MASTER PIECE 4 PELIPUR LARA

Panggung Closing Ceremony  Masterpiece 4 dan LDP. Foro Credit: Abdul

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Berkemul dengan pembelajaran jarak jauh, meeting class online, dan bertungkus lumus dalam pembelajaran digital, tengkuk sudah terasa kaku.

Mata sudah kelelahan memandangi layar zoom. Bak lampu tempel, cornea seperti tabung bahan bakar lampu yang minyaknya sudah tiris, cahaya di ujung sumbunya sudah pula redup. Andaikata embusan angin kecil saja melintas di ujung sumbu, padamlah apinya saat itu juga.

Dunia sekolah yang penuh warna, hampir hilang warna-warni tabiatnya yang gemuruh di saat jam istirahat tiba. Indonesia Raya seakan tiarap tiap Senin pagi. Dan lagi, kelas-kelas menjadi dingin, angker, seakan rumah tua yang tak berpenghuni.

Suara hati sudah gaduh berbisik-bisik, Corona, please, kami sudah lelah.[]

Di penghujung Sya'ban 1443 H, hari ini, Kamis 31 Maret 2022, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, Masterpiece 4, Closing Ceremony, dan Tarhib Ramadhan MTs Pembangunan UIN Jakarta seperti jawaban bisikan hati yang gaduh itu. Seakan, gelaran ini peluruh otot tengkuk yang kaku dan tetes mata yang makin dalam menyipit. Warna sekolah kembali mencorong meskipun belum sepenuhnya hidup. Namun, hati sudah berbunga-bunga karena sukses Masterpiece, Latihan Dasar Penelitian (LDP) yang keren, dan tamu agung yang akan segera tiba: Ramadhan Kariim 1443 H.

Acara ceremony dipandu dalam tiga bahasa (Arab, Inggris, Indonesia) yang dibawakan peserta didik kelas 7 dan 8. Amboi, pronunciation, fasih, dan lugas yang nyaris tanpa cela melompat dari lidah ketiganya seperti gelombang kejut yang membelalakkan mata karena lama tidak bertemu. Keren. Tahu-tahu, sedemikian majunya ketiga anak itu membawakan acara macam acara di tivi-tivi yang gemerlap. Sementara, ada ruang kosong selama dua setengah tahun yang tidak bisa dijangkau karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang benar-benar memisah jarak. Relasi guru–murid hampir-hampir saja sudah menjadi rasa sayur yang kurang garam, hambar.

Masterpiece semacam terjemahan dari simbol-simbol kecerdasan ganda, bahwa setiap peserta didik memiliki salah satu kecerdasan yang paling dominan di antara kecerdasan Spasial – Visual, Linguistik, Interpersonal, Intrapersonal, Musikal, Naturalis, Kinestetik, dan Logis – Matematis yang mereka miliki. Maka tumpah ruah minat peserta didik dalam pilihan lomba yang mereka sukai. Juara atau tidak juara tidak penting, asalkan bakat, minat, dan kecenderungan terpuaskan. 19 mata lomba Masterpiece penuh sesak peminat.

Masterpiece kali ini bukan saja mengemas berbagai cabang lomba yang melahirkan para juara. Terselip di sana even LDP dengan tagline-nya “Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematic”. Terselip, karena LDP bukan ajang lomba, tapi ajang praktik literasi sains ilmiah yang diselipkan. Meskipun begitu, output LDP sangat “menggemaskan”. Bagaimana tidak “menggemaskan”, produk LDP itu manis sekali, semanis hasil gula dari bahan singkong yang dihasilkan dari riset sederhana peserta didik setingkat Madrasah Tsanawiyah. Lidah saya menari-nari saat mencicip manisnya gula dari bahan singkong itu. Beneran, manis semanis perasan tebu yang segar dan autentik.[]



Ahmad Sandy Rizany (paling kiri, salah satu guru penggagas LDP), Dani Wahyudi (Pustaka MP), dan Abdul (Kepala UPT. Pepustakaan di depan stand LDP. Foro Credit: Ahmad Rudianto.

Pada mula pertama rencana LDP mendengung sampai ke dinding perpustakaan, rak-rak buku “bersorak”, buku-bukunya “bertasbih”, dan penghuninya semringah. Demikianlah, sebab perpustakaan dan penelitian seperti saudara kembar. Maka, saat dengungnya sampai ke perpustakaan, ia seperti pertemuan saudara kembar yang lama berpisah karena takdir memisahkan mereka. Dua saudara kembar itu berpelukan. Berpalun-palun, tanpa bicara lagi, hanya isak yang tertahan. Air mata keduanya tumpah berlimbak-limbak. Tentu karena bahagia, bukan sedih karena kecewa.

Apatah lagi, katanya hasil-hasil LDP akan diparagrafkan. Menjadi buku karya ilmiah meskipun baru tahap pemula. Tidak mengapa, bukankah semua keberhasilan besar orang-orang besar berawal dari langkah kecil dan dipandang sebelah mata karena pemula?

Menuliskan proses penelitian menjadi karya ilmiah bukan saja penting, tapi sebuah keharusan bagi komunitas yang bergelut pada lembaga pendidikan. Memang, tidak semua ilmuwan besar lahir dari lembaga pendidikan formal. Thomas Alfa Edison konon dikeluarkan dari sekolahnya. Bukan karena Edison bodoh, melainkan karena Edison menderita disleksia yang kesulitan beradaptasi dengan situasi belajar yang statis. Thomas tahu kalo di sekolah pun dia dijuluki addled oleh gurunya. Sebuah sebutan yang kasar lagi tak berbudi.

Madrasah ini bukan lembaga sekejam pengalaman kelam Edison. Madrasah ini sangat adaptif, kooperatif, punya visi insight dalam mendorong tradisi ilmiah. Apalagi tagline Akhlak, Bahasa, dan Sains masih belum diturunkan dari statuta, brosur, banner, dan running text di pintu gerbang. Tentulah tagline itu tidak berani dilangkahi, apalagi dikhianati.

Semestinya, dan harus semestinya, civitas akademikanya pun lebih berapi-api, lebih bergairah, dan lebih bersukacita setiap ada gerakan literasi ilmiah. Bila perlu, isi brankas dari saving kegiatan yang tidak sedikit itu keluar sendiri tanpa perlu anak kuncinya diputar hingga brankas menganga untuk mendukung finansial literasi ilmiah yang memang tidak murah.[]


Sebagian dari titik lemah dari menulis, baik menulis karya ilmiah maupun nonilmiah adalah kesabaran berlatih dan keterbatasan pemahaman teknis menulis. Ada banyak orang punya potensi menulis, bahan melimpah untuk dituliskan, dan waktu luang yang memadai. Namun, dia tidak punya cukup sabar menjalani proses menulis yang memang kompleks. Satu-satunya obat buat mengatasi penyakit ini cuma satu, yakni mulai menulis.

Soal teknis menulis, masalah yang cukup penting adalah soal kutip mengutip. Untuk karya ilmiah, persoalan ini bukan saja penting, tapi riskan. Riskan apabila penulis banyak mengutip, namun tidak cakap menguasai teknik mengutip. Salah-salah, dia bisa terjebak pada plagiarism. Sedangkan plagiarism merupakan cacat ilmiah, baik dari sisi konten, maupun etika penulisan karya ilmiah yang dilanggar.

LDP seperti persemaian untuk menumbuhkan kesadaran literasi ilmiah sejak dini. Penggagasnya memberi ruang bagi saya sekadar berbagi teknik seni mengutip meskipun hanya sekejap. Namun yang sekejap itu, bagi saya terasa bermakna berhari-hari. Sudah barang tentu apabila nanti karya ilmiah itu benar-benar menjadi rangkaian huruf, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan narasi dia akan menjadi khazanah ilmiah yang berumur panjang. Ini keren.


Kepala MTs. Pembangunan, Momon Mujiburrahman, MA mengunjungi stand LDP. Foro Credit: Ahmad Rudianto.

Satu hal lagi. Bila peserta didik MTs. sudah dibiasakan dengan tradisi menulis ilmiah dengan didahului kegitan riset, pembekalan-pembekalan yang memadai seperti teknik mengutip yang benar, ini akan sangat bagus untuk mendukung visi MA Pembangunan dengan tagline-nya sebagai Madrasah Riset bila nanti peserta didik MTs. Pembangunan akan melanjutkan ke MA Pembangunan. Jadi, ketika mereka melangkah ke MA Pembangunan, mereka sudah membawa tradisi menulis ilmiah yang kuat. Keren lagi, kan?

Baiklah. Pelipur lara sudah dinikmati hari ini. Selamat para pimpinan MTs. Pembangunan UIN Jakarta, selamat panitia Masterpiece 4 dan penggagas LDP, selamat para peserta dan para juara.[]

SEPINTAR-PINTAR SIASAT

Pengurus Pimpinan Ranting Muhammadiyah Cipayung dan Anggota. Foto Credit Ustaz Saifudin, S.Pd.I

Hari ini, pengajian menjelang Ramadhan digelar lagi. Entah sudah yang ke berapa kali, sudah silap buat dihitung-hitung. Hanya saja, semakin dihitung-hitung, ternyata batang usia tak lagi muda. Lalu, takdir menjadi tua semakin ingin diingkari. Rasanya masih enerjik saja, sedangkan rambut mulai pudar hitamnya, mata makin jauh fokusnya, sedangkan tubuh sudah pula terasa melambat geraknya.

Sejak 1991, selepas lulus dari Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah, Ranting Muhammadiyah Cipayung jadi ladang eksperimen saya belajar berdakwah. Berarti, sejak tahun itu pula pengajian menjelang Ramadhan saya catatkan dalam kenangan. Pak Aziz lah orang yang mula pertama menarik lengan saya bergabung mengawal Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Tiap malam Jumat, pengajian dibimbing Pak Aziz, Pak Rahmat, dan saya bergantian. Jika tak salah ingat, pernah pula pengajian dilaksanakan malam Ahad. 

Pada 1997, di pertengahan tahun-tahun belajar di IAIN (sekarang UIN) Jakarta, sudah mulai diberi porsi di majis ranting. Mulai didorong-dorong bicara di hadapan orang-orang tua Ranting Muhammadiyah Pulo. Waktu itu, banyak tokoh tua perintis Muhammadiyah Ranting Pulo kelompok "as saabiquunal awwaluun" yang masih hayat ikut mondorong lebih bersemangat. Saat kesempatan pertama untuk saya itu diberikan, lalu saya penuhi, mata-mata mereka mengikuti langkah saya sampai ke mimbar seolah berkata "mengancam": "Sekarang, atau tidak sama sekali!"

Pada kali pertama bicara di depan para orang tua itu, dada berdebur-debur, keringat sebesar biji jagung menetes dari dahi efek melawan gerogi. Meskipun air bening sudah diteguk-teguk sebelum tangga mimbar dilangkahi dan doa minta dilancarkan lidah diulang-ulang, di atas mimbar masih saja mulut terasa kering. Tenggorokan pun seperti sedang menelan sekam. Apatah lagi, materi yang sudah disiapkan di kepala separuh dihafal, menguap entah ke mana perginya. Kalau saja tak mengapit buku ikhtisar materi ceramah waktu itu, bisa serta merta turun dari podium dengan muka memerah saga menahan malu.

Saya merasa, menghadapi kharisma orang-orang tua dahulu itu beda sekali dengan menaklukan tatapan mata mahasiswa di meja diskusi yang sangat dialektis. Jika di kampus oleh beberapa kawan saya dijuluki macan diskusi, giliran di majlis ranting, saya menciut, tak ubahnya seperti kucing belajar mengeong yang gigi taringnya saja baru separuh tumbuh.

Akan tetapi, dengan berlatih dan belajar langsung, sampai pula kesempatan berdamping dengan para guru; KH. M. Awab Usman, Drs. Moh. Muslim, dan M. Ma'ruf di majils pengajian rutin malam Senin, baik di Pulo dan Cipayung.

Hari ini, saat pengajian menjelang Ramadhan yang ke sekian di Ranting Muhammadiyah Cipayung, takdir atas kesempatan naik podium pertama kali itu terkenang-kenang lagi di pelupuk mata.[]


IBU-ibu Aisyiyah Cipayung menghidangkan satu menu "verrukkelijk"; sayur asem kuah kuning. Seger, pas sekali dinikmati pada cuaca panas tadi siang usai pengajian. Ikan asin, tempe dan tahu bacem, pecak ikan mas, bakwan dan kerupuk seolah dapat vibrasi cita rasa jadi ikutan lebih nikmat di lidah.

Terus, adakah kesejajaran sayur asem kuah kuning itu bila dihubungkan dengan aktivitas dakwah?

Ada.

Jika juru masak punya tantangan buat menyajikan resep-resep masakan baru yang lebih sedap, demikian pula berlaku bagi juru dakwah.

Pertama, karena dakwah adalah dunia pesan, maka penting diperhatikan bagaimana pesan itu disampaikan. Bukan sekadar pesan itu harus sampai ke telinga jamaah serta tidak membuat pekak telinga mereka, melainkan ia harus terasa sedap sampai meresap ke jantung hati dan perasaan, seperti sedapnya masakan di lidah dan terekam kelezatannya di long term memory otak secara permanen.

Kedua, jika cara penyajian hidangan bisa memberi efek menawan dan nafsu makan para foodies berlipat dua, maka cara penyajian dakwah juga demikian. Jangan sampai objek dakwah tidak bergairah datang ke majlis ilmu hanya karena persoalan sajian dakwah yang kurang menarik. Ini masih untung daripada orang kapok dan tidak mau lagi datang buat mengaji.

Ketiga, jika produsen masakan piawai memanfaatkan media digital dan media sosial sebagai sarana publikasi dan promosi, maka keniscayaan dunia dakwah memanfaatkan media yang sama perlu diupayakan. Jangan berlambat-lambat keong, sebab segementasi dakwah generasi milenial hari ini kompetibel dengan media sosial yang daya jangkaunya secepat angin.

Cukuplah tiga poin ini saja buat menjawab ilustrasi kesejajaran sayur asem kuah kuning dengan aktivitas dakwah hari ini.[]


Kurikulum Kajian Ramadhan sempat saya lontarkan pada pengajian tadi siang. Selama ini, kurikukum Ramadhan hanya diterapkan di masjid-masjid tertentu saja. Maksud saya, tradisi kultum atau Kuliah Ramadhan ada baiknya dikemas tematis sistematis. Misalnya, materi kultum malam pertama bicara sabar, malam kedua syukur, malam berikutnya qona'ah, malam esoknya lagi itsar, terus mengalir dengan materi berbeda sampai malam terakhir tarawih.

Boleh juga materi yang spesifik mengupas puasa Ramadhan, akidah, ibadah, akhlak, sirah, atau Kemuhammadiyahan. Jadi, materi kultum tidak dibiarkan disajikan secara sporadis dan diserahkan pada selera pembicara.

Kemasan tematik seperti ini banyak manfaatnya, di antaranya menghindari materi berulang oleh narasumber berbeda di samping jamaah mendapatkan konten kuliah Ramadhan yang kaya dan beragam.

Rujukan pokoknya diambil dari khazanah keIslaman persyarikatan, baik dari buku-buku atau publikasi PP. Muhammadiyah, Majelis Tarjih, atau Majelis Tabligh. Ini penting untuk menjaga otentitas dan validitas paham Islam yang sesuai dengan Muhammadiyah.

Oleh karena dakwah adalah medan jihad juga, sedangkan tantangan dakwah makin kompleks dari hari ke hari, rasanya akal kita bersetuju dengan filosofi tipologi muslim sejatinya HOS Tjokroaminoto: Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.

Terima kasih sayur asem kuah kuningnya ya, Ibu-ibu Aisyiyah dan Muhammadiyah Ranting Cipayung. Selamat menyambut Ramadhan 1443 H. Semoga kita bisa meraih kemuliaan taqwa, cita-cita tertinggi nilai ibadah puasa nanti. Aamin.

BEDA AGAMA MENGAPA TIDAK?


Foto Credit: islami.co

Satu kali, datang seorang wali. Wajahnya keruh. Matanya sayu. Dahinya yang lengar mengembun. Tampak sekali dia gelisah. Bukan saja dari sorot matanya, tapi juga dari dahinya itu.

Dahinya yang mengembun, ada pula membawa manfaat. Karena bias cahaya lampu pijar di ruang tengah rumah kami cukup terang, dahinya berkilat-kilat. Wajahnya jadi sedikit cerah meski tidak bisa menutup aura bahwa dia seperti sedang bingung.

“Tampaknya, ada yang penting, Pak?”

Bapak membuka bicara. Saya yang duduk bersebelahan dengan Bapak, menyilakan dia menyesap teh hangat di meja. Barangkali dia bisa sedikit lebih rileks.

“Iya. Saya mau minta pandangan.”

Berceritalah dia. Mula-mula pelan, seperti malu dan masih ragu. Direguknya teh hangat yang dihidangkan Ibu sekali lagi. Setelah itu, dia lancar bercerita. Cerita perihal anak gadisnya.

Bapak dan saya terkejut sesaat dia menyudahi kisah yang dibawa dari rumah tangganya. Entah mengapa, Bapak menyilakan saya yang menanggapi masalah yang dibentangkan sang wali di hadapan kami.

Saya tepekur, lalu sedikit mengurai jawaban persoalan yang ditanyakan. Tidak lama, hanya sepuluh sampai lima belas menit kira-kira. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Entah karena mengerti atau anggukan apa, saya tidak tahu. Saya beranjak mengambil beberapa buku.

“Jadi, begitu, Pak. Agama kita tidak mengizinkan. Ini, saya bawakan beberapa buku. Silakan bapak baca baik-baik. Minta juga putri bapak membacanya. Isinya lengkap untuk menjawab tuntas persoalan yang sedang bapak hadapi.”

Beberapa saat kemudian, wali dari seorang gadis yang sangat saya kenal itu pamit pulang. Sebelum dia melangkah pergi, sekali lagi saya katakan, bahwa ulama sudah sepakat soal keharaman perkara yang dia meminta pandangan malam itu.

Namun, belakangan saya dengar, perkawinan sang putri tetap dilangsungkan. Rasanya, pandangan yang dia minta dan buku-buku yang saya pinjamkan tidak berarti. Tapi, biarlah. Itu pilihannya sendiri.|


Malam ini, mulai pukul 19.30, MPP ICMI menggelar webinar dengan topik "Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Islam". Ada tiga pembicara kunci; Neng Djubaedah SH, MH, Ph.D (Ahli Hukum Islam UI), Prof. Dr. Ir. Aida Vitalaya (Dewan Pakar, Ahli Gender), dan Dr. Dra. Hj. Aan Rohanah, LC, MA (Ketum Sahabat Peradaban Bangsa). Meski terlambat bergabung lebih dari tiga puluh menit, saya masih bisa mengikuti paparan tiga pembicara kunci di atas.

Dari tiga pembicara, bisa saya simpulkan sikap ICMI memandang pernikahan beda agama; haram. Beberapa pertanyaan dijawab dengan elaborasi yang memperkaya dan memperkuat pandangan akan keharaman pernikahan beda agama ini.

Sayang sekali pertanyaan saya tidak sempat ditanggapi. Saya ingin tahu sikap ICMI tentang paham liberal. Saya berkesimpulan, para pengasong paham liberal lah biang keladi dari terus menguatnya arus pernikahan beda agama ini dari waktu ke waktu.

Jauh sebelum kasus pernikahan Staf Khusus RI 1 Ayu Kartika Dewi dengan Gerald Bastian yang menikah secara Islam dan secara Katolik di Gereja Katedral, Jakarta pada 18 Maret 2022 kemarin, dan pernikahan seorang wanita berjilbab di gereja yang beritanya sempat viral beberapa hari belakangan, para pengasong liberalisme bukan saja telah membuka jalan kebolehan pernikahan model ini, melainkan sudah menempatkan diri seperti “penghulu” pernikahan semacam itu.

Sebut saja Zainun Kamal. Pada Minggu 28 November 2004 silam, Zainun membimbing pernikahan seorang Muslimah; Suri Anggreni alias Fithri dengan lelaki Nasrani; Alfin Siagian, di Hotel Kristal Pondok Indah Jakarta Selatan. Zainun juga tercatat sebagai yang menikahkan mentalis Deddy Corbuzier yang waktu itu masih Katolik dengan Kalina Ocktaranny yang seorang muslimah pada Kamis 24 Februari 2005.

Pada pernikahan Ahmad Nurcholish–Deputy Director Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP)–dengan Ang Mei Yong (Konghucu) pada 8 Juni 2003, penghulunya adalah Kautsar Azhari Noer. Saksi pernikahannya, Ulil Abshar Abdalla.

Tentu, bagi yang sering mengikuti wacana Islam Liberal, siapa Zainun Kamal, Kautsar Azhari Noer, dan Ulil Abshar Abdalla sudah terang benderang. Media memberi tahu siapa ketiganya dari A sampai Z dalam wacana liberalisme di Indonesia.

Buku Fiqih Lintas Agama, rujukan pernikahan beda agama produk pemikiran liberal yang digagas Paramadina telah lebih dulu disiapkan jauh sebelumnya. Zuhairi Misrawi, salah seorang penulis buku ini bahkan memandang letak keberhasilan buku itu bukan pada cetak ulangnya, melainkan pada dilaksanakannya isi buku ini, di antaranya dengan mewadahi kawin beda agama.

Ada pula naskah Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang digawangi Musdah Mulia. Pada pasal 13 CLD KHI disebutkan bahwa asas perkawinan adalah monogami. Perkawinan yang dilakukan di luar asas sebagaimana pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum. Lalu, Pasal 54 CLD KHI dijelaskan bahwa pelaksanaan perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan.

Jika iseng diselisik produk hukum pasal 13 dan 54 model CLD KHI ini, maka poligami harus dinyatakan batal demi hukum sebab tidak sesuai dengan asas perkawinan yang monogami, padahal poligami bukanlah perkara yang dilarang atau diharamkan. Sedangkan larangan pernikahan beda agama yang jelas disebut dalam Alquran dinafikan begitu saja dengan memperbolehkan perkawinan orang Islam dengan bukan Islam. Jungkir balik logika fikih produk pemikiran liberal seperti telanjang bulat.

Begitulah.|

Dan, saya pun sedikit bersedih mengenangkan momen kedatangan wali buat meminta pandangan beberapa tahun silam yang saya bawakan dalam tulisan ini. Pada akhirnya, sang wali tidak berdaya. Saya dengar, putrinya tetap melangsungkan pernikahannya di gereja.

Kasus seperti ini banyak terjadi. Dengan berbagai alasan dan dalih, atas nama HAM, dan atas nama universalisme kemanusiaan serta atas nama cinta yang katanya tidak boleh dihalang-halangi. Katanya, bahkan dengan bahasa vulgar, Tuhan tidak berhak mengatur urusan kelamin manusia atas nama agama.

Kasus-kasus pernikahan seperti yang dibahas dalam webinar malam ini memang sering luput dari pandangan khalayak. Saking banyaknya, andaikata ada sebuah gudang buat menyimpan kasus-kasus serupa, bisa jadi, ia sudah tidak muat lagi buat menampung. Belum lagi kasus-kasus pernikahan sesama jenis, makin ramai saja dekonstruksi hukum perkawinan yang dipelopori paham kebebasan dari hari ke hari.

Maka, bagi generasi lurus yang tersisa, tetaplah memegang prinsip. Cinta memang berharga, tapi cinta bukan segalanya. Iman bisa jadi kau anggap biasa, tapi sesungguhnya, iman lah yang segala-galanya.

Bersahabat beda agama, mengapa tidak?
Menikah beda agama, nanti dulu!

Para wali, mengertilah.
Para gadis dan jejaka, mengertilah.|

ICMI DAN TRANSFORMASI MEDIA

Foto Credit: Gaya hidup digital ~ interaxiongroup.org

Transformasi

DAHULU sekali, asap punya kedudukan penting. Kepulannya punya makna tertentu. Untuk menyebut beberapa contoh seperti peradaban Yunani, Cina kuno, dan Suku Indian di Amerika, asap bukan sembarang asap. Ini yang pertama.

Kedua, merpati. Famili Columbidae dari ordo Columbiformes ini dianggap burung yang memiliki daya ingat yang kuat. Instink bisa kembali ke tempat asal juga akurat walaupun telah terbang mengelana dalam radius yang sangat jauh.

Dan ketiga, kentungan–orang kampung sekitar Depok menyebutnya “tong-tong”, pun sarat dengan values. Seperti asap dan merpati, kentungan punya peran penting sejak zaman kerajaan Demak, Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta. Itu berlangsung sudah lama sekali, pada akhir abad ke-15 silam.

Akan tetapi, zaman sudah berubah. Era asap, Merpati, dan kentungan sudah berakhir. Asap lebih banyak mengepul di ujung batang kretek atau cerobong-cerobong pabrik yang nihil pesan penting, kecuali sekadar “pseudo pleasure” bagi “ahli hisap” dan polusi udara.

Sebagai duta, merpati sudah pensiun. Sekarang, ia menjadi simbol “kasih” primordialisme tertentu. Beruntung jika jadi burung kesayangan atau petarung di arena adu ketinggian. Jika nahas, direndam di wajan dan minyak panas. Matanya tak lagi lucu, tapi kusam, sekusam nasib mata ayam dan bebek goreng bersebelahan yang sudah dilumuri sambal, dihias rumput kemangi dan potongan mentimun segar.

Kentungan, ia masih menyisakan sedikit peran di masjid-masjid dan surau-surau tradisional. Masih pula menggantung satu dua di pos siskamling. Itu pun lebih banyak berfungsi sebagai aksesoris saja, sebagai syarat pembeda pos siskamling dengan pangkalan ojek. Ia jarang berbunyi, kecuali saat dipukul orang iseng dan bunyinya tidak membawa pesan apa pun.

Transformasi telah menggerus ketiganya dari peran budaya di masanya.

Media dan Generasi Baru

“MEDIUS”–bahasa Latin, artinya tengah, perantara atau pengantar. Kata ini diserap menjadi “media” dalam bahasa Indonesia.

Asap, merpati, dan keuntungan adalah media komunikasi jarak jauh. Dahulu, asap yang membumbung bisa berarti pesan ajakan perang atau perdamaian suatu peradaban tua. Merpati dilatih manusia menjadi duta kerajaan, pengirim pesan jarak jauh seorang raja, atau kurir asmara dua sejoli yang kasmaran. Dan keuntungan, ia bisa mengumpulkan massa, mengumumkan tanda bahaya, tanda waktu, dan media bunyi-bunyian untuk komunikasi antar masyarakat paling kuno di nusantara dengan suara pukulan yang sangat komunikatif. Coba perhatikan makna pola bunyi kentungan berikut ini dengan memperhatikan lambang “0” berarti pukulan, dan “–” berarti jeda:

0 – 0 – 0 – 0, berarti berita kematian atau pembunuhan.

00 – 00 – 00 – 00, pesan ada pencuri masuk wilayah kampung.

000 – 000 – 000 – 000, pesan ada kebakaran.

0000 – 0000 – 0000 – 0000, pesan ada bencana alam.

00000 – 00000 – 00000 – 00000, pesan ada pencurian.

0 – 0 0 0 0 0 0 0 – 0, pesan bahwa kondisi aman.

Dalam konteks relasi sosial, media menjadi esensi masyarakat setiap zamannya. Menjadi bagian penting dan berdampak dalam pola dan tingkah laku masyarakat. Tak heran, media menjadi salah satu pelopor perubahan (agen of change). Bahkan, media melalui pesan atau informasi, hiburan, pendidikan, maupun pesan-pesan lainnya dapat mempengaruhi sikap dan persepsi masyarakat secara signifikan.

Hari ini, transformasi media sudah terlalu jauh meninggalkan era asap, merpati, dan kentungan. Dari ketiga media itu, kentungan boleh dikata yang paling mutakhir. Media ini masih dirasakan kehadirannya oleh orang Indonesia generasi Baby Boomer (lahir pada 1946-1964) dan generasi X (lahir pada 1965-1980). Boleh jadi, merekalah pegiat media sebagai pemukul kentungan untuk mengabarkan berbagai pesan.

Sekarang, masyarakat hidup di zaman media digital. Dengan perangkat teknologi serba canggih, media yang bisa menyajikan pesan dan berbagai informasi secara cepat, massif, dan mudah hasil rekayasa visual seperti pesan asap, audio seperti pesan kentungan, dan adventure seperti pengalaman merpati melanglang buana dalam satu momen.

Gawai dan media sosial sebagai media dari era digital hari ini, hampir berada di genggaman jemari tiap orang. Indonesia–menurut Sensus Penduduk 2020–dihuni 69,38 juta jiwa generasi milenial (25,87%) dan 74,93 juta jiwa generasi Z (27,84%), dua generasi yang paling akrab dengan media digital. Mereka itu generasi yang lahir pada 1981-2013, dekat dengan dunia maya, sudah mengenal teknologi, dan akrab dengan gadget sejak kecil.

Hegemoni Media Sosial Generasi Baru

HARI ini, mayoritas generasi milenial dan generasi Z Indonesia akrab dengan berbagai platform media sosial. Pengguna Media Sosial Aktif menyentuh angka 170 juta (61,8% dari jumlah populasi di Indonesia). Dari angka 170 juta itu, Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, dan Twitter menjadi yang paling populer digunakan. Rata-rata setiap hari, pengguna media sosial Indonesia melalui perangkat apa pun menghabiskan sekitar 3 jam, 41 menit. Demikian menurut rilis Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021.

Bila data ini dibaca dan dihubungkan dengan temuan Varkey Foundation (Generation Z : Global Citizen Survey, 2017) yang mencatat bahwa agama menjadi salah satu faktor penting kebahagiaan Generasi Z, Indonesia berada pada posisi teratas dengan angka sangat fantastik (93%). Angka ini jauh mengungguli Nigeria (86%), Turki (71%), dan Afrika Selatan (70%). Dari 20 negara yang menjadi sampel, Jepang menjadi negara yang paling skeptis menganggap agama sebagai sumber kebahagiaan (9%) di bawah Perancis (18%) dan Jerman (21%).

Tentu ini sangat menarik. Secara umum bisa disimpulkan, bahwa generasi Z Indonesia masih memandang agama sebagai faktor kebahagiaan hidup yang paling signifikan. Artinya, religiusitas generasi baru Indonesia masih belum jauh bergeser dengan generasi-generasi sebelumnya.

Survey ini memang memotret pendapat 5 tahun lalu. Akan tetapi, masih cukup relevan untuk melihat dinamika kehidupan generasi baru Indonesia dan persepsi beragama mereka di tengah hegemoni media digital dan media sosial. Fakta ini menjadi peluang sekaligus tantangan dalam proses transformasi di era digital, khususnya dalam membentuk sikap dan persepsi beragama kaum muda.

ICMI dan Peluang Transformasi di Era Digital

MEDIA apa saja, manual atau digital, ia bersifat netral. Akan tetapi, values dan muatannya tidak bisa dibiarkan netral. Nilai-nilai agama tidak bisa menganggap konten yang berdampak buruk yang diunggah di Youtube, Whatsapp, Instagram, Facebook, atau Twitter disebut netral. Apalagi bila dampak buruk itu menggerus nilai-nilai akhlak sebagai salah satu pilar Islam yang dijunjung tinggi.

Seperti pisau bermata dua, media digital punya sisi baik dan buruk. Ia bisa digunakan untuk mempengaruhi banyak pengguna pada kebaikan atau menjerumuskan pada hal-hal yang nista. Saya kira, salah satu agenda penting ICMI saat ini adalah mengambil peran dalam proses transformasi media digital yang menampilkan informasi yang bernilai edukasi, mencerahkan, dan hiburan yang sehat bagi generasi baru hari ini.

Untuk itu perlu gerakan membangun literasi media melalui seminar, workshop, atau program-program sebangun yang mendukung seperti pelatihan jurnalistik, writing skill, dan bagaimana memanfaatkan media sosial sebagai media dakwah, pendidikan, dan hiburan yang sehat khas cendekiawan.

Divisi Media, Komunikasi dan Humas ICMI Orda Depok rasanya punya kepentingan untuk menggarap segmentasi ini. Bagaimana juga, meskipun temuan Varkey Foundation di atas sangat menggembirakan, tidak dipungkiri dampak negatif media digital, khususnya media sosial tidak kalah mengerikan. Narasi-narasi kebencian, hoax, pornografi, blasphemy dan desakralisasi agama bertebaran di media sosial. Dan, itulah salah tantangan yang harus dijawab.

Semoga.

MUHAMMADIYAH ICMI DAN MEDIA

Foto Credit: Abdul Mutaqin

Hubungan Simbiotik

HARI ini, Minggu 20 Maret 2022 Pengurus ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia) Organisasi Daerah Kota Depok periode 2022-2027 dilantik di Hotel Savero, Depok. Beberapa kader Muhammadiyah Kota Depok masuk dalam jajaran pengurus di Dewan Penasihat, Dewan Pakar dan Divisi. 16 kader Muhammadiyah termasuk yang dilantik hari ini. Sebuah representasi proporsional bagi Muhammadiyah Kota Depok. Saya tercatat sebagai anggota pada Divisi Media, Komunikasi, dan Humas.

ICMI resmi dideklarasikan pada 1990. Kelahirannya waktu itu punya hubungan simbiotik dengan Muhammadiyah sebab beberapa tokoh Muhammadiyah turut membidani kelahiran ICMI, membesarkan, dan memberikan kontribusi signifikan kemajuan ICMI sampai hari ini.

Di belakang hari, pada awal-awal ICMI terbentuk, Muhammadiyah mengambil sikap mendukung di antara kelompok-kelompok yang meragukan serta anasir-anasir yang menganggap keberadaan ICMI sebagai ancaman bagi pluralitas bangsa, demokrasi, dan politik karena dipandang terlalu primordial.

Matahari Pertama

Muhammadiyah lebih tua 78 tahun dari umur kelahiran ICMI, lebih dahulu menjadi pencerah bangsa, dan lebih dahulu hadir di tengah umat menerjemahkan rahmatan lil alamin dengan ribuan AUM yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Dialah matahari pertama bangsa ini.

Muhammadiyah yang lebih tua itu bergembira seperti gembiranya seorang ayah menyambut kelahiran bayi laki-laki yang diidam-idamkan, calon cendekiawan masa depan penerus nasab dan intelektualitasnya. Bayi cendekiawan itu adalah ICMI. Dialah Matahari kedua. Tak heran, berbondong-bondong cendekiawan Muhammadiyah bergabung turut membesarkan ICMI agar bersinar seperti Muhammadiyah dalam spektrum kecendekiawanan yang lebih menukik.

Yang saya maksud dengan matahari di sini, bukan berangkat dari filosofi lambang, melainkan dari spirit mars dan hymne keduanya. Sebab, bila dilihat dari filosofi lambang, Persatuan Islam (Persis) yang didirikan pada 2 September 1923 di Bandung lebih pantas saya sebut sebagai matahari kedua umat di negeri ini.

Muhammadiyah, matahari pertama itu punya Mars. Bait pertamanya berbunyi, "Sang surya telah bersinar ..." Dan matahari Muhammadiyah masih benderang menyinari gerak langkahnya pada framework gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dalam wajah Islam Berkemajuan.

ICMI, matahari kedua, pun ingin seperti matahari Muhammadiyah. Pada bait pertama Hymne ICMI yang digubah oleh Rudy Achmad Fachruddin Fattah, syairnya dibuka dengan kalimat, "Laksana mentari pancarkan terang ..."

Sang Surya dan Mentari adalah satu wujud yang disimbolkan dalam syair, nada, dan oktaf mars dan hymne dua ormas. Wujud yang satu itu simbol universal, seperti sinarnya yang universal sebagai energi hidup setiap makhluk di muka bumi.

Peran KaderMu di ICMI

Masuknya kader-kader Muhammadiyah di ICMI Orda Depok tentu punya nilai strategis. Pertama, bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi kaum terpelajar punya banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Karena itu, dunia kecendekiawanan bukan domain asing bagi Muhammadiyah. Boleh dikata, pada domain ini Muhammadiyah sudah fasih berkiprah, baik sebagai lembaga maupun perorangan meskipun kapasitas kecendekiawanan masing-masing individu yang masuk jajaran pengurus punya porsi sendiri-sendiri.

Kedua, di kota Depok, Muhammadiyah sudah mengambil peran keumatan dan kebangsaan yang signifikan. Maka, tinggal bagaimana signifikansi peran itu dipindahkan ke rumah ICMI dengan atau tidak membawa nama Muhammadiyah dengan tetap menjaga kualitas dan karakter ke-Muhammadiyahannya yang autentik.

Ketiga, sebagai rumah baru yang ditempati dari berbagai elemen ormas, akan terjadi tarik menarik kepentingan tentu sebuah keniscayaan. Asalkan masih dalam semangat kebersamaan, mengedepankan akhlak dan etika organisasi, serta menjaga nilai-nilai ukhuwah, maka setiap elemen ICMI, termasuk Muhammadiyah punya hak yang sama untuk menempati posisi penting dan mewarnai pada level kebijakan dan aksi.

Maka, sudah sepantasnya kader-kader Muhammadiyah bukan sekadar bersedia dilantik hari ini, tapi sungguh-sungguh menampilkan peran terbaiknya di ICMI. Belajar dan terus belajar, membuka diri dan wawasan, kolaboratif, dan menjaga marwah persyarikatan tentu harus menjadi spirit berkiprah.

Senjata Media

Hari ini, media menjadi senjata paling ampuh untuk menguasai berbagai lini kehidupan dan kepentingan baik kelompok maupun perorangan. Bila diibaratkan sebagai pertempuran, menguasai media hari ini, sama halnya sudah memenangkan separuh pertempuran.

Anda tentu ingat sosok Nayirah Al Sabah, gadis berusia 15 tahun yang menangis di depan Congressional Human Right Caucus (CHRC). Nayirah memberikan kesaksian bahwa ia melihat tentara irak memindahkan ratusan bayi Kuwait dari inkubator dan membiarkan mereka mati di lantai-lantai rumah sakit.

"Saya melihat tentara Irak memasuki rumah sakit sambil menenteng senapan. Mereka merenggut bayi-bayi itu dari inkubator dan membiarkan anak-anak itu tewas di lantai yang dingin. Itu sangat mengerikan," kata Nayirah sambil berurai air mata, seperti dikutip di berbagai media online.

Presiden AS saat itu, George H. W. Bush, mengulang mengutip kesaksian Nayirah tentang cerita inkubator berkali-kali dalam pidatonya untuk memojokkan rezim Saddam Hussein sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan. Tujuh senator dalam perdebatan Senat AS secara khusus mengutip sebanyak tujuh kali kisah kekejaman bayi yang direnggut dari inkubator itu. Senat menyetujui tindakan militer AS untuk memaksa Saddam keluar dari Kuwait. Maka, keputusan pun diambil George H. W. Bush dan sekutu-sekutunya. Irak dihabisi.

Hoax Amunisi Media Jahat

Mata kita terbelalak. Hampir setengah juta rakyat sipil tewas di Irak akibat perang sejak invasi pasukan Amerika Serikat pada 2003 hingga pertengahan 2011. Nayirah dan media lah pemicunya di belakang layar. Baghdad, pusat peradaban masa keemasan Islam era Daulah Abbasiyah luluh lantak untuk kali kedua setelah serangan barbar Hulagu Khan yang membumihanguskan Baghdad pada 1258 M silam. 

Setelah perang berakhir, fakta mengejutkan terkuak. Pertama, media lah corong propaganda yang berhasil menciptakan opini bahwa senjata pemusnah massal merupakan alasan pemicu invasi Amerika atas Irak. Lalu, banyak orang dipaksa percaya opini media itu. Akan tetapi, setelah perang usai, Amerika mengaku tidak menemukan setetes pun senjata pemusnah massal di Irak.

Kedua, upaya Citizens for a Free Kuwait menarik simpati publik Amerika agar mendukung intervensi militer ke Kuwait melalui Nayirah berhasil. Ditengarai, Citizens for a Free Kuwait menandatangani kontrak senilai 10 juta dollar AS dengan perusahaan public relation terkemuka Amerika, Hill & Knowlton. Hill & Knowlton membuat skenario melalui gadis Kuwait berusia 15 tahun bernama Nayirah. Nayirah dilatih oleh Hill & Knowlton untuk menceritakan kisah palsu kekejaman tentara Irak merenggut bayi-bayi Kuwait dari inkubatornya di hadapan Kongres AS. Nayirah dan air matanya berhasil memainkan peran dengan sangat meyakinkan.

Ketiga, Nayirah tidak lain adalah putri Sheikh Saud Nasser Al-Saud Al-Sabah, Duta besar Kuwait untuk Amerika Serikat yang belajar akting di Hill & Knowlton.

Di sini bisa disimpulkan, sebuah negara bisa dihancurkan oleh bangunan opini yang digawangi media dalam mengemas berita bohong dan konspirasi politik. Sempurna. Dalam sekejap, sisa-sisa peradaban Islam yang sangat kaya, hancur lebur karena permainan tangan-tangan kotor yang menguasai media.

Sebagai anggota Divisi Media, Komunikasi Dan Humas, terbayang di benak saya signifikansi peran media bagi ICMI. Bagaimana saya harus berbuat, tentu masih menunggu langkah berikutnya setelah pelantikan.

Bismillah.

SECANGKIR KOPI UNTUK KADERMU DAN CENDEKIAWAN



Foto Credit: www.kibrispdr.org

Bercanda

“Ini, enggak salah?”

Begitu hati saya bergumam. Saya ulang lagi membaca pesan WA yang dikirim Ketua KMMD (Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok) sebelas hari yang lalu. Saya sangka, pesan itu salah alamat. Substansi pesan itu terlalu tinggi. Itu bukan “maqom” saya. Biar orang lain saja yang mengisi pos-pos yang dibutuhkan itu.

Hanya saja, karena sedang diburu waktu menyiapkan satu naskah buku yang harus rampung di awal April, apalagi tugas-tugas di madrasah dan perpustakaan sudah mengantre untuk diselesaikan, jadilah pesan penting itu seolah menguap. Seperti uap dari secangkir kopi panas yang disapu angin, lenyap naik ke atmosfer tak terbaca lagi.

Rupanya, pesan WA sebelas hari yang lalu itu ternyata serius. Tadi malam sekitar pukul 20.46, masuk lagi pesan yang jumbuh dengan pesan pertama itu. Kali ini, bahkan pesan disertai undangan. Berarti, Kiai Irfan (Ketua KMMD) tidak sedang bercanda. Ini beneran.

Cendekiawan

Dimasukan dalam list 10 kader terbaik Muhammadiyah yang dititipkan untuk masuk dalam barisan cendekiawan, kening saya mengembun. Kader yang sembilan itu, tentulah amat pantas disebut cendekiawan, lha, saya?

Badan pun terasa meriang bak kebanyakan “makan angin”.

Cendekiawan itu domainnya orang cerdik pandai; orang intelek; orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Begitulah definisi cendekiawan yang saya tahu dari membaca KBBI.

Dalam makna yang lebih luas, seorang cendekiawan adalah pemikir. Seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam pencarian kebenaran lalu sungguh-sungguh menegakkan kebenaran. Yang lebih penting ia berani memperjuangkan kebenaran itu meskipun menghadapi tekanan dan ancaman.

Berat ini, berat.

Samar-samar, melintas wibawa wajah Ayahanda Idrus Yahya. Ia seperti sengaja hadir di benak dan “menjewer” sayang saya sambil berkata :”Nggak boleh begitu. Inferior bukan karakter kader Muhammadiyah.”

Dan saya menelan ludah.

Setelah bayangan wajah Ayahanda menghilang, menyusul bayangan “Kiai Dahlan Muda”. Janggutnya yang lebat membuat iri janggut saya yang meranggas. “Mata pena sudah ditorehkan. Jangan begini-begitu!” Ucap “Kiai Dahlan Muda” itu masih dalam benak saya.

“Kiai Dahlan Muda” itu adalah orang yang bersama saya merasakan Maha Sayang-nya Allah pada kami berdua saat kami terlentang di badan mobil yang terbalik saat hendak menjemput anak dari pondoknya di Bantul. Mata “Kiai Dahlan Muda” itu seakan berbicara menghipnotik. Lalu, ada keberanian yang menyeruak. Dan saya sudahi lamunan dengan merespons, “Njih, Kiai.”

KaderMU ICMI Depok

Kelahiran ICMI bukanlah proses instant. Jauh sebelumnya, pada 1964 sudah dibentuk Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) yang dimotori oleh 100 orang sarjana Muslim. Banyak yang menganggap, Persami sebagai embrio ICMI di belakang hari. Saat itu, Muhammadiyah melalui H.M Sanusi (anggota PP Muhammadiyah) turut berperan membidani Persami. Namun, Persami lumpuh karena konflik internal. Sementara ISKI (Ikatan Sarjana Kristen Indonesia ) dan PIKI (Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia) sudah mapan sejak 1958.

Dalam sejarah kelahiran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia) pada 7 Desember 1990 di Malang, Muhammadiyah termasuk pihak yang menyambut positif dan menaruh harapan besar akan kehadirannya. Tidak sedikit cendekiawan Muhammadiyah bergabung sebagai bentuk dukungan dan harapan pada ICMI. Konon, bahkan rencana untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muhammadiyah digagalkan. Muhammadiyah mengambil langkah mengintegrasikan saja rencana itu ke dalam ICMI.

Bisa jadi sikap Muhammadiyah ini karena dua tokoh Muhammadiyah; M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar lah bersama Imaduddin Abdul Rahim (pendiri Masjid Salman ITB) yang mempertemukan Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal, mahasiswa Unibraw yang menggagas simposium “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Dari simposium itu kemudian lahirlah ICMI dan Prof. B.J. Habibie menjadi Ketua Umumnya hingga tahun 2000.

Kehadiran ICMI waktu itu memang direspons beragam berbagai kalangan. Selain Muhammadiyah, ada kelompok-kelompok skeptis yang meragukan ICMI. Ada pula kelompok yang menaruh curiga dan menganggap ICMI sebagai ancaman seperti analisis sejarawan Kuntowijoyo dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam.

Barangkali karena akar sejarah ICMI tidak lepas dari peran beberapa tokoh Muhammadiyah, maka Muhammadiyah Depok memandang perlu kader-kadernya mengambil bagian untuk berkiprah. Barangkali juga, dengan alasan itu pula nama saya dicantumkan. Sejujurnya yang saya keluhkan, saya bukanlah apa-apa dan masih terseok-seok untuk disebut sebagai “kader terbaik” Muhammadiyah.

Undangan Pelantikan

Sebab “Mata pena sudah ditorehkan. Jangan begini-begitu!” seperti dalam dialog imajiner saya dengan “Kiai Dahlan Muda” di atas, saat undangan pelantikan saya terima, cuma “Bismillah” bekal untuk memanggul amanah ini. Andaikata dalam perjalanannya nanti saya sanggup memikulnya, akan saya tuntaskan. Akan tetapi bila saya tak sanggup karena kapasitas yang tidak cukup, saya tak ragu untuk menyatakan mundur.

Dalam surat undangan pelantikan, saya tercatat sebagai Anggota Divisi Media, Komunikasi dan Humas ICMI Orda Depok Periode 2022-2027. Divisi ini tidak presisi dengan basic pendidikan saya di Fakultas Tarbiyah. Akan tetapi, bidang ini masih beririsan dengan kompetensi keguruan yang saya geluti meskipun spesifik pada media pembelajaran dan komunikasi pendidikan. Jadi, meskipun remang-remang, masih bisa ditaksir ke mana arah divisi ini bekerja. Tentu saja, dukungan dari kader-kader Muhammadiyah Kota Depok, remang-remang itu menjadi cerah, sebagaimana Muhammadiyah yang selalu menjadi “Sang Pencerah”.

Akhirnya, bismillah, kopi sore ini saya sruput, sambil menunggu pelantikan beberapa hari lagi.

KRISTENISASI; MASALAH KLASIK YANG SELALU BARU





Foto Credit: Aho’ Khoironi/PWMU.CO

PAGI hari ini, Rabu 09 Maret 2022, salah seorang anggota Grup WA KMMD (Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok) memosting video berisi dugaan aksi kristenisasi. Ini isu sensitif sebenarnya. Hanya saja, isu kristenisasi merupakan persoalan klasik, masalah tua yang tidak akan pernah mati. Saya rasa, kristenisasi baru berhenti apabila penduduk bumi sudah jadi Kristen semua, sudah masuk dalam daftar orang yang diselamatkan dalam versi gereja. Bukankah demikian seperti pesan dalam “Extra Ecclesiam Nulla Salus”, bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan?

Kristenisasi itu sendiri dipandang sebagai bagian dari Misi. David. J Bosch menegaskan bahwa Misi berarti penyebaran iman, perluasan pemerintahan Allah, dan pendirian jemaat-jemaat baru. Oleh ACMC (Advancing Church Mission Commitment ), makna Misi diuraikan dalam definisi yang lebih operasional. Konon, definisi ini disepakati oleh kira-kira 170 orang pimpinan gereja dan badan-badan Misi.

Dikatakan ACMC, pertama, bahwa Misi adalah setiap usaha yang ditujukan dengan sasaran untuk menjangkau melampaui kebutuhan gereja dengan tujuan untuk melaksanakan Amanat Agung dengan menyatakan kabar baik dari Yesus Kristus, menjadikan murid, dan dikaitkan dengan kebutuhan yang utuh dari manusia, baik jasmani maupun rohani.

Kedua, gereja yang aktif dan sehat adalah gereja yang mengambil sikap agresif dalam penginjilan sedunia, di mana setiap anggota jemaat melihat dirinya sebagai komponen kunci dalam menggenapi Amanat Agung dan memobilisasi sumber-sumber dayanya semaksimal mungkin untuk tugas ini.

Militansi Para Penginjil


Dogma “Extra Ecclesiam Nulla Salus” dan beberapa ayat Bibel menjadi dasar teologis yang mendorong para penginjil giat melakukan kristenisasi dengan berbagai cara. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman,” adalah Matius 28:19-20 yang menjadi dasar para penginjil menjalankan misi. Demikian pula pesan dalam Matius 28: 30 ditegaskan, “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.”

Maka tidak heran, misi kristenisasi tidak mengenal wilayah teritorial. Pada kasus nusantara, Dr. Kurt Koch menduga, Penginjil Thomas yang menjalankan misi di India mungkin saja berlayar ke wilayah Indonesia bersama para pedagang India. Masa inilah yang disebut para sarjana Kristen sebagai periode “bapak-bapak Kristen awal”.

Teori lain menyebut, Portugis dengan Katoliknya adalah bangsa Eropa pertama yang berhasil mendaratkan perahu-perahunya di Maluku pada abad ke-16 lalu melebarkan ekspansinya ke Goa dan Malaka kemudian menjadikannya sebagai wilayah pusat misi Kristen di nusantara paling awal. Portugis menancapkan simbol salib di setiap daerah di mana mereka berlabuh. Berdirilah gereja pertama di Maluku pada 1522. Beberapa waktu kemudian, didatangkanlah sejumlah misionaris dari India untuk mengajarkan Injil.

Alwi Shihab, dengan mengutip H. Berkhof, menyatakan bahwa misionaris paling awal dan paling populer adalah Francis Xavier (1506-1552). Xavier tergabung dalam Society of Jesus. Sejak kelahirannya, ia dipanggil sebagai “Rasul untuk orang-orang Indonesia” karena dianggap sukses menjalankan misinya di Maluku dan Ternate. Dalam pengakuannya, Xavier menulis, “(jika) selusin saja setiap tahunnya para pendeta datang ke sini dari Eropa, maka gerakan Islam tidak akan bertahan lama dan semua penduduk kepulauan Indonesia akan menjadi pengikut agama Kristen".

Pada masa kolonial Belanda, Protestan dengan dukungan penuh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak pula ketinggalan buat menjalankan Misi Kristenisasi. Tidak kurang dari 245 pendeta disebar ke Hindia Belanda, terutama ke daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol di Maluku, Minahasa, dan lain-lain dalam misi Kristenisasi.

Akan tetapi, sasaran utama Misi Kristenisasi Belanda adalah Jawa seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Jawa dipandang paling mudah dikristenkan berdasar asumsi para misionaris begitu mudahnya Islam diterima masyarakat Jawa melalui pintu sinkretik yang kental. Terbukti, dari sekian banyak daerah yang menjadi sasaran Kristenisasi, wilayah Jawa menuai sukses luar biasa yang tidak bisa ditandingi keberhasilan misi Kristenisasi di wilayah Islam manapun.

Respons KH. Ahmad Dahlan

Dua tahun sebelum Muhammadiyah didirikan, adalah Alexander Willem Frederik Idenburg, Gubernur ­Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1909-1916, ­secara langsung menegaskan posisi dan tujuan Belanda menduduki Hindia Belanda. Sang Gubernur berkata menegaskan Belanda untuk“... tidak meninggalkan Hindia-Belanda sebelum mereka mengubahnya menjadi sebuah negara kristen”.

Bisa jadi, atas pernyataan provokatif Idenburg ini, semangat keagamaan Kiai Dahlan ­menyala-nyala. ­Didirikanlah ­Muhammadiyah oleh beliau sebagai salah satu respons nyata umat Islam terhadap ­tujuan-tujuan Belanda, khususnya ­zending, yaitu organisasi-organisasi yang menyebarluaskan ­agama Kristen Protestan ke mana dan kapan pun juga. Memang, Gubernur ­Jenderal ­Idenburg ­dengan persetujuan Susuhunan PB X dan Sri Paduka Mangkunegara VII, memberikan izin permohonan ­kegiatan pekabaran Injil secara resmi di Surakarta. Surakarta resmi terbuka untuk pekabaran Injil sejak tahun 1910. Zending der ­Gereformeerd Kerken ­kemudian mengutus Pendeta ­zending Huibert Antonie van Andel.

Kiai Dahlan menilai adanya rencana politik Kristenisasi dari pemerintah Belanda untuk kepentingan politik kolonialismenya. Di mata Kiai Dahlan, Belanda sengaja membangun konspirasi melalui kebijakan-kebijakan yang seolah netral agama, tapi dibalik itu semua mereka menjalankan misi ingin mengkristenkan pribumi.

Bagi Kiai Dahlan, kebijakan-kebijakan Belanda pada dasarnya adalah upaya penjajah untuk membendung laju pertumbuhan Islam dengan memantau dan membatasi kegiatan pengamalan ajaran Islam penduduk pribumi. Lalu, Belanda dengan lembaga zending-nya melakukan Kristenisasi kepada penduduk pribumi dengan berbagai cara seperti membuat sekolah, menerjemahkan Alkitab (ke dalam bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda), melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempat seperti memakai blangkon, memakai pakaian Jawa, memberikan lapangan pekerjaan melalui penyediaan lahan pertanian, dan lain sebagainya.

Maka, pada periode awal Muhammadiyah didirikan, persyarikatan ini merupakan respons Kiai Dahlan atas maraknya kristenisasi di Jawa. Kristenisasi harus dilawan. Dan, Kiai Dahlan melawannya dengan akal sehat, bukan dengan perlawanan fisik konfrontatif. Maka, lahirlah dari rahim Muhammadiyah sekolah-sekolah, rumah jompo, rumah sakit, panti yatim, dan berbagai amal usaha dalam bidang sosial budaya untuk mengcounter misi Kristenisasi di Jawa khususnya, dan Indonesia umumnya.

Cara Cerdik Pak AR Fachrudin

Pak AR (sapaan akrab Pak AR Fachrudin) adalah Ketua PP. Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo pada 1969, Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang pada 1971, Muktamar ke-40 tahun 1978 di Surabaya, dan Muktamar ke-41 tahun 1985 di Surakarta. Di balik “kejenakaan”-nya yang populer itu, Pak AR termasuk yang amat prihatin atas fenomena Kristenisasi di tanah air.

Saat kunjungan Paus Yohanes Paulus II yang berlangsung 9 sampai dengan 14 Oktober 1989 ke Indonesia, beberapa kota seperti Jakarta, Jogjakarta, Medan, dan Maumere disambangi Sri Paus. Pak AR pun mengambil sikap. Pak AR menyempatkan menulis surat untuk Sri Paus. Surat Pak AR diberi judul ”Sugeng Rawuh, Sugeng Kondur” (Selamat Datang, Selamat Jalan). Ditulis dalam bahasa Jawa halus, kromo inggil. Surat itu berisi rasa hormat Pak AR pada Sri Paus yang dibarengi dengan rasa prihatin yang mendalam atas fenomena Kristenisasi di Indonesia.

Surat dengan sampul bergambar ilustrasi wajah Pak AR dan Sri Paus itu dicetak 2000 eksemplar. Surat itu lalu disebarkan kepada warga Katolik. Dikirim ke Akademi Kateketik di Jalan Ahmad Jazuli, koran Kedaulatan Rakyat, dan koran Bernas.

Pak AR menilai, kedatangan Sri Paus merupakan kesempatan emas untuk mengangkat isu kerukunan beragama di Indonesia yang pelaksanaannya tidak benar. Oleh karena itu, meski sedang beristirahat di rumah sakit, Pak AR tetap melakukan dakwah; memikirkan dan membela umat melalui surat. Indonesia adalah negara yang penduduknya sudah beragama Islam. Maka hemat Pak AR, jangan rakyat menjadi objek Kristenisasi yang dilakukan kalangan Katolik secara tidak gentle. Hebohlah orang Katolik dan Kristen. Akan tetapi, terbetik kabar dari orang Timor Timur, konon Sri Paus sangat berterima kasih pada Pak AR atas surat untuknya itu.

Pada kesempatan berbeda, satu kali, Pak AR pernah didatangi beberapa mahasiswa yang ngekos di sekitar Kali Code, Yogyakarta. Mereka mengadu, membawa kabar tengah ada program kristenisasi. Kata mahasiswa itu, seorang pastur datang tiap hari Ahad ke wilayah itu memberikan pengajaran pada anak-anak dengan menyelipkan misi Kristen. Sang pastur juga kerap membagi-bagikan permen dan buku tulis. Anak-anak senang dan sangat tertarik.

Pak AR mendengarkan dengan khidmat lalu membuka dialog.

“Kalau begitu apa yang sudah kalian lakukan?” Tanya Pak AR.

“Kami belum bisa apa-apa. Belum ada yang kami lakukan,” jawab mereka.

Pak AR menyelisik, menanyakan lagi apakah ada di antara mahasiswa itu yang bisa bernyanyi, memainkan gitar, membuat mainan dari kertas, mengajar berhitung, mendongeng, dan mengaji. Mahasiswa itu menjawab bisa.

Pak AR tersenyum. “Kalau begitu, biarkan Romo pastur datang setiap hari Ahad. Senin, kalian ajak anak-anak bikin mainan kertas, Selasa kalian ajari berhitung, Rabu kalian ajari menyanyi sambil maen gitar, Kamis kalian ajari mendongeng, Jum’at kalian ajari mengaji, Sabtu kalian ajari bahasa, sejarah, atau terserah kalian. Urusan permen dan buku bagian saya. Silakan ambil besok. Program dimulai minggu depan,” kata Pak AR menutup perbincangan.

Mahasiswa itu terperangah bercampur senang dengan buah pikir Pak AR. Mereka setuju dan siap menjalankan misi. Lalu, sebelum mahasiswa-mahasiswa itu pulang, Pak AR menitip lagu “Topi Saya Bundar” untuk diajarkan pada anak-anak dengan syair yang sudah diubah.
Tuhan saya satu, satu Tuhan saya, kalau tidak satu, bukan Tuhan saya.
Sebulan berlalu sudah. Para mahasiswa datang lagi menjumpai Pak AR. Mereka mengabari bahwa Romo pastur sudah tak berkunjung lagi. Pak AR tersenyum lalu menasihati mereka supaya kegiatan itu jangan berhenti. Pengajian, menyanyi, mendongeng, berhitung, bahasa, dan membuat mainan kertas harus tetap berjalan. 

Cerita tentang kristenisasi di Kali Code pun pudar. Sebuah kecerdikan melawan kristenisasi dengan anggun ala Pak AR. Pantas saja, banyak orang merindukan sosok Pak AR di persyaikatan yang kian bertambah usia.

Rasanya, para da’i, mubaligh, dan ulama persyarikatan harus lebih sigap menghadapi fenomena kristenisasi ke depan. Perlu ada kursus-kursus kristologi untuk memberikan insight agar para kader dakwah Muhammadiyah siap secara keilmuan dan kecerdikan meskipun tidak secerdik Pak AR. Hmm. Kristenisasi, memang masalah klasik yang selalu baru.

Salam sehat selalu.|