat langka diselenggarakan sekolah-sekolah. Padahal, penulis soal yang baik adalah penyunting soal yang baik. Demikian pula berlaku sebaliknya.

Keberadaan penelaah soal, seharusnya berbanding lurus pada kemahiran menyunting. Maka, membekali kemahiran menyunting bagi penelaah soal tidak bisa dinafikan. Seorang penelaah soal bukan saja harus menguasai teknik menulis soal yang baik, tapi amat perlu menguasai teknik menyunting.

Hanya saja, kebanyakan guru seakan tidak berminat sama sekali dengan persoalan sunting menyunting. Bisa jadi, karena menyunting sudah kadung diidentikkan dengan urusan tulis menulis. Sedangkan umumnya orang, termasuk guru, masih banyak yang beranggapan bahwa menulis itu susah, apalagi ditambah menyunting. Meskipun webinar menyunting diselenggarakan tidak berbayar, amat sedikit guru yang mau bergabung belajar menyunting. Begitulah.

Menyunting memang bukan pekerjaan mudah. Barangkali, lebih mudah "menyunting" guru literat berparas rupawan.|

WEBINAR "Menjadi Guru Penyunting Andal Bersama Penyunting Profesional" kemarin sore sangat inspiratif. Webinar ini menginspirasi banyak guru literat bahwa perlu ada webinar yang khusus mengulas soal teknik menyunting naskah soal.

Siapa berani menggagas? Kita tunggu.

Salam literasi.

HANDPHONE JADI MAKMUM

Flyer Canva Design. Foto Credit Abdul Mutaqin
Di rumah, aku tidak pernah mendengar suara musik, tapi hari ini, justru aku mendengar musik di rumah Allah..”

SATU kali, Imam Masjidil Haram Syaikh Abdurrahman As Sudais begitu masygul. Pasalnya, ada ponsel milik jamaah yang rupanya tidak dimatikan lalu bernyanyi saat shalat berjamaah berlangsung. Syaikh As Sudais menangis usai mengimami shalat. Lalu, sembari menghadap kepada jamaah masjid, Syaikh As Sudais berkata seperti pada kalimat pembuka tulisan ini.

Ini masalah yang terus berulang. Jujur, banyak orang mengalami dan mendapati fenomena ini. Tadi subuh, keberulangan itu berlangsung di Al-Huda. Tidak kebayang apabila ringtone yang berbunyi, misalnya lagu “Goyang Dombret”. Hanya saja, di Al Huda tidak seperti Syaikh As Sudais, Imam tidak menyampaikan keprihatinannya. Barangkali karena ringtone yang berbunyi tadi subuh itu bukan ringtone lagu. 

Di beberapa masjid, peringatan untuk mengelola handphone ponsel menjelang shalat banyak dipasang. Sebelum khutbah dan shalat Jum’at dilaksanakan, pengurus masjid bahkan mengingatkan secara verbal kepada jamaah yang membawa handphone agar dimatikan. Jadi, handphone-nya harus “dibunuh” dulu.

Harus diakui bahwa masih ada kesenjangan kecerdasan antara produk handphone dengan pribadi pengguna. Handphone sudah bermetamorfosis menjadi smartphone –telepon genggam yang cerdas–, tapi banyak dari para pengguna mengalami sedikit keterlambatan berpikir. Ini menyedihkan. Handphone-nya sudah teknologi cerdas, tapi ada sebagian penggunanya belum tuntas belajar menuju cerdas berteknologi.

Manusia yang punya jiwa, punya akal budi, dan punya hati nurani, tidak boleh tunduk pada benda mati. Meskipun handphone itu bisa hidup dengan bersuara, menampilkan gambar, dan menyajikan gambar bergerak, ia tetap saja benda mati yang harus tunduk pada jiwa yang hidup. Sudah barang tentu, manusianya yang harus mengendalikan, bukan handphone yang mengendalikan hidup manusia.

Mengendalikan handphone saat di masjid itu simpel, simpel sekali. Pertama, yang paling aman, jangan bawa handphone ke masjid. Maklum, handphone tidak wajib shalat meskipun jadi makmum, yang wajib shalat hanya pemilik handphone yang ke masjid dan saudara-saudaranya.

Kedua, jika handphone memang terpaksa harus dibawa ke masjid untuk shalat atau mengikuti kajian, relakanlah untuk sementara handphone itu “dicabut nyawanya”. Atau, pengguna bisa memanfaatkan beberapa fitur, misalnya mengaktifkan mode pesawat (flight mode) sehingga fungsi non seluler tetap berjalan, tetapi tidak dapat melakukan panggilan, tidak bisa pula dihubungi. Atau gunakan mode hening (silent mode), mengubahnya dengan mode getar (vibration mode) sehingga tidak ada suara apa pun dari handphone yang mengganggu kekhusyukkan shalat berjamaah.

Ketiga, jika sudah terlanjur handphone berbunyi, matikan saja segera. Jangan biarkan ia “gegemberan” macam kambing kelaparan sepanjang durasi waktu yang cukup panjang. 

Emang boleh? Boleh.

Ada riwayat dari Imam Ahmad, Nasa’i dan At-Tirmidzi dari Siti ‘Aisyah RA. Suatu ketika Rasulullah sedang shalat di rumah dan pintu rumah tertutup. Lalu ‘Aisyah datang hendak masuk. Beliau pun berjalan lalu membukakan pintu kemudian melanjutkan shalat di tempatnya semula. Dan, digambarkan, bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat.

Dari riwayat istri Rasulullah ini, bisa diambil pelajaran bahwa melakukan beberapa gerakan yang tidak ada hubungannya dengan shalat dapat kita kerjakan saat shalat apabila dimaksudkan untuk menghilangkan gangguan shalat. Artinya apa? Artinya, melakukan beberapa gerakan tersebut tidak membatalkan shalat dan bahkan justru merupakan keutamaan karena diperlukan untuk meniadakan gangguan shalat.

Pada riwayat lain, Rasulullah SAW pernah kok melakukan gerakan tambahan pada saat sedang shalat karena menggendong. Seperti diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasul pernah shalat sambil menggendong Umamah, cucu beliau. Jika beliau ruku’, beliau meletakkan Umamah. Jika beliau berdiri, beliau menggendong Umamah kembali. Menurut rekaman Imam Muslim, ketika itu beliau sedang menjadi imam shalat di masjid.

Jadi, misalnya nih, ada di antara kita bawa handphone ke masjid, lalu pas shalat ia berdering karena lupa dimatikan, segera matikan, jangan tunggu ia mati sendiri. Membiarkan deringan sangat mengganggu kekhusyukan shalat. Apalagi sampai mengganggu kekhusyukan orang lain, ini bisa jadi merupakan keburukan yang bertambah-tambah.

Pelajaran juga nih, sebaiknya, jangan pasang ringtone lagu atau musik. Karena kalau handphone itu nyanyi saat shalat berlangsung karena lupa dimatikan, itu salah tempat. Khawatir kalau-kalau pas handphone itu nyanyi, Syaikh Abdurrahman As Sudais sedang mampir shalat di masjid kita, berabe. Nanti, yang tak enak hati pengurus DKM yang membatin, “ini masjid, apa panggung dangdut tujuh belasan?"

Oh, iya. Hindari juga pasang ringtone azan, ya. Sebab, tetap saja mengganggu jika handphone itu tiba-tiba mengumandangkan azan di saat imam sudah baca surat. Nanti jamaah bertanya-tanya, ini siapa lagi yang azan?

Jadi, kata kuncinya, membawa handphone ikut shalat berjamaah di masjid tidak ada larangan. Hanya saja, buat dia tidur atau mati sekalian.😊

Salam literasi digital.|

RUMI DI MADRASAH PEMBANGUNAN

Tari Sema. Foto Credit Abdul Mutaqin

PARADISE 2022, Parade Tahfizh & Apresiasi Seni Islam, "Berkarya Melalui Spirit Al-Qur'an". Parade Tahfizh dan dengan besar di atas berkibar di Madrasah Pembangunan, pada Jumat berkah, 17 Juni 2022. Sebuah gelaran campur aduk haru, gembira, dan terkesima.

Alquran Mulia

Dr. Bahrissalim, MA, Direktur MP UIN mengawali sambutan dan membuka acara. Sepemahaman saya, ada tiga pesan meyakinkan Pak Direktur dalam kata sambutannya. Pertama, Alquran adalah kitab sempurna, kitab mulia. Kedua, Siapa pun yang menginginkan kesempurnaan dan kemuliaan hidup, maka mendekatlah kepada Alquran. Dan ketiga, ada tiga tipologi penghafal Alquran.

Dr. Bahris mengingatkan, jangan jadi penghafal Quran, tapi zalim. Dialah penghafal Alquran namun tidak mengamalkan pesan-pesan ayat yang dihafalnya, ini tipologi pertama. Atau menghafal Quran, tapi belum mengamalkan isinya, ini tipologi kedua. Sedangkan kesempurnaan dan kemuliaan hidup bersama Alquran adalah dengan membaca, menghafal, dan mengamalkan pesan-pesannya, ini tipologi ketiga, tipologi yang paling ideal.

Kesempurnaan dan kemuliaan Alquran sebab ia kitab mulia yang memanusiakan manusia melalui aqidah, ibadah, dan akhlak yang bersumber dari Zat Yang Mahasempurna dan Mahamulia. Aqidah yang selamat, ibadah yang sesuai tuntunan, dan akhlak yang mulia inti pokok ajaran Alquran, jalan keselamatan hidup dunia dan akhirat yang bersifat final. Tidak ada keselamatan kecuali harus mengikuti petunjuk Alquran.

Demikian inti pesan Direktur MP UIN dalam olahan benak saya yang terbatas. Pesan beliau ditutup dengan motivasi, "Kalau kita tidak bisa menghafal Alquran, maka kita mendorong anak anak kita untuk menghafal Alquran."

Parade tahfizh, tak pelak menyentuh qalbu, bukan saja qalbu para wali peserta didik yang sudah memegang janji mahkota Alquran di pelupuk mata, tapi bagi saya yang sekadar hadir juga terharu sampai air mata menitik dan tenggorokan tercekat. Padahal saya bukan siapa-siapanya para penghafal Alquran itu.|

Ada Rumi

PADA sesi pentas seni, hadroh cukup memukau. Hanya dengan tiga pemain pemukul rebana dan dua solis, gema rancak rebananya sangat memikat. Kualitas suara solisnya juga mumpuni. Adem. Sebab mereka grup hadroh tamu, semoga menjadi pemicu MP UIN punya hadroh sekelas mereka.

Ada sisipan acara cukup berani. Kepala Laboratorium, penanggung jawab PARADISE 2022 menghadirkan tarian 'Jalaluddin Rumi'. Tiga penari Tari Sema (Whirling Dervish), meliuk berputar seperti gasing. Baju gamis lebar yang mereka kenakan mengembang seperti jamur bergelombang mengikuti irama putaran.

Sema merupakan tarian kreasi Maulana Jalaluddin Rumi, dulu, pada abad ke-13 di Anatolia, Turki. Sewaktu berkesempatan berkunjung ke Istanbul sembilan tahun lalu, tak sempat saya menyaksikannya di sana. Meskipun tidak utuh, Sema malah meliuk di pelataran Madrasah Pembangunan. Di Turki tak  bertemu, di ujung periuk nasi malah berjumpa. 

Memang, bila ingin utuh menyaksikan dan menangkap ‘ruh’ Sema, Anda mesti terbang ke Turki. Saya yang awam, Sema hanyalah putaran. Sebatas itu saja, tidak lebih. Akan tetapi bagi Rumi dan murid-muridnya, Sema adalah meditasi untuk mencapai kesempurnaan iman, menghapus nafsu ego dalam penghayatan mereka para darwis.

Sebenarnya, ada empat bagian Sema ditarikan memutar. Naat dan taksim merupakan bagian pertama, berisi puji-puijan kepada Rasulullah SAW. Setalah naat dan taksim, irama flute mengalun mengiringi para penari sebagai simbol keterpisahan antara manusia dengan Tuhan.

Bagian kedua devr i veled , di mana para penari saling membungkuk satu sama lain sebagai bentuk pengakuan atas ruh yang sudah ditiupkan. Setelah itu, para penari mulai berlutut dan melepas jubah luar yang berwarna hitam.

Bagian ketiga dan terakhir, para penari mulai memberi salam lalu berputar mewakili bulan. Para penari berputar di luar syeikh atau pemimpin tarian yang mewakili matahari di mana posisi syeikh atau pemimpin tarian berada di tengah para penari.

Para penari pun mulai berputar bertumpu pada kaki sebelah kiri menyelaraskan raga dengan iringan musik. Telapak tangan kanan para penari menghadap ke atas sebagai simbol dari surga. Sedangkan tangan kiri menghadap ke bawah sebagai simbol dari tanah.

Bagi para sufi aliran Rumi, Sema menggambarkan pengenalan seseorang terhadap Tuhan, pengakuan akan keberadaan Tuhan, serta kebersatuan dengan ciptaan-Nya. Selain itu, Sema juga menggambarkan penyerahan diri dan perdamaian hati karena kesatuan Ilahi. Saat prosesi Sema selesai, seorang syeikh atau pemimpin tarian akan menutup dengan taksim membaca Alquran dan melantunkan doa.

Bukan hanya gerakan putaran tariannya saja, pakaian yang dikenakan oleh para penari Sema sarat akan makna atau simbol. Para penari Sema di Turki memakai baju putih yang dibalut dengan jubah berwarna hitam. Kain putih dan hitam adalah simbol kain kafan dan alam kubur. Simbol tersebut mempunyai makna agar manusia senantiasa mengingat kematian. Sedangkan Sikke, topi berpostur tinggi penutup kepala para penari Sema bermakna sebagai batu nisan. Tentu, kematian, alam kubur, dan batu nisan merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia. Begitulah kira-kira ringkas filosofi Sema yang menawan itu.|

SEMOGA pesan Alquran selalu menghidupkan qalbu. Saya menaruh hormat kepada para ustaz dan ustazah yang berhasil mengantarkan peserta didik menghafal Alquran. Semoga keberkahannya sampai juga kepada saya walau hanya berdiri di atas kavling pecinta para penghafal.

Sedangkan Sema, sebagai jalan mengingat pada kefanaan dunia hanyalah gula-gula yang manisnya sesaat. Sedangkan Alquran sudah sempurna menuntun manusia pada hidup dan mati yang manisnya sepanjang hayat, di sini yang fana' dan di sana yang baqa'.

Selamat untuk para huffazh dan para wali huffazh. Selamat menikmati hidangan Alquran.|

SAMPAH ZAMAN



Fitriyanti dalam Meet The Writer bersama Deasy Tirayoh. Foto Credit Ahmad Rudianto. 

Sirine

Seorang anak menggambar ambulans dengan sirine menyala
Wajah ambulansnya sedih semenjak corona
Meraung di jalan, membawa ratusan nama yang dibenamkan suara
Pada lembar kedua
Tampak para astronot menyambut di depan galian tanah terbuka
Sebuah peti putih bertuliskan Mama berbingkai cinta
Buku gambar ditutup, ada sirine di depan rumah
Mata kecilnya mengintip ke jendela
Papa sedang dibawa astronot ke angkasa.
Puisi Sirine di atas milik Deasy Tirayoh. Saya kutip dari laman https:/kantorbahasasultra.kemdikbud.go.id/. Hari ini, saya berkesempatan berjumpa dalam forum Kelas Menulis Fiksi Ilmiah yang digagas Pak Sandy dan Bu Fitri di Baca di Tebet (BDT).|

PAK Sandy dan Bu Fitri, dua guru sains Madrasah Tsanawiyah Pembangunan yang menaruh minat pada literasi membuat small group Student Writer, tindak lanjut dari gelaran acara Latihan Dasar Penelitian yang mereka gagas. Kali ini, Deasy Tirayoh digandeng mempertajam pemahaman materi peserta kelas menulis fiksi ilmiah yang telah mereka dapat sebelumnya di perpustakaan. 


Sebagain peserta dan pendamping berpose bersama Deasy Tirayoh usai sesi insight. Foto Credit Ahmad Rudianto.

Deasy Tirayoh, penulis asal Kendari giat menulis cerpen, puisi, novel anak, dan skenario film. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen Tanda Seru di Tubuh, Titimangsa, Hikayat Gunung Mekongga, dan Kerang Memanggil Angin. Cerpennya juga termuat dalam buku antologi bersama Tat Twam Asi (2016), Dari Timur (2017), Kulminasi (2017), Sadasa (2018), dan Cerpen Tani (2018). Puisi-puisi Deasy terdokumentasi dalam buku antologi bersama; 9 Pengakuan, Wasiat Cinta, Langit Kita, Teluk Bahasa, Mentari di Bumi Anoa, dan Kita Halmahera. Beberapa skenario garapannya yang telah diproduksi antara lain: Larumbalangi, Pelangi Menjuntai di Langit Muna, Rima dan Kima, Sahabat Merah Putih, Sahabat Crayon, Kado untuk Matahari, Kaghati Kolope, dan Bintang Kecil. Pada 2015 lalu, Deasy diundang sebagai penulis emerging di Makassar International Writers Festivalkemudian di Ubud Writers and Readers Festival tahun 2016. Ia juga menjadi salah seorang delegasi Indonesia di Majelis Sastra Asia Tenggara 2018. Keren.

Hari ini, Senin 13 Juni 2022, Deasy saya minta memberikan insight pada 20-an peserta didik Madrasah Tsanawiyah Pembangunan yang sedang menggarap karya fiksi ilmiah, peserta Student Writer-nya Pak Sandy dan Bu Fitri. Kelak, karya mereka akan dibukukan dalam satu antologi karya fiksi ilmiah pertama di Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Keren.

BDT sengaja saya pilih sebagai sumber ide dan tempat berbagi Deasy Tirayoh. BDT itu perpustakaan yang didirikan Wien Muldian bersama Kanti W. Janis. Ia dirancang sebagai alternatif pusat literasi, berbentuk perpustakaan fisik, menyembul dari ruang-ruang publik konsumerisme. BDT punya misi mulia, yakni mengajak masyarakat untuk berproses membaca buku konvensional di saat dunia gandrung pada kecanggihan dunia virtual, mengglorifikasi kehidupan instan serta berorientasi bahwa hasil lebih penting daripada proses.

Seperti nasi, BDT memberikan penyadaran bahwa ia tidak mewujud di piring begitu saja sebagaimana ‘simsalabim-nya’ di dunia virtual. Ada proses panjang, mulai dari menyemai gabah, mencabut tunas muda hasil semaian, menanamnya di atas tanah berlumpur, memanen dan memprosesnya menjadi beras hingga memasaknya menjadi nasi. Seperti itu juga saat membaca sebuah buku, membaca satu persatu kata dari judul hingga penutup.|


Fajar Chandra Perdapa, Ahmad Sandy Rizani, Deasy Tirayoh, Fitriyanti, Saya, dan Agung Sya'ban SE. Foto Credit Ahmad Rudianto.

ADA poin yang sangat saya sukai dari bincang-bincang dengan Deasy Tirayoh hari ini, soal 'sampah zaman'. Ini keren.

Saya dan Deasy menyadari, generasi hari ini, adalah anak-anak yang hidup di zaman serba 'menakutkan'. Zaman di mana peluang dan ancaman pada otak dan hati berupa berbagai konten media; media baik atau media sampah. Bersyukur jika peluang yang berterima adalah media baik, otak dan hati aman sentosa. Akan tetapi, jika ia adalah media sampah, otak dan hati sedang terancam rusak.

Otak dan hati yang dirusak media, seperti membayar kelelahan dengan petaka. Anak-anak yang setiap hari diayomi dengan keelokan budi, tiba-tiba rusak karena gempuran media sampah yang masuk belakangan mewarnai. Seperti angin badai yang mengempas bangunan yang ditegakkan dan dipelihara bertahun-tahun roboh dalam sekejap saja. Sementara proses restorasinya memakan waktu yang panjang dan lebih melelahkan.

Para penulis adalah sosok peran penyumbang; sejarah kebaikan zamannya atau sampah zamannya yang mereka tuliskan. Tinggal di mana mau menempatkan diri atau ditempatkan.

Ada harapan besar pada bibit-bibit penulis yang belajar di BDT hari ini menjadi penulis sejarah hidup mereka pada keelokan budi di zamannya nanti. Tidak harus persis seperti kehebatan Deasy Tirayoh memang, karena Deasy Tirayoh hanya satu. Ia tidak bisa digandakan atau dikloning jadi dua, tiga, dan seterusnya. Asalkan spiritnya sama, spirit pada literasi keelokan budi. Pada poin ini, boleh jadi, mereka bisa melampaui Deasy Tirayoh atau setara dengannya di masa datang. Semoga demikian.|

ACARA hari ini dibuka dan dilepas oleh Kepala Madrasah Tsanawiyah Pembangunan  UIN Jakarta, Momon Mujiburrahman MA. Acara di BDT didampingi Kepala Tata Usaha, Agung Sya'ban SE dan Panitia Kelas Menulis Fiksi Perpustakaan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Sedianya, Kepala Madrasah akan turut mendampingi. Hanya saja berbenturan dengan agenda penting madrasah yang tidak terelakkan. Namun, support beliau cukup menjadi motivasi seluruh peserta hingga mereka kembali. Thank you so much for your nice support, Pak.

Acara berlangsung dari pukul 10.30 sampai pukul 15.00 WIB. Peserta antusias mengikuti sesi "Meet The Writer" ini. Persis pukul 15.15 WIB, peserta kembali ke madrasah. Hujan deras mengguyur, menyejukkan, dan memberkahkan. Lalu, di atas sajadah perpustakaan, peserta berucap syukur menutup acara hari ini dengan shalat Asar berjamaah.  

Salam hormat untuk Deasy Tirayoh. Terima kasih telah berbagi litrasi kebaikan pada peserta didik kami.|

GOODBYE LOMBOK


Cuaca cerah di atas tanah Lombok dari pesawat Airbus A 320, 11 Juni 2022 pukul 16.45 WITA. Foto Credit Abdul Mutaqin.

HUJAN cukup deras. Bandara Praya,  Lombok International Airport Zainuddin Abdul Majid basah kuyup. Dag dig dug rasa hati menanti terbang. Bagaimana jika hujan semakin deras?

Ini bukan first fly bagi kebanyakan guru yang ikut rombongan Pak Eko. Lagi pula, waktu terbang Lombok-Jakarta hanya satu jam lima puluh lima menit. Aka tetapi, hujan, cuaca, dan landasan pacu yang basah, pikiran jadi pucat sepucat pasi wajah teman Pak Eko yang berusaha melawan arus sewaktu snorkeling di Gili Air, Gili Meno, dan baru cerah saat berhasil dievakuasi naik ke perahu. Barulah wajah teman Pak Eko yang tampak sengsara itu jadi semringah berseri-seri saat di Gili Trawangan🤣.

Saya sendiri merasakan arus kuat Gili Meno yang bikin keki. Dari atas perahu, ia tampak jernih, tenang, dan menggoda. Tapi rupanya, ia bak perawan yang diam-diam menghanyutkan. Pas nyemplung, arusnya kuat sekali. Meskipun pakai pelampung, tak urung, badan seperti tengah berjuang menyelamatkan nyawa diseret arus di atas lautan.

Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan memang gili-gili yang bikin deg-degan. Di daratan Gili Trawangan, bahkan arusnya  lebih menyeret. Habis shalat Jumat pun, arus Gili Trawangan bukan malah kendor, tapi mengharuskan kewaspadaan tingkat tinggi teman-teman Pak Eko. 'Sabuk pengaman' terpaksa dikencangkan lagi. Kalau tidak, kendorlah seluruh persendian iman.

Sampai hendak take off,  hujan masih turun, tapi kecil. Rinai-rinai hujan yang merintik tampak jelas dari jendela pesawat. Untunglah, baru kira-kira 10 menit pesawat mengudara, cuaca di langit benar-benar cerah. Tak ada hujan, tak ada kabut mengembun memutih seperti di landasan pacu. Malahan, dari jendela pesawat, tampak warna cakrawala menjingga perlahan sebab matahari akan surut di Waktu Indonesia Tengah. Indah sekali. Sambil menatap angkasa di luar jendela, hati berbisik pelan, "Goodbye Lombok".|

SEBAGAI peminat sejarah, Lombok bukan saja cerita tentang gili-gili itu. Adalah Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu) yang sudah lama saya dengar bisa saya gali langsung dari salah satu sumbernya, Pak Dito, orang Kampung Sade, suku Sasak.

Shalat Wetu Telu adalah praktik shalat dengan hanya mengerjakan tiga waktu atau tiga kali dalam sehari; shalat pada siang hari (Zuhur), sore hari (Ashar), dan saat matahari terbenam (Magrib). Praktik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok atau sebagian lain meninggal sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan utuh atau lengkap.

Berkesempatan berbincang dengan Pak Dito, Guide Kampung Sade, Suku Sasak, Lombok Tengah. Foto Credit Abdul Mutaqin, Screenshoot video milik Idham Kholid.

Pak Dito, orang Sasak yang saya ajak berbincang, mengatakan bahwa Shalat Wetu Telu ada karena akulturasi budaya animisme dengan Islam. Dahulu, orang Sade bahkan tidak mengerjakan shalat dan puasa sempurna. Orang yang melaksanakan syariat sempurna hanya kiainya saja.

Saat ini, orang Sade tidak lagi mengamalkan Wetu Telu. Mereka melaksanakan shalat lima waktu dan berpuasa sebulan pada tiap siang hari Ramadhan. Tradisi-tradisi yang dipandang menyimpang sudah pula mereka tinggalkan. Hanya saja, untuk upacara-upacara seperti hendak pergi ke gunung atau ke makam, adat masih melekat dan diamalkan sebagai warisan tradisi sampai saat ini.

Budaya orang Sade –saya kira umumnya budaya Sasak pada gelaran budaya tari Peresean misalnya, sangat kental nuansa Bali. Musik pengiring dengan instrumen atau alat yang terdiri dari rereong, kecetut, rincik, gendang, dan gong mirip irama musik pengiring tari Kecak-nya Pulau Dewata. Filosofi Peresean ini sangat menarik, hanya saja terlalu panjang bila diulas di sini.

Pak Dito mengatakan, dari segi busana dan musik pengiring Peresean, pengaruh budaya Bali Hindu memang sangat kuat. Sementara dari sisi bahasa, pengaruh Jawa melekat pada budaya orang Sade, Lombok Timur yang mayoritas Islam. Orang Sade sendiri seratus persen muslim.|

DUA orang teman Pak Eko merasa lebih Lombok dari orang Lombok. Pada kesempatan shalat Jumat di Masjid Agung Baiturrahman di Gili Trawangan dan shalat Subuh di salah satu masjid dekat hotel, hanya mereka berdua yang mengenakan peci khas Lombok yang mereka beli. Sementara, tidak ada orang Lombok yang mengenakan peci khas mereka, semuanya memakai peci hitam seperti yang dipakai Pakde Miran atau peci putihnya orang Arab. Begitulah nasib wisatawan yang mencintai produk lokal.

Saya berkelakar sendiri sewaktu di Gili Trawangan. Seharusnya, yang tidak mengenakan peci khas Lombok pada hari Jumat kemarin dan bergegas pergi jumatan hanya bule-bule tak sopan itu.😂|

AYAM disangka puyuh, puyuh disangka ayam. Itulah topik diskusi dua orang teman Pak Eko sambil mereka menikmati menu makan siang Nasi Balap Puyung. Entah mana yang benar, puyuh atau ayam, ayam atau puyuh karena potongan puyuh atau ayamnya terlalu mini untuk kebiasaan orang Jakarta.

Tunggir. Foto Credit Abdul Mutaqin

Saya yang kebetulan dapat tunggir (bagian belakang tempat keluarnya telur jika betina), memang sempat menyelisik, "Ini tunggir puyuh atau ayam, sih?"😬

Lepas dari topik dikusi dua teman Pak Eko, Nasi Balap Puyung oke juga sebagai kuliner khas Lombok yang sayang jika dilewatkan. Apalagi bila kesempatan wisata ke Lombok tidak direncanakan Pak Eko lagi di tahun-tahun mendatang.

Diskusi soal puyuh atau ayam tidak selesai. Dua teman Pak Eko sudah mengikhlaskan, puyuh atau ayam bukan persoalan. Lagi pula, jikapun puyuh atau ayam yang benar, toh tidak bisa membuat dua unggas itu bisa hidup lagi, bertelur, dan beranak pinak kembali. Hihihihihi.

Saya lupa, apakah Nasi Balap Puyung yang dikunjungi rombongan Pak Eko kemarin itu Balap Puyung Pinaq Esun atau bukan. Mbak Yuyun, guide yang mendampingi rombongan, rasanya tidak memberi penjelasan. Atau bisa jadi, pas soal itu dijelaskan, saya sedang melamunkan kekasih saya di Depok.

Nasi Balap Puyung Pinaq Esun sudah melegenda sejak tahun 1970-an. Sudah pula ia menjadi salah satu kuliner legendaris dan disebut-sebut sebagai Nasi Balap Puyung pertama di Lombok. Tak heran kalau Nasi Balap Puyung Inaq Esun selalu direkomendasikan untuk dicicipi wisatawan. 

Konon kata Pak Eko, sebutan nasi balap ini bermula dari anak-anak pembalap yang suka makan di sini setelah balapan sepedah. Dari situlah nasi balap itu disematkan.

Rasa hati ingin kembali ke Lombok dan bertanya pada Mbak Yuyun, apakah Nasi Balap Puyung kemarin itu Balap Puyung Pinaq Esun atau bukan.😁|

BAGI Pak Eko, juga saya, Lombok bisa jadi bukan soal Gili Trawangan, Nasi Balap Puyung, Tari Presean, sirkuit Mandalika, atau kangkung plecing, tapi soal Islamic Center dan rasa beragama. Pada shalat Jumat kemarin, soal rasa beragama itu tampak di permukaan, seperti megahnya bangunan Islamic Center di pelupuk mata.

Di Sirkuit Mandalika. Fairuz, Haji Darul, saya, dan Bu Hani. Foto credit Abdul Mutaqin.

Ceritanya, khatib silap, satu rukun khutbah yakni salawat tidak tersampaikan. Saya yang menyimak betul isi khutbah tahu persis kesilapan itu. Pasti tahulah kita, jika salah satu rukun terlewat, khutbah tidak sah.

Rupanya, kesilapan khatib disadari banyak jamaah. Seorang jamaah cukup sepuh dan berwibawa bergegas. Pakaiannya gamis abu abu dan bersurban. Dari arah pojok kiri saf depan, ia menghampiri khatib, memegang pundak khatib, dan menyampaikan sesuatu. Bisa jadi, ia mengingatkan bahwa salah satu rukun khutbah terlewatkan.

Benarlah, belum beberapa detik laki-laki bergamis itu selesai mengingatkan, khatib sudah mengulang syahadat dan dirangkai salawat lalu wasiat pada khutbah pertama.

Ini pengalaman pertama saya menyaksikan peristiwa langka itu, di tempat yang jauh pula. Saya yang awam, menyisakan pertanyaan di benak, apakah jamaah wajib mengingatkan jika khatib lupa salah satu rukun khutbah seperti kewajiban makmum mengingatkan imam jika ia salah dalam bacaan atau keliru bilangan rakaat? Kita tunggu penjelasan Pak Eko.|

SATU kali, saya mengontak Pak Eko. "Tadabbur Alam kegiatan apa itu Pak Eko?" Tanya saya setengah penasaran.

"Jalan-jalan guru MTs ke Lombok Pak Abdul," jawab Pak Eko.

"Ooo. Jalan-jalan apa tadabbur alam?" Saya penasaran.🤣

"Jalan-jalan sekalian tadabbur alam, Pak." Jawab Pak Eko meyakinkan.😂

Pak Eko memang cerdas. Salam Pak Eko.|

REZEKI DI PAGI BUTA

Ilustrasi ojol. Foto Credit https://tajdid.id/

DICANCEL, gak apa. Mungkin pengendara lelah dan ngantuk. Lagi pula, ini sudah pagi, hampir pukul dua dini hari. Sempet gerutu juga, sih. Jika lelah dan ngantuk, seharusnya aplikasi dimatiin dong. Kasian kan, orang butuh waktu, malah dicancel. Tapi, siapa saya? Itu hak pengemudi.

Deg-degan mulai meninggi. Waktu terus merambat menua. Pukul tiga, harus sudah kumpul di meeting point, terus berangkat ke bandara. Sementara, waktu telah menunjuk pukul dua lebih sedikit.

Beberapa menit menunggu, akhirnya dapat pengemudi baru.

"Alamak! Ro******!" Gerutu saya.

Sekarang, giliran saya yang harus memilih cancel, atau tetap melanjutkan. Masalahnya, pengemudi ojek onlinenya perempuan.

Haduh, malah tambah deg-dagan ini. Mau cancel, belum tentu dapat pengemudi baru dalam waktu cepat, bisa kesiangan. Dilanjutkan, gimanaa gitu. Secara mana, saya laki-laki, dia perempuan.

Karena pertimbangan soal waktu, maka untuk kali ini saja, saya kesampingkan soal gender, soal mahram bukan mahram. Bismillah.|

PENGEMUDI sempat menelpon. Saya tak sempat mengangkat. Saat dia sampai di lokasi penjemputan, saya minta maaf.

Rupanya, dia ingin memastikan.

"Iya, Pak. Saya cuma mau mastiin, Bapak mau lanjut, atau cancel. Kalo Bapak mau cancel, silakan. Maklum, saya perempuan. Takutnya, Bapak risi."

Iya, betul, saya risi. Tapi, jujur saya mulai tertarik. Eits, tunggu dulu.

Lalu, saya memperkenalkan diri bahwa saya guru madrasah yang sedang butuh waktu cepat. Penting untuk saya dan pengemudi. Saya ingin membangun kepercayaan bahwa pengemudi aman bersama saya, dan saya aman bersamanya. Aman dalam arti yang sesungguhnya bahwa saya dan dia sebagai orang yang punya kewajiban menjaga diri dan kehormatan masing-masing.

Mengapa saya mulai tertarik?

Begini. Saya tertarik, tentu, atas alasan apa seorang perempuan menjalani pekerjaan semisal ojek online. Masih harus pula mengambil order pukul dua pagi yang amat berisiko bagi seorang perempuan.

Pastilah, jawaban simpel yang bisa disodorkan karena dia butuh pekerjaan ini, dia butuh uang. Akan tetapi, jawaban atas pertanyaan di atas kadang tidak sesimpel soal uang dan pekerjaan seperti yang dipikirkan.|

SAYA bertanya hal-hal pelik di sela obrolan ringan menuju madrasah. Saya jadi tahu, mengapa perempuan yang sudah punya 3 cucu berani mengambil pekerjaan ini.



"Saya punya dua anak yatim, Pak. Anak adik perempuan saya yang ditinggal mati suaminya. Juga nafkahin ibu yang sudah sepuh."

Tapi, kan tidak mesti harus mengambil order malam sampai pagi, saya menyelisik. Rupanya, siang waktu untuk dia mengurus pekerjaan rumah, mengurus ibu yang sepuh, dan yatim ponakannya yang masih kecil-kecil. Sore saat adik perempuannya baru pulang dari bekerja, dia siap-siap ngojek online.

Perempuan ini pernah menerima order dari Juanda, Depok sampai ke Bandung. 400 ratusan ribu barangkali jumlah yang terlalu besar buat dia lewatkan meski separuh nekat dia ambil. Begitulah jalan hidup yang harus dia jalani sepenuh tanggung jawab pada ibu dan anak yatim.

Dia perempuan yang beruntung, karena punya kesempatan dan mengambilnya mengurus orang tua serta anak yatim meskipun harus bertaruh nasib yang riskan. Tapi, dia juga perempuan yang malang, karena ditinggalkan suami. Ngojek menjadi pilihan terakhir buat menghidupi keluarganya setelah mundur dari pekerjaan satpam, body guard, dan memulung.|

"MPOK, maaf ya. Maaaaf sekali lagi. Sepanjang ambil order malam-malam begini, ada enggak, penumpang yang iseng?"

Saya panggil Mpok sebab dia mengaku orang Betawi Tengah yang minggir ke Depok.

Saya terbelalak. Bukan saja penumpang yang iseng, dia mengaku, bahkan yang nakal pun sering dia hadapi. Segepok uang pernah disodorkan penumpang, mengajaknya mampir ke hotel, lalu minta dilayani. Penumpang nakal itu mengira, si Mpok bisa diperdaya dengan uang.

"Maaf, lu salah orang. Asal lu tahu, gue, cari berkah, bukan cuman cari uang buat makan." Begitu si Mpok menutup cerita soal penumpang yang nakal itu.

Si Mpok mengaku, hidup di jalan memang kejam. Apalagi bagi perempuan, dia harus tangguh, kalau tidak habislah dia. Si Mpok bahkan merasa harus menjadi bukan sekadar kuat, tapi digdaya. Tiap hari, dia ibarat meniti pinggir jurang, riskan tergelincir demi menghidupi dua anak yatim dan ibunya yang bergantung padanya.|

SAYA bersyukur tidak membatalkan pesanan. Yang saya khawatirkan, jika  perempuan itu adalah para perempuan yang saya cintai; anak-anak perempuan dan istri saya. Allah ya Rabb, mohon lindungi mereka dalam pengasuhan-Mu dengan lindungan yang sempurna.|

Tidak terasa saya sudah sampai di madrasah. Sambil mata mrembes, saya titip tambahan ongkos untuk dua anak yatim di rumahnya yang bisa jadi masih nyenyak terlelap.

Siapa pun para perempuan, pilihan si Mpok adalah mulia. Namun, bila ditanya dan harus memilih, dia pasti tidak ingin mengambil jalan ini. Maka, berbahagialah para perempuan yang menikmati nyenyak berkemul dalam selimut tebal di saat banyak perempuan harus berjuang seperti si Mpok.

Mpok, semoga selalu dipelihara Sang Pemberi Rezeki di manapun Mpok mengais rezeki.

Jumat penuh berkah.

Lombok, 10 Juni 
2022.

ANAK KANDUNG LIBERALISME


Gene Robinson dan Mark Andrew dalam upacara pernikahan sipil mereka pada 2003. Photo Credit, https://www.bbc.com/

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender),"anak kandung" sekularisme dan liberalisme semakin hangat dibincangkan. Momentum Deddy Corbuzier mengundang pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederick Vollert di media podcast-nya, menaikkan suhu menjadi panas. Deddy bahkan dianggap bikin gaduh dan mendukung LGBT.

Ragil Mahardika diketahui menikah dengan Frederick Vollert; laki-laki asal Jerman. Selain Ragil, ada pasangan Jacky Rusli, pria Indonesia yang menikah dengan Sath Halim, pria asal Amerika. Ada Erwin Chandra dan Michael Hinz dari Jerman. Ada Wisnu Nugroho yang menikah dengan pria asal Perancis. Dan masih ada banyak pasangan gay di negeri mayoritas muslim ini.

Hari ini, 31 negara sudah melegalkan LGBT. Negara-negara itu menjadi tempat pelarian bagi pasangan "kawin lari" para homo. Maka, banyak pasangan homoseksual Indonesia yang menikah di sana untuk mendapatkan 'surat nikah' layaknya pasangan laki-laki dan perempuan normal.

Belanda menjadi yang pertama. Sejak 2001, Negeri Kincir Angin itu sudah melegalkan pernikahan sesama jenis. Taiwan merupakan negara di Asia yang sudah pula melegalkan LGBT pada 2019 di urutan ke-30. Urutan ke-31, Swiss menyusul ikut melegalkan.|

DALAM asumsi saya, Deddy tidak sepenuhnya salah. Bahkan boleh jadi, Deddy berjasa telah membuka mata banyak orang bahwa LGBT semakin menggila. Meski demikian, banyak yang belum ‘ngeh’. Padahal sangat mungkin, pengaruh LGBT sudah masuk hampir ke semua pekarangan rumah tiap keluarga di Indonesia. Buktinya, Deddy berani mengundang mereka menunjukkan wajah asli mereka tanpa malu-malu. Ngeri.

Yang lebih mengerikan, ada indikasi pihak-pihak tertentu berusaha melegalkan LGBT di Indonesia. Indikasi itu kuat sekali. Bila orang sekaliber Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif, tokoh yang sering diidentikkan sebagai pengusung pluraslime agama saja menitip pesan kepada Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI dan meminta kepadanya agar LGBT tidak dilegalkan karena berlawanan dengan jiwa Pancasila, itu artinya, legalitas LGBT di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.|

LIBERALISASI merupakan respons dan fenomena khas dalam dunia Kristen. Problem teks Bible tampaknya yang menjadi pemicu. Bagaimana bisa demikian?

Para ahli teologi dan kitab suci Kristen di Barat masih mempertanyakan tentang Bibel. Who Wrote the Bible saja masih misteri. The Five Book of Torah atau The Five Book of Moses yang ditengarai ditulis oleh Moses masih dianggap sebagai “it’s one of the oldest puzzles in the world”. Tidak ada satu ayat pun di dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses sebagai penulisnya. Sementara, banyak kontradiksi dijumpai pula di dalamnya.

Demikian halnya dengan problem Perjanjian Baru (The New Testament). Hal yang menjadi ganjalan penafsir Bibel adalah karena tidak adanya dokumen Bibel Perjanjian Baru yang original saat ini. Bahan-bahan yang ada juga bermacam-macam, berbeda pula satu dengan lainnya. Bahasa Yunani (Greek) sebagai bahasa asal Perjanjian Baru pun mengalami problem kanonifikasi teks Bibel yang sangat rumit. Hingga saat ini, ada sekitar 5.000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek yang berbeda satu dengan lainnya. Antara tahun 1516 sampai 1633 saja, terbit sekitar 160 versi Bibel dalam bahasa Yunani. Ruwet, ruwet, ruwet.

Karena problem teks Bible ini, menurut Adian Husaini, Barat Kristen kemudian mengembangkan proses liberalisasi dan dekonstruksi besar-besaran terhadap berbagai doktrin Kristen. Salah satunya dalam bidang kajian kitab suci dengan mengembangkan hermeneutika yang mengkonstruksi konsep Bibel sebagai “The Word of God” dan mengembangkan metode historical criticism terhadap Bible. Terjawablah, mengapa hermeneutika diperlukan bagi Barat Kristen, bahwa firman Tuhan harus direkonstruksi, Bible harus dikritik.

Di kemudian hari, di samping dijadikan sebagai studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel, para teolog dan filosof Barat mengembangkan hermeneutika sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Lalu, apa hubungannya problem teks Bible, hermeneutika, dan LGBT?|

PROBLEM-problem Bible yang sedemikian pelik itu dipecahkan dengan tafsir hermeneutika. Sebagai metode penafsiran, hermeneutika sangat memperhatikan konteks saat suatu teks ditafsirkan. Maka, menjadi sangat mungkin sebuah penafsiran akan ditinggalkan karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat. 

Di Barat, LGBT sudah dianggap menjadi budaya dan diterima sebagai kebutuhan masyarakat yang normal dan harus dilindungi atas nama HAM dan atas nama hak privat. Maka, meskipun dalam Kitab Imamat 20:13 disebutkan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”, sebagian besar masyarakat mereka bisa menerima saat Gene Robinson menjadi uskup Gereja Anglikan di Keuskupan New Hampshire AS, pada Minggu, 2 November 2003 sedangkan Robinson adalah seorang gay. Tentu, pengangkatan Robinson menjadi sebagai legitimasi gereja terhadap pelaku homoseksual. Pengangkatan uskup gay ini mendapat dukungan dari kalangan liberal di samping penolakan dari kalangan konservatif.

Saat upacara pelantikannya, Robinson ditemani Mark Andrew, pasangan homo yang sudah menemani hidupnya selama 14 tahun. Andrew pula yang memasangkan topi bishop di kepala Robinson.|

DUNIA akademisi Universitas Islam Negeri di Indonesia pernah dihebohkan dengan disertasi yang mengabsahkan hubungan seksual di luar nikah. Penulis disertasi itu menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan konsep milk al-yamin (kepemilikan atas budak) sebagai keabsahan hubungan seksual nonmarital. Milk al-yamin merupakan gagasan yang ditawarkan Muhammad Syahrur.

Penulis disertasi merasa prihatin dengan maraknya kriminalisasi, stigmatisasi dan pembatasan akses terhadap mereka yang melakukan hubungan seksual nonmarital. Ia juga beralasan, bahwa konsep milk al-yamin ala Muhammad Syahrur dibatasi dengan beberapa kondisi, di antaranya tidak boleh dilakukan dengan berzina dalam teori Syahrur. 

Zina menurut teori Syahrur, yakni hubungan seksual yang diperlihatkan ke publik. Jadi, dalam pandangan Syahrur, seorang laki-laki boleh berhubungan seksual dengan perempuan lain secara nonmarital seperti pada milk al-yamin sepanjang tidak dipertontonkan. Selama hubungan seksual itu dilakukan di kamar, tertutup, itu bukan zina.

Siapa Syahrur, dan siapa penulis disertasi itu?|

MUHAMMAD Syahrur tidak lain seorang sarjana teknik sipil, bukan ahli tafsir, atau sarjana yang mendalami syari’ah. Ia lahir di Damaskus, Syria pada 11 April 1938 M. Pada 1958, Syahrur mendapat beasiswa melanjutkan studi ke Moskow, Uni Soviet untuk belajar teknik sipil. Studinya dilanjutkan ke Ireland National University, Dublin, Irlandia, pada jurusan yang sama.

Syahrur hidup dalam tradisi intelektual Eropa Timur. Saat berada di Moskow, minat Syahrur pada filsafat Marx dan Hegel mulai terbentuk. Ia kerap menghadiri berbagai diskusi tentang pemikiran keduanya. 

Pada saat studi di Irlandia, Syahrur semakin menekuni lagi bidang filsafat dan berkenalan dengan banyak pemikir yang membentuk pandangannya di kemudian hari. Syahrur mendiskusikan pemikiran Immanuel Kant, Fichte, G.F. Hegel, Alfred North Whitehead, Bertrand Russel, dan lain-lain. Banyak yang menilai, pemikiran Syahrur merupakan sintesa dari filsafat spekulatif Whitehead, rasionalisme idealis para filosof Jerman serta strukturalisme dari nalar matematika-teknik yang membentuk suatu pemikiran yang tidak lazim (unorthodox).

Tidak mengherankan apabila pemikiran Syahrur sangat dipengaruhi oleh tradisi Barat, terutama dalam hukum keluarga. Pandangannya tentang milk al-yamin tampaknya digagas dari kebiasaan dan tradisi (‘urf) masyarakat Barat liberal yang memandang praktik samen leven (musakanah, kumpul kebo) adalah perkara biasa dan boleh-boleh saja. 

Dengan kacamata hermeneutik-Barat yang sedemikian bebas itu, mulailah Syahrur menawarkan  gagasan pemikiran dekonstruktif. Syahrur mulai mengkritik syari'at. Ia mencurigai bahwa kajian keislaman telah terjebak dalam tradisi taklid dan mengekor pada tradisi pemikiran klasik. Karena itu, Syahrur menyatakan perlunya umat Islam membebaskan diri dari bingkai pemikiran taklid dan tidak ilmiah. 

Ya, Syahrur menuduh umat Islam terjebak pada taklid pada tafsiran ulama klaisk, sementara Syahrur sendiri sudah masuk perangkap pada pola pikir liberal sekuler saat melihat agamanya sendiri. Artinya, Syahrur sendiri taklid pada pemikiran Barat sekuler-liberal yang ia kagumi.

Pemikiran Syahrur ini ditawarkan penulis disertasi tentang konsep milk al-yamin; Abdul Aziz. Disertasi Abdul Aziz disidangkan melalui ujian terbuka pada hari Rabu 28 Agustus 2019 di UIN Sunan Kalijaga dan diluluskan dengan beberapa catatan dari para penguji.|

SYAHRUR hanya salah satu dari sarjana Muslim yang kepincut hermeneutika. Belakangan, Nasr Hamid Abu Zayd, sarjana muslim liberal asal Mesir juga gigih mengusung hermeneutika. Secara sadar, Abu Zayd bahkan menyebut bahwa homoseksual adalah fenomena yang alami. Abu Zayd menyadari, bahwa Islam tidak akan pernah mengakui homoseksual kecuali sebagai perilaku menyimpang. Perlu revolusi yang nyata berupa perubahan cara berpikir tentang Al-Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan manusia.

Cara inilah yang dilakukan Scott Siraj al-Haqq Kugle yang membuat penafsiran baru tentang homoseksual. menurut Kugle, para ahli hukum Islam selama seribu tahun lebih telah salah paham dalam soal penafsiran kisah Luth. Padahal, katanya, kaum Luth dihukum oleh Allah bukan karena mereka homo, tetapi karena mereka kafir dan membangkang.

Di Indonesia, tidak sedikit tokoh yang latah menerapkan hermeneutika. Mereka terang-terangan menuduh para ulama klasik telah melakukan banyak sekali penafsiran al-Qur’an yang dipelintir demi maksud-maksud politik, sementara klaim objektivitas dan paling benar sendiri (truth claim) selalu dikedepankan.

Begitulah perilaku sarjana muslim yang mengadopsi pemikiran Barat. Kadang, mereka terlihat lebih orientalis dari pada orientalis kulit putih dengan turut serta mengkritisi Alquran. Apakah para sarjana muslim itu tidak mau lagi membedakan martabat Alquran yang tidak memiliki problem seperti problem yang dihadapi Bible sehingga harus dipahami dengan hermeneutika?|

MELINDUNGI generasi muda dari LGBT sudah sangat mendesak, sama mendesaknya dengan mengajak mereka pada literasi bahaya liberalisme. Katakan pada anak-anak kita, katakan pada generasi muda: No LGBT! No Liberalism! |