SASTRA DI CIKINI DAN SAJAK SEBATANG LISONG

Saya dan Alvian Rivaldi Sutisna. Berpose di depan mural HB. Jassin dan Chairil Anwar di PDS. HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini. Foto milik Alvian.

Biarlah aku menatap saja
Sambil takjub memeluk lutut
Menikmati gemulai dansa kata-kata para pujangga
Indah sekali tarian diksi di atas panggung sastra yang tak pernah punah siang itu
Aku terkesima
Ternyata, begini rasanya masuk atmosfer mereka


***

Payah rasanya menulis puisi itu. Enam kalimat di atas saja, otĂ k terasa “remuk”. Tapi, “seremuk-remuk” rasanya, jadi juga ia enam baris. Ia lahir sepanjang waktu jalan pulang dari Cikini Raya ke Madrasah Pembangunan. Itu pun, kalau bukan karena inspirasi dari aksi para penyair di Gedung Perpustakaan HB. Jassin, pastilah hanya bertemu jalan buntu.

Hanya saja, saya dan Alvian harus meninggalkan acara lebih cepat karena urusan lain, urusan yang tidak mungkin ditunda. Batas toleransi ikut acara hanya sampai pukul 15.30. Jadi, acara “Diskusi, Baca Puisi dan Peluncuran Buku Jakarta dan Betawi 4 Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara” yang digelar di Lt. 4 Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikni Raya, Jakarta Pusat tidak purna kami ikuti. Sayang sebenarnya.

Cikini dan Ukaz

Dahulu pada masa pra Islam, masyarakat Arab rutin menggelar festival. Festival berlangsung di Suq Ukaz (Pasar Ukaz) di kota Thaif, kira-kira 90 kilometer dari Makkah. Ini ajang bergengsi. Festival berlangsung pada bulan Zulqa’dah, sekitar tanggal 15 sampai tanggal 30 setiap tahun.

Dalam sejarah bangsa Arab, Pasar Ukaz merupakan salah satu pasar populer dan terbesar. Ia pusat berkumpulnya bangsa-bangsa Arab sejak sekitar 500 tahun sebelum masehi. Di pasar inilah tradisi Arab bertemu, ajang mereka memamerkan keunggulan lughoh, budaya, dan memamerkan prestasi-prestasi mereka di bidang militer.

Akan tetapi, kemilau sastra menjadi yang paling bergengsi pada festival tersebut. Puisi-puisi dari penyair Arab yang terbaik dan terkenal dipamerkan selain dibacakan di hadapan khalayak. Lebih dari itu, puisi-puisi yang terpilih kemudian ditulis dengan tinta emas. Dan, tidak ada yang lebih bergengsi lagi selain puisi-puisi itu digantungkan pada dinding Ka’bah di kemudian hari. Masyhurlah para penyair yang puisi-puisinya digantung itu bagi bangsa Arab. Lalu, para penyair itu dikenal sebagai “Al Muallaqat”, penyair yang karyanya digantung di Ka’bah. Konon, karena daya tariknya, festival di Ukaz dihidupkan lagi oleh pemerintah Saudi sekarang.

Boleh jadi, bila seserpih kemeriahan Suq Ukaz bisa dipindah ke PDS HB. Jassin kemarin, rasa-rasanya kemilau sastra di Cikini lebih moncer meski tidak akan bisa setara dengan Ukaz.

Puisi dan Publikasi Massa

Mengapa harus membawa-bawa “Al Muallaqat” pada tulisan ini? Itu karena ada relasi yang mengikat subjek saya sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam dengan acara yang digelar Komunitas Literasi Betawi di PDS HB. Jassin itu. Tidak bisa saya cegah, mengapalah ketika menyaksikan para penyair berpuisi pada perhelatan “Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara”, otak saya terhubung pada Suq Ukaz dan “Al Muallaqat”. Jadi, ini soal naluri, soal rasa.



Sam Mukhtar  Chaniago (berdiri) Ketua Umum Komunitas Literasi Betawi pada Bedah Buku Ketika Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara. Wina Armada, berbaju hitam (penyair, advokat, dan pengusaha) dan Ibnu Wahyudi (penyair dan akademisi Universitas Indonesia) hadir sebagai pengulas. Foto milik Alghie Suwandi via Grup WA Menuju KLB 4.



Sebab itu, saya menangkap pesan yang disampaikan Pak Asrizal Nur, Pembina KLB, pada kata sambutannya yang menyinggung bahwa puisi harus dibacakan di depan khalayak, tidak sebatas ditulis. Intinya, puisi harus dinikmati sebanyak-banyak orang dengan cara diperdengarkan. Pada acara launching buku seperti ini misalnya, ada panggung besar yang bisa menarik dan menghadirkan elemen masyarakat untuk menikmati puisi-puisi yang dibacakan para penyair. Nah, itu dia, otak saya langsung klik pada Suq Ukaz dan “Al Muallaqat”.

Kepuasan Literasi

Ada dua kepuasan yang saya rasakan saat hadir pada acara di Cikini kemarin. Pertama, kepuasan bahwa akhirnya saya punya satu puisi, satu puisi dalam satu buku bersama para penyair kawakan.

Halagh! Cuman satu doang!

Terserah mau dibilang apa. Sebagai yang sudah menulis novel, buku, buku teks, biografi, memoar, dan buku kumpulan cerita, satu puisi, bagi saya amat berarti daripada tidak sama sekali.

Lebih dari itu, kepuasan menghebat sebab akhirnya saya bisa menikmati panggung para penyair “berdansa” dengan diksi-diksinya. Langsung, melihat rupa, style, dan gema suaranya. Untuk itu pula, kepada Pak Sam Mukhtar Can, Ketua Umum KLB, terima kasih telah menjadi wasilah kesempatan ini. Dengan rasa hormat kepada Pak Sam, moga-moga lain waktu saya bisa silaturahim lagi.

Kedua, kepuasan literasi media. Ini mahal sekali. Dan, saya dapatkan di PDS. HB. Jassin kemarin. Apatah lagi, saat saya diperbolehkan petugas mengambil gambar surat-surat kabar edisi 1965-an seperti Suluh Indonesia, Harian tempo, dan Suara Islam. Ada dua harian lagi saya lupa dan tidak sempat saya ambil gambarnya.

Berapa bundel majalah sastra seperti Horison, Mimbar Indonesia, Majalah Arena, dan Zenith yang terbit pada kisaran 1946 sampai 1960-an juga dipajang di meja koleksi kaca. Pada etalase dekat majalah sastra ini, mata saya menyipit menatap “Sebatang Lisong”. Lalu, saya sempatkan mengambil gambar “SAJAK SEBATANG LISONG”-nya WS. Rendra itu yang masih naskah asli tulisan tangan yang artistik. Tahulah saya, sajak gubahan penyair bergelar ‘Si Burung Merak” itu ditulisnya pada 1977, 46 tahun silam.

Mata saya lalu tertuju pada Suara Islam edisi Djumat, 28 Agustus 1965. Di sana ada berita yang mengutip sosok yang saya kenal; K.H. A. Sjaichu (Allahuyarham). Pada 1989, saat pelantikan pengurus OSIS sewaktu di Madrasah Aliyah, saya disalami K.H. A. Sjaichu. Beliau memuji jaket almamater biru terang yang saya kenakan sambil tersenyum, senyum khas K.H. A. Sjaichu.

K.H. A. Sjaichu, tokoh agama dan politik. Beliau pendiri dan pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dan inisiator institusi pendidikan dan lembaga Ittihadul Muballighien, tempat berhimpun para mubaligh dan mengirimnya ke berbagai daerah. Pada masa pemerintahan Soekarno, beliau sempat menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) pada 24 Februari 1966 – 17 Mei 1966.

Potongan berita dari koran Suara Islam edisi Djum'at, 28 Agustus 1965. Gambar diambil dari kamera Handphone Abdul Mutaqin.


Tentu, sebagai yang menaruh minat pada media, dokumen autentik media Suara Islam itu sangat menarik bagi saya. Maka, seperti orang kelaparan, saya foto media pada bingkai kaca etalase itu. Rasa-rasanya, ini seperti pembalasan dendam saat dulu ketahuan mengambil gambar lewat HP di Istana Topkapi, Istanbul kena teguran keras petugas: “No picture! No picture!” hanya karena saya memotret replika benda-benda peninggalan Nabi Muhammad SAW yang dipajang di istana itu.

Pokoknya, saya puas.

Sepi di Keramaian


Sebagian Penyair, Kurotaor, dan Peneyelenggara Antologi Puisi Ketika Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara berpose usai acara. Foto Milik Piet Yulia via Grup WA Menuju KLB 4.


Ini hanya persoalan keluwesan. Apalagi, saya bukan apa-apa dalam dunia puisi di antara para penyair yang hadir. Haduh, siapa lah saya ini. Jadi, saya kurang luwes menyapa, mengenalkan diri, atau bahkan sekadar menghampiri bersalaman pada Pak Sam, Mas Wahyu, atau yang lain. Seharusnya tidak begitu, biar tidak merasa kesepian.

Alvian, yang sudah tiga tahun ikut KLB dan puisi-puisinya lolos kurasi pun, tidak lebih “genit” dari saya. Alvian adem banget. Atraktif, kek dikit pikir saya. Eh, guru muda ini malah asyik pada dirinya sendiri menyimak acara dan menyaksikan para penyair berpuisi.

Ah, bisa jadi, karena kami berdua sudah badmood. Kami dan sopir sekolah yang mengantar sudah gelagapan di area basement, muter-muter di area parkir mencari pintu buat menuju PDS. HB. Jassin ‘nggak ketemu-ketemu. Wkwkwkwkwk.

Setelah shalat Zuhur, terus tanya petugas, balik basement lagi, eh, masih juga gak ketemu. Beruntung ada peserta yang juga sedang menuju acara yang sama di depan pintu dekat lift. Aha, akhirnya sampai juga.

Semoga lain waktu, ada kesempatan untuk “beramai-ramai” dengan para penyair lagi. Selamat untuk 120 penyair yang puisi-puisinya masuk antologi “Ketika Jakarta Tak Lagi Jadi Ibu Kota Negara”. Selamat untuk saya dan Alvian juga. Hehehehe.

Menjelang pindahan, 27 Agustus 2023.


WISUDA 38 MILIAR

Toga. Foto Credit: https://rejogja.republika.co.id/

PKM dan Saya

Pada Sabtu 19 Agustus 2023 kemarin, saya menghadiri acara wisuda. Bukan wisuda anak-anak TK, SD, SMP, atau SMA yang kemarin sempat ramai dibincangkan media, ini wisuda pendidikan nonformal untuk para mubaligh Muhammadiyah. Jadi, setelah empat bulan mengikuti Pendidikan Kader Mubaligh (PKM), mereka yang dinyatakan lulus berhak diwisuda.

Meskipun wisuda dikemas sederhana, wajah-wajah wisudawan tampak ceria. Bisa jadi, keceriaan itu adalah ekspresi gembira karena mereka lulus dan berhak diwisuda. Apalagi, acara dirangkai pesan bernas dari Ketua Korps Mubaligh, ketua PDM Kota Depok, dan diakhiri ceramah pencerahan dari KH. Fahmi Salim, Lc., MA. Isi ceramah Kiai Fahmi bahkan boleh saya sebut “mewah” sekali. Jadi, ini sungguh-sungguh wisuda yang mencerahkan yang memantik alumni PKM Angkatan ke-2 punya wawasan global.

Saya pribadi punya catatan sendiri pada PKM. Entah, apakah Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok sebagai penyelenggara sekadar melibatkan supaya saya tidak “nganggur”, atau memang saya pantas menyampaikan materi “Sejarah Pemikiran Pembaharuan Dalam Islam”. Hahahahah.

Namun apalah itu, memang ada kebahagiaan bisa sharing di sana. Bukan bermaksud ge er, sih, sewaktu kuliah dahulu, nilai saya untuk mata kuliah yang membahas topik ini dapat nilai sempurna A. Semoga dosen lulusan McGill University yang mengampu mata kuliah ini bukan karena telah salah orang memberi nilai A untuk saya.

Soal Wisuda


Wisuda itu sudah tua umurnya bila bertolak dari sejarah peradaban Islam. Pada masa keemasan  abad pertengahan, wisuda adalah media pensyukuran, penghargaan, dan pengagungan atas ilmu dan pengajarnya. Jadi, bukan sekadar acara seremonial belaka dengan penyematan toga atau pengalungan medali, tapi, kering dari spirit penghargaan atas ilmu dan ulama.

Orang sekarang boleh percaya boleh tidak, wisuda kala itu merupakan penghargaan ketika para pelajar menyelesaikan suatu pembelajaran. Para wali begitu sangat bersyukur dan mewujudkan syukur itu dengan memberi hadiah kepada pihak yang telah membimbing pembelajaran anaknya. Dan, penghargaan serta rasa syukur itu bukan kualitas kaleng-kaleng.

Ismail bin Hammad, cucu Imam Abu Hanifah rahimahullah menceritakan ketika ayahnya, Hammad, menyelesaikan hafalan al-Fatihahnya dengan mutqin, kakeknya Abu Hanifah memberikan kepada guru pembimbingnya 500 dirham.

Ajiib! 500 dirham itu sekitar 40 juta rupiah sekarang, loh! Itu baru al-Fatihah, bagaimana kalau al-Baqarah atau Ali Imran?

Lain lagi cerita dari Ibnu Raqiq tentang Al-Qadhi Abdullah bin Ghanim. Ketika anak Al-Qadhi Abdullah pulang dari rumah gurunya, Al-Qadhi Abdullah menanyakan apa yang tadi dipelajari dan yang telah dihafalkan dari al-Qur’an. Lalu, sang anak menjawab dengan membacakan surah al-Fatihah dengan bacaan yang bagus.

Karena gembiranya, Al-Qadhi Abdullah lalu mengirimkan hadiah kepada guru ngaji anaknya sebesar 20 dinar. Duit semua itu. Dan, ya salam, bila dikonversi, 20 dinar itu senilai 80 juta rupiah. 

Fenomena apa ini? Tentu itu fenomena syukur.

Sang guru terperangah. Ia menolak karena merasa tidak pantas menerima hadiah sebesar itu hanya karena mengajarkan al-Fatihah. “Apa ini yang engkau berikan? Janganlah membuatku berprasangka yang bukan-bukan,” respons sang guru.

Sang guru lebih terperangah saat Al-Qadhi Abdullah menjawab. “Aku hanya memberi segitu wahai guru. Dan, tahukah engkau apa yang telah dirimu ajarkan kepada anakku? Engkau telah mengajarkan surah al-Fatihah. Satu huruf darinya yang telah engkau ajarkan, lebih baik daripada dunia dan seisinya bagiku.”

Masya Allah!

Khalifah al-Musta’shim billah (khalifah ke-8 Bani Abbas, berkuasa 833-845 M) saat wisuda kelulusannya dari menghafal dan mempelajari al-Qur’an dari gurunya Ali bin Nayyar diadakan pesta perayaan yang besar. Kepada sang guru, ia menghadiahkan uang sebesar 6000 dinar, atau sekitar 24 miliar.

Begitu juga saat wisuda al-Mu’taz, putra Khalifah al-Mutawakkil (khalifah ke-10 Bani Abbas, berkuasa 847-861). Salah satu pegawai istana yang bernama Syafi’ menceritakan tugasnya saat ia membagi-bagikan hadiah di acara wisuda. Syafi’i mengaku, hadiah yang diberikan Khalifah al-Mutawakkil kepada sang guru; Muhammad bin Imran yang mengajar al-Mu’taz adalah sebuah guci dari perak yang berisi 9.500 dinar. Gila! Ini setara dengan 38 miliar, guys!

Guru Ngaji Zaman Milenial

Maka, bolehlah kita heran, di zaman milenial ini, masih ada wali muslim hanya bersedia menyusun anggaran untuk honor les ngaji anak-anak mereka delapan kali lebih kecil nilainya dari honor les Bahasa Inggris atau les piano. “Ajib” kagak?

Ada pula cerita kawan saya dari Rangkas, honor qari (pembaca al-Qur'an) di acara maulid di kampungnya dianggarkan panitia lebih kecil dari anggaran untuk membeli petasan yang dibakar supaya maulid meledak lebih semarak. Ini, kan malah“ajib seribu kali ajib.

Ini tidak salah, apa?

Tidak. Karena di zaman ini, dunia dipandang lebih berharga dari akhirat, agama dianggap tidak penting daripada bisnis, dan timbangan amal di yaumil qiyamah tidak seberat daripada bobot neraca ekonomi dagang dengan ukuran untung-rugi. Padahal nanti di akhirat, bacaan al-Qur’an lah yang menjadi syafaat, bukan sapaan “good morning” atau suara denting piano, apalagi dentuman petasan. Ups! Maaf.

Memang, al-Qur’an tidak bisa diganti dengan uang. Akan tetapi, bukan berarti pengajarnya hanya berhak menikmati harga obral di antara para pengajar yang lain. Hanya saja, ya, mau bagaimana lagi?

Kita memang seperti tengah berada di negeri dongeng. Para politikus fanatik di negeri ini kadang menyanjung penguasa kelewat ceroboh. Satu waktu penguasa dipuji mirip Khalifah Abu Bakar, lain waktu mirip dengan Umar bin Khattab, di kali yang lain mirip Utsman bin Affan, dan di waktu yang akhir mirip Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi, penguasanya malah menggelar karpet merah, persembahan kepada para penyanyi dan pelawak daripada kepada qari dan guru ngaji.

Ampun, dah!

Pesan Wisuda Kiai Fahmi

Pencerahan dari KH. Fahmi Salim, Lc,. MA., mahal nilainya. Ulama muda Muhammadiyah, Founder Al-Fahmu Insititute, dan penulis produktif ini mengajak wisudawan berwawasan global, mampu menjawab tantangan dakwah global, punya daya literasi yang kuat, menjadi mubaligh Muhammadiyah yang tegak lurus pada al-Qur'an dan Sunnah, serta berdakwah dengan cara santun sekaligus berkemajuan.

Penulis buku“Kritik Terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal”, buku favorit lahapan saya di kala senggang ini menyinggung kerusakan yang kerap dilakukan oleh para phobia Islam dan kaum oportunis alias golongan munafikun. Kadang, pelaku Islamophobia itu suka sekali bermesaraan dangan kaum oportunis.

Secara khusus, kiai Fahmi berpesan agar para mubaligh mewaspadai tipu daya dan makar kaum munafik. Sudah banyak contoh kerusakan yang menodai peradaban karena ulah mereka. Terpecah belahnya sebuah bangsa menjadi contoh konkret aksi makar mereka pada tiap penggalan sejarah dan peradaban.

Dipikir-pikir, benar sekali nasihat Kiai Fahmi ini. Negeri dongeng saja, bisa jadi oleng karena ulah mereka. Masa, negeri ini harus pula oleng digoyang mereka dengan tutur bahasa tipuan atas nama demokrasi, HAM, liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, serta islamophobia para buzzer?

Jangan, ah!

Hmmm. Sebuah acara wisuda yang mencerahkan dan menggembirakan.  

Ahad sore yang sejuk, 20 Agustus 2023.

MEREBUT PERHATIAN MELALUI MEDIA

Ada yang berambut putih terselip di antara Ketua Majelis. Foto Credit Andi Maulana

Pemilihan calon Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok pada Musyda ke-7 berlangsung sukses. Agenda 5 tahunan yang digelar di Perguruan Muhammadiyah Cinangka pada 28 Juni 2023 itu menggunakan e-Voting. Pada rilis hasil voting dengan ekSIS e-Voting System v.4.0, nama saya ada tercantum pada posisi 19 dengan 43.00 Point.

“Kagak salah ini?” Saya merespons.

Eits, tunggu dulu!

Respons demikian itu bukan karena “ke-ge er an”. Apalagi bermaksud sebagai jemawa bahwa seharusnya saya bisa meraih poin di atas 43.00. Bukan. Saya hanya menakar diri dan merasa posisi 19 itu terlalu “mewah” buat saya.

Belakangan, saya diberi tahu kolega di Muhammadiyah Daerah bahwa nama saya diusulkan masuk jajaran di Majelis, entah majelis apa. Pada 25 Juli 2023 kemarin, nomor kontak saya sudah terhubung dengan Grup WA Majelis Pustaka dan Informasi MPI PDM Kota Depok 2022-2027 bersanding dengan 13 anggota majelis. Wah, berarti, serius ini.|

Kemarin, Kamis 17 Agustus 2023 badan meriang sejak subuh pagi. Gejala flu dan pilek mulai menggigit. Kepada Panitia Peringatan Ke-78 HUT Republik Indonesia di madrasah tempat saya mengajar, saya kirim pesan tidak bisa hadir mengikuti upacara. Jadilah seharian istirahat.

Setengah jam menjelang Zuhur, demam mulai reda setelah dibawa tidur. Hanya saja, gejala flu dan pilek masih berat. Tenggorokan sudah pula mulai terasa nyeri bila menelan. Wah, istirahat ternyata belum cukup untuk mengatasi gejala flu dan pileknya. Malah, tenggorokan mulai ikut-ikutan mendompleng sakit.

Menjelang Ashar, baru ingat ada agenda ngobrol santai dengan Ketua dan anggota MPI. Waduh!|

Rasanya, dari penampakan rambut, saya paling tua di antara anggota Majelis Pustaka dan Informasi MPI PDM Kota Depok yang hadir di Kopi Brumbun sore kemarin. Feeling saya berbisik, dengan Mas Muhammad Raihan Febriansyah, ketua Majelis, rasa-rasanya usia Mas Raihan masih pula di bawah saya. Lebih-lebih dibanding Andi Maulana. Wajahnya saja, Andi masih seperti anak baru kelas tiga SMA. Artinya, saya yang tertua di antara kami bertujuh yang hadir.

Bolehlah soal umur saya lebih banyak bilangannya, sudah pula uban di kepala bertabur, tapi soal pengalaman di bidang informatika, penguasaan media, dan jurnalistik, saya bukan apa-apa, paaaling sedikit, kata orang kampung saya “masih ijo”. Lagi pula, memang saya tidak punya background keilmuan bidang informasi, media, dan jurnalistik. Saya hanya lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN (sekarang UIN) Jakarta 1999.

Saya dengar pula, ada tiga atau empat orang anggota Majelis yang punya pengalaman sebagai jurnalis di Harian Republika. Sementara pengalaman saya cuma “se-Harian” penuh dalam seminggu di Madrasah Pembangunan sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam. Irisan pada media saya dapat, hanya “seiris” pengalaman pernah menjadi staf redaksi di majalah sekolah. Sudah, itu doang.

Maka, dari ngobrol santai kemarin sembari ditemani sesapan Kopi Tubruk, ada banyak hal baru yang saya dapat. Mas Raihan membuka wacana soal pentingnya penguasaan media dan era digital. MPI PDM Kota Depok punya tantangan di sini. MPI bisa fokus membangun branding PDM lewat jalur media dan publikasi juga pustaka.

Sependek yang saya tangkap, Mas Raihan secara eksplisit menegaskan bahwa pemenang kehidupan hari ini adalah mereka yang menggenggam media. Tak terkecuali dunia dakwah. Dan, Muhammadiyah berhajat besar pada penguasaan media digital hari ini. Bila lengah, peluang mengembangkan sayap dakwah digital akan terbuang sia-sia. PDM Kota Depok perlu belajar dari PDM-PDM lain yang dakwah medianya sudah mapan.

Memang, Muhammadiyah masih punya “Suara Muhammadiyah”. Majalah tertua di republik ini masih bertahan meski lintasan zamannya sudah sangat panjang. Hanya saja, kita tidak tahu sampai kapan media kebanggaan persyarikatan ini tetap hidup sejak kelahirannya pada 1915 silam. Saya belum tahu, apa sudah ada survey internal untuk menemukan angka berapa persen anak-anak muda Muhammadiyah yang tergolong generasi milenial Muhammadiyah mengakses “Suara Muhammadiyah” versi cetak.

Akan tetapi, media-media cetak sudah bergeser dari masa jayanya meskipun belum punah sama sekali hari ini. Sekarang masanya media digital. Karena itu, sosial media milik resmi atau anggota persyarikatan harus diramaikan dengan pesan-pesan persyarikatan. Website resmi PDM harus dikelola lebih serius. Muhammadiyah harus merebut perhatian umat dengan publikasi media secara lebih signifikan.

Dengan komposisi kolaboratif akademisi, jurnalis, penulis, dan ahli di bidang komunikasi, saatnya MPI mengambil kemudi arah dakwah media PDM Kota Depok. Dan, ini kesmpatan bagi saya belajar banyak dari para punggawa media Muhammadiyah. Semoga Muhammadiyah kota Depok semakin mencerahkan umat sebagaimana saya tercerahkan pada obrolan ringan sore kemarin.

Semoga.|

Ruang Guru, Jumat 18 Agustus 2023

HW PRAMUKA DAN WEAVER ANT




Semut Rangrang. Foto Credit : https://www.mongabay.co.id/

Sewaktu SMA, setiap Sabtu, sering risi diledekin sebagai “Semut Rangrang”. Ledekan itu sebab warna seragam Pramuka yang saya kenakan. Memang sih, seragam Pramuka agak mirip dengan warna tubuh Weaver Ant yang gemar membentuk koloni. Gigitannya juga nyelekit. Ups! Sungguh terlalu!

Akan tetapi, jangan lupa, si Weaver Ant ini juga punya skill menganyam yang keren. Maka dari itu ia disebut “Weaver Ant”. Rumah mereka adalah anyaman dari daun di mana semut merah ini bersarang. Sarangnya adalah mahakarya seni arsitektur paling orisinal di muka bumi. Bayangkanlah karunia Tuhan pada makhluk kecil yang satu ini. Meskipun tubuhnya hanya seukuran 0,3-04 inch atau kira-kira 8-10 mm, kreativitasnya besar melampaui tubuhnya. Luar biasa.

Jadi, di samping gigitannya yang terasa nyelekit, saya pikir-pikir, keahlian menganyam ini mirip dengan skill tali-temali dan membuat simpul ala anggota Pramuka. Lha, kok mirip, ya? Ah, boleh jadi ini cuma cocoklogi saja.

14 Agustus 2023 hari ini, ingatan soal “Weaver Ant” bersemi kembali, tepat pada upacara peringatan ke-63 Hari Pramuka. And, I am the same person who looks like weaver ants dengan seragam Pramuka saya. Heheheh.|

Sebelum Pramuka lahir, ada banyak organisasi kepanduan di tanah air seperti Javanese Padvinders Organizatie (JPO), Jong Java Padvindery (JJP), Nationale Islamitische Padvindery (NIP), Hizbul Wathan (HW), Sarekat Islam Afdeling Padvindery (SIAP), dan sebagainya. Saya belum tahu persis, apakah selain HW –cikal bakalnya adalah Padvinder Muhammadiyah–masih eksis sampai hari ini atau tidak.

Padvinder Muhammadiyah didirikan pada 1918, dua tahun setelah Javaansche Padvinder Organisatie (JPO). JPO didirikan oleh Mangkunegara VII. KH. Ahmad Dahlan terinspirasi dari sini. Kiai Dahlan takjub saat melihat anak-anak JPO berpakaian seragam yang tengah berlatih baris-berbaris di halaman Mangkunegara.

Padvinder Muhammadiyah menekankan pada kepanduan Islami dengan menerapkan akidah Islam dalam setiap kegiatannya. Maka, selain berlatih baris berbaris, pertolongan pertama pada kecelakaan, dan olahraga setiap Ahad sore, pada malam Rabu, mereka diberi bekal keagamaan. Padvinder Muhammadiyah ini kemudian bermetamorfosis menjadi Hizbul Wathan (HW) pada 1920.

Meskipun HW bernuansa Islam, akan tetapi spirit nasionalismenya sangat kental. Baca saja semboyan Hizbul Wathan sejak berdiri yang: setia kepada ulil amri; sungguh berhajat akan menjadi orang utama; tahu akan sopan santun dan tidak akan membesarkan diri; boleh dipercaya; bermuka manis; hemat dan cermat; penyayang; suka pada sekalian kerukunan; tangkas, pemberani, tahan, serta terpercaya; kuat pikiran menerjang segala kebenaran; ringan menolong dan rajin akan kewajiban; dan menetapi akan undang-undang Hizbul Wathan. HW sempat dilebur ke dalam Gerakan Pramuka pada 1961. Akan tetapi, oleh Muhammadiyah HW diaktifkan kembali pada 1999 silam.

Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah alumnus HW. Pak Dirman mengakui, HW adalah tempat melatih fisik dan membina mental, bukan tempat untuk gagah-gagahan atau aksi-aksian. Maka, dalam benak Pak Dirman kala itu, HW benar-benar diharap dapat melatihnya sebagai seorang pandu yang sangat patuh dan disiplin terhadap peraturan.

Bolehlah kita bertanya, adakah kepanduan hari ini dapat melahirkan Sudirman-Sudirman baru?|

Saat melintas di sebuah SMA Negeri di Jl. Limo Raya No.30, Meruyung pagi tadi, seperti biasa para pengendara berhenti untuk memberi akses para siswa sekolah itu menyeberang. Ada yang menarik mata saya saat itu. Di antara semua siswa berseragam Pramuka hari ini, banyak di antaranya mengenakan seragam Padvinder Muhammadiyah, HW.

Ini keren! Saya menilainya ini sebuah pengakuan.

Akan tetapi, ada yang lebih substantif dari sekadar seragam, yaitu soal spirit. Ada irisan antara Undang-Undang Pandu HW dan Dasa Darma Pramuka. Mari bandingkan:


Undang-Undang Pandu Hizbul Wathan:

Satu, Pandu Hizbul Wathan itu, dapat dipercaya;
Dua, Pandu Hizbul Wathan itu, setia dan teguh hati;
Tiga, Pandu Hizbul Wathan itu, siap menolong dan wajib berjasa;
Empat, Pandu Hizbul Wathan itu, suka perdamaian dan persaudaraan;
Lima, Pandu Hizbul Wathan itu, sopan santun dan perwira;
Enam, Pandu Hizbul Wathan itu, menyayangi semua makhluk;
Tujuh, Pandu Hizbul Wathan itu, melaksanakan perintah tanpa membantah;
Delapan, Pandu Hizbul Wathan itu, sabar dan pemaaf;
Sembilan, Pandu Hizbul Wathan itu, teliti dan hemat;
Sepuluh, Pandu Hizbul Wathan itu, suci dalam hati, pikiran, perkataan dan perbuatan.

Anggaran Rumah Tangga Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan Pasal 9 ayat 2 (Hasil Muktamar ke-3 HW tahun 2016)

Dasa Darma Pramuka.

1. Takwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.
3. Patriot yang sopan dan kesatria.
4. Patuh dan suka bermusyawarah.
5. Rela menolong dan tabah.
6. Rajin, terampil dan gembira.
7. Hemat, cermat dan bersahaja.
8. Disiplin, berani dan setia.
9. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya.
10. Suci dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan.


Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka Tahun 2009, berdasarkan Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 203 Tahun 2009.

Dari rumusan cita-cinta kedua kepanduan di atas, Baik HW dan Pramuka sepakat soal “Suci dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan”. Hanya saja, HW memulai kesucian itu dari hati.

Boleh jadi karena karakter keislamannya, HW terinspirasi sebuah hadits yang menyebut bahwa hati adalah sumber inspirasi wujud rupa manusia. Ia menjadi cermin dari pikir, ucap, dan laku manusia. Bilamana hati manusia baik, maka baiklah seluruh jasad (pikir, ucap, dan laku). Namun, bilamana hatinya buruk, buruk jugalah seluruh jasad manusia itu.

Boleh jadi, karakter "suci" peserta didik bisa dibangun melalui kepanduan, baik melalui HW atau Pramuka. Akan tetapi, kesucian itu bukan karena seragamnya yang gagah, melainkan karena ia dipelihara, dihidupkan, dan selalu dijaga dari segala macam penyakit hati yang tersembunyi. 

Upacara Hari Pramuka, Senin 14 Agustus 2023 di Madrasah Pembangunan. Foto Credit: Gus Djamal.

Selamat Hari Pramuka para pandu. Semoga bisa menyerap spirit Pak Dirman.

Ruang Guru di Hari Pramuka, 14 Agustus 2023.


ROKOK DAN TRAGEDI KETAPEL


Ilustari ketapel: Forto Credit: https://www.kilasbali.com/

Mata kanan dikabarkan bisa cacat permanen. Bisa jadi, psikologisnya pun ‘cacat’ lebih permanen. Mata yang cacat itu bukan karena rusak dimakan penyakit, bukan pula sebab kecelakaan. Mata kanan itu rusak dan menjadi cacat karena diketapel. Miris.

Tahu ketapel?

Pada masa purba, orang menggunakan pelontar peluru dari batu dengan senjata bernama manjanik. Nah, ketapel itu semacam modifikasi dari manjanik. Orang kampung saya menyebutnya “slepetan”, peralatan tempur untuk memburu tekukur, tupai, atau kelelawar.

Adalah Zaharman, orang yang mengalami insiden slepetan itu. Zaharman boleh jadi tidak menduga mata kanannya akan berakhir cacat di lingkungan pendidikan. Ya, Zaharman seorang guru di sebuah SMA di Rejang Lebong, Bengkulu, di tempatnya mengajar.

Lalu, apa dosa Zaharman? Apakah dia korupsi dana BOS? Ketahuan jual beli kursi siswa baru yang tersingkir karena kebijakan zonasi? Atau ia tertangkap basah melakukan pelanggaran etik sehingga mata kanannya pantas dislepet?

Menurut berita, bukan dosa-dosa di atas pemicu Zaharman dislepet. Kesalahan Zaharman karena ia peduli. Ia menegur ada siswanya yang kedapatan merokok di area kantin sekolah. Berembus pula kabar, Zaharman marah dan menendang salah seorang siswanya yang lari menghindar saat ditegur.

Itulah kesalahan Zaharman. Kesalahan ini memicu kemarahan orang tua siswa bersangkutan yang kemudian datang ke sekolah seperti anak-anak kampung saya hendak berburu tekukur, tupai, atau kelelawar. Dan, sebutir peluru terlontar dari replika manjanik tepat mengenai mata Zaharman. Buk!|

Kasus yang dialami Zaharman terus berulang dalam bentuk dan motif yang berbeda-beda. Bukan sekali dua kali guru menerima perlakuan demikian. Seakan, konflik guru-siswa-orang tua seperti tak jua putus mata rantainya.

Bahkan, kasus-kasus guru diadukan ke polisi karena menegur atau bahkan sekadar mencubit siswa kerap terjadi. Orang tua tidak berkenan anaknya diingatkan atau dicubit di area pendidikan. Lalu, orangtua merasa pantas membawa polisi ke sekolah buat menggelandang dan memenjarakan guru anaknya sendiri.

Bila saja guru boleh menyerah, maka menyerah sajalah. Biarkan saja siswa merokok di sekolah atau di ruang kelas saat guru mereka menerangkan pelajaran. Bila itu tidak cukup, perintah saja guru mereka pergi ke warung. Beri guru itu selembar dua lembar 10 ribuan untuk membeli rokoknya. Lalu, minta guru itu menyalakan korek api dan menyulut ujung rokok yang sudah terselip di bibir sang murid seperti dalam cerita film-film mafia di Kuba. Biar drama soal rokok ini lebih seru disaksikan.

Biarkan saja mereka berlaku demikian. Jangan diingatkan! Jangan pula dicubit! Biarkan saja! Daripada nanti guru dilaporkan ke polisi dan masuk penjara.|

Tiap orang setuju, bahwa tidak semua guru berperilaku baik. Ada oknum guru yang berperilaku buruk. Ustaz yang bejat pun ada. Memang, sebagai “yang digugu dan ditiru”, tentu tidak elok, bahkan tidak etis apabila seorang yang menjadi teladan, namun bermoral rendah. Sebab, kerendahan moral tidak bisa diadaptasi oleh masyarakat yang masih menghormati akhlak, setia sebagai agen transformasi nilai-nilai kebaikan ke tengah-tengah masyarakat seperti masyarakat pendidikan. Maka, bilamana ada oknum guru atau ustaz yang tidak bermoral, serta merta dianggap rusaklah dunia pendidikan.

Oknum guru atau ustaz yang tidak bermoral, memang tidak cocok di sini. Teori kesusilaan Voltaire: “Hiduplah seperti apa yang kamu inginkan dan berbuatlah terhadap sesamamu seperti yang kamu inginkan ia berbuat terhadapmu” tidak cocok diterapkan selain di Perancis sejak masa Aufklärung pada awal abad ke-18 silam. Tidak pula cocok dengan retorika Rousseau yang sangat terkenal:“Manusia terlahir bebas, dan dimana-mana ia terbelenggu.” Ini berlaku di Barat.

Barat memang terinspirasi dari tradisi ilmu dan peradaban Yunani, salah satu unsur penting peradaban Barat sekarang. Di Yunani, dahulu kala, bahkan para cendekiawan sangat menghargai dunia pelacuran, seperti masyarakat Barat menghargai free sex, samen leven, dan paham kebebasan.

Demonsthenes, seorang filosof Yunani, mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan), gundik untuk kesehatan harian tubuh, dan istri untuk melahirkan anak halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai. Kurang apa lagi?

Jadi, sudah jatuh talak antara ilmu dan moral di Barat. Maka, di Barat, mungkin saja ada guru atau murid tidak akan dianggap tercela bila kedapatan dia mabuk alkohol, merokok, atau segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran selama itu urusan privat. Tapi di sini, ilmu dan moral masih serasi berdampingan, meskipun untuk mempertahankannya dunia pendidikan semakin keteteran.|

Pada umumnya, guru di Indonesia masih memegang kuat moral etik. Bilamana ia menegur siswa yang merokok di lingkungan sekolah, bahkan terkesan kejam karena menendang siswa bersangkutan, rasanya itu belum keluar dari maksud mendidik agar moral anak didiknya terjaga. Ia ingin siswanya bukan sekadar menghindari rokok, melainkan mematuhi larangan merokok di area pendidikan. Tentu, ia tidak akan ambil pusing bila siswanya itu merokok di rumahnya sendiri bareng orang tuanya sekalian.

Bilamana di bandara, rumah sakit, stasiun kereta, atau area publik ada imbauan dilarang merokok, tentu larangan merokok di area sekolah lebih bisa diterima banyak orang. Bukan hanya siswa, orang tua pun tidak sukar memahami aturan ini. Bukankah orang tua itu pendidik yang utama bagi anaknya?

Bila ada guru karena sebab menegur siswanya yang merokok di kantin sekolah, lalu ia diketapel hingga sebelah matanya menjadi buta, memang sangat disayangkan. Itu sama saja harga sebiji mata pemberian Tuhan ditukar sebatang rokok seharga dua ribu perak.

Guru yang baik memegang nilai moral. Ia mendampingi siswanya agar teguh memegang moralitas hanya sependek waktu di sekolah. Sedangkan orang tua siswa yang baik menjadi partner guru dalam pendampingan moral setiap waktu sepanjang hidup anak-anak mereka.

Ruang Guru yang mulai sepi, 9 Agustus 2023.

TEMPAT ELIT ITU PERPUSTAKAAN


Library with hanging bulbs. Foto credit đź‡¸đź‡® Janko FerliÄŤ, on Unsplash.

Di lingkungan sekolah, pernah berembus anggapan bahwa perpustakaan tidak lebih sebagai "tempat buangan" para guru bermasalah. Entah. Siapa yang memulai embusan anggapan itu, tidak jelas sosoknya. Apa maksudnya, pun lebih tidak jelas lagi.

Hanya saja, ketidakjelasan ungkapan dua kata di atas cukup "menyakitkan" bagi dunia literasi. Orang umum pun, hampir pasti akan berpikir bahwa maksud "tempat buangan" itu tidak pelik dimengerti, semudah menjawab pertanyaan: di mana akan diletakkan barang-barang usang yang tidak terpakai lagi?

Akan tetapi, boleh jadi ungkapan di atas justru lahir dari ruang perpustakaan. Orang dengan minat literasi yang baik, kecewa dengan wajah perpustakaan sekolah yang minim kreasi dan inovasi, khususnya kreasi dan inovasi yang memantik minat baca dan minat mencipta hasil bacaan di perpustakaan. Ia hanya ruang persegi empat tempat menyimpan koleksi. Sebatas layanan meminjam dan mengembalikan koleksi an sich!

Bila demikian, perpustakaan memang kehilangan dirinya. Ia nyaris hidup tanpa roh, tanpa jiwa. Tidak ada spirit yang menggerakkan nalar dan imajinasi di mana dunia sastra berkembang. Rasanya, ungkapan "tempat buangan" masih lebih lunak ketimbang ungkapan "ayam mati kelaparan di lumbung padi" untuk menilai perpustakaan.|

Perpustakaan itu sesungguhnya menyandang status elit, lebih elit dari coffee shop atau resto yang cukup sekadar memuaskan perut. Perpustakaan hadir pada level nalar, bukan syahwat. Perpustakaan dibangun untuk memuaskan otak, menghidupkan critical thinking, dan menggerakkan imajinasi untuk berkarya. Kealpaan peran perpustakaan pada tiga kecakapan di atas boleh jadi sebab yang membuat perpustakaan kehilangan rohnya dan dinilai cocok sebagai "tempat buangan" saja.|

Sebenarnya agak konyol bila sekadar memahami marwah perpustakaan, orang harus rela mundur ingatannya ke abad pertengahan, abad di mana Islam menjadi pusat peradaban dunia. Orang madrasah jangan sampai lupa, peradaban Islam berkembang sepanjang abad ke-7 hingga abad ke-13 M salah satunya karena dua hal; perpustakaan dan buku.

Saat itu, Eropa belum apa-apa. Masyarakat Eropa yang dipandang secara fisik sangat maju hari ini, masih hidup dalam keterbelakangan akut dan buta huruf. Meski begitu terbelakang, mereka sudah mengenal buku. Hanya saja, buku-buku itu hanya ada di gereja-gereja, sebatas buku-buku tentang ketuhanan, dan hanya dibaca oleh para pendeta.

Perpustakaan terbesar di Eropa saat itu sebuah Katedral di Konstantinopel. Perpustakaan ini memiliki koleksi buku-buku agama yang jumlahnya tidak lebih dari 354 koleksi. Di Portugis, sekitar tahun 1302 disebut-sebut sudah ada perpustakaan di gereja Bunduqiyah. Koleksinya hanya 400 buku. Raja Prancis, Carli, yang terkenal sebagai filsuf, ketika ia ingin mendirikan perpustakaan di akhir abad ke-14 M, konon ia tidak dapat mengumpulkan buku selain buku-buku kerajaan yang jumlahnya hanya 900 jilid. Sepertiga dari buku-buku itu, pun buku-buku tentang ilmu ketuhanan.

Sementara itu, peradaban Islam memiliki Baitul Hikmah, perpustakaan besar pertama di Baghdad yang mengoleksi dan mengelola kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan kitab hasil penerjemahan dari berbagai bahasa. Koleksi Baitul Hikmah sangat beragam mencakup berbagai bahasa seperti Arab, Yunani, Sansekerta, dan lain-lain. Diketahui, jumlah koleksi Baitul Hikmah mencapai lebih dari 60.000 buku. Bahkan ada yang menyatakan sekitar 400 hingga 500 ribu buku. Perpustakaan penuh dengan naskah-naskah Yunani, Persia, dan Qibti untuk diterjemahkan. Setiap karya ilmiah hasil kajian perpustakaan ditimbang dan diganti dengan emas seberat timbangan karya ilmiah tersebut.

Selain Baitul Hikmah, terdapat perpustakaan-perpustakaan pada masa kemajuan Islam. Ada Maktabah Sabur di Baghdad dengan 10.000 koleksi, Maktabah Al-Hakam di Qurthubah (Cordoba, Spanyol) dengan 400.000 koleksi, Maktabah Al-Qushur di Kairo dengan 1.600.000 koleksi, Darul Hikmah di Kairo dengan 100.000 koleksi, Maktabah Tharabulus di Syam dengan 3.000.000 koleksi, Maktabah Maraghah dengan 400.000 koleksi, dan Maktabah-Maktabah yang lain dengan koleksi tidak kurang 120.000 buah. Di antara perpustakaan-perpustakaan itu, perpustakaan sekolah menjadi bagian dari khazanah kemajuan literasi Islam pada abad pertengahan.|

Perlu dicatat, hadirnya kemewahan ilmiah dan literasi pada masa keemasan Islam karena perpustakaan menjadi pusat intelektual, pusat kreativitas, dan pusat peradaban. Inilah maksud dari perpustakaan sebagai tempat elit.

Hawanit Al-Warraqin (toko buku) saja bukan sekadar tempat berjual beli buku pada masa itu. Ia naik kelas menjadi fenomena peradaban dan kebudayaan serta kegiatan ilmu yang didatangi oleh para budayawan dan sastrawan di mana mereka mengambil bagian tempat berkumpul untuk melakukan kajian.

Di Spanyol, di bawah kekuasaan Daulah Bani Umayyah Andalusia, tradisi intelektual umat Islam mengantarkan Spanyol-Islam dari abad 9-11 menjadi salah satu pusat kebudayaan Islam dan dunia. Maka, para pelajar dari Inggris, Perancis, dan Jerman yang datang ke Cordoba sampai berpakaian Arab supaya terlihat sebagai akademisi menjadi fenomena yang biasa. Bahkan, mereka membentuk kelas sosial tersendiri yang belakangan dijuluki sebagai “Mozarab” (Arabnya; “Musta’rib”) yang berarti “Arab pendatang”.

Pendek kata, dunia perpustakaan dan buku pada masa kejayaan Islam–baik di Baghdad dan Cordova)– sangat menggairahkan. Sebegitu menggairahkan ia, para penulis tidak berhenti berkarya dalam berbagai disiplin ilmu.|

Satu waktu, perpustakaan sepakat dinilai sebagai sangat penting. Kapan? Saat akreditasi sekolah. Setelah itu, perpustakaan seperti dikembalikan pada nasibnya; wujuduhu ka adamihi, keberadaannya seperti ketiadaannya.

Akan tetapi, anggapan ini tidak berlaku bagi madrasah literat, pendidik dan tenaga kependidikan literat, peserta didik literat, pemangku kebijakan madrasah literat, dan tentu saja pustakawan literat secara lebih spesifik. Apabila bertemu semua insan literat itu dalam satu frekuensi, maka marwah perpustakaan akan kembali pada posisinya yang elit. Anggapan bahwa perpustakaan sebagai "tempat buangan" pun, patah dengan sendirinya.|

Ruang Guru, 04 Agustus 2023.

AISYAH RA DAN NARASI SELINGKUH


Ilustrasi wolf in sheep's clothing. Foto credit: https://www.pxfuel.com

1000 personel pasukan muslim yang dikerahkan dari Madinah menyisakan 700 personel. 300 personel membelot. Mereka urung berjihad di Medan Uhud (Maret 625 M). "Kalian mau mati sia-sia di Uhud?” Provokasi inilah yang memancing 300 personel itu membelot.

Saat perang Bani Musthaliq (Januari 627 M) baru saja usai, giliran kaum Anshar dan kaum Muhajirin diprovokasi. "Kalian tahu wahai kaum anshar? Kalian menolong muhajirin ini ibarat sedang memberikan makan kepada anjing. Dan anjing itu akhirnya menggigit kalian. Untuk apa kalian membantu orang muhajirin? Kalian itu anshar yang bisa lebih hebat daripada muhajirin. Dan lihatlah, kita ini orang-orang mulia dan akan mengusir orang-orang hina tersebut."

Kalimat provokasi ini sampai ke telinga Umar bin Khattab RA. Umar marah dan meminta izin kepada Nabi SAW untuk memenggal sang provokator. Namun, Nabi SAW melarang Umar dan memilih memaafkan.

Pada tahun yang sama setelah perang Bani Musthaliq, sang provokator berulah lagi. Dia menuduh Siti Aisyah RA telah selingkuh. Hampir tidak ada sahabat yang tidak percaya isu perselingkuhan tersebut. Gemparlah seluruh Madinah. Shafwan bin al-Mu'aththal, laki-laki yang menjadi sasaran penyerta fitnah itu memilih diam. Demikian pula Asiyah. Isu perselingkuhan itu baru reda saat turun QS. An-Nuur [24] :11 yang membersihkan nama Aisyah dan Shafwan.

Pelaku tiga isu di atas adalah orang yang sama; Abdullah bin Ubay bin Salul. 

Saat Nabi SAW baru pulang dari perang Tabuk (Oktober 630 M), Abdullah bin Ubay jatuh sakit yang membawa pada kematiannya. Anak Abdullah bin Ubay datang kepada Nabi SAW seraya meminta jubah beliau untuk dijadikan kain kafan ayahnya. Nabi memenuhi permintaan itu dan turut pula menyalatkan jenazah tokoh munafik ini.

Lagi-lagi Umar bin Khattab RA protes, mempertanyakan sikap Nabi SAW yang turut menyalatkan jenazah sosok yang telah begitu banyak merugikan kaum muslimin ini. Rupanya, protes Umar diapresiasi QS. At-Taubah [9]: 84. Ayat itu turun berisi koreksi yang kemudian melarang Nabi SAW menyalatkan orang munafik semisal Abdullah bin Ubay. Bahkan, berdiri untuk berdoa di atas kuburnya pun Nabi SAW dilarang.

Begitulah secuplik tentang sosok Abdullah bin Ubay bin Salul. Sungguh malang nasibnya. Bagaimana tidak, dia orang yang menjadi sebab Nabi SAW diingatkan Allah SWT karena menyalatkan jenazahnya.

Abdullah bin Ubay mati membawa kemunafikan. Dia belum sempat bertaubat, meminta maaf kepada Nabi SAW, Aisyah, dan Shafwan. Ngeri.|

Dua komunitas di Madinah era Nabi ini ada tertulis, baik dalam Alquran maupun hadits. Dua komunitas dimaksud adalah Munafik dan komunitas Yahudi.

Di beberapa kisah, golongan Munafik dan Yahudi Madinah berkomplot memusuhi Nabi SAW dan kaum muslimin. Bahkan, mereka membangun aliansi dengan Musyrikin Makkah untuk memerangi Nabi SAW dan kaum muslimin.

Satu kali, Abdullah bin Ubay meminta pembebasan kaumnya yang terlibat pada peristiwa pengusiran Yahudi Bani Qainuqa yang melanggar Perjanjian Madinah karena bergabung dengan Musyrikin Makkah pada perang Badar (Maret 624 M) dan Uhud (Maret 625 M).|

Di antara nama-nama surah dalam Alquran pun, ada terselip surah "Al Munafiqun" (surah ke-63) dan surah Al Kafirun ( surah ke-109). Informasi acak perihal dua komunitas ini juga tersebar di beberapa ayat dan surat yang berbeda-beda.

Tidak sedikit berita, baik hadits maupun atsar yang mengabarkan eksistensi keduanya dalam banyak riwayat. Pendek kata, baik golongan Munafik maupun Yahudi tertulis dalam lembaran-lembaran Alquran dan hadits.

Salah satu arti penting eksistensi keduanya disinggung Alquran dan beberapa riwayat dalam hadits adalah ibrah  untuk kaum muslimin akan bahaya dari tipu daya, makar, serta sikap permusuhan mereka. Di sini, Allah SWT dan Nabi SAW hendak mengajarkan kepada kaum muslimin agar bersikap hati-hati.|

Ada kalanya, kelompok munafik lebih berbahaya dari orang kafir. Bisa jadi, tidak lain karena karakter munafik adalah musuh dalam selimut, serigala berbulu domba. Lisannya menyatakan keimanan, tapi hatinya menyimpan kekafiran.

Hati orang munafik menyimpan nifak (sifat dari munafik). Nifak artinya "lubang". Pada lubang itulah wajah asli mereka disembunyikan. Maka, jangan heran bila mulut orang munafik berkata "putih", tapi sebenar hatinya berkata "abu-abu", "hitam", atau "cokelat".

Orang munafik gemar bersiasat. Di siang hari di hadapan Nabi SAW dia berkata "kewajiban kami hanyalah taat" (seperti disinggung pada QS. An-Nisa [4] : 81). Saat itu, mereka bersikap seperti sikap orisinal orang-orang beriman. Akan tetapi, di malam hari, sebagian mereka bertemu dan mengatur siasat. Tentu saja, siasat mereka di malam hari itu poinnya bertolak belakang dari pengakuan yang dikatakan mereka pada siang hari tadi di hadapan Nabi SAW.

Penipu. Begitulah mereka.|

Orang ramai sudah mafhum, orang munafik itu sukar dipercaya. Kata-katanya tidak bisa dipegang. Hatinya sukar ditebak. Manuvernya tak terbaca.

Nah, yang jarang diketahui banyak orang, orang munafik itu punya kecerdasan linguistik. Banyak orang terkagum-kagum pada kecerdasan linguistik mereka ini. "Dan jika mereka berkata, engkau mendengarkan tutur katanya," begitu yang disinggung QS. Al Munafiqun [63] : 4. Sampai-sampai, Nabi SAW saja sangat khawatir atas potensi kecerdasan mereka ini.

Akan tetapi, bukan soal kecerdasan linguistiknya yang dikhĂ watirkan Nabi SAW, melainkan daya rusak kecerdasan itu yang disalahgunakan mereka. Bayangkan, Aisyah RA, istri Nabi SAW, putri Abu Bakar RA, perempuan suci bergelar Ummul Mukminin saja jadi korban daya rusak kecerdasan mereka itu. “Inna akhwafa ma akhafu 'alaikum ba’di kullu munafiqin ‘alimul lisan.”Sungguh, yang paling aku khawatirkan atas kalian semua sepeninggalku adalah orang munafik yang pintar berbicara. Demikian pesan Nabi SAW menurut riwayat Imam At-Tabrani.

Wallahu a’lam bishawab.

Malam Jum’at. 3 Agustus 2023.