LITERASI PLAGIARISM



Plagiarism Detector. Foto Credit https://www.educatorstechnology.com/

Banjir Resources

HARI ini, proses menulis sangat menyenangkan. Boleh dikata, penulis sangat dimanjakan. Berbagai fasilitas yang menunjang proses kreatif menulis begitu melimpah.

Hari ini, ketersediaan konten bahan tulisan bisa didapat dalam hitungan detik. Saking banyaknya bahan, penulis bisa bingung, mau nulis apa, sebab resources di internet yang di-publish mesin pencari mengular dari hulu hingga hilir.

Hari ini, misalnya, teknologi Google Doc sangat membantu editing ringan. Bila dalam susunan kalimat ada kata yang ditik kurang atau kelebihan huruf, salah tik (typo), Google Doc akan memberi garis merah. Bila kursor diletakkan pada kata bergaris merah itu dan diklik, Google Doc akan memunculkan saran perbaikan kata. Silakan Anda coba.

Hari ini, bahkan membuka kamus KBBI untuk memastikan suatu kata baku atau tidak baku tidak perlu harus beranjak menuju rak untuk merujuk buku tebal itu. Sekali klik, keraguan soal baku atau tidak baku terpecahkan. Lalu, alasan apa kita tidak atau belum mau menulis? Come on!

Orisinalitas

MENULIS konten apa pun, masalah orisinalitas sangat penting. Umumnya penulis, sangat mengerti soal ini. Sebab, kepuasan atas sebuah karya tulis, salah satunya karena ia benar-benar lahir dari ide, gagasan, atau buah pikir autentiknya. Tentu, meskipun bahan-bahan dari tulisan itu didapat dari tulisan-tulisan yang mendahuluinya, tapi dengan kemahirannya mengolah kata, hasilnya tetaplah orisinal, autentik.

Lalu, apakah tulisan orisinal bisa dibuat sementara tulisan serupa sudah banyak bertebaran di mana-mana situs yang memuat?

Bisa. Mengapa tidak?

Yang harus dimanfaatkan hanyalah kecerdasan memahami suatu teks dan mengolahnya kembali dengan komposisi kalimat yang baru, kalimat yang dibingkai oleh ide dan gagasan sendiri. Dan, kemampuan memahami suatu teks serta mengolahnya menjadi wacana orisinal bisa dilatih. 

Mengapa dilatih? 

Ya, karena menulis itu keterampilan, bukan bakat bawaan. Karena itu, ia bisa dilatih. Semakin sering dilatih, semakin terampil menulis.

Plagiat

INTERNET tak ubahnya world library. Apa saja informasi tentang dunia yang dibutuhkan, cukup diakses dari sebuah kotak kecil yang terhubung dengan internet. Orang tidak harus terbang ke Istanbul misalnya, hanya untuk mencari informasi tentang kota yang dahulu bernama Konstantinopel itu. Informasi apa saja dari kota yang dibangun Kaisar Romawi Konstantinus I itu, dari A sampai Z, bisa didapat hanya dengan menekan satu tombol. Byar! Jendela Konstantinopel terbuka lebar dari ribuan item yang bisa diakses.

Akan tetapi, kemudahan ini bukan tidak berbahaya. Melimpahnya sumber data internet yang bisa diakses kapan pun dan di mana pun, bisa menjadi jebakan plagiat (menjiplak) bila tidak hati-hati. Disadari atau tidak, plagiat mempengaruhi banyak hal dalam dunia kepenulisan.

Siapa pun Anda, apa pun konten yang Anda tulis, harus memperhatikan kejujuran ilmiah bahwa karya Anda autentik, lulus dari menjiplak meskipun tidak 100% steril dari plagiat. 

Haruskah demikian?

Harus. Bila tidak, Anda terlibat pada perilaku ketidakjujuran akademik, pelanggaran etika jurnalistik, lebih dari itu, karena plagiat adalah kejahatan penerbitan bila karya Anda dipublikasikan lalu diperkarakan.

Plagiarism Checker

HARI ini, teknologi digital menyajikan mesin pendeteksi. Ia sangat membantu memeriksa tulisan Anda untuk memastikan orisinalitas naskah, apakah mengandung unsur plagiat atau tidak. Bila ada unsur plagiat, berapa persen kandungannya.

Nama teknologi itu salah satunya ialah Plagiarism Checker. Anda bisa berkunjung ke situsnya di https://smallseotools.com/plagiarism-checker/ untuk mengenal dan menggunkannya. Alat ini memang dirancang untuk membantu mendeteksi plagiarism dalam konten berbasis teks digital apa pun dengan cermat, mudah, dan cepat. Pintar sekali.

Perlu dimengerti, plagiat mengandung konsekuensi pada tindakan hukum, restitusi atau denda, sudah tentu merusak reputasi, kehilangan kepercayaan, sanksi akademik, dan banyak lagi konsekuensi sebagai akibat yang merugikan diri sendiri dan banyak pihak. Maka, sudah sewajarnya berhati-berhati pada tindak plagiat, baik disengaja atau tidak. Plagiarism Checker bisa jadi solusi cerdas sebagai bagian dari literasi plagiat yang efektif.

Cara Kerja

CARA kerja Plagiarism Checker sangat sederhana. Pengguna tinggal memasukkan teks yang akan dianalisis unsur plagiarism pada kolom yang tersedia, lalu klik menu Check Plagiarism. Tunggu sejenak. Mesin akan bekerja. Dalam hitungan beberapa detik, hasil analisis akan terbaca pada dua informasi: Plagiarism dan Unique dengan prosentase masing-masing.

Bila ada unsur plagiat pada hasil pengecekan, mesin ini akan menunjukkan dari situs mana saja konten menjiplak itu diduga diambil. Jejak digital ini tampaknya disajikan untuk membantu merujuk  dan membandingkan naskah pada sumber pengambilan, memastikan siapa menjiplak siapa.  

Pada informasi Plagiarism akan muncul perintah: Rewrite Content to Make it Unique. Maksudnya kurang lebih perintah menulis ulang konten yang dimaksud. Tentu dengan redaksi, diksi, atau susunan kalimat yang baru, orisinal sebagai karya yang unik.

Setelah konten ditulis ulang, masukkan kembali pada kolom dan ulangi pengecekan. Bila proses menulis ulang redaksi, diksi, atau susunan kalimatnya sudah benar, hasilnya pasti akan berbeda dari sebelum ditulis ulang. Bisa jadi hasilnya akan 100% unique. Artinya, 100% konten itu orisinal dan bebas dari plagiat.

Bila Anda sedang menulis buku atau modul digital (e-book, e-modul) mesin ini sangat membantu. Anda diajak keluar dari plagiat dan dapat review cepat untuk segera memperbaiki konten.

Hmmm. Teknologi ini seperti Plagiarism Literacy Machine. Sayang jika diabaikan.

Mau coba?

Salam literasi.

Menjelang pulang. Perpustakaan Madrasah Pembangunan. Jumat, 22 Juli 2022.

PENTIGRAF

 


Angka Tiga. Foto Credit https://www.psikologimimpi.com/

PENTIGRAF. Anda pernah mendengar genre karya sastra ini?

Sebagai yang terus belajar menulis, saya tertarik. Sempat sih, satu kali meski samar-samar menangkap perbincangan genre ini. Hanya saja, tak serius saya menyelisik.

Tiga Paragraf

Belakangan, Pak Hae, rekan guru saya bahkan sudah pula punya kumpulan (antologi) pentigraf. Rasanya, saya semakin tertinggal. Padahal menurut Warsono dalam http://warsono.gurusiana.id/article/2020/6/belajar-pentigraf-dari-sang-penggagas-94350?bima_access_status=not-logged, genre ini sudah diperkenalkan pada 1980. Berarti, telat sekali bagi saya mengenal sastra yang satu ini.

Kali ini, saya ingin memperkenalkan pentigraf dari dua sumber. Dari tulisan Warsono di atas dan dari Kampung Pentigraf Indonesia (KPI). Pembaca bisa merujuk ke sini: https://www.facebook.com/groups/133536197048183. Hanya dua sumber, sebenarnya belum cukup bagi saya menyerap informasi tentang pentigraf meskipun isi dua sumber di atas sudah menjelaskan soal pentigraf.

Pentigraf lekat pada Prof Dr Tengsoe Tjahjono, sastrawan dan akademisi Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Prof Tengsoe disebut-sebut sebagai penggagas yang memperkenalkan pentigraf pada khalayak, khususnya penyuka sastra pada 1980. Prof Tengsoe membuat komunitas Kampung Pentigraf Indonesia (KPI) di Facebook sebagai wadah penulis pentigraf pada April 2016.

Menurut Prof Tengsoe, karya bisa disebut pentigraf apabila memenuhi unsur sebagai berikut:

1. Panjang tulisan 3 paragraf, sekitar 210 kata.
2. Paragraf harus mengikuti pengertian paragraf yang benar. Satu paragraf, satu gagasan pokok.
3. Secara teknis penulisan di komputer: satu paragraf, satu kali ENTER.
4. Sebagai cerpen, pentigraf juga memiliki ciri-ciri narasi yaitu: a. ada alur (dalam alur ada konflik), b. ada tokoh yang menggerakkan alur, c. ada topik, persoalan yang dialami tokoh, d. ada latar (entah waktu, ruang, keadaan), entah latar fisik maupun latar rohani, d. selalu ada kejutan yang tak bisa diduga pembaca.

Nah, itulah pentigraf menurut penggagasnya.

Perlu digaris bawahi tiga kata kunci pentigraf: cerpen, tiga, dan paragraf. Inilah karakter dari pentigraf.

Cerpen atau cerita pendek merupakan bagian dari prosa. Umumnya, cerpen fokus pada peristiwa yang berdiri sendiri atau berkaitan. Karena pendek, cerpen sering diistilahkan dengan karya untuk dibaca sekali duduk.

Lalu, mengapa harus tiga paragraf?

Ada alasan di balik tiga paragraf itu. Soal alasan itu mutlak atau tidak dan bisa didiskusikan, itu soal lain. Yang jelas, sang penggagas pentigraf memberikan alasan bahwa dengan tiga paragraf, penulis akan mampu memaksimalkan kehadiran elemen-elemen cerpen. Penulis juga bisa mengatur laju alur dengan leluasa. Dan, penulis bisa menawarkan pesan moral dengan cepat, tepat, dan mudah diterima pembaca.

Batu Sandungan

Saya penasaran. Bertemulah saya pada situs https://www.gerejakalasan.org/ setelah berselancar mencari tahu. Di sana, saya temukan pentigraf karya Prof Dr Tengsoe Tjahjono. Saya turunkan utuh karya beliau sebagai contoh pentigraf paling autentik. Judulnya Batu Sandungan.
Ini terjadi di negeri antah berantah. Konon para orang kaya selalu bersekongkol dengan para petugas pajak agar tidak membayar pajak untuk negara. “Jangan laporkan seluruh harta kekayaanku agar tidak terlalu banyak pajak yang harus aku bayar,” perintahnya kepada petugas pencatat harta kekayaan. Para orang kaya itu semakin hari semakin kaya, hartanya bertimbun untuk tujuh keturunan.

Hari demi hari pemasukan negara itu menurun. Pembangunan pun mangkrak. Jalan raya, jembatan, gedung sekolah, pabrik, dan sebagainya terbengkalai. Jumlah karyawan dan pegawai negara yang dirumahkan semakin banyak, pengangguran pun meningkat. Jumlah orang miskin yang harus dibiayai negara meningkat tajam. Lalu, bagaimana dengan orang-orang kaya itu? Mereka tak bisa lagi membelanjakan uangnya sebab kebutuhan pokok sulit didapatkan. Hartanya tak bisa menyelamatkan dirinya.

“Bayarlah pajak agar kalian tak menjadi batu sandungan bagi banyak orang dan bagi kamu sendiri,” kata Sang Guru Agung. Namun, ketika itu tak banyak orang yang mau mendengarkan. Sekarang mereka baru merasakan akibatnya. Batu sandungan itu sungguh bisa menghancurkan kehidupan bersama.
Nah, sekarang, jadi terbayang, bagaimana wujud pentigraf itu dari karya penggagasnya langsung. Berani mencoba?

Ini, ada link cukup informatif. Isinya kumpulan pentigraf. Ditulis oleh Gatot Sarmidi, dosen sastra pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Kanjuruhan Malang. Silakan meluncur ke sini: https://repository.penerbiteureka.com/publications/349121/kumpulan-pentigraf-dan-cerita-pendek-bleng-blong-rembulan-malam.

Ayolah! Mulai menulis pentigraf.

BUNDA LITERAT

Gambar sampul dari "An Introduction to School Finance in Texas", TTARA Research Foundation, by Sheryl Pace, Senior Analyst Texas Taxpayers and Research Association (TTARA)

GURU biasa-biasa saja hanya bisa menceritakan. Guru yang baik mampu menjelaskan. Guru yang unggul mampu menunjukkan. Sementara guru yang hebat bisa memberikan inspirasi.

HARI ini saya dapat cerita dari pengalaman yang mengesankan, cerita menarik saat berjibaku untuk merampungkan sebuah naskah buku. Draft buku ini sebenarnya sudah cukup tebal, sudah 525 halaman bila dikonversi pada halaman layout di InDesign. Akan tetapi, ada bagian cukup detail yang harus saya masukan dalam deskripsi sesuai hasil masukan reviewer.

Narasumber berkisah kali ini seorang ibu rumah tangga. Dalam wawancara ringan melalui WA, saya menangkap ia punya sense of journalists yang terhubung dengan gurunya. Dan ia, sangat bangga dengan gurunya itu.

Cerpen anak karyanya sudah muncul di koran Republika saat ia masih duduk di bangku Madrasah Aliyah. Pernah menjuarai lomba mengarang pada event Hari Anak Nasional yang diselenggarakan Departemen Agama pada 1995. Lagi-lagi, ia mengakui, capaiannya itu masih terhubung dengan gurunya, motivator yang ia kagumi sampai saat ini, guru yang memberikan kepercayaan diri padanya untuk mengikuti lomba dan meraih juara.

Begitu kagumnya ia, ia masih hafal parafrase, sebuah motivasi menulis dari gurunya itu saat masih di Madrasah Aliyah dahulu: Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Maka baca, baca, dan baca. Jadilah an agent of change melalui tulisan.

Ajib. Kekuatan kata-kata itu memberi pengaruh sangat signifikan terhadap passion menulis yang diminatinya. Karena itu, ia begitu semangat kelak ingin melanjutkan studi mengambil jurusan jurnalistik atas dorongan gurunya itu di saat dia sendiri gamang antara bisa melanjutkan studi atau tidak karena faktor ekonomi.

Akan tetapi, nasib membawanya sampai pula ke perguruan tinggi. Ia dapat tiket masuk jurusan Bahasa Inggris melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan). Sebab tidak ada jurusan jurnalistik di kampusnya saat itu, pilihan pada jurusan Bahasa Inggris pun bukan tanpa alasan. Ia memilih jurusan itu sambil menyimpan harapan tetap bisa jadi jurnalis di koran atau media berbahasa Inggris. Untuk memantapkan keinginan itu, saat kuliah, ia bergabung dengan UKM Didaktika, sebuah lembaga Pers Mahasiswa. 

Sekali lagi, perempuan ini punya guru yang hebat, seperti guru yang dideskripsikan seorang penulis; William Arthur Ward: “Guru biasa-biasa saja hanya bisa menceritakan. Guru yang baik mampu menjelaskan. Guru yang unggul mampu menunjukkan. Sementara guru yang hebat bisa memberikan inspirasi.”|

SAYA memang belum bertemu narasumber ini. Akan tetapi, dari bincang via WA untuk keperluan konten detail naskah yang sedang saya persiapkan, saya bisa merasakan ia ibu yang literat. Bagaimana tidak, ia bisa menularkan budaya literasi membaca dan menulis pada putrinya dengan amat baik.

Sejak semula, ia sudah membiasakan putri kecilnya bergaul dengan buku. Sebelum putrinya bisa membaca, ia rajin membacakan buku-buku cerita dan sering membawanya ke toko buku. Ia mulai berlangganan majalah Bobo saat putrinya sudah bisa membaca cukup lancar. Pada tahap ini, ia lebih sering mengajak putrinya ke toko buku dan mengenalkan perpustakaan umum kota Depok, tempat ia berdomisili. Buku selalu menjadi reward dan birthday gift. Jadi, putrinya sudah 'terpapar' bacaan cerita anak sejak kecil dengan mendekatkan putrinya pada literasi melalui pembiasaan.

Umur 6 tahun, diam-diam putrinya sudah mulai menulis cerita pendek. Banyak juga naskah orat-oretnya, termasuk berupa cerita bergambar seperti komik. Lalu, suatu hari ketika di toko buku, di bagian buku-buku KKPK, sang putri mengutarakan mimpinya untuk punya buku karya sendiri, buku dengan nama dia tertera di kavernya.

Di lain waktu, ia terkejut saat sang putri menunjukkan beberapa naskah karyanya. Padahal selama itu, ia tidak pernah melihat putrinya menulis. Rupanya, sang putri menulis di saat ia sedang sibuk berpeluh-peluh mengerjakan tugas rumah tangga.

Suaminya memberi ide. Ia menyarankan agar naskah-naskah itu dikirim ke penerbit Mizan pada segmen Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). Ayahnya memantik keberanian putri kecilnya: “Kalau Kakak berani kirim naskah-naskah ini ke penerbit, peluangnya adalah 50:50. 50% diterima 50% ditolak. Kalau tidak berani kirim naskah, peluangnya 0.”

Ini keren. Ayah yang juga literat.

Putri mereka seperti tersihir. Ya, seperti dalam sebuah riwayat Imam Bukhari: inna minal bayaani lasihran, bahwa memang sebagian dari penjelasan (kata-kata) itu laksana sihir. Ia menggerakkan, seperti energi penggugah jiwa. Maka, dengan penuh semangat, sang putri mulai belajar mengetik naskah-naskah itu.

Sebagai ibu yang literat, ia pun tergerak untuk melakukan proses pendampingan lanjutan. Ia mulai menyortir. Ia tanyakan pada sang putri, adakah dari cerita-cerita karangan putrinya ditulis dari meniru cerita orang lain? Alur dan ceritanya sama?

Sang putri mengakui, ada beberapa naskah karyanya sebagai hasil meniru, hasil kreativitas mengikuti alur cerita di majalah Bobo dengan mengganti nama tokoh. Luar biasa kejujurannya. Saya tertegun.

Yang membuat saya lebih tertegun adalah langkah perempuan ini. Ia langsung memisahkan dan mencoret naskah itu langsung di hadapan putrinya sambil pelan-pelan menjelaskan tentang plagiarisme dalam bahasa sederhana yang bisa dimengerti anak umur 7 tahun. Ini keren.|

TIGA bulan berlalu. Seolah saya turut merasakan debaran jantung mereka bertiga berirama gaduh saat itu. Menunggu jawaban naskah, memang seperti menunggu jawaban surat cinta yang diharap-harap cemas. Diterima, atau ditolak setipis kulit ari peluangnya. 

Akhirnya, masa evaluasi naskah sepanjang tiga bulan berakhir. Naskah sang putri dinyatakan layak terbit. Bravo!

Hari ini, sang putri sudah mengemas 7 karya solo, 47 buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) Penerbit Mizan, 1 buku antologi komik anak terbitan Pustaka Al Kautsar, dan 1 antologi cerpen terbitan BIP Gramedia. Novel sang putri berjudul Youtuber Cilik menjadi best seller. Dalam kurun 5 bulan, sudah 3 kali cetak ulang, 10.500 eksemplar. Ajiib!

Sang penulis cilik itu tumbuh dalam keluarga literat, dalam asuhan bunda dan ayah yang literat. Adapun sang bunda, narasumber yang hari ini bersedia saya ajak berbincang via WA, begitu mengagumi gurunya sampai sekarang, gurunya yang literat, menginspirasi, yang hari ini bergelut dalam tiga ranah kehidupan; mengajar, berdakwah, dan berpolitik.

Terima kasih, Mbak. Semoga tulisan ini menginspirasi banyak orang yang butuh kiat sederhana namun efektif menjadi seorang ibu yang literat. Mbak juga membawa pesan agar para guru; seperti saya harus belajar menjadi guru yang menginspirasi. Salam literasi.|

SI EASY GOING YANG MENGUDARA

Fathan Naufal Setiawan, Alumnus MTS. Pembangunan UIN Jakarta. Video Credit, Fatan Naufal Setiawan.


DAHULU, keberhasilan belajar selalu diukur dengan ranking. Ia bak panggung selebrasi, semacam mimbar kehormatan bagi juara kelas. Maksudnya baik, sebagai motivasi belajar. Akan tetapi, kenyataannya tidak selamanya demikian. Bagi sebagian orang, ranking seperti ketok palu putusan hakim pengadilan; kamu pintar atau kamu bodoh.

Ranking seperti bola liar yang menggelinding ke mana-mana. Ia jadi topik pembicaraan keluarga besar di forum arisan, konten berita saat kumpul lebaran, atau pengumuman dari mulut ke mulut saat acara kondangan pernikahan sepupu.

Maka, dalam forum silaturahim yang baik itu, ada wajah-wajah semringah, bercahaya, dan berbinar-binar. Ada pula yang muram, kecut, dan kusut masai. Yang semringah, semua tahu siapa mereka. Yang muram, kecut, dan kusut masai, semua pun tahu. Semua beralih rupa karena 'tuah' 7 huruf: ranking.|

PROSES belajar seperti membakar roti dalam oven dengan api kecil, tapi konsisten. Memang, roti akan lama matangnya, tapi hasilnya baik, kematangannya merata, tidak ada bagian yang mentah, setengah matang, terlalu matang, atau gosong. Perfetto.

Hanya saja, kematangan roti bisa didapat dalam sekali proses pembakaran. Sementara kematangan proses pembelajaran harus melewati banyak jenjang, butuh kesabaran, terus menerus dinyalakan, dan konsisten.

Kesabaran dan konsistensi itulah yang seringkali dikorupsi oleh ranking secara tidak disadari. Orang tua, bahkan guru sendiri seperti kehilangan kesabaran hanya karena membaca peringkat. Keduanya sama-sama menyangka bahwa mereka telah berhasil dan gagal dalam waktu yang bersamaan di atas selembar kertas leger. Padahal jalan panjang proses belajar belum usai, seperti panjangnya jalan kehidupan.|

SEJAK kemarin saya bahagia sekali. Tuah tujuh huruf yang berbunyi: ranking itu telah pupus. Semakin yakin lah saya, seharusnya ranking tidak lagi disimpan berlama-lama di dalam benak orang tua dan guru sampai 'diberhalakan' bagai mantra di forum-forum keluarga dan di ruang-ruang kelas. Semua karena Fathan Naufal Setiawan. Saya percaya, pasti di lain hari, bukan hanya satu Fathan yang memvibrasi kebahagiaan sejak kemarin itu, tapi oleh 'Fathan-Fathan' yang lain.

Bagaimana saya tidak bahagia sekaligus tercengang?

Fathan, siswa saya yang kecil imut, tidak pernah lepas peci saat di sekolah, senyumnya lebar, dalam beberapa kesempatan terseok mengejar remedial Bahasa Inggris, ternyata sempat sekolah di Amerika. Lha, sekolah di Amerika, warga sekolahannya ngomongnya pasti bahasa Inggris, kan. Piye iki?

Fathan bocah easy going, kebangetan easy going malah waktu itu. Seakan, dia tidak punya masalah apa pun. Hari-harinya di sekolah dijalani dengan senyumnya yang lebar.

Pada awal-awal pertengahan semester di kelas tujuh, daftar remedial Fathan membuat saya dan mamanya 'meriang'. Gawat ini. Sebagai Wali Kelas, bahkan saya merasa 'gagal'. Mamanya juga demikian. Tapi si Fathan cuma cengar-cengir. Ngeselin, kan? Hahahahah.

Saya harus tarik napas panjang, relaksasi, dan memupuk kepercayaan diri bahwa masalah Fathan hanya dia belum menemukan pola belajar yang tepat saja. Fathan masih asyik dengan dirinya sendiri, tanggung jawab belajarnya belum tumbuh, dan harus dibangunkan dari ke-easy going-annya saja.|

FATHAN dan mamanya membuka memori interaksi saya yang elegan dengan wali peserta didik, pada orang tua Fathan 14 tahun lalu. Sayang, jika memori itu hanya saya nikmati sendiri. Saya membagikannya di sini.

Mamanya Fathan orang yang mengerti betul kemampuan Fathan. Karena itu, ia tak sungkan membuka ruang komunikasi yang sehat pada saya sebagai Wali Kelas.

Saya menyampaikan capaian akademik Fathan berdasarkan data, catatan BK, dan informasi guru tiap mata pelajaran. Tidak ada yang saya tutup-tutupi, tidak ada rasa gula-gula untuk menyenangkan orang tua Fathan, juga tidak membiarkan orang tua Fathan gelisah sendirian.

Sementara, tak sepatah pun orang tua membela dengan puji-puji bahwa di rumah Fathan begini-begitu, tak sepatah pula pun menyalahkan guru-guru Fathan, melainkan ia bertanya, "Apa yang harus kita lakukan untuk Fathan, Pak?"

Apa yang harus kita lakukan untuk Fathan, merupakan ekspresi dari orang yang memiliki kesadaran bahwa proses belajar menjadi tanggung jawab bersama. Orang tua Fathan tidak mengatakan, apa yang harus saya lakukan untuk Fathan. Atau, 
Apa yang akan Bapak lakukan untuk Fathan? Ya, very wise.


Komunikasi yang baik dan terbuka, pendampingan proses belajar anak, dan saling memberi kepercayaan antara sekolah dan orangtua, rasanya menjadi kesimpulan saya atas orangtua Fathan dengan apa yang dicapai Fathan hari ini. Bahwa belajar merupakan proses panjang yang harus dibangun bersama, dalam kesadaran yang sama, dan saling percaya pada peran masing-masing untuk menjadikan anak sesuai bakat dan kecerdasannya. Semoga saya tidak keliru.|


Fathan bersama instruktur terbang: Sheik Amir setelah lulus ujian akhir sekolah penerbangan Wayman Aviation. Foto Credit, Fathan Naufal Setiawan.


FATHAN menghabiskan waktu 2,5 tahun di Amerika. Ia belajar di sekolah pilot, belajar Commercial Single Engine di Mazzei Flying Service, di Fresno, California. Melanjutkan belajar Commercial Multi Engine di Wayman Aviation, di Pembroke Pines, Florida, pada akhir 2014 sampai 2017. Sekarang, Fathan berkarir di 
AirAsia Indonesia

Fathan di ruang kemudi pesawat Airbus A320, saat penerbangan menuju Bandar Udara Internasional Kualanamu di Medan dari Bandar Udara Internasional Jogjakarta di Kulon Progo. Foto Cedit, Fathan Naufal Setiawan.


Mata saya berair mendapati kiriman foto anak yang dahulu nilainya membuat saya meriang itu di Madrasah Pembangunan. Bahkan Fathan tak melupakan tradisi baik Madrasah Pembangunan sampai ia sudah menjadi pilot sekali pun. Kenangan Fathan menjadikan saya speechless. Alhamdulillah.


Swafoto Fathan dalam pesawat latihan Piper Tomahawk PA-38 saat terbang cross country ke Fresno Yosemite International Airport, di Fresno dari Oceano County Airport di Oceano, California saat sekolah pilot.


Tetap menjadi santun dan membumi ya, Fathan, meskipun tiap hari kamu berada di ketinggian. Capaian terbaikmu bukan sekadar seorang pilot, tapi Pilot yang Salih.|


Garut, Racik Desa, menuju Sampireun. Rabu, 6 Juli 2022.

RASAKAN BEDANYA!

Untuk sukses, kadang kita butuh kesalahan. Foto Credit, the blowup, on unsplash. com

Soft Skill Menulis

MENYAJIKAN narasi yang enak dibaca, mengalir, koheren, argumentatif, dan runut termasuk soft skill menulis. Ini bisa dipelajari dan dilatih. Asalkan tekun dan giat berlatih, siapa saja bisa menguasai soft skill menulis yang baik itu.

Sebentar. Tekun dan giat berlatih menulis belum cukup. Ada satu lagi, punya reviewer. Tentu reviewer yang saya maksud reviewer yang punya keahlian menyunting. Reviewer me-review draft tulisan sebelum diterbitkan. Jika draft belum lolos dari tangan reviewer, perbaiki dahulu.

Saya punya reviewer. Ia guru bahasa Indonesia, editor profesional pemegang lisensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi Penulis dan Editor Profesional (LSPPEP) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Namanya, Dani Wahyudi. Saya menyapanya dengan sapaan “Pak Dani”. 

Pak Dani selalu membaca draft tulisan saya sebelum diterbitkan di majalah sekolah yang kami asuh; Majalah Al-Ashri. Meskipun posisi saya di Majalah Al-Ashri kala itu sebagai Pemimpin Redaksi, tapi saya belum puas jika draft saya belum "melewati" meja Pak Dani. 

Pak Dani ini reviewer saya sejak saya aktif menulis. Saya kerap memintanya membaca draft tulisan saya meskipun sekadar tulisan opini sebelum saya terbitkan pada blog pribadi saya. Untuk beberapa buku dan novel saya yang sudah diterbitkan, Pak Dani bahkan menjadi editor di sana.

Mengapa reviewer itu penting?

Seorang reviewer bisa mendeteksi dengan cepat kesalahan ringan maupun kesalahan berat sebuah naskah di tangannya. Salah tik (typo) biasanya yang paling mudah diketahui reviewer. Kesalahan berat seperti ketidaktepatan pilihan kata (diksi), susunan redaksi yang tidak logis, kalimat tidak efektif, pun tidak luput dari jangkauan mata reviewer.

Reviewer ini semacam editor. Ia memberi masukan, saran, dan perbaikan sebelum naskah diterbitkan. Seorang reviewer begitu jeli untuk sekadar memberi masukan soal ketepatan penggunaan kata. Misalnya, kapan harus menggunakan kata pada atau kepada. Kapan harus menggunakan kata adalah, ialah, merupakan, yakni, dan yaitu, masing-masing dan tiap-tiap, antara kata dan lain-lain dan kata dan sebagainya.

Nah, di situlah mengapa reviewer itu penting. Kita bisa belajar menilai, apakah tulisan kita sudah tepat atau belum, naskah kita sudah layak di-publish atau belum. Jadi, dari reviewer, kita bukan saja belajar bagaimana menulis yang baik, tapi juga belajar melakukan pekerjan swasunting.|

Penggunaan Kata

SEPERTI menerapkan rumus matematika, begitu pula menerapkan rumus penggunaan kata. Seperti poin yang sudah disinggung di awal tulisan, kapan harus menggunakan kata pada dan kepada. Bagi seorang reviewer, dua kata itu menjadi objek sorotan.

Mengutip Bambang Trim, kata pada digunakan untuk merujuk objek kata atau frasa yang berunsur bukan orang. Kata kepada digunakan untuk merujuk objek kata atau frasa yang berunsur orang. Jadi, menempatkan dua kata ini ada rumusnya meskipun terkesan sama saja.

Baiklah, mungkin contoh berikut dapat memperjelas pemakaian kedua kata tersebut: (1) Dompet ini harus dikembalikan kepada yang berhak. Kata “yang berhak”, itu unsur orang. (2) Semua orang harus taat pada aturan. Kata “aturan”, bukan unsur orang. Nah, pada kata atau frasa berunsur orang atau bukan berunsur orang itulah kata kepada dan pada digunakan.

Demikian pula penggunaan dan lain-lain versus dan sebagainya sering tidak tepat karena dikira sama saja. Padahal, kata dan lain-lain digunakan untuk menyebutkan sebagian pada unsur-unsur tidak sejenis. Adapun kata dan sebagainya digunakan untuk penyebutan contoh sebagian pada unsur-unsur sejenis. Contoh: 
Bibi membeli beras, terigu, sayur-mayur, arang batok dan lain-lain
Paman membeli peralatan listrik, yaitu stop kontak, saklar, kabel, dan lain sebagainya
Kata adalah, ialah, merupakan, yakni, dan yaitu lebih merepotkan penggunaannya bila tidak cermat memahami fungsi kata itu digunakan. Dikira sama, padahal tidak. Adalah digunakan untuk menjelaskan hubungan subjek yang ‘identik dengan’, ‘sama halnya dengan’, atau ‘termasuk ke dalam golongan’. Contoh:
Presiden RI ke-2 adalah Soeharto.
Kamus adalah buku referensi yang berisi kata dan makna.
Saya adalah pengagum Buya HAMKA.
Kata ialah digunakan untuk menguraikan sebuah pengertian yang dimulai dengan kata benda (nomina). Contoh:
Presiden ialah kepala pemerintahan negara republik.
KBBI ialah kamus ekabahasa yang diterbitkan Badan Bahasa.
Kata merupakan digunakan untuk menguraikan pengertian tentang rupa atau wujud dari sesuatu. Contoh:
Korupsi merupakan bahaya laten bagi ketahanan ekonomi bangsa.
Kesantunan merupakan sifat yang semakin hilang dalam pergaulan saat ini.
Kata yaitu/yakni digunakan apabila unsur yang menguraikan pengertian dimulai dengan kata bukan nomina. Contoh:
Merokok yaitu menghisap racun yang berbayar.
Cukuplah beberapa kata di atas sekadar contoh penggunaan kata. Tentu, seorang reviewer dengan kemahiran menyunting, kompleksitas penggunaan kata di atas bukan persoalan seperti umumnya penulis yang enggan melakukan swasunting. Meskipun penulis yang baik adalah penyunting yang baik, tapi dalam praktiknya, tidaklah selalu demikian. Maka dari itu, percayakan draft tulisan pada reviewer sebelum di-publish.|

Panjang dan Bernas

BERNAS menurut KBBI online berarti a 1 berisi penuh (tentang butir padi, susu, bisul, dan sebagainya): buah padi --; 2 ki banyak isinya (tentang pidato, petuah, ceramah, dan sebagainya); 3 dapat dipercaya: janjinya selalu --. Dari makna ini, tulisan bernas berarti tulisan yang padat isinya.

Tulisan dengan paragraf dan kalimat yang panjang belum tentu bernas. Sering terjadi, paragraf dengan kalimat panjang malah sukar dimengerti apa pesan di balik paragraf itu. Panjang kalimatnya hanya tumpahan ide mentah. Ia belum diolah menjadi kalimat efektif dalam satu atau beberapa paragraf yang koheren, logis, dan efektif. Alih-alih ingin menjelaskan persoalan secara panjang lebar, malah membuat pusing pembaca berkepanjangan. 

Tulisan bernas bukan berisi penuh dengan kosa kata, tapi kosong pada efektivitas makna yang disampaikan. Tulisan bernas itu enak dibaca, mengalir, koheren, argumentatif, runut, serta bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

Ada teori menulis yang menarik saya dapat dari seorang kawan. Saya mengenalnya sejak 2007. Kami sama-sama alumni UIN. Ia dari Fakultas Dakwah, saya Tarbiyah. Saya banyak belajar teknik menulis darinya. Ia jurnalis Anadolu Agency untuk wilayah Asia Pasifik. Kata kawan ini, menulis untuk media online berbeda dengan menulis buku. Kalimat dalam satu paragraf untuk media online sebaiknya tidak lebih dari tujuh kata. Maksimal sepuluh kata. Saya lalu menyelisik tulisan-tulisan saya di blog. Saya jadi tahu, ada beberapa paragraf tulisan saya kalimatnya jelas masih “kegendutan”. Kalimat-kalimat itu masih bisa disusun dalam dua atau tiga kalimat ringkas.

Saya tergoda. Paragraf itu saya susun ulang dengan kalimat lebih ringkas. Yey! Benar! Kalimat yang ringkas enak dibaca, tidak bikin capek, dan menjadi bernas. Rupanya, tulisan bernas tidak harus dengan susunan kalimat panjang. Sebaliknya, kalimat yang panjang-panjang hanya membuat napas seakan putus di tengah kalimat saat ia dibaca.|

DI tangan penulis tertentu, ide sederhana bisa menjadi tulisan berbobot. Kata kuncinya terletak pada penguasaan teknik menulis. Bisa jadi paragrafnya hanya susunan kalimat-kalimat pendek yang tidak lebih dari tujuh sampai sepuluh kata saja. Akan tetapi diksinya bagus, penggunaan katanya tepat, ejaannya benar, komposisi kalimatnya padu, dan alur berpikir tiap kalimat dalam satu paragraf saling menjelaskan. Tentu saja, kebenaran isi tiap susunan kalimatnya dapat dipertanggungjawabkan. Poin ini saya kira yang paling penting dari pesan sebuah paragraf.

Berlatih membuat paragraf dengan kalimat pendek yang mudah dipahami, jauh lebih baik daripada mahir menulis paragraf dengan kalimat panjang, tapi membuat dahi berkerut-kerut. Contoh:
Bu Fitri yang seorang manajer sebuah perusahaan asing sekaligus sering nyambi sebagai guru matematika di sebuah madrasah terkenal dan mahal di Ciputat yang merupakan tempat kuliah anak-anak artis ibukota, memiliki dua orang anak yang juga bersekolah di madrasah di mana ia mengajar.
Apa yang Anda rasakan saat membaca kalimat di atas? Capek bukan? Lalu, apakah pesan kalimat itu bisa segera Anda mengerti? Kasus tulisan seperti ini banyak dijumpai dalam artikel atau opini pada media online.

Bandingkan bila susunan kalimatnya dipecah menjadi lebih ringkas seperti ini:
Bu Fitri seorang manajer sebuah perusahaan asing. Ia bekerja sambilan sebagai guru matematika di sebuah madrasah terkenal dan mahal di Ciputat tempat sekolah anak-anak artis ibukota. Bu Fitri memiliki dua orang anak. Kedua anaknya bersekolah di madrasah tempatnya mengajar.
Bagaimana rasanya menikmati paragraf dengan komposisi kalimat yang lebih simpel pada contoh yang kedua? Pasti jelas perbedaannya bukan?

Ide yang padat, tidak berarti harus disusun dalam paragraf dengan barisan kalimat panjang. Ia bisa dikemas dalam paragraf dengan kalimat yang ringkas. Di samping smooth, kalimat ringkas tampak lebih smart. Rasakan bedanya!|