KETIKA JAKARTA TIDAK LAGI MENJADI IBU KOTA NEGARA

Behind The Gates. Foto Credit Marcel Ardivan on Usnpalsh.

RASANYA, saya belum berhenti menikmati selebrasi sebagai pendatang baru. Seakan, hati bak bunga mekar, segar terus. Bagaimana tidak, satu karya puisi saya lolos di antara karya para penyair hebat. Ini sesuatu banget.

Bermula dari teman sejawat; Alvian Novaldi Sutisna yang mengundang saya untuk ikut menulis puisi pada satu event bertajuk “KETIKA JAKARTA TIDAK LAGI MENJADI IBU KOTA NEGARA”. Naskah yang dipandang layak, akan dimuat dalam satu buku antologi puisi setelah melewati proses kurasi.

“Puisi, ya?” Tanya saya.

Alvian mengangguk. “Ikutlah,” katanya meyakinkan.

Saya tidak yakin, alias tidak punya “keyakinan” untuk menulis puisi. Meskipun saya menyukai dunia literasi menulis, tapi menulis puisi hampir tidak pernah saya lakukan. Apalagi menulis puisi untuk diikutsertakan pada satu event, ini lebih “mengerikan”. Tak lah, saya tak berani.

Alvian terus menggoda saya, lebih tepatnya memprovokasi. Saya bergeming. Akan tetapi, saya tak tahan. Lama-lama, saya tergoda juga. Saya mulai tanya-tanya dari sisi substansi, teknik, gaya, sebekal pengetahuan saya tentang puisi yang sangat terbatas kepada Alvian. Saya lihat, Alvian tersenyum, dan saya tahu arti senyumnya. Maka dengan senang hati, Alvian “menjamu” saya soal puisi dengan semangat karena provokasinya mulai membuahkan hasil.

Alvian mencerahkan saya, secerah wajahnya yang sebentar lagi akan mengabadikan pasangan hidupnya dalam mahligai cinta yang pernuh berkah. Sedikit ilmu soal teknik menulis puisi pun dia terangkan. Alvian memang terbiasa menulis puisi dan guru Bahasa Indonesia pula di sekolah tempat kami mengajar. Saya serius menyerap penjelasan Alvian dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya saat itu.

“Ah, susah lah itu,” gumam saya dalam hati.

Jadi, saya berkesimpulan, menulis puisi itu tidak gampang meskipun sedikit modal penguasaan menulis ada di genggaman. Persoalannya, menurut dugaan saya, menulis puisi begitu rumit. Unsur keterlibatan “ruh” agar bait-baitnya menjadi bernyawa sangat dominan. Saya nyerah di sini.|


SAYA terhenyak. Naskah puisi saya lolos kurasi. Alvian mengabarkan begitu. Namun, saya baru percaya saat hasil pengumuman dewan kurator di-forward ke WA saya. Sejak itu, seperti di awal saya katakan, selebrasi seperti tidak berakhir saya rasakan.

Memang, akhirnya saya putuskan ikut event ini. Dengan membaca bismilah berkali-kali, didampingi tasbih, istighfar, dan hawqalah, satu naskah puisi saya layangkan. Itu pun dibaca berkali-kali seperti dulu membaca surat dari kekasih.

Sejak itu saya gelisah. Akan tetapi, saya hibur kegelisahan itu kembali ke titik awal, bahwa ini tahap belajar, bukan tahap kontestasi bagi saya. Lolos, syukur. Tidak, juga tak apa. Lagi pula, lolos tidak lolos, itu bukan urusan saya lagi, bukan pula urusan Alvian. Urusan saya dan Alvian hanya ikhtiar, ambil bagian untuk meramaikan literasi.

Akan tetapi, embusan angin berubaha haluan. Dari gelisah, sekarang berubah tak sabar, kapan buku kumpulan puisi itu terbit. Meskipun bisa jadi, nilai karya puisi saya paling bawah dari daftar nilai yang lolos kurasi setelah diurutkan. Tak apa, itu tak terlalu saya perhatikan karena sudah terlanjur senang. Pembelajaranlah yang terpenting dari itu semua. Tentu saja, pembelajaran dari para penyair dengan karya-karya mereka yang memesona dalam buku itu nanti.

Meski sudah tergabung dalam WA Grup Menuju KLB 4 (Komunitas Literasi Betawi), yang menggagas event, saya sebatas silent reader. Namun, tiap kali membaca kabar perkembangan kapan akan antologi terbit, gemuruh di dada lebih ramai dari taluan bedug menjelang lebaran.

Aiih, biarlah tak jadi pujangga tulen, setengah pujangga pun tak apa. Bahagia menunggu buku terbit.

Depok, 25 Juni 2023. Akhir Pekan yang menyenangkan.

MAS ROID NAIK HAJI


Makkah al-Mukarramah. Foto Credit https://sp.spa.gov.sa/

AKU memanggilnya Mas Roid. Nama "Roid" itu mirip karakter bintang dalam satu dua film Bollywood; "Rohid". Ah, tidak. Mas Roid yang nama penuhnya "FAROID", ini lebih keren dari sekadar nama Mithun Chakraborty.

Aku coba googling. Sepi. Jarang sekali orang memakai kata itu sebagai nama diri. Artinya, nama ini tidak pasaran. Unik. Namaku saja kalau di-googling di mesin search engine, ngampar. Artinya, namaku itu pasaran. "Mulyati", pasaran. "Rosidah", pasaran. "Slamet", juga pasaran. Apalagi "Yadi", "Ratu", atau "Yayat", lebih pasaran. Haaaa.

Yang lebih pasaran dari nama-nama pasaran di atas adalah namaku. Kerap, ia dipakai untuk nama masjid jami, musala, madrasah atau pondok pesantren, juga majelis taklim. Rasanya, di usia yang sudah kepala 5 ini, belum pernah aku menjumpai sebuah masjid tertulis di papan namanya "Masjid Jami Mulyati". Jadi, betapa pasarannya namaku, dan betapa masih uniknya nama Mulyati itu. Aih.

Akan tetapi, sebagai identitas, nama tetap mulia (seperti “Mulyati” yang bermakna “mulia) betapa pun pasarannya ia. Sebab, nama adalah doa, harapan, dan marwah pemberian orang tua. Ia harus dijaga dan dihormati oleh yang menyandang dan orang-orang yang mengenalnya. Menghormati sebuah nama, sama halnya dengan menghormati orang tua, orang yang berbinar-binar dan berseri-seri saat memberikan nama itu.

Lalu, aku menerka-nerka, boleh jadi orang tua Mas Roid ingin agar kelak putranya ini menjadi seorang yang faqih pada satu cabang ilmu yang amat penting, yaitu Ilmu Faraid. Jadi, ia diharap akan menjadi rujukan banyak orang yang tengah bingung untuk memecah-mecah harta warisan, berapa bagian yang akan diterima orang itu sebagai ahli waris. Maka, datanglah ia kepada Mas Roid. Dan, selesailah urusannya karena Mas Roid ahli Faraid.

Namun, tulisan ini bukan untuk ngomongin warisan. Lagi pula, tafsir atas nama Mas Roid datang begitu saja sekelebatan di kepalaku lalu aku tuliskan. Ini hanya narasi, sekadar coretan teman lama di atas keyboard yang sedang bahagia karena tahun ini Mas Roid akan jadi duyufurrahman, akan jadi bagian dari para tamu Allah di Tanah Suci. Mas Roid akan berhaji memenuhi panggilan Allah, menggenapkan rukun Islam yang akan menyatu dengan iman dan Islam Mas Roid untuk seumur hidup. Maka, betapa senangnya hatiku mendapati kabar perihal ini.

Andaikata jarak Depok-Purbalingga itu hanya sekelok saja, maka, subuh-subuh yang gulita, aku akan datang menyambangi rumah Mas Roid untuk melepasnya berhaji. Apatah lagi sudah lebih dari 20 tahun aku tak bersua. Kangen, dan momen pertemuan tentu membahagiakan bercampur mengharukan.

Maka, bila saja kesempatan itu ada, aku akan memeluk Mas Roid sebelum ia terbang ke tanah tandus di mana Baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan di sana, Makkah al-Mukarramah. Bukan sekadar agar luruh kangen ini, melainkan memuaskan rasa syukur bahwa Mas Roid adalah satu dari ribuan umat Islam yang akan mendapat tambahan lagi kesempatan masuk surga karena membawa haji yang mabrur.

Aku yakin, tidak ada keinginan ziarah yang paling diidam-idamkan seorang muslim melebihi idaman keinginan berhaji. Memang, Allah begitu dekat dengan hamba-Nya yang salih di mana pun ia berada. Akan tetapi, membisikan doa di pelataran Masjidil Haram, di depan Baitullah Ka'bah yang mulia, rasanya sudah tidak lagi ada jarak antara Allah dengan hamba-Nya itu yang bersusah payah mendekat sampai ke rumah-Nya. Allahu Akbar!

Wajarlah bila air mata tak lagi dapat dibendung saat wajah sudah menatap Ka'bah. Keharuan tak bisa lagi disembunyikan saat thawaf dikerjakan sehitungan tujuh putaran. Apalagi bila takdir mencium Hajar Aswad Allah berikan cuma-cuma di antara lautan manusia yang berebutan ingin menciumnya, Allahu Akbar! Sungguh-sungguh amat beruntung, meski mencium Hajar Aswad bukanlah perkara wajib.

Temanku yang lain, teman sekelas waktu kuliah dahulu yang derajatnya didekatkan dengan Ka’bah adalah Mas Mono. Mas Mono punya kedudukan sendiri yang jarang didapat banyak orang. Ilmu dan pengalamannya tentang Baitullah di atas rata-rata di antara kami teman-temannya. Bahkan, Mas Mono sudah menjadi rujukan umat dalam hal ini, juga dalam hal perkara kehidupan dan kematian. Maka, tidak ada sikap selain menaruh rasa hormat pada kawan seperti dia.

Demikianlah hari ini hatiku berbunga-bunga, semarak seperti warna-warni tulip yang mekar di bulan April di Konstantinopel. Selalu begitu tiap kali ada orang yang aku kenal akan berangkat menunaikan ibadah haji, meski tidak semua aku narasikan seperti untuk persembahanku pada Mas Roid.

Selamat menunaikan ibadah haji Mas Roid dan keluarga. Mugi-mugi jadi haji mabrur. “Allahummaj'alhu hajjan mabruro, wa sa’yan masykuro, wa tijarotan lan tabur”. 

Titip doa ya, Mas. Semoga kami yang belum berhaji segera menyusul memenuhi panggilan pemilik Baitullah ke Tanah Haram. Aamiin.

Perpustakaan, Rabu, 21 Juni 2023, menjelang mulih.

SIHIR KOMUNIKASI EFEKTIF


Komunikasi. Foto credit https://www.djkn.kemenkeu.go.id

PADA Jumat, 16 Juni 2023 kemarin, MTS Pembangunan menggelar pelatihan bertajuk "Komunikasi Efektif". Pesertanya para pendidik dan tenaga kependidikan. Beberapa ada pejabat di lingkungan Yayasan Syarif Hidayatullah, Pimpinan Unit, dan Tata Usaha di forum itu.

Narasumber; Iwan Ridwan dengan pengalamannya yang segudang membawakan materi dengan apik dan menarik. Suaranya khas, intonasinya konstan, berkharisma. Mantap lah pokoknya.

Acara dibuka oleh Yayasan; Pak Tanenji, MA. Pak Nenji membuka kata sambutan dengan kasus faktual yang enteng, tapi punya kaitan yang sangat kuat dengan tajuk pelatihan hari itu. Mantap lah pokoknya.

Saya menikmati pelatihan itu, meski di akhir sesi sempat menghilang untuk persiapan naik mimbar Jumat di KPP Pajak Pancoran, TB Simatupang. Tentu, ke TB Simatupang Jumat itu, saya mendapat tambahan bekal; komunikasi efektif di atas mimbar di tengah kekhawatiran telat karena hujan yang belum juga reda hingga pukul 11.12 WIB.

Catatan ini hanya refleksi, mengambil angel yang sangat sempit dari keseluruhan isi pelatihan keren itu. Karena itu, tulisan ini subyektif sekali, ia bukan summary-nya sebagai "expressing or covering the main points briefly" yang utuh.|

DALAM khazanah pemikiran Islam, manusia sering disebut sebagai "hayawanun natiqun", hewan yang berpikir. Disebut juga sebagai "hayawanun ijtimaiyyun", atau hewan yang berkelompok, bersosialisasi. Maka, aktivitas berpikir dan berkelompok menjadi bagian dari ciri manusia yang paling dominan dalam keseharian.

Komunikasi menjadi alat untuk menjembatani proses berpikir dan berkelompok. Tanpa komunikasi, pemikiran tidak akan banyak berguna. Dan tanpa kelompok, komunikasi tidak menemukan wadahnya secara komunal.

Jadi, berpikir, berkelompok, dan berkomunikasi, melekat dalam lingkungan  sehari-hari manusia. Maka, komunikasi perlu dikemas apik agar pesan tersampaikan, nilai-nilai terserap, dan problem terpecahkan. Di sini, komunikasi menjadi sangat berarti.

Begitu berartinya komunikasi, ada orang-orang tertentu bahkan merasa perlu untuk belajar bagaimana ia mampu berkomunikasi dengan binatang. Lebih dari itu, ada pula orang yang merasa perlu memiliki kemampuan berkomunikasi kepada makhluk gaib, kepada "dunia langit".|

SEBAGAI yang kerap mengulik konten sejarah dan kebudayaan Islam, jadi teringat, dahulu, pada masa Daulah Bani Umayyah (661-750 M), sudah ada semacam sekolah yang disebut Badiah, semisal Public Speaking School. Letaknya di pedalaman, di tengah gurun terpencil. Kurikulum pokoknya kemahiran berbahasa, kefasihan, dan kepiawaian berkomunikasi dengan bahasa Arab murni. Hampir semua anak-anak khalifah, para pangeran, dan calon pejabat negara "dipaksa" belajar tata komunikasi dengan bahasa Arab fushah di sini.

Bisa jadi, keberadaan Badiah tetap dipertahankan sesudah era Daulah Umayyah berlalu karena bangsa Arab adalah bangsa yang sangat menghormati kemahiran berbahasa sejak zaman pra Islam. Sampai hari ini pun, warisan sastra Arab dan sastra Islam masih diperbincangkan di bangku-bangku akademik seakan ia tak pernah usai dinikmati keindahannya.|


DI dalam komunikasi ada "al-bayan", ada argumentasi dengan tata kalimat yang baik. Dan di dalam "al bayan", ada sihir, ada daya pikat yang memukau.

Dalam literatur hadits, Nabi SAW mengakui hal itu, seperti pada riwayat Imam al-Bukhari, "inna minal bayaani sihran" bahwa sesungguhnya sebagian dari Al-bayan (susunan kata-kata yang indah) adalah sihir”.

Karena ada unsur "sihir" inilah, komunikasi memiliki daya magis, ia punya kekuatan mempengaruhi. Karena itu, komunikasi efektif menjadi penting dikuasai dan dikelola. Tentu saja, dikuasai dan dikelola untuk tujuan yang baik.

Bagi pendidik, komunikasi efektif berguna untuk memikat peserta didik dalam proses pembelajaran di ruang-ruang kelas, untuk mengantarkan kesadaran mengapa mereka harus belajar, dan untuk menginspirasi agar hasil belajar diterapkan dalam pergaulan sehari-hari.

Komunikasi efektif juga sangat penting dalam pola komunikasi guru-murid di luar kelas. Bahkan di sini, citra seorang guru akan mudah terbaca di mata seorang murid dari pola komunikasi sang guru di ruang yang lebih bebas, lebih autentik dan natural sebab ia tidak seformil di ruang kelas. Di sinilah letaknya perbedaan paling mendasar, bahwa lidah seorang pendidik berbeda dengan lidah "tukang obat" pinggir jalan meskipun sama-sama dalam konteks berkomunikasi.

Maka, pendidik yang bijak tidak akan mengubah takdir lidahnya menjadi sekadar lidah "tukang obat" yang acapkali ia gunakan untuk menyihir orang bahwa obatnya paling manjur di kolong langit lalu obatnya laris manis terjual.

Jadi, memikat dan mengambil simpati peserta didik untuk tujuan-tujuan di luar konteks pendidikan dan pembelajaran, meski itu efektif, itu bukan takdir lidah seorang pendidik. Dengan bahasa yang lugas, kalaulah guru mendapat tanda mata buah tangan, biarlah itu karena ketulusan, bukan karena menukar lidahnya dengan lidah "tukang obat".|

ADUH, rasanya, diri ini masih jauh panggang dari api menyimak pengalaman Pak Iwan Ridwan saat ia menangani siswa yang dicap "paling nakal" menjadi siswa paling baik dan berprestasi di belakang hari.

Saya percaya, di samping kemampuan berkomunikasi yang efektif, modal untuk mengubah loyang menjadi emas seperti pengalaman Pak Iwan Ridwan adalah ketulusan. Ketulusan kadang tidak membutuhkan bumbu untuk menyihir orang. Bahkan, ketulusan kadang terlalu bisu, seperti jalan sunyi. Ia tidak membutuhkan untaian kalimat pujian mendayu untuk mempengaruhi jiwa komunikan mengambil sebuah keputusan.

Apatah lagi, sering tidak disadari banyak orang, lawan bicara sebenarnya menangkap ketulusan dan ketidaktulusan dari pola komunikasi yang sedang berlangsung. Boleh percaya, tidak pun tak apa. Yang jelas, komunikasi yang efektif sangat penting untuk menghadirkan produk berpikir dalam sebuah komunitas, apalagi komunitas pembelajaran.

Akhir pekan yang sibuk, dan happy weekend.

LITERASI MARWAH



Marwah. Foto Credit: https://kbbi.lektur.id/marwah

RAPAT pleno hari ini agak berwarna. Bukan hanya soal nilai peserta didik yang diplenokan, melainkan perkenalan guru baru “diplenokan” pula statusnya. Hahahaha. Seru. Pak Eko paling sering disebut-sebut. Entahlah, barangkali Pak Eko terlalu “mempesona” untuk diabaikan begitu saja. Ehehehehe. Apalagi saat waktu berpisah dengan Bu Raisa, Bu Kamila, dan Pak Asfia. List nama yang menggema bertambah, bukan hanya Pak Eko, tapi juga Sang Pujangga; Alvian Revaldi Sutisna, dan Miss Afni. Ehehehehehe.

Entahlah, jika hati ini terasa hampa ditinggal mereka, apalagi yang bertiga itu. Wkwkwkwkwkwk. Maaf ya, kawan. Semoga mereka bertiga mendapat pengalaman berharga di madrasah tercinta ini.

Ehem. Ada persoalan substansial yang disinggung Pak Kamad saat memberi pengantar pleno. Boleh jadi, ini terlalu substansial dalam konteks relasi sesama pendidik, pendidik dengan peserta didik, dan pendidik dengan orang tua wali peserta didik. Ini menyangkut marwah atau kehormatan. Apalagi marwah pendidik. Semoga soal marwah ini tidak diabaikan peserta pleno karena tertutup oleh pesona Pak Eko. Eh …

Pendidik, peserta didik, dan orang tua wali peserta didik merupakan circle yang sangat kompleks. Meskipun relasi circle ini dibangun pada spirit mendidik, akan tetapi, disadari atau tidak, pola hubungan itu meskipun kasuistik kerap keluar dari konteks pendidikan.

Bagaimanapun, pendidik bekerja pada sebuah lembaga, berhadapan dengan aturan lembaga, dan saling berkompetisi untuk meraih jenjang karier tertentu atau posisi-posisi sebagai bentuk capaian kinerjanya. Untuk hal jenjang karier ini, berhadap-hadapan dengan kawan seiring untuk meraih posisi itu tidak bisa dihindari. Celah inilah yang rawan, di mana pola hubungan kerap keluar dari konteks pendidikan, bahkan seperti perilaku paradoksal seorang pendidik.

Sebagai pendidik, ia terikat oleh etika. Tentu tidak elok dan cenderung naif bila di belakang, ia sengaja menyampaikan informasi yang tidak sepenuhnya benar dan cenderung menjatuhkan rekan sejawat hanya untuk mengambil simpati, baik simpati peserta didik, wali peserta didik, atau bahkan pimpinan.

Efeknya besar. Bila informasi itu bocor sampai ke telinga sejawat, lalu dijadikan sebagai topik diskusi di tempat ngopi, percayalah bahwa pondasi ketidkpercayaan kepada teman sejawat itu sedang dibangun di atas lantai rumah pendidikan, paradoks.

Bayangkan, bila ada wali peserta didik mencecar wali kelas karena tidak puas dengan kinerja penanganan anak dengan bahasa yang pedas dan nyelekit. Satu dua fenomena ini terjadi saat pembagian raport berlangsung. Pemicunya sangat mungkin karena masukan dan informasi sepihak teman sejawat. Dalam kasus ini, tiga kesenjangan sudah menganga antara teman sejawat, peserta didik, dan wali peserta didik. Percayalah, saat itu etiket pendidik sudah hampir runtuh di tangan seorang pendidik.

Bayangkan juga, bila ada peserta didik curhat pada gurunya karena baru saja diajak bicara oleh guru tertentu berbagai informasi sepihak dengan nada menjatuhkan. Percayalah, fenomena membuat bingung peserta didik tentang gurunya sedang berlangsung. Persepsi peserta didik sedang diarahkan pada ambiguitas moral tentang guru-gurunya. Ini bahaya.

Apakah narasi ini narasi halu?

Bukan. Ini bukan narasi halu. Ini pernah terjadi, bahkan sangat mungkin akan terulang lagi. Potensi terulang akan tertutup bila substansi yang disinggung Pak Kamad saat memberi pengantar pleno direnungkan dalam-dalam, lalu diterjemahkan dalam pola relasi sejawat yang sehat.

Apa pun motivasinya, materi atau immateri, fenomena demikian harus diakhiri. Spirit pendidikan adalah menyehatkan; menyehatkan relasi, menyehatkan komunikasi, dan menyehatkan hubungan tiga pilar pendidikan; sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Sebaiknya bagi orang yang berilmu, janganlah membuat dirinya sendiri menjadi hina lantaran berbuat tamak terhadap sesuatu yang tidak semestinya, dan hendaknya menjaga dari perkara yang dapat menjadikan hinanya ilmu dan para pemegang ilmu, sebaliknya, berbuatlah tawadlu (sikap tengah-tengah antara sombong dan kecil hati) dan iffah.
Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa orang yang berilmu adalah orang yang selalu menghindarkan diri dari segala akhlak dan perbuatan yang tercela, memelihara diri dari kenistaan (seperti sifat tamak dengan mengharap sesuatu dari orang lain secara berlebih-lebihan) sehingga tidak menimbulkan kesan yang hina terhadap ilmu dan sifat ilmuwan. Orang yang berilmu sepatutnya bersifat tawadhu (merendahkan hati tetapi tidak minder) dan iffah (memelihara diri dari beragam barang haram).

Demikian ungkapan Imam Az zarnuji dalam kitabnya “Ta'lim al-Muta’allim”, kitab yang mengulas tentang adab seorang pendidik, kitab yang sangat populer di kalangan pondok pesantren dan madrasah.

Jadi, guru mulia bukan hanya karena karya, melainkan juga karena menjaga marwah.

Selamat menyongsong tahun ajaran baru 2023/2024.

Salam literasi.

Ruang Pleno, Kamis, 15 Juni 2023.

JAKARTA DALAM PUISI


Peluncuran Antologi Jakarta Dalam Puisi, perlu diapresiasi. Host menyebut,  launching karya puisi hari ini adalah kali pertama sepanjang 50 tahun usia Madrasah Pembangunan. Great!


Sejak 2015, saya sudah mengatakan bahwa acara semacam ini penting di Madrasah Pembangunan. Lukisan  Ellisa; The Wind of Change, boleh ditanyakan lagi seberapa penting membentuk ekosistem literasi sampai 5 Februari kemarin.

Tentu, saya girang gelaran acara hari ini. Acara ini digawangi guru-guru bahasa, guru-guru yang paling berkepentingan bagi pengembangan literasi menulis, dalam konteks menulis karya fiksi maupun nonfiksi.

Sebagai ekspresi rasa girang itu, tulisan ini saya susun dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tentu, tulisan ini subyektif, sesubyektif pembaca tulisan ini.

Pertama, karya puisi menjadi karya kali pertama yang dirayakan dalam selebrasi launching di MTS Pembangunan. Akan tetapi, selebrasi launching karya siswa MTS Pembangunan dalam genre prosa, ia sudah berkali-kali. Pada 5 Februari 2023 kemarin saja, ada dua karya siswa MTS juga di-launching; Amieru dan Chekhov's Gun.

Kedua, narasumber yang dihadirkan; Tatang Muttaqin, Ph.D. kaya pengalaman literasi menulis. Pak Tatang sudah pula mengoleksi karya buku dari pengalamannya sebagai akademisi dan birokrat. Nuansa bukunya ber-setting dalam dan luar negeri. Meskipun gaya pemaparan Pak Tatang terkesan datar, tapi isinya banyak dagingnya dalam konteks tradisi menulis. Sayang bila audiens tidak menyerap, apalagi tidur.

Ketiga, kerja inisiator; dari merencanakan konten, menyeleksi naskah, editing, layouting, revisi, covering, sampai naskah ber-ISBN siap cetak, bukanlah kerja ringan. Ini kerja yang tak tampak, ia senyap, tapi sangat melelahkan. Maka, launching sebagai puncak kelelahan bekerja inisiator, memang patut diapresiasi.

Keempat, ini yang paling substantif dan krusial. Ini serius sekali. Karya yang di-publish harus clean dari indikasi plagiasi. Jangan sampai karya yang sudah dipublikasi, ada pihak yang menuntut di belakang hari atas tuduhan plagiat.

Di sini, pengalaman dan kompetensi penggagas akan banyak bercerita. Peran editor dan kurator diuji di sini. Maka, pengalaman, kompetensi, tentu ketelitian, kesabaran, dan banyak membaca akan sangat menolong editor dan kurator bekerja senyap.

Hari ini, kreativitas menulis didukung resources yang melimpah. Internet menyimpan berbagai informasi, data, jurnal, artikel, foto atau video yang dapat diolah menjadi tulisan. Apalagi dengan bantuan si AI (Artificial Intelligence), siapa pun bisa menulis bak penulis "profesional".

Akan tetapi, kemudahan resources itu juga menjadi pintu kemudahan melacak sebuah tulisan, apakah ia hasil plagiasi atau orisinal. Dan, itu bisa dilakukan dalam hitungan detik.

Jadi, aktivitas menerbitkan karya memang "ngeri-ngeri sedap".

Semoga karya "Jakarta Dalam Puisi" bisa menginspirasi karya berikutnya.

Aula Andalusia, 6 Juni 2023.
Penggemar literasi.