DAFFODIL

Bunga Daffodil: Foto Credit: Detikcom

Bagian 2

BERLIN membawa kabar, orang-orang yang berencana menculiknya sudah ditangkap. Mereka dijemput dari rumah sakit setelah menjalani perawatan.

“Kabar dari siapa?”

“Papaku. Papaku masih di kantor polisi sekarang.”

“Oh, syukurlah.”

“Sekarang, ceritakan bagaimana kamu bisa kabur dari tempat itu, Sis. Aku penasaran.” Berlin mengulangi pertanyaannya kemarin.

“Itu karena daffodil, Bel.”

“Iya. Kamu sudah mengatakannya dua hari kemarin. Di taman belakang rumahku juga ada daffodil, kan? Tapi, aku ‘nggak ngerti kaitannya dengan apa yang menimpamu.”

Berlin setengah memaksa, seperti ia memaksa Sisi mengajak ke rumahnya di hari nahas itu. Terpaksalah Sisi menjelaskan soal daffodil itu daripada Berlin mengomel.

“Bel, daffodil, azalea, rosary pea, dan pohon oleander yang di taman rumahmu itu, adalah bunga dan pohon yang mengandung racun pembunuh yang sangat efektif. Bagian apa saja dari bunga dan pohon itu, semuanya beracun.”

“Serius?”

“Serius”

“Jadi?”

“Ya, aku terpaksa memanfaatkan daffodil supaya aku bisa keluar dari sana. Beruntungnya, azalea, rosary pea, dan pohon oleander juga ada di belakang rumah tempat aku disekap. Komplet, semuanya ada seperti yang tumbuh di taman belakang rumahmu. Jadi, aku gunakan saja untuk melumpuhkan orang-orang itu.”

“Ya, Tuhan!”

“Aku nekat, Bel. Aku hanya mengurangi takarannya supaya efeknya tidak fatal, tapi sekadar takaran mereka hilang kesadaran untuk beberapa waktu sampai aku bisa leluasa kabur. Maksimal pingsan dalam waktu lima belas menit sampai setengah jam, lah. Aku tak tahu, seberapa takarannya yang pas. Aku juga takut, kalau mereka sampai mati. Masalahnya, aku juga harus keluar untuk memberitahu kamu. Sebab kamulah sasaran penculikan sebenarnya, bukan aku.”

“Aku gak bisa ngebayangin, Si. Kamu hebat, tapi juga bahaya banget buat kamu. Terus, bagaimana caranya kamu berikan mereka daffodil-nya?”

Sisi menggeleng. Sebenarnya ia enggan menceritakannya.[]


PAGI itu, samar-samar Sisi menangkap pembicaraan dari balik jendela tempatnya disekap bahwa pukul dua siang nanti orang-orang jahat itu sudah harus di Jakarta. Rencana menculik Berlin akan dieksekusi. Pukul sembilan nanti, mereka sudah akan bergerak. Teman mereka yang standby di Jakarta mengabari bahwa semua skenario berjalan seperti yang diharapkan.

Setengah jam setelah pembicaraan itu selesai, seorang dari mereka mendatangi Sisi. Kali ini bukan pria bertato yang mendatangi Sisi. Ia laki-laki pendek berambut panjang. Matanya belo. Kumisnya melintang dan tebal. Suaranya berat. Lehernya mengenakan kalung rantai besar. Begitu juga lengannya, menjuntai gelang rantai perak sebesar jari kelingkingnya yang gemuk.

“Hei, kamu bisa bikin mie rebus? Kami mau sarapan.”

“Bi-bisa, Om.” Jawab Sisi gugup.

“Bikinin tiga porsi. Sekalian buat kamu juga. Mie ada di meja dapur. Jangan lupa, pake telor, tambahkan sayur dan cabai yang banyak. Kamu tinggal ambil sayur di pekarangan samping. Cepet. Jangan lama! Dan ingat! Jangan coba-coba kabur! Percuma!”

Sisi mengangguk. Hatinya kecut. Namun, otaknya berpikir keras. Ini kesempatan ia bisa keluar dari sini. Jalannya sudah terbuka sedikit. Tapi, Sisi berubah pikiran. Ia tidak mau mencelakakan dirinya sendiri dengan nekat kabur saat itu juga.

Sisi membawa keranjang kecil. Dia akan mengambil sayur dan memetik cabai di pekarangan samping untuk memenuhi permintaan orang-orang itu. Sisi tahu, dari dalam rumah ia terus diawasi. Dan, betapa Sisi terkejut serta berbinar-binar. Bukan hanya sayuran yang ia temukan. Sisi juga menjumpai daffodil, azalea, rosary pea, dan pohon oleander. Kini, otak Sisi berputar cepat. Yang pertama, dia harus mendapatkannya.[]


Berlin mengikuti cerita Sisi dengan tidak berkedip. Ia hanya menarik napas naik turun, terbawa emosi Sisi. Sesekali ia mengusap tengkuknya sekadar mengusir perasaan bergidik.

“Pertama, aku berharap orang-orang itu tidak paham daffodil, azalea, dan rosary pea. Jadi, mereka tidak curiga aku membawanya.”

“Hmmm. Dan mereka memang tidak tahu?”

“Mungkin. Yang, jelas semuanya bisa masuk keranjang bersama selada, sawi, dan cabe yang kupetik.”

Kata Sisi, memang jarang orang tahu, bunga daffodil yang berwarna kuning cerah, azalea yang merah muda sangat cantik, tapi juga mematikan.

Daffodil berakar berisi menyerupai bawang. Pada bagian akarnya ini, tersimpan racun yang apabila dikonsumsi bisa menyebabkan mati rasa pada sistem saraf tubuh dan kelumpuhan jantung. Azalea atau Rhododendron simsii itu pada seluruh bagian tubuhnya mengandung komponen andromedotoxins (grayanotoxins) yang tergolong beracun. Apabila dikonsumsi dapat menyebabkan beberapa rasa sakit, kelesuan, depresi, mual dan muntah, kelumpuhan progresif, koma, dan akhirnya kematian.

“Aku speechless,” gumam Berlin.

Azalea aku ambil getahnya. Rosary pea aku ambil bijinya yang menyerupai biji kacang polong. Nama ilmiahnya Abrus precatorius kalau tidak salah. Biji rosari yang berwarna merah hitam mengandung lectin yang disebut abrin.”

Berlin makin penasaran. Dia seperti sedang mendengarkan penjelasan Bu Eha tentang tumbuh-tumbuhan. Rasanya, Sisi setara pintarnya dengan guru Biologi yang murah senyum itu.

Kata Sisi, jika abrin dalam biji kacang polong rosari masuk ke dalam tubuh, maka ia akan menyebabkan ribosom tidak bekerja. Satu molekul abrin akan membunuh hingga 1.500 ribosom per detik. Abrin dapat membunuh dengan jumlah kurang dari 3 mikrogram. Efeknya, abrin dapat menyebabkan demam, mual, mengeluarkan busa, disfungsi gula darah dan juga kejang-kejang, lalu menyerang ginjal, kandung kemih, pendarahan retina, dan luka dalam yang menyebar.

“Getah pohon oleander sulit aku ambil. Aku lewatkan saja dia. Aku pikir, daffodil, azalea, dan rosary sudah cukup.”

Oleander yang memiliki nama latin Nerium Oleander kata Sisi kandungan racunnya, terutama pada getahnya sangat berbahaya. Satu daunnya saja kata Sisi lagi, dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Kontak dengan ranting, bunga, dan buahnya sudah cukup menyebabkan keracunan. Kandungan racunnya pun beragam, dari nerioside, oleandro side, saponins, sampai cardiac glycosides ada di dalam semua bagian oleander.

“Apa efeknya, Si?”

“Perlambatan denyut dan gagal jantung.”

Berlin menganga.[]


SISI membawa tiga porsi mie rebus yang sudah dicampur dengan rebusan akar daffodil, getah azalea, dan kacang rosary dilumatkan. Ia juga membuatkan teh dengan perasan lemon untuk menyamarkan sedikit racun-racun itu pada teh manis hangat yang ia sertakan. Tak urung, sambil menghidangkan mie dan teh itu, tubuh Sisi sedikit gemetar. Sisi benar-benar takut, racun dalam mie dan teh buatannya benar-benar akan membuat mereka mati.

“Hei, lama sekali cuma bikin mie!” Bentak laki-laki yang bertato itu.

“Ma-maaf, Om. Saya mandi dulu. Badan saya kotor dan bau.”

“Mie buat kamu mana?”

“Masih di dapur, Om.”

“Ya, sudah, sini cepat. Kami sudah lapar!”

Sisi berlalu. Detak jantungnya bertambah cepat. Dan, saat mereka menikmati sarapannya itu, Sisi nekat kabur. Ia kabur tanpa memperdulikan arah mana yang ia tuju. Yang penting ia bisa keluar sejauh-jauhnya sambil berharap dia menjumpai orang untuk meminta tolong.

Rupanya, rumah tempat Sisi disekap berada jauh dari keramaian atau kampung. Sisi sempat mengenali ada hutan kecil yang ia lalui saat itu. Semak belukar di kiri kanan dan beberapa sungai kecil yang ia temui.

Sisi terus berlari. Hingga sampai di sebuah area seperti sawah yang kering dengan rumpun padi yang sudah membusuk, dari kejauhan, Sisi melihat asap membubung. Sepertinya itu asap dari bakaran jerami di tengah sawah. Sisi yakin, pasti ada orang di sana. Maka, dengan sisa-sisa tenaganya, Sisi terus berlari sampai akhirnya ia merasa tubuhnya oleng, terjerembab, dan tidak ingat apa-apa lagi.[]


PADA hari yang sama, ditemukan tiga laki-laki tergeletak dengan napas tersengal-sengal di tegalan tidak jauh dari tempat Sisi ditemukan. Saat itu juga, mereka diangkut ke rumah sakit oleh perangkat desa. Besar kemungkinan mereka mengejar Sisi setelah menyadari Sisi telah kabur. Akan tetapi efek racun dalam mie dan teh yang masuk ke dalam tubuh mereka bekerja tepat pada waktunya sebelum mereka berhasil menangkap Sisi.

Saat mereka masih dirawat itu, laporan atas kasus penculikan Sisi ditemukan benang merahnya. Polisi mencocokkan pengakuan Sisi, laporan papanya Berlin, dan keterangan perangkat Desa Kampung Sengon. Semuanya cocok.

Penculik itu telah salah menculik. Mereka ditahan, selanjutnya menunggu jadwal persidangan. Beritanya ramai di media massa.[]

DAFFODIL

Bunga Daffodil: Foto credit: Detikcom

Bagian 1

SELEBARAN tentang Sisi masih menempel di tembok-tembok terminal, stasiun, pangkalan ojek, dan di mana tempat orang biasa berkerumun. Belakangan, kabar hilangnya gadis itu disiarkan televisi, radio, dan tersebar di akun-akun media sosial. Namun, belum ada pihak yang memberikan kabar keberadaan Sisi sejak gadis itu menghilang seminggu lalu. Belum juga ada pihak yang mengaku bertanggung jawab akan keberadaan gadis itu. Kuat dugaan, Sisi diculik.

Sisi gadis remaja kelas sembilan. Parasnya tak secantik Berlin, juga tidak seberuntung Berlin yang anak gedongan. Pantaslah Berlin sangat populer dan menjadi idola para siswa di sekolahnya. Akan tetapi, Sisi masih lebih populer karena kecerdasannya. Sisi pernah menjadi juara olimpiade Sains tingkat Nasional. Putri anak marbot masjid itu dikenal karena prestasi akademiknya yang mengangkat nama dan pamor sekolahnya.

Sisi dan Berlin bersahabat, karib sekali. Berlin kerap mengajak Sisi ke rumahnya selepas pulang sekolah. Bukan tanpa maksud, Berlin melakukannya bila hari itu ia merasa kesulitan memahami materi belajar, terutama biologi, fisika, dan matematika. Sementara Sisi juga senang karena punya kesempatan bisa belajar piano dan biola dari Berlin.[]


SEPERTI biasa, sekali dalam seminggu, Berlin mengajak Sisi ke rumahnya. Hari itu, Berlin setengah memaksa karena besok ada ulangan matematika. Berlin tidak ingin dapat nilai pas-pasan lagi seperti ulangan kemarin-kemarin.

Sore itu selepas belajar, di taman di belakang rumah Berlin, mereka mengobrol lagi. Es jeruk dan biskuit menemani mereka. Nanti lepas Asar, mereka baru menyudahi obrolan.

Angin sepoi menggoda anak-anak rambut dua gadis itu. Burung-burung liar terbang ke sana ke mari di antara rindang pohon hias dan palem mencari makan. Memang, suasana taman belakang rumah Berlin yang asri itu membuat betah.

“Aku baru sadar, bunga-bunga di taman rumahmu itu, Bel. Padahal setiap kali ke sini, aku pasti melihatnya.” Sisi menyinggung bunga-bunga selepas meletakkan biola di atas meja.

“Ah, aku kira hanya bunga. Ditanam, tumbuh, berbunga, mati. Beli lagi, mati lagi. Selesai.”

Chamomile, chrysanthemum, mawar, dan rosela. Bunga-bunga itu bukan hanya indah, tapi bagus untuk kesehatan.”

“Caranya?” Berlin menanggapi sambil pura-pura serius. Sebagai penyuka bunga dan tanaman hias, bunga cukup dijelaskan dalam satu kata: indah. Namun meski Sisi belum menjawab pertanyaannya, Berlin paham, Sisi tidak asal bicara menilai bunga-bunga itu.

“Tadi di perpustakaan, aku baca Ensiklopedia Biologi, Encyclopedia of Plants and Flowers. Bunga-bunga itu bisa dimanfaatkan untuk teh herbal.”

”Ah, dasar kau guru biologi. Besok, gantikan saja Bu Eha ngajar di kelas kita.” Berlin menanggapi sambil berkelakar. Sisi tidak peduli, dia semakin serius.

“Tapi, hati-hati dengan bunga dan pohon yang di sana itu.” Sisi menunjuk sekumpulan bunga berbeda.

Belum sempat Berlin bertanya lagi, Sisi sudah menyebut satu persatu bunga-bunga itu. Fasih sekali gadis itu menjelaskan layaknya ilmuwan sekelas Janaki Ammal, ahli botani, ilmuwan tumbuhan wanita pertama India.

Berlin bengong.

Sisi mengangguk, datar tanpa menoleh Berlin. Diteguknya sisa sirup sebelum ia pamit pulang. Meskipun Berlin menahannya, Sisi tetap ingin pulang cepat. Hari itu, ia tidak membawa handphone sekadar untuk mengabari orang tuanya jika terlambat pulang. Berlin menawarkan handphone miliknya untuk mengabari, tapi Sisi menolak. Ia ingin pulang saja.

Begitulah Berlin dan Sisi masih bersama-sama belajar dan mengobrol pada Senin sore. Sampai Selasa pagi keesokan harinya, Sisi tidak kembali ke rumahnya. Gadis itu dikabarkan hilang.[]


SISI masih terbaring di rumah sakit. Gadis itu masih menjalani perawatan intensif karena belum sadarkan diri. Ada banyak luka gores di tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, bibirnya kering, pada beberapa bagian dari kakinya memar dan membiru.

Empat jam sebelum Sisi dirawat, Nana Suryana, penduduk kampung Sengon, Bogor, yang menemukan Sisi di ladangnya, segera menghubungi perangkat desa meminta bantuan. Sisi segera dilarikan ke rumah sakit.

Beruntung Sisi cepat dikenali identitasnya dari kartu anggota perpustakaan di sakunya. Dari kartu anggota perpustakaan itulah perangkat desa mengontak nomor telepon sekolah. Maka, misteri hilangnya Sisi sedikit terkuak. Sekolah Sisi heboh.

Bersama papanya dan orang tua Sisi, Berlin menuju Bogor menjenguk Sisi di rumah sakit. Wali kelas Sisi dan beberapa guru menyusul kemudian. Namun, Sisi masih belum sadarkan diri meskipun kondisinya berangsur membaik. Sehari kemudian Sisi baru siuman. Wajahnya sedikit memerah. Bibirnya tidak lagi pucat pasi. Sorot matanya menyala perlahan.

Dokter segera memeriksa Sisi, memberi suster resep beberapa obat yang harus diberikan pada Sisi, dan meminta suster mengecek perkembangan gadis itu setiap jam. Dokter menyarankan Sisi istirahat total selama beberapa hari untuk mempercepat proses pemulihan. Orang yang diizinkan menjenguk hanya keluarganya saja.[]


SISI sudah kembali ke Jakarta. Keadaannya sudah pulih. Sudah bisa berkomunikasi dan bercerita atas apa yang telah terjadi padanya selama lebih dari tiga minggu terakhir. Hanya saja, Sisi masih harus beristirahat di rumah untuk beberapa hari. Ia masih belum diizinkan masuk sekolah.

Berlin senang sekali Sisi sudah pulih. Dialah orang pertama yang menjenguk Sisi di rumahnya yang sederhana, rapi, dan bersih. Aroma wangi dari lantai pembersih yang tertiup angin masih tercium menabrak hidung.

Rumah sederhana Sisi itu, hanya terdiri dari dua kamar, ruang tamu dan dapur. Barang-barang perabotan di dalamanya hanya perabot yang sangat perlu sesuai fungsinya. Itu pun hanya beberapa saja yang dimiliki. Kecuali itu, hampir di setiap pojok, berderet-deret piala-piala milik Sisi. Tembok yang berwarna krem agak cerah, penuh sesak dengan pigura sertifikat dan penghargaan juara lomba. Milik siapa lagi kalau bukan Sisi.

Sisi tinggal hanya dengan ayahnya. Ibunya sudah lama wafat. Untuk mengurus rumah dan keperluan mereka berdua, Sisi dibantu bibinya, Fatimah. Fatimah adik kandung ayah Sisi datang setiap pagi untuk menyiapkan keperluan kakaknya dan Sisi. Setelah itu ia langsung berangkat bekerja. Nanti sepulang bekerja, Fatimah kembali datang untuk menyiapkan atau mengantar makan malam. Fatimah meluangkan waktu membantu kakaknya itu sejak Sisi berumur lima tahun, sebulan setelah ditinggal wafat ibunya Sisi. 

Hari itu saat Berlin berkunjung menjenguk, ayah Sisi sudah berangkat ke masjid untuk mempersiapkan keperluan shalat Jum’at. Sisi sendirian di rumah. 

Sisi senang sekali Berlin datang. Apalagi, Berlin membawa makanan dan minuman kesukaan mereka berdua yang biasa mereka nikmati saat mengobrol di taman belakang rumah Berlin.

Dan, Sisi menceritakan rahasia kehilangannya hari itu.

“Lalu, bagaimana kamu bisa keluar dari sana?”

Daffodil!”

Daffodil? Apa maksudnya?”

“Nanti aku jelaskan. Ada yang lebih penting dari bagaimana aku bisa keluar dari rumah itu dan daffodil.

Sisi lalu menyampaikan hal yang penting itu. Seketika Berlin panik. Jantungnya mendadak seperti berhenti berdetak. Keringat dingin mengembun dari dahi Berlin yang putih. Mata gadis anak orang kaya itu berkaca-kaca. Berlin mulai terisak.

“Sis, aku takut!”

“Sekarang kamu harus hati-hati, Bel. Sampaikan pada papamu. Kalau perlu, segera lapor polisi.”

Berlin menutup wajahnya. Ia tidak tahu, bahwa selama ini jiwanya terancam.[]


PERISTIWA itu terjadi begitu cepat. Sisi merasakannya hanya dalam hitungan detik.

Baru beberapa meter Sisi keluar dari rumah Berlin, tiba-tiba matanya gelap. Badannya terasa melayang. Setelahnya entah untuk berapa lama, Sisi tidak sadarkan diri, tidak tahu sedang berada di mana.

Sisi baru sadar saat ia sudah tergolek di sebuah ruangan remang-remang di atas sofa tua. Dinding ruangan itu kusam, lembab, apek, dan dingin. Langit-langit ruangan itu dipenuhi sarang laba-laba hampir di setiap pojoknya. 

Tangan dan kaki Sisi diikat. Tas dan dompetnya dilucuti, entah di mana saat itu.

Sementara di sebelah ruangan Sisi berada, terdengar orang sedang marah-marah. Suaranya jelas sekali ditangkap Sisi. Ada sekitar empat orang dengan yang marah-marah itu.

“Bodoh semua! Idiot!”

“Maaf, Bos!”

“Maaf! Maaf! Makan sama berak saja pinternya kalian! Urusan sepele begini tidak becus kalian urus!”

Brak! Krak! Krak!

Terdengar kursi dibanting. Menyusul meja yang digebrak-gebrak. Suaranya berderak-derak.

“Terus, bagaimana urusan dengan anak itu, Bos?”

Plak!

Terdengar tamparan keras. Yang ditampar meringis-ringis. Namun, semakin dia meringis, tamparan mendarat berkali-kali.

“Sekarang jawab, bagaimana bisa kalian salah ambil? Heh!?”

“Maaf, Bos. Saat kita ambil, anak itu pakai masker. Kami tidak mengenali kalau itu bukan target.”

Bugh! Kali ini suara pukulan di perut.

Hek!

“Buka maskernya dulu, bego!”

Sisi sadar sedang berada pada situasi apa dia sekarang. Sisi menggigil. Terdengar jelas, ia baru akan dilepaskan saat mereka berhasil menculik target yang mereka inginkan untuk meminta uang tebusan.

“Awasi anak itu jangan sampai kabur! Jangan kalian sentuh atau kalian sakiti. Cukupi makan dan minumnya! Ingat, minggu depan target harus sudah kalian bawa ke sini! Paham!”

Beberapa saat kemudian, Sisi dipindahkan ke ruang yang lebih bersih dan terang. Ada tempat tidur dengan bantal dan selimut.

“Hei, dengar baik-baik! Kami tidak akan menyakitimu. Jangan coba-coba kabur! Kalau kamu coba-coba kabur dan tertangkap, tubuhmu kami akan kami lemparkan ke dalam sumur tua di belakang rumah ini. Ngerti!?”

Sisi menggigil. Ia mengangguk.

“Itu makan malam! Makan!” Kata orang berbadan tinggi, lengan bertato, dan ada luka bekas sayatan di pipi kirinya. Seram sekali. Saat ia menyeringai sambil mengancam sebelum berlalu pergi, Sisi melihatnya seperti algojo yang siap mencabut nyawanya.

Malam itu, Sisi tidak bisa tidur. Matanya tidak bisa dipejamkan barang sepicing pun. Ia gelisah sambil meratapi nasib sialnya saja. Ia baru tenang dengan mengingat kata-kata bahwa ia tidak akan disakiti dan akan dipenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Namun, hanya sekejap saja hatinya tenang. Pada detik berikutnya ia sudah gelisah dan takut lagi. Bahkan Sisi tak yakin akan tetap aman. Sebab ia sedang berada di tangan orang-orang jahat.

Sisi menepi ke jendela. Disibaknya kain gorden. Di luar tampak hujan rintik berjatuhan ditembak cahaya lampu. Sisi bertanya-tanya ini di mana? Malamnya terlalu senyap seperti bukan di Jakarta. Terlalu dingin, tidak seperti cuaca Jakarta yang panas meski malam sudah larut. 

Sambil memandang keluar jendela, mata Sisi menangkap kehijauan. Di luar sana banyak tumbuh sayuran. Ada selada dan sawi caisim. Jelas, Sisi yakin, ia berada di suatu tempat yang jauh, bukan di Jakarta. Tapi, entah di mana.

Rasa laparnya tidak ia hiraukan. Menanggung nasibnya saja sudah membunuh selera makannya. Apalagi, dirinya sekarang seperati anak perawan di sarang penyamun. 

Barulah Sisi menyerah saat perutnya semakin melilit. Dilirik jam tangannya; pukul tiga pagi. Makan malamnya yang sudah terlalu dingin disentuh juga beberapa suap. Setelah itu, ia tidak kuat lagi menahan kantuk.[]

Bersambung ...

RAMADHAN TERINDAH

Doa Bunda. Ilustrasi milik urbanjabar.com

AKU pasrah. Barangkali mataku memang tidak bisa lagi disembuhkan. Bundaku sudah membawaku berobat dari satu dokter spesialis mata ke dokter spesialis mata yang lain. Namun, bukan kesembuhan yang kuterima. Malah sekarang, mata kananku mulai merabun.

Aku semakin cemas, jangan-jangan sebentar lagi, mata kananku ini akan seperti mata kiriku yang sudah buta total. Dahulu juga begitu, mata kiriku mula-mula merabun, lalu semuanya menjadi gelap hanya dalam hitungan hari. Aku rasa, tahi lalat di atas kelopak mata kiriku juga tambah menghitam. Ya Allah, apakah aku akan menjadi gadis tunanetra? Bagaimana dengan cita-citaku?

Aku sudah membayangkan hidup dalam kebutaan. Setiap hari, pasti aku hanya berteman dengan gelap. Tidak bisa lagi memandang indahnya bunga-bunga mekar dengan kupu-kupu cantik yang terbang ke sana kemari di halaman rumahku. Apalagi melihat pelangi yang indah. Atau memandangi foto di atas meja kamarku berlama-lama. Tidak. Yang kulihat hanya hitam, gelap, dan serba kelam. Sia-sia saja Nikon yang baru dibelikan mama hadiah ulang tahun alat untuk melampiaskan hobiku.

“Loh, kok anak bunda masih belum siap? Ayo sayang, ganti baju. Sebentar lagi kita berangkat.”

Bundaku datang tanpa aku sadari. Seperti biasa, bunda selalu semangat menemaniku saat akan pergi ke dokter mata. Hari itu, aku terlalu sedih dan melamun sehingga tak menyadari bunda masuk ke kamarku.

“Sudah lah, Bunda. Mira sudah capek.”

Bundaku merapatkan tubuhnya. Seperti biasa, bunda memelukku sambil membisikkan harapan bahwa manusia tidak boleh putus asa. Hari ini, bahkan bunda sambil terisak, menangis meratapi nasibku yang buruk sambil terus memelukku.

“Ini bulan Ramadhan, sayang. Bulan penuh berkah. Bulan di mana doa-doa dikabulkan. Semoga Allah mengabulkan permintaan kita kali ini.” Ucap bunda dengan suara bergetar.

“Tapi, Bunda. Sudah berapa dokter yang kita datangi?”

“Mira, bunda tidak peduli. Berapa pun dokter yang harus kita datangi. Asalkan, Mira gadis kecil bunda yang jenaka akan sembuh.”

Aku beruntung memiliki bunda yang sangat menyayangiku. Bunda yang selalu menyemangati hidupku, menolongku saat aku terpuruk, dan menghiburku di saat aku sedih. Aku tak membayangkan jika bunda tak ada di sisiku. Apa yang akan terjadi? Pasti hidupku bertambah gelap, lebih hitam dari sepasang mataku yang semakin gelap. Sebab yang aku punya hanya Bunda seorang.|


PAGI pukul sepuluh kurang lima menit, aku sudah tiba di Malang. Penerbangan dari Cengkareng pukul 08.15, pesawat yang aku tumpangi sudah mendarat di Bandar Udara Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur.

Dari bandara, aku menuju klinik Ainun, klinik spesialis mata terkenal di Malang. Di sanalah aku dibawa bunda untuk berobat. Aku akan ditangani oleh dokter spesialis mata terbaik se-Asia Tenggara lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

Mataku yang sudah tak bisa melihat lagi, hanya berair, tidak berfungsi merekam keindahan kota Malang, Kota Apel dari balik kaca mobil sepanjang perjalanan menuju klinik. Aku hanya bisa merasakan hawa sejuk kota Malang di pagi beranjak siang. Itupun hanya sebentar saja, hanya sekitar dua puluh menit, bunda berkata bahwa kami sudah sampai. Karena bunda sudah membuat janji sebelumnya, aku langsung ditangani dokter terbaik itu, dokter Faisal namanya.

“Halo, Mira. Selamat datang di Malang. Wah, senang sekali dokter bisa bertemu Mira hari ini.” Dokter Faisal menyapaku, ramah sekali. Aku hanya menjawab terima kasih dan sedikit senyum.

Aku tak bisa mereka-reka wajah dokter Faisal yang kata bunda selalu berseri-seri dan menyenangkan. Padahal, percuma saja bunda memberi tahu soal wajah dokter itu. Bagiku, wajah dokter Faisal pasti hitam, sehitam gelap malam yang pekat. Ah, malang nian nasibku.

“Salam, Dokter.” Suara Bunda membalas sapaan dokter Faisal padaku.

“Salam, Bunda Mira. Terima kasih telah berkunjung.”

“Sama-sama dokter. Maaf, sedikit telat.”

“Enggak, enggak telat. Saya juga baru sampai beberapa menit yang lalu. Hari ini, saya ditemani putri saya. Saya khawatir malah saya yang telat karena menunggu putri saya berkemas. Dia lupa menaruh jam tangan kesayangannya di mana. Oh, sepertinya, putri saya seumur dengan Mira.”

Aku mendengarkan saja pembicaraan bunda dengan dokter Faisal sebelum pemeriksaan awal mataku dimulai. Kudengar, sesekali dia memanggil asistennya meminta beberapa berkas yang harus dia periksa. Entah, mungkin itu berkas tentang aku, berbagai informasi tentang kebutaanku.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah-langkah kecil mendekat. Ia memanggil-manggil. Suaranya nyaring, khas suara gadis kecil yang sedang teriak bahagia karena mendapatkan hadiah dari sang ayah. Rupanya, suara langkah dan nyaring panggilannya adalah milik gadis kecil putri dokter Faisal yang diceritakannya barusan.

“Hai, sayang. Mari sini. Kita kedatangan gadis cantik.”

“Ini, putri dokter Faisal?” Kudengar bunda menanyakan hal gadis kecil itu.

“Iya. Ayo sayang, perkenalkan namamu dan sapa gadis cantik tamu kita hari ini.”

Gadis kecil itu mengucap salam. Aku mendengarnya dengan jelas. Bunda membalas. Aku bisa merasakan keramahan dan kehangatan mereka. Tapi, hanya sebatas itu. Aku hanya bisa mendengar. Mataku tak berdaya.

Tiba-tiba hatiku berdebar-debar. Seperti ada kekuatan yang memukul-mukul rongga dadaku saat gadis kecil itu menyebutkan namanya. Detak jantungku semakin memburu saat gadis itu kudengar langkahnya mendekatiku. Semakin dekat, semakin hatiku berdebar. Wajahku terasa menghangat.

Aneh, dalam bayanganku, gadis kecil itu seperti terkejut melihatku. Matanya membulat. Mulutnya menganga, seperti tak kuasa menerima gadis yang duduk di hadapannya. Itu jelas sekali dalam benakku. Seakan aku bisa melihat dengan mata kepalaku lagi, seakan aku tidak buta.

“Ha … hai.”

“Hai.” Aku membalas menyapa. Suaraku parau.

“Ka … kamu. Mi .. ra. Ya, kamu Mira Naomi Asir, kan? Kamu pasienku, kan?”

Aku menggeleng.

“Aku tahu kamu Mira. Tahi lalat di kelopak matamu milik Mira, sahabatku.”

Seketika tubuhku terasa melayang. Mataku bertambah gelap.|


2 tahun yang lalu. Di Kelas 5 Sekolah Budi Mulia

HARI ini pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Nur memulai pelajaran dengan membacakan dongeng Si Kura-Kura yang bercita-cita ingin menjadi dokter. Alasan si Kura-Kura ingin menjadi dokter karena banyak penghuni rawa yang sakit dan mati. Tidak ada dokter yang menolong karena tidak ada satu pun penduduk rawa yang berprofesi dokter. Semua mereka berprofesi penyelam. Bagi penduduk rawa, penyelam merupakan profesi bergengsi dan bisa menjamin kebutuhan hidup mereka.

Setelah cerita selesai dibacakan, Bu Nur menanyakan cita-cita kami semua. Ada yang ingin menjadi pilot, tentara, saudagar, polisi, ada pula yang bercita-cita menjadi dosen, guru, bahkan ada yang ini menjadi bintang sinetron terkenal.

Tibalah giliranku dan Putri.

“Putri, apa cita-citamu?”

“Jadi dokter, Bu.”

“Bagus. Mira, apa cita-citamu?”

“Pasiennya Putri, Bu.”

Tiba-tiba semua menyoraki jawabanku. Kelas menjadi gaduh. Putri ikut tertawa karena merasa jawabanku aneh dan konyol.

“Loh, mengapa begitu, Mira?” Bu Nur tidak kalah heran. Sambil tersenyum, Bu Nur menanyakan alasanku.

“Aku kasihan sama Putri, Bu.”

“Apa alasannya?”

“Kasihan Putri kalau jadi dokter, tapi tidak ada pasiennya.”

Lagi, kelas menjadi gaduh. Aku juga tertawa, sambil merangkul Putri yang duduk di sebelahku. Kali ini, Putri terbengong-bengong mendengar jawabanku lalu mencubit pinggangku. Bu Nur juga semakin tertawa lebar.

Memang, aku sengaja tidak ingin seperti teman-temanku yang mematok cita-cita. Jujur, aku memang tidak tertarik membicarakan soal cita-cita saat itu. Maka, jawabanku waktu itu sekadar aku punya cita-cita. Itupun bukan asli jawabanku. Aku meniru dari buku cerita humor yang pernah aku baca. Tapi, kepada Putri aku katakan cita-citaku yang ingin aku raih. Jadi hanya Putri dan bundaku yang tahu cita-citaku.

Namun, aku tidak menduga. Hari itu merupakan hari terakhir aku dan Putri duduk sebangku. Esok harinya, Putri tidak lagi masuk sekolah. Kata Bu Nur, Putri harus ikut ayahnya yang mendadak ditugaskan keluar daerah. Persahabatan kami terputus. Aku tidak tahu Putri pindah ke mana. Putri juga tidak meninggalkan kabar akan pindah ke mana. Putri hanya menitipkan selembar foto pada Bu Nur untukku. Di balik foto itu, Putri menulis pesan: “Untuk Pasienku”. Sahabat terbaikku.

Aku dan Putri tidak sempat bertemu. Bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal, selamat berpisah.|


OPERASI mataku berjalan lancar. Aku lega. Bundaku masih belum tenang.

Dua jam lagi, perban di mataku akan dibuka. Dokter Faisal meyakinkanku, bahwa sembilan puluh sembilan persen aku akan dapat melihat kembali. Bunda terus memegang tanganku. Bunda tidak kalah berdebar-debar menunggu saat itu tiba. Dari mulutnya masih terdengar doa-doa lirih untuk kebaikanku.

Alhamdulillah. Apa yang dikatakan dokter Faisal benar. Mataku kembali dapat melihat. Aku sangat bersyukur, doa-doaku dan Bunda dikabulkan Allah. Bahkan Allah memberiku hadiah terindah, Allah mempertemukanku pada Putri, sahabat yang setiap saat fotonya aku pandangi untuk melepas rindu di kamarku. Sekarang, bukan saja foto Putri yang bisa aku pandangi, aku bisa menatap lagi wajahnya yang mungil, bergigi renggang, dan berambut ikal bergelombang.

Putri memelukku. Aku membalas pelukannya. Kami berdua menangis bahagia. Bahagia karena dipertemukan kembali dan bahagia karena penglihatanku sudah kembali. Sungguh ini adalah Ramadhan terindah buatku.

“Selamat datang fotografer.” Ucap bunda sambil memberikan Nikon kesayanganku.

Aku menghambur memeluk bundaku. Aku berjanji akan membalas kebaikan bunda, meskipun aku tahu, aku tidak akan pernah bisa membalas kasih bunda walau sepenggal saja dari hidupku. Seketika aku teringat ayah. Semoga ayah bahagia di alam kuburnya.|

MELAWAN LOGIKA NDABLEK NII ALA SAIFUDDIN

Flayer Fakta TVOne kiriman Ustaz Budi Nurastowo Bintriman

SENIN malam, TVOne menayangkan acara Fakta dalam tajuk “Jejak Saifuddin Ibrahim Tersangka Penistaan Agama”. Kabar acara itu akan tayang pada pukul 20.00 WIB. Ustaz Budi Nurastowo Bintriman berbaik hati mengabarkan tayang acara ini. Rupanya, Ustaz Budi menjadi salah satu narasumber TVOne membongkar siapa Saifuddin Ibrahim–sebelum Saifudin murtad dan jadi “Kiai” Kristen. Adalah untungnya yang disyukuri banyak-banyak, kangen dengan Ustaz Budi jadi terobati.

Hanya saja, badan yang sedang terasa “rontok” karena flu berat, Fakta tidak tuntas ditonton. Setelah menelan obat dari orang yang namanya sama, “Budi”, jamaah Ranting Muhammadiyah Pulo, mantan pekerja medis di PELNI, keluhan sedikit membaik dan badan kembali dibawa tidur.[]

INGAT Saifuddin, ingat antek-antek NII, ingat Nur.

Nur, gadis Penjaringan, Jakarta Utara. Dahulu, dia santri Saifuddin, juga santri Ustaz Budi. Beruntung, Nur lebih dekat pada Umi Ipit; istri Ustaz Budi. Selamatlah Nur.

Memang, sejak semula kedatangan Ustaz Budi di pondok tempat Nur nyantri, dia merasa seakan mendapatkan pertolongan. Ada kekuatan baru yang diharap melindungi meskipun hatinya sempat pula was-was, “Ini mereka ada di pihak mana, ya?”[]

NUR memang tidak intens berguru pada Saifuddin. Yang Nur ingat, pernah satu kali para santri putri blingsatan saat tiba-tiba Saifudin memeriksa kamar santri perempuan. Nur menyambar handuk karena sedang tidak berkerudung lalu ngumpet di WC. Ada Banyak santri putri yang tidak keburu menghindar karena sedang istirahat hanya dengan mengenakan rok dan singlet. Kata Nur, Saifuddin memang kadang dablek.

Akan tetapi, yang aktif bergerak adalah antek-antek Saifuddin. Mereka tidak pernah henti mendekati Nur. Namun, upaya mereka selalu gagal. Nur tidak bisa ditaklukan dengan bujukan, narasi, dan argumentasi. Namun, gerakan antek-antek NII mempengaruhi santri masuk dalam lingkaran mereka makin masif dan “brutal”. Santri yang selamat tinggal dihitung jari. Nur hanya salah satu dari santri yang selamat itu.

Pak Rauf; direktur pondok saat itu, sering menasihati Nur dan teman-temannya yang belum terkontaminasi paham NII untuk melawan mereka. “Kalau mereka pake Qur’an, jawab dengan Al-Qur’an, kalau mereka pake hadits, jawab dengan hadits, kalau mereka pake logika, balas dengan logika.”

Nasihat ini didengar, dihayati, dan digunakan Nur buat melawan mereka; antek-antek NII binaan Saifuddin si murtadin itu.[]

“KITA ini, masih periode Makkah, ” kata salah seorang propagandis NII pada NUR.
“Maksudnya, Kak?”
“Ngapain kamu shalat. Ibarat perjuangan Nabi, kita masih berada dalam periode Makkah, belum wajib shalat. ” Kata mereka untuk mengejek Nur dan kawan-kawannya yang masih patuh aturan pondok shalat berjamaah.
“Bukannya ini masa Orde Baru, Kak?”
“Bukan itu. Ini periode Makkah, periode perjuangan dakwah Islam, belum wajib shalat. Dalam Sejarah Islam, kan begitu fase-fase dakwahnya.”
“Lha, bukannya dalam Sejarah Islam kewajiban shalat turun di Makkah, setelah Nabi menjalani peristiwa Isra dan Mi’raj? Kakak baca Sejarah Islam yang mana?”[]

“KITA-kita ini, ibarat Ashabul Kahfi. Para pemuda yang bersembunyi untuk mempersiapkan perjuangan. Nanti masanya akan tiba kita menunjukkan diri.”
“Gua buat sembunyinya, di mana? Lalu, yang jadi anjingnya, siapa, Kak?”[]

SATU kali, Nur menjumpai antek-antek NII itu ngumpul-ngumpul di salah satu ruangan pondok. Perempuan-perempuannya tidak berkerudung, laki-lakinya ada yang tidur-tiduran dengan kepala di atas paha si perempuan. Nur merasa jengah. Nur menegur bahwa itu tidak baik. Apalagi menggunakan fasilitas pondok.

“Kamu jangan lihat luarnya, dong.”
“Maksudnya, Kak?”
“Kamu tahu durian?”
“Tahu.”
“Durian itu, luarnya berduri, jelek. Tapi coba lihat dalamnya. Bagus dan manis.”
“Tapi kan, tidak semua orang suka durian, Kak. Kebanyakan makan durian juga bisa muntah!”
Huh!
“Oh iya, Kak. Kata orang, makan apel bersama kulit-kulitnya itu bagus. Kandungan antioksidan pada kulit apel baik untuk kesehatan sendi. Cobalah makan durian dengan kulit-kulitnya sekalian. Siapa tahu bagus untuk kesehatan mental!”*[]

NUR tidak bisa dibujuk halus. Antek-antek NII gerah. Nur dikucilkan, diboikot, tidak punya teman di kamar sekali pun. Nur diteror, dibuat tidak betah di pondok. Alih-alih ingin membuat Nur tertekan dan tidak betah, Nur malah bahagia diboikot orang macam antek-antek NII itu.

“Kamu 'nggak sedih, gak punya teman?” tanya salah seorang guru pada Nur.
'Nggak, Ustaz. Malah senang.”
“Kok begitu?”
“Mereka itu kan, dulunya yang suka nebeng jatah kiriman saya. Sekarang saya diboikot, jatah kiriman orang tua saya, utuh.”[]

DI kali lain, Nur diancam akan dibunuh. Dikira antek NII itu, Nur takut diancam begitu, nyali Nur akan ciut, lalu dengan sukarela Nur bergabung jadi antek NII, jadi jongos Saifuddin, dan bersedia dibai'at.

“Heh, kafir! Darahmu halal. Kamu halal dibunuh.”

Diancam demikian, Nur membalas tidak kalah sengit.

“Hei dengar! Hari ini juga, saya kabarkan pada orang tua saya, saudara-saudara saya, bahwa kalau sewaktu-waktu saya benar mati dibunuh, kamu lah pelakunya. Bukan siapa-siapa. Saya minta pada orang tua saya, pada saudara-saudara saya, arahkan saja polisi datang mencari pembunuhnya ke rumahmu!”[]

SUDAH lama sekali Nur menuturkan pengalaman bergelut melawan dialektika dengan para antek NII di pondoknya. Saya paling tergelitik dengan soal analogi duren. Andaikan Nur adalah saya waktu itu, maka jawaban Nur saya tambahkan kalimat seperti balasan jawaban yang saya beri tanda asterik (*) di atas.

Sehabis menonton Fakta kemarin, pagi harinya, saya gali lagi pengalaman Nur. Tidak ada yang berubah. Penurutan Nur masih sama seperti kali pertama dia berkisah; cerita tentang “sisi kelam” pengalamannya pernah beririsan dengan Saifuddin dan antek-antek NII.

Sampai hari ini, Nur masih menyimpan nama-nama siapa antek-antek NII itu. Nur masih hafal; hafal nama dan hafal wajah. Nur paling hafal antek NII yang menyebut darahnya halal dan dia boleh dibunuh.[]

KADANG, saya berkhayal. Satu kali, saya dan Nur sedang berboncengan, ngabuburit mencari angin menunggu maghrib. Tiba-tiba, Nur meminta berhenti.

“Stop! Stop! Berenti dulu, Mas!”
“Ada apa?”
“Itu, antek NII,” jawab Nur sambil menunjuk seorang laki-laki.
“Yang mana?”
“Itu yang giginya agak seksi.”
“Yang dulu mau membunuh kamu?”
“Bukan. Dia yang dulu bilang jangan durian dilihat dari kulitnya.”
Saya menepi. Saya dan Nur mendekati laki-laki itu.

Laki-laki itu terkesiap. Rupanya dia masih mengenali Nur saat tahu ada seorang perempuan dan seorang lelaki datang menghampiri. Nur menyapa. Laki-laki itu kikuk.

Tangan saya gatel. Dan, pahala puasa saya yang tinggal sekelok saja akan dicatat di buku amaliyah ramadhan malaikat Rakib, tiba-tiba batal karena saya emosi. Saya tak tahan.

Jbret!

Laki-laki itu kaget sambil memegang mulutnya. Nur juga kaget atas tindakan saya.

“Ada apa ini? Mengapa saya ditonjok? Apa salah saya?”
“Makan tuh duren!” kata saya sambil menarik lengan Nur melanjutkan ngabuburit kami.[]

ANTEK-antek NII binaan Saifuddin memang nakal. Mereka bukan saja tidak shalat, tapi mengejek Nur yang rajin shalat. Mereka bukan saja tidak puasa, tapi menggoda-goda Nur yang puasa. Mereka juga nakal karena suka mengutil perlengkapan sekolah seperti pulpen di supermarket milik orang Cina dan dijual murah kepada para santri di pondok Nur. Mereka bilang, harta orang kafir dalam rangka perjuangan boleh diambil. Jadi menurut paham Islamnya mereka, nyolong sah hukumnya.

Hari-hari belakangan, Saifuddin dengan profesi barunya sebagai pendeta sering menuduh Islam sebagai agama yang menghalalkan darah orang non muslim. Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan kekerasan bahkan agama yang mengerikan. Alasan itu pula yang dipakainya untuk ajakan menghapus 300 ayat Alqur’an kepada beberapa pihak.

Saifuddin sudah offside. Ngapain lagi di mencomeli Alquran yang tidak dia imani lagi. Toh, baginya, seluruh ayat dalam Alquran sudah tiada guna, sudah dia hapus sendiri dari dada iman Islamnya sejak dia tanggalkan dengan pongah, jumawa, dan atraktif. 

Saifudin memang dablek. Dia yang sebelum murtadnya sudah memahami Islam model pemahaman NII dan menanamkan paham itu kepada generasi yang tidak tahu apa-apa, tapi belakangan getol sekali menuduh Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan seperti pemahaman keliru yang dahulu dia anut. Kalau Saifuddin "sehat", bukan Islam yang harus dia tuduh-tuduh, habisi saja pemahaman Islam ala NII yang dahulu dia sebarkan itu.[]

MENAHAN UPIL

Animasi Ngupil. Foro Credit https://tenor.com/


PUASA, atau "as-shiyam" dalam bahasa Arab artinya "al-imsak", menahan. Maksudnya, secara harafiah menahan dari segala yang membatalkan puasa. Menahannya pun tidak sepanjang hari, hanya mulai dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Tidak lebih.

Dahulu, sewaktu masih kecil, pengajaran orang-orang tua "kelewat hati-hati" soal menahan ini. Sehingga, puasa bukan saja menahan dari makan dan minum, berhubungan suami-istri, pokoknya menahan dari segala yang membatalkan puasa menurut syara', sampai mengupil dan kentut di dalam air pun, harus ditahan, sebab ia masuk dalam daftar list perkara yang "membatalkan" puasa versi puasa zaman dahulu, zaman "kegelapan".|

PUASA mengajarkan agar orang pandai menahan diri. Ini bukan sembarang menahan diri. Ini menahan diri dari perkara yang dibolehkan. Bila menahan diri dari perkara yang tidak dibolehkan, itu biasa. Orang awam sekalipun mengerti bahwa segala yang dilarang memang harus dihindari, ditahan untuk tidak dilakukan. Akan tetapi puasa, mendidik pelakunya menahan diri dari sesuatu yang tidak dilarang.

Di sinilah mahalnya harga puasa. 

Capaian puasa juga mahal, tidak murahan, yaitu takwa. Hanya orang-orang tertentu saja yang sanggup membayar harganya. Maka, orang-orang yang sanggup memenuhi kewajiban puasa adalah orang-orang yang berharga mahal di hadapan Allah, orang-orang yang kelak memakai mahkota "muttaqin".|

DALAM konteks puasa, makna takwa rasa-rasanya bukan sekadar "melaksanakan perintah dan manjauhi larangan-Nya". Akan tetapi, ada yang lebih substansial dari sekadar melaksanakan dan menjauhi.

Tidak ada ibadah yang serahasia ibadah puasa. Tidak ada yang tahu seseorang itu puasa atau tidak, kecuali Allah dan dirinya saja. Seorang suami belum tentu tahu bahwa istrinya betulan puasa. Menantu dan mertua juga demikian. Anak dan orang tua, kawan karib dan koleganya, bahkan seorang kiai pun tidak tahu apakah santrinya berpuasa atau tidak. Jadi, puasa itu ibadah paling personal antara hamba dan Rabb-nya saja.

Karena itu, puasa merupakan ibadah yang hampir-hampir tidak ada celah pelakunya digrogoti penyakit riya. Kecil sekali celah itu ada. Tidak seperti ibadah yang terlihat amalannya, amalan yang mengundang decak kagum, takjub, dan pujian karena begitu transparan. Maka tidak mengherankan, sedikit sekali orang yang bisa selamat dari godaan riya meskipun kadarnya tipis, selintasan supaya orang tahu bahwa ia sedang ibadah.

Memang, sampai hari ini, tidak ada foto selfi orang yang sedang puasa yang di-upload pemilikinya di medsos, sebagaimana gambar "haji selfi" dengan background Ka'bah. Ya, karena memang haji ibadah terbuka, transparan, semua orang bisa tahu, bisa melihat dan mendengarnya. Puasa? Tidak.|

MERASA diawasi Allah, muraqabatullaah, rasa-rasanya sangat pas dengan idiom takwa dalam konteks puasa. Jadi, orang yang keluar sebagai pemenang dan mengenakan mahkota takwa setelah berpuasa, yakni orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya pengawas dirinya. Di manapun, di kala sendiri atau ramai, di dalam rumah atau di luar rumah, bersama orang-orang yang dia kenal atau asing, sama saja, sebab yang dia pandang adalah Allah, yang mengawasi detail gerak-geriknya, bukan makhluk yang kasat mata dan bisa dikibulin.

Kasarnya, bisa jadi ada menantu di hadapan mertua dia puasa. Di belakang mertua, lain soal. Di rumah, seseorang menjaga puasanya, di luar rumah lain perkara. Nah?

Maka dalam kondisi apa pun, dengan muraqabatullah, kewajiban tetap tegak meskipun sepi, sendiri, dan terasing. 

Selamat menjalankan puasa hari pertama.|

KE KOREA DI MUSIM BUNGA

Rapat para petinggi KKMD. Foto Credit: Abdul 

KEMARIN sore, hujan turun deras sekali. Angin kencang mendesau, tanpa jeda, membawa kabut. Sesekali lidah api berkilat-kilat. Ngeri.

Pukul sepuluh pagi, aura menghujan sudah terbaca. Terik, udara lembab, membawa gerah. Di bawah rimbun pohon pun, gerah. Gerah merata di mana-nana, di setiap sudut ruang terbuka.

Wajah seperti digarang di atas tungku. Dari tengkuk sampai ke bahu jadi terasa lengket bagai dibaluri minyak. Orang Pulo bilang "nylekeb", "bringsang". Rasanya, ingin berendam saja di bak mandi berlama-lama.

Pukul empat, hujan baru reda. Dari pukul tiga lebih sepuluh, air bagai ditumpahkan dari langit, seakan langit bocor karena derasanya. "Wah, bakalan tambah telat ini."|

KARENA tidak ada uzur kecuali keterlambatan, tidak ada alasan untuk tidak memenuhi undangan meskipun bisa saja memilih absen. Apalagi belum terikat dalam struktur kepengurusan, jadi tidaklah terlalu "berdosa" bila tak datang. Kalaupun mungkir, masih tergolong dosa kecil, belum kategori "al-kabair" yang tak berampun.😂

Ini kali pertama "nimbrung" rapat dengan pengurus Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok. Sebagai makmum, makmum betulan yang berdiri di belakang makmum juga, makmum level dua. Bolehlah saya merasa untung. Gembira juga bisa sama-sama satu meja dengan para imam. Untunglah, rapat baru akan dimulai. Masih dapat "takbiratul ihram" bersama imam.

Sebagai makmum, ada tiga kali mengisi acara Korps dengan keterbatasan kapasitas, setakaran yang ada di saku hasil mengaji, dari membaca, dan dari ghirah yang masih ada. Bolehlah tambah gembira lagi, hanya karena ghirah itu jadi bisa merasakan podium Korps.

Setiap aktivis persyarikatan tulen tahu betul, dari ghirah yang masih ada, kepercayaan diri ikut berkhidmat bisa bertahan. Ghirah, atau ruh daya juang tak mengenal artifisial meskipun ada pasang surutnya, ada kencang ada kendurnya, ada gesit ada leletnya, ada sehat ada sakitnya, bahkan ada hidup ada matinya bila ghirah sudah terlalu sekarat. Para imam satu meja itu, pastilah sangat mengerti soal ini. Tentulah mereka berjaga-jaga jangan sampai ghirah mereka sekarat sementara mulut masih sehat wal afiat merasakan lezatnya makan dan minum.

Idealnya, daya juang harus terus dibarengi daya belajar dan kapasitas ilmu. Rasanya, ini pekerjaan rumah yang belum selesai yang terus menggantung di benak penulis. Daya belajar dan kapasitas ilmu harus pula dilapis baju ghirah. Seringkali, segala-gala daya jadi "impoten" bila mana baju ghirah sudah ditanggalkan.|

DI ANTARA agenda rapat, soal Ketua Korps akan pamit mundur cukup panjang dibahas. Ustaz Irfan akan mlipir ke Korea. Rupanya, panggilan dakwah di Korea sudah menarik-narik hati Ustaz Irfan kuat sekali. Yang di Korea pun, sudah ngebet agar Ustaz Irfan segera terbang. Bagaimana dengan para makmum di KMMD?

Biarlah, tak mengapa. Asalkan mlipirnya untuk urusan dakwah, bukan urusan K-Pop yang digila-gilai gadis ABG kampung yang letak kampungnya saja hampir tidak terbaca di dalam peta. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Ustaz Irfan harus dilepas. Biarkan dia tambah "besar" di salah satu negeri ginseng.|

Bila Anda pernah membaca biografi HAMKA, Anda akan menjumpai narasi betapa HAMKA pernah bimbang memilih dua undangan; Tokyo atau Medan yang akan dipilih. Dua-duanya amat mengoda HAMKA meski dia harus meninggalkan Siti Raham, istri yang amat dicintai separuh jiwa, dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil dalam kondisi ekonomi yang tidak berkecukupan.

"Kami di Jepang ingin meminta saudara Hamka datang untuk menjadi guru masyarakat Islam di Jepang," begitu isi surat Mansur Yamani, sahabat lama HAMKA dari Sulawesi saat dahulu HAMKA menjadi mubaligh utama utusan Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta ke Makassar di usianya yang masih sangat muda; 23 tahun.

Akhirnya, HAMKA memutuskan pergi. Bukan ke Tokyo, melainkan ke Medan dengan berbagai pertimbangan.  Jalan dakwah baru dipilih HAMKA dengan pertaruhan akal dan perasaan.

HAMKA pergi meninggalkan Kulliyyatul Muballighin Padang Panjang yang baru dirintisnya pada 1935. Sebagai direktur Muballighin saat itu, HAMKA, rela tak rela berangkat juga. Bukan karena gajinya kecil yang hanya 50 sen sehari, gaji seorang direktur yang terlalu minim untuk menghidupi Siti Raham dan Hisyam. HAMKA dan keluarganya harus pula menumpang tinggal di salah satu ruang kelas Kulliyyatul Muballighin bersempit-sempitan. Rusydi; anak kedua HAMKA bahkan lahir di dalam ruang kelas yang sempit itu.

Haji Rasul harus menahan sesak di dadanya saat HAMKA melangkah pergi. Putra harapannya itu memilih memimpin Pedoman Masyarakat, menjadi Tuan Redaktur majalah yang dirintis Haji Asbiran Yakub yang kelak merebut hati pembaca tokoh sekalas Tuan Soekarno dan Hatta.| 

Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok mau tak mau melepas Ustaz Irfan, seperti dahulu Haji Rasul melepas HAMKA buat berpisah. Tanggalnya sudah pasti, 8 April 2022. Ustaz muda ini berangkat pada bulan di mana aneka bunga di dunia sedang mekar.

"Annyeonghi kaseyo, Ustaz Irfan. Mianhamnida, kaga bisa ikut nganter."

Semoga istikamah di jalan dakwah. Sehat-sehat dan melimpah berkah. Jangan sering-sering makan Kimchi, kecuali rutin mengirim ke PDM buat menemani rapat-rapat para imam berikutnya😂.|