GAGAL GEMBIRA

Tari Topeng Cisalak pada Pembukaan Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Depok ke-7, Sabtu, 27 Mei 2023. Sumber foto https://berita.depok.go.id/lestarikan-kearifan-lokal-musda-muhammadiyah-tampilkan-budaya-khas-depok

HARI ini, Ahad, 8 Dzul Qo'dah 1444 H, bertepatan dengan 28 Mei 2023 Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Depok memasuki hari terakhir. Agenda pentingnya pemilihan pengurus 2022-2027. Semoga agenda terakhir hari ini berjalan sesuai harapan warga Muhammadiyah Kota Depok.

Bangga sekali rasanya, Muhammadiyah kota Depok dapat menggelar Musyawarah Daerah ke-7 dengan meriah, khidmat, dan berkeadaban. Saya yakin, demikianlah lazimnya perhelatan penting yang digelar Muhammadiyah, selalu begitu ending-nya. Istri saya yang hadir dan bercerita suasana meriah pada sesi pembukaan, menjadi referensi kelaziman itu.

Kemarin, pada Sabtu 27 Mei, saya membaca artikel bernas. Bahasanya ringan, tapi runtut. Komposisinya apik. Hampir tidak saya temukan di dalamnya kalimat tidak efektif sejak paragraf pembuka hingga paragraf penutup. Judulnya "Catatan Ringan Menjelang Musda Muhammadiyah Depok". Keren.

Penulisnya Khairulloh Ahyari. Isinya ungkapan bahagia dan apresiasi pada Muhammadiyah. Meski mengaku sebagai orang yang dibesarkan dan hidup dalam tradisi Nahdliyin yang tidak sepenuhnya paham tentang Muhammadiyah, Khairulloh dengan sangat jernih mengurai fakta di mana ia –dan seharusnya muslim Indonesia– merasa patut berterima kasih pada Muhammadiyah. Saya pribadi cukup surprised–apalagi belum mengenal dekat beliau. Anggota DPRD Depok dari Fraksi PKS itu ternyata juga wali murid di SD Muhammadiyah Meruyung.

Hanya saja, saya seakan “merana”. Saya tidak bisa menikmati sajian acara penting ini karena kondisi kesehatan. Agenda saya pada Sabtu sejak subuh sampai sore hari lumayan sibuk. Berencana baru akan hadir sebagai penggembira pada hari ini, hari kedua. Akan tetapi, niat itu tidak kesampaian juga karena persoalan kesehatan. Saya merasa “gagal gembira” di hari bersejarah bagi Muhammadiyah Kota Depok.

Di tengah gejala mual, kepala berat, dan keringat dingin yang mengembun terus, biarlah saya tumpahkan saja rasa “gagal gembira” pada tulisan ini untuk menjadi catatan pribadi untuk dikenang bahwa saya pernah “gagal gembira”. Bahkan untuk dibandingkan dengan penulis artikel "Catatan Ringan Menjelang Musda Muhammadiyah Depok" sekalipun, saya masih “gagal gembira”. Sebagai bagian kecil dari keluarga besar Muhammadiyah Kota Depok, ini semacam kealpaan meskipun tidak harus disesali berkepanjangan.

***

ADA harapan yang selalu tumbuh tiap kali kepemimpinan kolektif kolegial yang baru terpilih dalam forum musyawarah tertinggi di Muhammadiyah. Begitu juga dengan kepemimpinan yang akan terpilih pada Musyawarah Daerah hari ini.

Pada hemat saya, ada satu isu penting, yakni tentang keberadaan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Muhammadiyah Kota Depok. Saya tidak tahu, apakah isu ini diangkat atau tidak dalam sidang pleno Musyawarah Daerah ke-7 hari ini.

Saya bahagia, beberapa kali KBIH Muhammadiyah Kota Depok telah memberangkatkan jemaah umrah dan haji. Namun, kebahagiaan itu kehilangan jejak. Belakangan, keberadaan KBIH Muhammadiyah Kota Depok seakan senyap.

Sebagai yang sudah terdaftar dan mendapat porsi haji dalam beberapa tahun ke depan, tentu dapat melaksanakan rukun Islam ke-5 di bawah bimbingan KBIH Muhammadiyah Kota Depok adalah idaman. Ini bukan persoalan kemuhammadiyahan semata –sebab ibadah haji masih bisa ditempuh dengan jalur mandiri non-KBIH– melainkan ini persoalan sejarah.

***

MENURUT catatan Lewis Barthema, ia mendapati muslim nusantara sudah berhaji pada 1503 M. Lewis menyaksikan ada banyak jemaah haji yang berasal dari greater India (India Major-anak benua India) dan lesser India (India Minor, Insular India-kepulauan Nusantara). Lewis memang “nakal”. Da pura-pura jadi muslim untuk bisa sampai ke Makkah waktu itu dan menuliskan kisahnya.

Meskipun perjalanan haji waktu itu ditempuh melalui laut dengan medan yang sangat berat dan memakan waktu yang lama, tapi jemaah haji nusantara selalu meningkat dari tahun ke tahun pada rentang abad ke-16, 17, 18, dan awal abad ke-19. Pada abad ke-19, angka tertinggi jemaah tercatat pada 1896 M / 1313 H dengan 11.788 jemaah nusantara yang berhaji.

Selain persoalan transportasi laut –perjalanan haji dengan menggunakan transportasi udara di Indonesia baru dimulai pada 1952– problem jemaah haji waktu itu adalah soal keamanan, pemerasan, penipuan, dan aturan pemerintah Belanda yang amat memberatkan jemaah. Pemerasan dan penipuan bahkan menjadi catatan kelam penyelenggaraan haji saat itu.

Banyak jemaah haji dari Indonesia dengan bekal uang yang sedikit dimanfaatkan para calo haji atau syekh. Mereka dijanjikan akan tetap bisa berangkat sampai ke Makkah dengan bekal yang sedikit itu. Akan tetapi, saat mereka sampai di Singapura dan kehabisan uang, mereka ditelantarkan. Memang, tiket yang mereka beli sebenarnya hanya untuk sampai di Singapura saja. Ini akal-akalan calo haji itu.

Sebagian besar jemaah yang masih punya sisa uang malah diperas terus-menerus dengan dijanjikan akan tetap diberangkatkan ke Makkah. Namun, janji tinggal janji. Uang habis, mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Para calon jemaah yang masih punya sedikit uang akhirnya membeli surat keterangan di Singapura yang isinya menyatakan bahwa mereka telah melaksanakan ibadah haji di Makkah untuk menutupi rasa malu pada masyarakat di kampung halaman. Mereka-mereka inilah yang dalam literatur haji nusantara tempo doeloe dijuluki “Haji Singapura”.

***

MUHAMMADIYAH adalah pioneer bagi perbaikan penyelenggaraan ibadah haji pada pada awal abad ke-20. Melalui Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh KH. M. Sudjak, Muhammadiyah melakukan terobosan-terobosan dengan melakukan beberapa upaya untuk menjadikan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia menjadi lebih baik. Muhammadiyah giat menyelenggarakan kursus, penerangan dan pengajian bagi yang akan melaksanakan ibadah haji, serta menjadi pihak perantara antara pihak maskapai pelayaran dengan para calon jemaah haji.

Pada 1922, KH. Ahmad Dahlan mengirim K.H. M. Sudjak dan Mas Wirjopertomo ke Haramain sebagai utusan guna melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap pelayanan yang diberikan kepada jemaah selama musim haji. Qadarallah, saat melaksanakan tugas tersebut, Mas Wirjopertomo wafat di Makkah.

Usaha-usaha Muhammadiyah itu mendapat perhatian dari pihak pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1922, Volksraad mengadakan perubahan-perubahan dalam Ordonansi Haji yang dikenal dengan Pilgrims Ordonansi 1922, yang menyatakan bahwa bangsa pribumi dapat mengusahakan pengangkutan untuk calon jemaah haji.

Penting digarisbawahi, Ordonansi Haji 1922 berisi beberapa hal mendasar. Pertama, memperluas pelabuhan yang semula hanya Batavia dan Padang, ditambah dengan Makassar, Surabaya, Tanjung Priok, Palembang, Sabang, dan Emmahaven sebagai pelabuhan haji. Kedua, pembeliaan tiket pulang pergi bagi jemaah haji dari Hindia Belanda mulai disahkan. Ketiga, penjelasan dan aturan mengenai kondisi kapal haji, perlengkapan haji, kebersihan, dan kesehatan. Semua hal yang berhubungan dengan kapal guna keselamatan para jemaah haji selama pelayaran menjadi kebijakan yang dikeluarkan dari Ordonansi Haji 1922 ini.

Tentu, di satu sisi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda memberikan motivasi bagi muslim pribumi untuk berhaji dengan layanan yang lebih baik.

Pada 1923, dibentuklah organisasi Hindia Timur yang khusus memperjuangkan perbaikan perjalanan haji Indonesia. H. Oemar Sahid Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan K.H. M. Sudjak merupakan tokoh-tokoh yang terlibat di Hindia Timur ini. Sebagai realisasi dari Pilgrims Ordonansi 1922, R.A.A. Djajadiningrat, R. Muljadi Djojomartono, H. Agus Salim, dan K.H. M. Sudjak berusaha mengorganisir pengangkutan jemaah haji sendiri. Atas upaya mereka ini, hadir seorang muslim asal Hongkong bernama H. Husein mengerahkan kapalnya “Kapal Islam” untuk membantu umat muslim Indonesia berhaji. Sayang, pada 1924, kapal ini sudah tidak beroperasi.

Pada 1930, dalam Kongres Muhammadiyah ke-17 di Minangkabau, gagasan untuk membangun pelayaran sendiri bagi pelaksanaan ibadah haji Indonesia menjadi keputusan kongres. KH. M. Sudjak menghadap Departement Van Marine pemerintah Belanda. Hasil kongres ditolak. 

Penolakan itu mendorong anggota Volksraad berjuang untuk mewujudkan pelayaran haji sendiri. Maka, pada 1932, diadakan perubahan pada Pilgrims Ordonansi 1922 dengan Staatsblad 1932 Nomor 544 mendapat tambahan artikel 22a. Artikel tersebut menjadi dasar hukum dalam pemberian izin bagi organisasi Indonesia untuk mendirikan pelayaran sendiri.

Muhammadiyah terus berjuang. Maka, pada kongresnya yang ke-24 di Banjarmasin, kongres memutuskan didirikannya maskapai pelayaran sendiri bernama N.V. Scheepvaart dan Hendel May (Induce).

Perjuangan Muhammadiyah ini membuahkan hasil memuaskan dalam memperbaiki pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. Pemerintah Belanda saat itu mengakui dan mengesahkan adanya pelayaran dalam suatu Badan Pelayaran Indonesia dengan dikeluarkannya Besluit Directeur van Justitie No. A/42/2/9 pada tanggal 18 Januari 1941.

***

SAAT ini, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah dijabat oleh Prof. Hilman Latief, MA, Ph.D, kader Muhammadiyah. Pak Hilman dinilai berhasil pada penyelenggaraan haji pada 2022 kemarin.

Salah satu inovasi di masa Pak Hilman bekerja adalah kehadiran Aplikasi Haji Pintar. Aplikasi ini dikembangkan Kemenag sebagai terobosan efektivitas tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. Melalui aplikasi ini, jemaah dimudahkan untuk melakukan estimasi keberangkatan dan dapat mengakses konten manasik sehingga bisa menjadi sarana belajar jemaah.

Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Tawfiq F Al Rabiah memberikan penghargaan tertinggi kepada Pemerintah Indonesia melalui Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah di bawah manajemen Pak Hilman. Penghargaan ini merupakan apresiasi pemerintah Saudi, khususnya dalam penyediaan aplikasi Haji Pintar oleh Kemenag. Pak Hilman langsung yang menerima penghargaan itu pada Selasa, 10 Januari 2023 di Superdome, Jeddah, Arab Saudi, di sela penyelenggaraan Pameran Haji dan Umrah.

Jadi, saya berharap, esok hari bisa berhaji melalui KBIH Muhammadiyah Depok saja. Semoga sejarah perjuangan Muhammadiyah tidak terputus, sebagaimana Pak Hilman menyegarkan ingatan kita kembali pada perjuangan Muhammadiyah bagi hadirnya layanan haji yang memuaskan jamaah Indonesia.

Semoga Pimpinan Daerah Muhammadiyah yang terpilih pada Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kota Depok yang ke-7 menangkap api sejarah haji warisan Muhammadiyah ini. 

Depok, selepas maghrib, Mei 2023.

======
Rujukan:

Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana.

M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, 2007. Yogyakarta: LKiS.

M. Dien Madjid, 2008, Berhaji di Masa Kolonial, Jakarta: CV Sejahtera.

Sumuran Harahap dan Mr. Mursidi, 2003, Lintasan Sejarah Perjalanan Jemaah Haji Indonesia, Jakarta : Intimedia Ciptanusantara.


Abdul Mutaqin, 2022, Pengantin Fort van der Capellen Romansa Tanah Batavia dan Padangsche Bovenlanden, Jakarta: Pustaka MP.

SEKOLAM AIR MATA


Andi Nur Rizqiyah Akhsan. Foto Credit Bang Teubri.

NAMANYA Andi Nur Rizqiyah Akhsan. Panggilannya Inay. Inay siswi Madrasah Aliyah, wisudawati jurusan Ilmu-Ilmu Sosial (IIS). Saat duduk di kelas XI, Inay aktif dalam kegiatan OSIS dan MPK. Saat di kelas XI ini pula, Inay berhasil duduk sebagai ketua OSIS.

Haru. Narasi dan lagu Inay lah penyebabnya. Inay berhasil menuntun memori hadirin pada in memoriam orang-orang terbaik di Madrasah Pembangunan yang berpulang setahun terakhir. Screen pada layar besar di muka panggung menampilkan profil Maryadi, Endang Rahayu, Suheri Anggara Putra, MG. Hasbullah, dan Rusli Ishaq mengiring narasi. Seketika rasa kehilangan menyeruak, berjalin berkelindan dengan kerinduan dan rasa hormat. Lalu, air mata bagai tumpah sekolam.

Semula, Inay hanya menarasikan sebatas sosok in memoriam dari keluarga besar Madrasah Pembangunan. Rupanya tidak sampai di situ. Inay juga bertutur in memoriam dari belahan jiwanya. Narasinya berpindah tentang kepergian paling dramatik bagi gadis kecil yang sedang tumbuh. Di sini, Narasi Inay bagai mengiris ingatan siapa saja yang telah ditinggalkan sang Bunda.

Inay sedang bertutur tentang kehilangan sosok kunci saat dia sangat membutuhkan pendampingan. Emosinya begitu stabil dari awal dia tampil sampai akhir dia turun panggung. Saya pikir, tegar dan hebat sekali anak ini. Dia menyelesaikan tugasnya dengan mulus, padahal dia sedang bertutur soal kepergian sang Bunda untuk selamanya dengan menahan beribu rana duka.

Bukan hanya itu, Inay berhasil menyambungkan hati dan perasaan hampir semua yang hadir di Universitas Terbuka Convention Center hari ini.

Memang, getar pada suara Inay masih terbaca saat bertutur. Akan tetapi, isak bahkan tangis bisa dia tahan. Gemuruh di dadanya bisa dia kendalikan. Sementara, mata hadirin sudah banyak yang sembab, panas, dan basah.

“Kalian didampingi Bunda hari ini Bukan?” Sapa Inay pada teman-temannya peserta wisudawan. “Ibu adalah anugerah terindah yang pernah kita miliki.” 

Begitu kira-kira ucap Inay yang saya ingat. Saya lupa persis kalimat bernasnya itu.

Bayangkan, Inay sanggup mengatakan hal itu dengan sangat jernih di saat hatinya menanggung kehilangan, di saat sahabat-sahabatnya bersuka cita bisa didampingi sang Bunda di hari wisuda, sementara Bunda Inay hanya mendampinginya di dalam benak. Maka, bukan hanya mata, hati pun basah saat screen menampilkan interaksi Inay kecil sampai pada kesempatan terakhir kebersamaan Inay pada sang Bunda.

Inay menutup penampilannya dengan membawakan lagu “Andaikan Kau Datang Kembali”, ciptaan Yon Koeswoyo, Koes Plus. Lagu ini sangat pas dimaknai Inay yang menceritakan sebuah hubungan antara manusia dan Tuhan, bahwa manusia akan berpisah dengan dunia untuk menghadap-Nya. Yon Koeswoyo sendiri sudah tutup usia pada 5 Januari 2018 di usia ke-78.

Pada salah satu baitnya, lagu ini seperti menyentak kesadaran manusia ketika dia datang kembali menghadap Tuhan pada saat kematiannya:
Andaikan Kau datang kembali…
Jawaban apa yang kan ku beri…
Adakah jalan yang kau temui…
Untuk kita kembali lagi…
Akhirnya, suara Inay benar-benar hilang ditelan keharuan. Matanya yang tampak mulai basah menatap screen di mana wajah Bundanya sedang tersenyum.

Beberapa detik lamanya Inay kehilangan suara, lalu mengalun lagi menutup syair Yon Koeswoyo:
Bersinarlah bulan purnama…
Seindah serta tulus cinta-Nya…
Bersinarlah terus sampai nanti…
Lagu ini ku akhiri…
Saya tengok kiri kanan, banyak pipi yang sedang diusap, banyak kelopak mata yang dikeringkan, termasuk saya.

***

PUKUL 15.47 WIB hari ini, saya mendapat kabar duka. Sahabat saya, Dra. Fauziyah Tri Astuti, Direktur Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta 2004-2015 berpulang. Bu Tutik–begitu beliau disapa–adalah juga guru BK di di MAN 2 Yogyakarta sebelum menjabat direktur di Muallimat. Bu Wahyu, guru MI Pembangunan adalah salah satu siswi Bu Tutik di MAN 2 Yogyakarta yang merasakan sentuhan guru BK yang dikenal lembut dan penyayang ini.

Saya mengenal Bu Tutik di Bali dalam satu forum pengembangan kurikulum madrasah. Sewaktu masih bergabung di Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP) bersama Pak Darul Janin dari Madrasah Pembangunan, saya dan Pak Darul kerap mengikuti workshop-workshop dan beberapa kali mengunjungi sekolah sasaran program AIBEP ke beberapa wilayah seperti Palembang, Lampung, termasuk Bali.

Di Bali, Bu Tutik adalah tamu dari sekolah unggulan mewakili Muallimat. Dari perkenalan ini, persahabatan kami berlanjut. Terakhir saya bertemu Bu Tutik saat saya mengisi writing clinic di Muallimat pada 2019 memenuhi undangan Pimpinan Ranting Ikatan Pelajar Muhammadiyah Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta.

Allah ya Rabb. Rupanya Bu Tutik berpulang selang tujuh jam menyusul suaminya, Drs H Taufiq Imron M.Si yang lebih dahulu wafat pada pukul 05.00 WIB. Bu Tutik mengembuskan napas terakhir di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta setelah shalat zuhur di saat rumah duka, di kampung Suronatan NG 2/892, Kelurahan Notoprajan, Kemantren Ngampilan sedang mempersiapkan acara pemakaman suaminya. 

Bu Tutik dan Pak Imran seperti janjian, ingin tetap bersama menghadap pencipta-Nya. Bu Wahyu bilang, meninggalnya mereka bikin iri banyak pasangan. Dan, air mata saya menitik lagi.

Jenazah Pak Taufik dan Bu Tutik ditempatkan pada posisi berdampingan. Foto Credit azzam.zonajogja.com

Rencananya, jenazah almarhum Pak Taufik dan almarhumah Bu Tutik akan dimakamkan berdampingan di Khusnul Khotimah Sentolo, Kulonprogo hari ini, Ahad 21 Mei 2023. Selamat jalan Bu Tutik, Pak Imran. Semoga Allah ridha dengan kembalinya Ibu dan Bapak menghadap-Nya.

***

Saya merasa, seakan Inay menjadi headline bagi relasi hidup dan mati pada tema yang dituturkan Inay hari ini. Masya Allah, semoga menjadi bahan renungan dan refleksi. Aamiin.

Depok, pada malam hujan mengguyur, 21 Mei 2023.

HARI BUKU DAN KONSISTENSI MENULIS


Saya, Anisa, Irwan Kelana, Pak Tris, dan Rahma satu jam menjelang launching Buku Sutrisno Muslimin Sang Inovator, Senin, 10 April 2023.

HARI ini tanggal 17 Mei, Rabu, 2023. 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku. Bagi saya, Hari Buku Nasional bukan sekadar momen yang tepat untuk memperingati pentingnya budaya membaca buku, melainkan juga menulis, menulis buku. Seringkali disinggung dalam forum-forum literasi, budaya baca orang Indonesia masih rendah, apalagi literasi menulis, karena sejatinya menulis lebih kompleks dari sekadar membaca.

Hari Rabu itu istimewa. Di samping jatuh sebagai Hari Buku Nasional pada tahun ini, ia juga hari kelahiran saya meskipun bukan di bulan Mei. Bulan kelahiran saya jatuh pada musim bunga sedang mekar. Ya, bulan kelahiran saya bulan amat romantis. Barangkali, muatan romantisnya setara seperti saat Pak Alvian, kawan sebelah meja kerja saya, guru bahasa yang sastrawan itu mempersembahkan sekuntum mawar merah tanda cinta pada kekasihnya. Aiiih.

Balik maning nang laptop.

Memperingati Hari Buku Nasional bisa dengan beragam cara. Dari yang umum seperti membaca, atau menggelar acara yang fokus pada segala hal tentang buku dengan kemasan acara yang serius, edukatif, dan tentu mahal karena ada biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi, asalkan acara itu bermakna dan tepat sasaran dengan tujuan Hari Buku Nasional, rasanya penting digelar sebagai bentuk investasi literasi di masa depan. Rasanya, terlalu banyak segmen literasi yang bisa diangkat dalam sebuah acara bertema literasi seperti pada Hari Buku Nasional.

Dunia pendidikan, atau spesifiknya dunia sekolah, seharusnya yang paling giat mengambil peran di sini. Sekolah jangan menafikan perannya sebagai Center of Literacy dalam arti yang unik, bukan dalam makna dasar literasi sekadar calistung di ruang kelas saja. Apalagi bila sekolah itu sudah punya koleksi buku karya siswa dan guru, keunikan itu sudah di genggaman. Tinggal selangkah lagi memeriahkan Hari Buku Nasional tidak sekadar mengucapkan “Selamat Hari Buku”.

Akan tetapi, tidak melewatkan menyampaikan ucapan “Selamat Hari Buku”, tanda penghargaan pada literasi masih ada ruhnya. Masih ada selebrasi kecil dalam bentuk flyer, tanda jantung literasi masih berdegup. Tentu, ini masih menggembirakan daripada senyap. Apalagi bila ada insan pedagogik yang berkata, “17 Mei, Hari buku. Emang?” 

Ambyar!

Menulis buku adalah salah satu cara autentik memaknai Hari Buku Nasional. Asalkan buku yang ditulis itu punya daya pikat, daya gugah, dan daya ubah pembacanya, kata Bambang Trim itu sudah cukup disebut sebagai buku yang bagus. Meskipun tidak harus best seller, buku yang bagus dalam kacamata saya seperti yang diungkapkan Nilanjana Sudeshna “Jhumpa” Lahiri, penulis kelahiran Inggris keturunan India. Nilanjana berkata dengan bahasa sastra berbau roman: 
That's the thing about books. They let you travel without moving your feet.
Saya pernah membaca sebuah blog. Pada satu tulisannya, sang blogger bercerita tentang novel “Kain Ihram Anak Kampung”. Ada satu paragraf yang saya garisbawahi, berisi kesan blogger itu tentang Istanbul. Kata blogger itu, penulis “Kain Ihram Anak Kampung” berhasil membawa dirinya terbang ke Istanbul. Penulisnya dinilai sangat ril menggambarkan kota yang dulu bernama Konstantinopel dengan sangat detail seakan-akan ia sedang berada di sana, persis seperti ungkapan Nilanjana di atas. 

Maka, terbayanglah salju yang turun di pelupuk mata kala itu, tulip yang mulai mekar di antara trotoar, dan lampu kota yang menyala terang di waktu malam saat saya membangun setting novel "Kain Ihram". Terbayang lagi hiruk-pikuknya Istiklal Caddesi di sebuah kedai kopi saya menepi.

Sayang sekali, saya tidak sempat mencatat Uniform Resource Locator (URL) blog itu untuk melacak dengan mudah web yang mengarah ke website, halaman web, atau dokumen tertentu di internet saat akan dirujuk lagi. Entah, mengapa saya melewatkan proses ini, proses yang bisa menjawab tuduhan asal ngecap


***

“IF there’s a book that you want to read, but it hasn’t been written yet, then you must write it.” Begitu tulis Toni Morrison untuk memantik siapa saja yang hobi membaca untuk mulai menulis. Memang, penulis selalu punya peluang mempersembahkan buku unik yang pertama hadir di dunia pada pembacanya, sementara si pembaca boleh jadi hanya orang yang ke seribu yang membaca buku itu.

Umumnya, seorang penulis adalah pembaca setia. Sebab, ia tidak akan bisa menulis sempurna bila ia tidak setia membaca. Setelah itu, ia setia menulis.

Kata orang, memelihara konsistensi itu sangat sulit. Demikian pula konsistensi menulis. Maka, saya begitu kagum dengan para penulis yang hampir setiap tahun menelurkan satu judul buku atau lebih, baik fiksi maupun nonfiksi. Apakah mereka itu tidurnya saja sambil menulis, ya?

Di Hari Buku Nasional hari ini, Rabu 17 Mei 2023, saya teringat seorang penulis berbakat. Namanya Mutiara Sya’bani, penulis KKPK (Kecil-kecil Punya Karya). Sewaktu masih menjadi Kepala UPT. Perpustakaan Madrasah Pembangunan, saya sempat mengagendakan akan menghadirkan Muti–begitu biasa penulis ini dipanggil–untuk berbagi pengalaman menulis dengan peserta didik MI (Madrasah Ibtidaiyah) Pembangunan. 

KKPK terbitan DAR! Mizan, semacam imprint yang menerbitkan sastra anak, Divisi Anak dan Remaja dari penerbit Mizan untuk karya-karya sastra yang ditulis oleh anak.KKPK di perpustakaan Madrasah Pembangunan sangat digemari, laris betul bak kacang goreng di tangan peserta didik MI Pembangunan. 

Hanya saja, niat menghadirkan Muti belum kesampaian sampai tugas tambahan saya di perpustakaan berakhir pada Februari kemarin. Semoga rencana ini diteruskan Kepala UPT Perpustakaan berikutnya.

Saya belum pernah berjumpa Muti, tapi saya kenal baik bundanya Muti. Usia Muti masih sangat belia, baru kelas 8. Ia menulis sejak kelas 1 SD. Hari ini, karyanya sudah 50 judul di KKPK, satu komik berjudul “Jagoan Komik Cilik” terbit di Pustaka Al-Kautsar pada 2020, dan satu komik berjudul “Bianglala Asa”, sebuah Kumpulan Cerpen pemenang Lomba Cerpen anak Gramedia terbitan BIP pada 2021. 

Pada April kemarin, lagi, Muti baru menyelesaikan satu naskah kumpulan cerpen; KKPK Edisi Reuni. Naskah ini diproyeksikan terbit pada pertengahan tahun 2023 ini. Hmm, makan apa anak ini? Semoga Muti bisa menjaga ritme menulisnya dari waktu ke waktu, bisa konsisten.

***

MEMELIHARA konsistensi menulis dengan memulai menulis, sukar saya bedakan rasa beratnya. Itu karena mana yang lebih berat dari keduanya, saya kurang berminat menyoal. Akan tetapi, bagaimana menjadikan menulis sebagai aktivitas rutin, itu yang lebih penting dipersoalkan. 

Umumnya orang tidak memulai menulis karena alasan takut; takut jelek, takut salah, takut bukunya tidak laku, dan ketakutan-ketakutan lain yang diciptakannya sendiri. Padahal dia punya resources yang cukup melimpah, kecuali skill menulis yang perlu dilatih. Sementara resources-nya yang lain seperti ilmu, pengalaman, ide, gagasan, serta kedudukan seperti "dibunuh" oleh ketakutan yang tidak lebih hanyalah bayang-bayang semu. 

Jika alasan tidak menulis karena takut tulisan jelek, nasihat James Whitfield Ellison, novelis ternama, penulis “Finding Forrester”, “Akeelah and the Bee”, “Master Prim” dan masih banyak lagi karyanya yang inspiratif menjadi penting direnungkan. Ellison pernah memberi tips dalam menulis “Mulailah menulis, jangan berpikir. Berpikir itu nanti saja. Yang penting menulis dulu. Tulis draft pertamamu itu dengan hati. Baru nanti kau akan menulis ulang dengan kepalamu. Kunci utama menulis adalah menulis, bukannya berpikir.”

Nah, jadi begitu.

Selamat Hari Buku, selamat memulai, dan memelihara konsistensi menulis.

Ruang Guru MTs Pembangunan, 17 Mei 2023.

JADWAL PROFESOR DAN SALAM PAK MENTERI


Mausoleum of Umr ibn al-Aziz, Syiria. Foro credit: https://madainproject.com/

Hari Kamis, 11 Mei 2023, saya masih di kelas, sedang membahas Kompetensi Dasar terakhir semester genap; Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saya memang mengampu mapel Sejarah Kebudayaan Islam di kelas VII di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta. Ada keteladanan sangat penting dari materi hari itu, yakni soal ketaqwaan dan kezuhudan seorang khalifah.

Asal tahu saja, umumnya di madrasah, Sejarah Kebudayaan Islam kurang diminati, baik oleh guru yang mengajar, apalagi siswa yang belajar. Mapel ini selalu diasumsikan sebagai pelajaran yang sukar, membosankan, serta banyak data tahun dan tokoh yang harus dihafal. Begitulah.

Akan tetapi, saya kerap menyiasati dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Tentu, supaya asumsi di atas tidak selalu dianggap benar. Dan, hari itu, pembelajaran saya padukan dengan menyaksikan film pendek tentang Umar.

Saat peserta didik senyap menyaksikan film tentang Umar, WA masuk ke HP saya.
Assalamualaikum, ustadz, jumat besok bisa khotib di kantor ana, itung2 gantiin jadwal antum yg dulu, kebete[u]lan, Prof Abdul Mu'ti beliau gk bisa baru ngabarin lg di malaysia.
Ngek!

Saya terhenyak. Gantiin Prof. Dr. Abdul Mu’thi, Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah, Guru Besar UIN Jakarta. Waduh, berat ini.

Saya memang terjadwal khatib di masjid kantor kolega saya di atas, di Gatot Subroto. Beliau pula yang merekomendasikan saya masuk list dewan khatib di sana dan di dua Kantor Cabang; TB. Simatupang dan Depok.

Pada jadwal saya dua bulan kemarin, karena persoalan teknis, konfirmasi untuk kesiapan khutbah baru tersambung pada Jum’at pukul 11.30 siang. Ini bukan kesalahan kolega saya yang menghubungi, melainkan soal nomor yang dihubungi di HP saya yang sekarat.

Rasanya tidak mungkin, setengah jam terlalu mepet. Karena jarak tempuh dari Ciputat ke Gatot Subroto lumayan memakan waktu, maka dengan berat hati, saya minta dicarikan pengganti. Beruntung, porsi untuk badal khatib di kantor ini selalu ready.

Kembali ke Jum’at kemarin, soal Prof. Mu’thi, ini sesuatu. Bahkan sesuatu banget. Terus terang, ada beban psikologis meskipun sedikit. Siapa dari jamaah di kantor itu yang tidak kenal beliau? Sementara bisa dipastikan, tidak ada satu pun dari jamaah di kantor itu yang mengenal saya kecuali kolega saya tadi. Heheheheheh.

Akan tetapi, urusan khutbah Jum’at bukan persoalan Abdul Mu’thi atau Abdul Mutaqin semata, melainkan urusan syari’at. Meskipun dari sisi kapasitas saya tidak sepadan Prof. Mu’thi, tapi kedudukan khutbah Jum’at sebagaimana menurut jumhur ulama yang merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat jum’at tidak berubah, siapa pun yang memenuhi syarat maju menjadi khatib.

Bismillah, dah.

***


Di atas mimbar, saya bawakan keteladanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang di waktu muda bergaya Al-Umariyah karena nyentriknya keturunan Umayyah ini. Pejabat negara yang
dijuluki Asyaj Bani Umayyah (yang terluka di wajahnya) ini adalah cicitnya Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu anhu dari jalur ibu. Ibunya bernama Layla binti 'Ashim bin Umar bin Khattab. Neneknya (istrinya 'Ashim) adalah gadis jujur penjual susu dalam kisah yang terkenal, di mana dia menolak mencampur dagangan susunya dengan air.

Dalam timbangan saya, meneladani khalifah ke-8 Daulah Bani Umayah Damaskus itu di atas mimbar Jum’at di Gatot Subroto, instasi di mana eselon satu di bawah Kementerian Keuangan yang berurusan dengan harta negara berkantor sangat kontekstual. Dalam peri kehidupan Umar, manajemen keuangan Daulah Bani Umayyah itu berbanding lurus dengan ketaqwaan dan kezuhudan pribadi di tangan khalifah agung ini.

Khalifah Umar sangat berhati-hati dalam membelanjakan harta Baitul Mal saat itu. Umar hanya mau membelanjakan harta negara apabila berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyatnya. Maka, tidaklah mengherankan seorang Abu Bakr bin Hazm, wali kota Madinah saat ia melayangkan surat meminta tambahan kertas untuk mencatat dan mendokumentasikan berbagai kepentingan negara, Khalifah Umar menjawab:
Runcingkanlah penamu dan rapatkanlah tulisanmu, karena aku tidak akan suka membelanjakan harta umat Islam untuk hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Bahkan, untuk keperluan pribadi dan keluarganya saja, Umar memangkas pengeluaran negara dari gaji yang berhak ia terima. Sebelum menjadi khalifah, gaji Umar tidak kurang dari 40 ribu dinar –setara dengan 9,35 miliar rupiah. Akan tetapi, setelah menjadi khalifah sepanjang 2 tahun 5 bulan 5 hari, Umar hanya menginginkan gaji 400 dinar saja –setara 880 juta rupiah. Beliau juga mengembalikan cincin pemberian al Walid bin Abdul Malik yang melingkar di jarinya ke Baitul Mal sebab merasa itu bukan lagi pemberian yang sah.

Tidak sampai di situ, Umar bahkan memilih meninggalkan istana kekhalifahan yang megah itu. Beliau pindah ke rumah miliknya dan berkantor di sana. Jangan bayangkan seberapa megah dan lengkap fasilitas di rumah itu. Ia hanya rumah sempit dengan perabot yang amat sangat sederhana. Di kamarnya, Umar hanya minta disediakan alas untuk shalat, satu bejana air untuk berwudhu, dan alat untuk menulis.

Semoga saja, sosok Umar bin Abdul Aziz dalam mengelola keuangan negara dengan jamaah di Gatot Subroto ini sangat kontekstual, meskipun soal ketaqwaan dan kezuhudan selalu relevan bagi kaum muslimin di segala instansi, di segala zaman, dan di setiap pemimpin yang punya kesediaan meneladani sang Khalifah, Khalifah agung yang wafat hanya meninggalkan harta berupa satu kursi dari kulit, empat batu merah yang diletakan di bawah kursi, satu botol minyak wangi, dan sebuah kotak terkunci. Sewaktu kotak itu dibuka, di dalamnya hanya ada zirah dan sepotong celana pendek.

Selepas melaksanakan badiyah empat rakaat, saya berucap syukur. Lega. Bagaimana tidak, ini bukan mimbar Jum’at masjid kampung, komunitas saya sendiri.

Beberapa saat berlalu, sebelum ramah tamah dengan DKM, seorang jamaah berbatik agak gelap menghampiri saya.  

“Maaf Ustaz, ada salam dari Pak Menteri.” Kata laki-laki itu berbisik menyebut Pak Menteri yang dimaksud seraya menitipkan sesuatu.

Saya terhenyak. Dua kali terhenyak, pertama karena berkesempatan mengisi jadwal Prof Mu’thi yang berhalangan, dan kedua karena salam dari Pak Menteri barusan. Kepada Allah saya kembalikan setiap kebaikan. Terima kasih juga untuk Sandy, guru Fisika, navigator, sebab saya tak cakap membaca Google Maps.

Depok, di penghujung Syawwal 1444 H yang sejuk.