BUNGKUS GORENGAN


Bu Nuril keluar dari ruangan Pak Kusnadi dengan muka memerah. Pikirannya tertuju pada satu orang yang disangkanya dalang dari bocornya laporan keuangan studi wisata itu. Jari jemarinya lalu dengan cepat menekan nomor-nomor pada keyboard ponselnya.

PAK Gusnadi memanggil Bu Nuril ke ruangannya. Mukanya memerah menahan kesal.

“Mengapa bisa begini, Bu Nuril? Ibu bilang laporan keuangan aman!”

Pak Gusnadi mengingatkan Bu Nuril, bila mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan masalah ini, bukan tidak mungkin yayasan akan mencabut mandat mereka sebagai kepala dan wakil kepala sekolah.

Bu Nuril tidak menjawab. Mau menjawab apa, sebab mereka berdua yang merancang laporan keuangan itu.

“Bisa jadi, bukan cuma jabatan kita yang akan dicopot, Bu Nuril. Bagaimana kalau kita dipecat dari Budi Mulia?”

“Tapi, selisih uang itu bukan untuk kita sendiri kan, Pak? Separuh kita distribusikan pada teman-teman panitia sesuai keringat mereka masing-masing.”

“Itu pula jawaban yang saya sampaikan kemarin.”

“Terus, apa masalahnya?”

“Masalahnya, Bu Retno bertanya, mengapa panitia tidak mengajukan tambahan honorarium saja daripada memasukan angka tidak sesuai dengan pengeluaran? Kuitansi pun sempat ditanyakan Bu Retno.”

Bu Nuril keluar dari ruangan Pak Kusnadi dengan muka memerah. Pikirannya tertuju pada satu orang yang disangkanya dalang dari bocornya laporan keuangan studi wisata itu. Jari jemarinya lalu dengan cepat menekan nomor-nomor pada keyboard ponselnya.

Bolak-balik Bu Nuril menempelkan ponsel di telinganya. Menekan kembali tombol call berkali-kali. Rupanya panggilannya tak juga dijawab. Bu Nuril tampak gusar. Lalu, jari jemarinya bergerak lagi, lebih cepat, lebih panjang dari sekadar menekan nomor kontak orang yang hendak dia hubungi. Beberapa saat kemudian, jempol Bu Nuril sudah mendahului mengirimkan pesan WhatsApp sebelum hati dan pikirannya berbicara memberi pertimbangan.

Bu, apa maksudnya ini? Inikah maksud Ibu ingin belajar membuat laporan keuangan yang aman dengan mengadu pada yayasan? Jika Ibu ingin kembali ke Budi Mulia, bukan begini caranya. Ibu pikir saya takut, terus dipecat gara-gara hal sepele ini? Tidak, Bu. Saya kenal baik dengan orang-orang yayasan.

Memang, tidak punya pekerjaan tetap itu sangat menyiksa. Saran saya, mengapa tidak berjualan sayur keliling keluar desa Makmur? Sayuran melimpah di sini. Ibu bisa ngutang dulu pada petani. Menyedihkan memang. Tapi, jangan gengsi, Bu. Meskipun Ibu sarjana computer programming, tak ada salahnya mencoba merintis jadi “pengusaha” sayuran. Oh, iya. Tolong sediakan waktu, saya ingin bertemu dan memberi pelajaran yang setimpal atas cara norak ibu mengadu pada yayasan! Saya tunggu!
Centang satu. Centang dua. Centang dua warna biru.

Bu Nuril tak berkedip memandangi layar ponselnya. Berharap ada respon. Namun, respon balasan tidak kunjung ia terima. Bu Nuril berpikir, bisa jadi karena orang yang menerima pesannya tidak punya alasan atau takut untuk merespon.

Sampai seharian, Bu Nuril tidak juga mendapat respon. Dia kesal. Ditekan kembali nomor yang sama. Lagi-lagi panggilannya tidak dijawab. Bu Nuril bertambah kesal. Beberapa saat kemudian, ada pesan masuk ke ponselnya. Bu Nuril berharap itu pesan yang dia tunggu-tunggu. Akan tetapi, lagi-lagi Bu Nuril kesal. Pesan masuk itu dari Pak Gusnadi.
Pertemuan rutin bulanan dengan yayasan mendadak dimajukan. Barusan saya dihubungi Pak Suyudi. Yayasan mengundang silaturahmi dengan seluruh guru dan karyawan Budi Mulia Sabtu depan. Bu Retno mengundurkan diri karena alasan kesehatan.
Bu Nuril menghubungi Pak Gusnadi menanyakan apa yang harus dia lakukan untuk pertemuan itu. Dia juga ingin tahu sikap akhir yayasan mengenai laporan keuangan yang kemarin dipersoalkan.
Baik, Pak.
Bu Nuril ingatkan saja semua guru, jangan sampai ada yang tidak hadir. Ini acara penting yayasan. Jangan lupa seragam. Pakai seragam batik cokelat Budi Mulia.
Kalau boleh tahu, sikap resmi yayasan soal laporan keuangan itu bagaimana?
Pak Gusnadi menarik napas.
Segala transaksi pengadaan barang kebutuhan kepanitiaan dari pihak ketiga akan ditangani langsung bendahara yayasan untuk menjaga iklim transaksi yang sehat. Panitia hanya punya wewenang mengajukan alokasi honorarium panitia. Ini berlaku untuk semester depan dan seterusnya.
Bu Nuril terdiam. Dalam diam itu, pikirannya melintas pada orang yang dia duga telah sengaja membocorkan laporan keuangan itu pada yayasan. Sekarang, dia merasa perlu masalah ini harus dibicarakan dengan Pak Gusnadi.
Maaf, Pak. Sepertinya ada orang ketiga yang membocorkan laporan keuangan itu pada yayasan. Saya tahu siapa orangnya.

Saya juga tahu.
Bu Nuril terhenyak.
Kalau begitu, sebaiknya kita selesaikan, Pak.

Tidak perlu. Masalah ini dianggap Bu Retno sudah selesai.

Syukurlah kalau masalah ini oleh yayasan sudah dianggap selesai. Tapi dengan pihak yang membocorkan laporan itu kepada yayasan, saya rasa belum. Menurut saya, orang ini sudah lompat pagar mencampuri urusan intern Budi Mulia. Dia sudah merusak reputasi kita.” Ucap Bu Nuril kesal sambil menyebut pihak ketiga yang dia maksud.

Bukan!Vendor kaus seragam studi wisata yang melaporkan.
Bu Nuril terkesiap.

Pak Gusnadi lalu mengulang cerita Bu Retno, bahwa sebelum dia diminta bertemu yayasan, pemilik konveksi menghubungi Bu Retno melalui nomor kontak yayasan yang tertera pada kop laporan. Kronologisnya bermula dari pemilik konveksi membeli gorengan. Dia terkejut mendapati informasi pada kantong kertas gorengan yang dibelinya. Ternyata itu bagian dari dokumen laporan keuangan panitia studi wisata Budi Mulia. Dalam laporan itu disebutkan nama konveksi miliknya sebagai rekanan penyedia seragam.
Ada tanda tangan kita dalam dokumen kantong gorengan itu.
Perasaan Bu Nuril berubah menjadi gelisah.

Pak Gusnadi melanjutkan penjelasannya.

Pemilik konveksi terkejut, ada selisih transaksi yang cukup besar antara harga beli dengan angka yang tertulis dalam laporan. Pemilik konveksi bukan hendak menuntut, tapi meminta penjelasan mengapa ini bisa terjadi. Sebab katanya, ini menyangkut reputasi konveksinya bertalian dengan kualitas barang dengan harga yang tidak sepadan. Harga yang tertera dalam laporan adalah harga untuk kualitas bahan eksklusif, sementara harga transaksi dengan Budi Mulia adalah kaus dengan bahan biasa.
Rasanya kok, seperti kebetulan ya, Bu Nuril. Pemilik konveksi itu kolega Bu Retno. Mereka dahulu sama-sama relawan. Dan, reputasi kita hampir benar-benar tamat gara-gara angka di balik bungkus gorengan itu.
Wajah Bu Nuril memucat. Jantungnya berdetak cepat saat Pak Gusnadi meminta Bu Nuril mencari tahu, siapa yang sudah bertindak ceroboh menjual berkas-berkas dan kertas tak terpakai Budi Mulia kepada tukang loak. Sebab, pangkal persoalan yang tengah membelit mereka berdua ada di sana.
Halo! Halo, Bu Nuril! Halo!

DALAM kata sambutannya, Bu Retno menyampaikan ucapan terima kasih kepada pengurus yayasan, karyawan, pendidik dan tenaga kependidikan yang telah membersamainya sejak Budi Mulia berdiri. Kepada pendidik dan tenaga kependidikan yang baru beberapa tahun belakangan bergabung pun, Bu Retno juga menyampaikan ucapan terima kasih yang setara.

Pada kesempatan itu pula, Bu Retno menyilakan Pak Suyudi yang dipanggilnya “Pak Yudi” untuk membacakan Surat Keputusan Yayasan Budi Mulia tentang penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dengan masa tugas terlama. Masing-masing mendapat penghargaan satu unit rumah untuk masa pengabdian 25 tahun, haji untuk masa pengabdian 20 tahun, dan satu unit sepeda motor untuk untuk masa pengabdian 15 tahun. Seluruh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan juga mendapat kenaikan gaji dan tunjangan yang dihitung berdasarkan rasio masa pengabdian.

Yayasan juga memberikan penghargaan kepada peserta didik, Pak Gusnadi, dan guru pembimbing yang telah mengantarkan Budi Mulia meraih peringkat kedua pada Kompetisi Sains Nasional-Provinsi (KSN-P). Pak Gusnadi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S-2. Sedangkan peserta didik yang tergabung pada tim KSN-P Budi Mulia mendapatkan masing-masing satu unit laptop dan gratis biaya SPP selama setahun. Sedangkan penghargaan untuk guru pembimbing KSN-P tidak disebutkan dalam surat keputusan itu.

“Hari ini saya mundur dengan hati lega.”

Dari atas podium, Bu Retno menyebutkan alasan pengunduran dirinya. Masalah kesehatan dan usia tidak memungkinkan lagi baginya memimpin yayasan. Namun, dia senang sekali karena orang yang akan menggantikannya adalah sosok yang tepat, masih muda, cerdas, dan energik untuk masa depan Budi Mulia.

Pada kesempatan itu pula, Bu Retno menyinggung soal Tika Pratiwi. Bu Retno tahu, banyak pendidik dan tenaga kependidikan Budi Mulia saat ini penasaran seperti apakah wajah Tika Pratiwi, sosok yang menginspirasi mereka bekerja di Budi Mulia.

“Saya sangat beruntung pernah mengenal Tika Pratiwi,” lanjut Bu Retno.

Bu Retno menceritakan soal Tika Pratiwi yang disebutnya sebagai sahabat yang lebih dia hormati setelah mereka sama-sama mendirikan Budi Mulia.

“Dan hari ini, melalui Pak Gusnadi, Tuhan mempertemukan saya kembali pada sahabat saya yang lain, Nida Farhana. Saya, Tika Pratiwi, dan Nida Farhana sama-sama relawan yang dikirim ke Afrika. Kami bertiga berkawan dekat. Hanya saja, saya kehilangan kontak dengan Nida setahun setelah kami kembali dari Afrika. Rupanya, Nida sibuk mengurus usaha konveksi yang dirintis bersama suaminya yang pengusaha tekstil.”

Bu Retno lalu menyambungkan cerita tentang Tika dengan memperkenalkan Pak Wahyu, suami Tika Pratiwi. Selama ini, Pak Wahyu memang tidak banyak terlibat langsung dalam mengurus yayasan. Hari ini, Pak Wahyu pun menyatakan akan mundur dari dewan pengurus harian. Dia dan Bu Retno akan duduk sebagai Dewan Pembina Yayasan Budi Mulia.

Pak Gusnadi yang semula tampak rileks, mulai tak tenang. Pikirannya kembali pada persoalan laporan keuangan gara-gara nama Nida Farhana. Beberapa kali dia membuka ponselnya sekadar mengurangi kegelisahan. Bu Nuril tampak pula mulai tak tenang.

Beberapa saat kemudian, Bu Retno menyebut nama ketua Yayasan Budi Mulia yang baru; Berlianti Kusumawardhani. Semua mata terbelalak. Apalagi saat disampaikan bahwa Berlianti Kusumawardhani tidak lain putri tunggal Tika Pratiwi.

“Jika Bapak dan Ibu ingin tahu seperti apa wajah Tika Pratiwi, lihatlah Bu Berli. Bu Berli ini copy paste Tika seusianya sekarang.” Ucap Bu Retno mengakhiri seremoni di atas podium.

Bu Nuril speechless.

Beberapa saat kemudian, Berlianti yang datang dari balik tirai langsung menuju podium dan memberi kata sambutan didampingi Bu Retno. Dalam kata sambutannya, Berlianti berkata bahwa Budi Mulia sangat beruntung memiliki para pendidik dan tenaga kependidikan berkarakter. Hadirin berdiri menyambut kata sambutan Berlianti. Tepuk tangan meriah bergemuruh.

Bu Nuril meraih ponsel dari tas di pangkuannya. Jari-jemarinya mengetik cepat. Rupanya, Bu Nuril tengah berusaha menghapus pesan WA yang dia kirim kepada guru infal beberapa waktu yang lalu sementara matanya yang nanar masih menatap podium.

Sepuluh menit kemudian, grup WA guru Budi Mulia heboh. Bu Nuril berubah pucat. Puluhan WA masuk meminta klarifikasi atas pesan yang dia kirim. Rupanya, pesan WA yang hendak dia hapus malah di-forward ke grup WA guru Budi Mulia tanpa dia sadari.|


BUNGKUS GORENGAN


Papa. Aku benar-benar jatuh cinta!

TIKA Pratiwi telah pergi. Kanker mengantarnya dalam tidur yang panjang. Saat jenazahnya disemayamkan, senyum Tika menyungging. Bisa jadi karena perempuan itu sudah puas. Dia pulang dengan damai, tidak dengan rasa takut atas putrinya lagi. Dia sudah mewariskan kepada putrinya karakter baik sebelum penyakit ganas itu merenggut kehidupannya.

Semasa hidup, Tika memang menyimpan banyak kerisauan. Dia risau apabila kelak putrinya tidak paham budaya mengantre, tidak pandai meminta maaf saat dia keliru, dan enggan mengucap terima kasih saat dia dibantu. Apalagi bila kelak putrinya tidak memiliki kepedulian pada sesama, kosong dari rasa tanggung jawab, tidak amanah, dan tidak memiliki integritas. Jika itu kehidupan putrinya kelak, Tika merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Dia hanya merasa berhasil telah melahirkan anak itu ke dunia. Itu saja.

Kerisauan yang paling mengganggu Tika belakangan adalah soal kemanusiaan yang mudah sekali terkoyak. Putrinya sedang tumbuh dalam iklim di mana orang begitu gampang melemparkan tuduhan miring kepada kelompok lain sambil merusak nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dan, Tika paling takut apabila putrinya menjadi musuh agama dan kemanusiaan sekaligus. Sebaliknya, Tika amat berharap putrinya mampu membumikan pesan Nabi Muhammad, bahwa “sebaik-baik manusia adalah mereka yang kehadirannya memberikan manfaat kepada orang lain” meskipun pada hal-hal yang sederhana.

Tika memang seorang aktivis kemanusiaan. Dia selalu hadir di saat kehidupan sosial terkoyak karena bencana, wabah, dampak perang, atau keadaan yang membutuhkan keterlibatannya. Tika pernah bergabung pada misi kemanusiaan di Afrika, misi kemanusiaan terakhirnya sepanjang dia menjadi relawan.

Karakter kerelawanan Tika menurun kepada putrinya sebagai hasil pembelajarannya di rumah. Tak heran, watak peduli anak itu sangat menonjol. Seakan, karakter Tika menyatu sempurna dalam diri Tika kecil, misalnya dalam hal berbagi. Tiap berangkat sekolah, putri kecil Tika selalu minta bekal makanan untuk porsi tiga orang. Saat pertama kali permintaan itu disampaikannya kepada Tika, Tika bertanya, apakah porsi makan sebanyak itu sanggup dihabiskannya?

Putrinya menggeleng. Matanya seolah takut diselidik Tika.

“Loh, kalau tidak, untuk apa bawa bekal banyak sekali?”

Putrinya menjawab, bekal makanan itu bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan akan dinikmati bersama Dion dan Galang. Belakangan Tika tahu, Dion dan Galang termasuk peserta didik dengan biaya subsidi silang yang dikelola yayasan tempat anaknya belajar.

“Dion dan Galang sering tidak bawa bekal, Mama. Kasian.”

Tika meleleh. Dipeluk putrinya erat-erat. Tika bergetar. Betapa dia bahagia melebihi kebahagiaan saat berhasil membuat anak-anak Afrika tertawa lebar hanya dengan sepotong roti yang dia berikan buat mengusir lapar mereka yang entah kapan bisa terpenuhi selama konflik pecah di Benua Hitam itu.

“Putri mama hebat,” ucap Tika sambil memberi acungan jempol. “Mulai esok, mama akan siapkan makan siang untuk kalian bertiga.” Pungkas Tika sambil tersenyum, namun dia payah menahan linang air mata yang hampir tidak bisa dia sembunyikan.

“Mama tidak marah?” Tanya putrinya berbinar.

Tika menggeleng.

“Benar ya, Ma?” Ucap anak itu. Matanya tak lagi takut.

Sejak saat itu, Tika selalu menyiapkan bekal untuk putrinya seukuran porsi tiga anak kecil. Sering dia lebihkan satu porsi untuk persediaan daripada kurang. Tika membaginya sama rata. Nasi atau roti, lauk, puding, buah, dan satu kotak susu tanpa dia bedakan dengan porsi putrinya sendiri.

Kadang, diam-diam Tika mengintip saat jam makan siang putrinya tiba. Dilihatnya tiga anak kecil menyantap makan siang dengan lahap. Sesekali mereka tertawa. Di kali lain mengobrol layaknya orang dewasa.

Satu kali, seperti biasanya Tika ingin menyaksikan kehangatan tiga anak kecil itu menikmati makan siangnya. Bagi Tika, menyaksikan putrinya berbagi seperti pertunjukan orkestra yang megah. Jiwanya melambung menikmati selebrasi kebajikan yang dia tanam mulai berbuah. Kali itu, perasaan bahagia Tika melebihi aksi selebrasi di akhir pertunjukan yang memukau. Tika speechless.

“Galang, kok bekalnya enggak dimakan? Kenapa?”

Galang yang ditanya hanya menunduk saja.

“Kenapa, Lang?” Tanya Dion.

“Bel, boleh enggak bekalnya aku bawa pulang saja?”

Itu kalimat terakhir yang ditangkap Tika. Setelah itu, Galang berbicara seperti setengah berbisik sambil terisak. Entah apa yang tengah dibicarakan Galang pada Dion dan putri Tika.

Apa yang terjadi kemudian membuat air mata Tika rembes. Dion dan putri Tika masing-masing membagi sepertiga bekalnya untuk Galang. Sementara, jatah Galang tidak dinikmati. Beberapa menit saja, ketiga anak itu kembali riang seperti sedia kala.

Sesampainya di rumah, hati Tika basah. Putrinya bercerita, Galang mengaku ibunya sedang sakit. Dia bukan saja tidak membawa bekal seperti sedia kala, ibunya pun pasti belum makan sampai nanti dia pulang. Galang ingin bekal pemberian putrinya itu dia bawa pulang untuk ibunya.|



DESA Makmur bukan sekadar desa bagi Wahyu. Di desa ini, Tika punya sahabat sesama relawan. Mereka sangat dekat sejak sama-sama mengemban misi kemanusiaan terakhir di Afrika. Tika pernah sekali datang berkunjung ke desa ini menemui sahabat relawannya.

Tika jatuh cinta pada desa Makmur pada kunjungannya yang pertama itu. Begitu kuat rasa cinta itu, Tika berencana akan menghabiskan sisa hidupnya di desa ini saat nanti dia benar-benar rihat dari dunia relawan. Karena itu, dibantu oleh sahabatnya, Tika membeli sebidang tanah. Di atas tanahnya, Tika ingin membangun rumah dari kayu seperti rumah kayu di Afrika Selatan. Sisa lahannya untuk tanaman hias dan bunga-bungaan, beberapa petak untuk menanam palawija, dan sebagian lagi untuk membangun kolam ikan.

Hanya seminggu Tika berkunjung, rasa cinta Tika makin bertumbuh pada desa Makmur. Dia ingin berbuat sesuatu. Tika merasa, di balik keelokan desa itu, ada sesuatu yang kurang di matanya. Tika mendiskusikan hal itu pada sahabatnya. Lalu, mereka sepakat mewujudkannya bersama-bersama. Tika rela menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk mewujudkan gagasannya itu, mimpi besarnya untuk Desa Makmur.

Kali kedua Tika datang ke desa Makmur setelah dia menikah. Tika sangat senang. Gagasannya sudah menjadi investasi kemanusiaan jangka panjang yang bisa dinikmati tiap generasi desa Makmur. Investasi yang dia bangun sudah dirasakan pula manfaatnya bukan saja oleh orang desa Makmur, melainkan penduduk desa-desa tetangga. Akan tetapi, takdir berkata lain. Rencana akan menghabiskan masa tua di Desa Makmur tak cukup waktu menunggunya sampai dia tua. Tika lebih dahulu wafat pada usia belum lagi genap empat puluh lima.

Wahyu melaksanakan keinginan Tika. Dia membangun rumah dua lantai dengan dinding dan lantai dari kayu impian almarhumah. Impian Tika, atap rumahnya pun dari kayu. Hanya tiang-tiang penyangga saja dari beton. Ada jendela besar di kamar Tika di lantai atas. Dari jendela itu, nanti, Tika bisa memandangi dengan leluasa wajah investasi yang dibangunnya sambil menyesap kopi atau teh dengan biskuit gandum kesukaannya. Kamar Tika itu akhirnya diberikan Wahyu kepada putri tunggal mereka.

Untuk mewujudkan impian Tika itu, Wahyu menjual semua asetnya di Jakarta, kecuali Jeep dan Harley tua. Dua kendaraan kesayangan Wahyu itu diboyongnya ke desa Makmur pada hari kepindahannya.

Rumah impian Tika itu tampak biasa saja dari luar, tapi kaya dan berkelas di dalam. Benda-benda kesayangan Tika, souvenir tiap kali dia bertugas di luar daerah menghiasi ruang tamu. Beberapa benda etnik dari Afrika yang sempat dia beli juga terpajang apik.

Pada hari pertama Wahyu menempati rumah itu, putrinya menjelajah seluruh pelosok desa Makmur dengan Harley tua kesayangan Wahyu, seperti dahulu dia mencuri-curi mengendarainya berkeliling pekarangan rumah saat Wahyu dan Tika sedang bertugas. Dia ingin membuktikan kata-kata Wahyu bahwa desa Makmur itu ibarat sepotong lembah di surga yang turun ke dunia. Siapa pun yang menginjakkan kaki di sana, dia pasti akan jatuh cinta.

Benar saja, putrinya menemukan cinta di bibir hutan, di pinggir sungai, di tepi danau, di tengah hamparan sawah, dan di setiap semilir angin di desa Makmur. Bahkan, gadis itu menemukan cinta itu di padang ilalang yang mengering atau pada tumpukan jerami yang membusuk. Hanya saja, gadis itu terhenyak saat dia berhenti pada pokok sebuah pohon besar dan tua di bibir hutan.

“Papa. Aku benar-benar jatuh cinta!” Pekik gadis itu setelah dia kembali ke rumah.

Wahyu tersenyum. Itu artinya, anak gadisnya memilih tinggal bersamanya di desa Makmur.|

BUNGKUS GORENGAN

 


Bagian 1


Papa. Aku benar-benar jatuh cinta!

PAK Gusnadi gelisah. Wajahnya sedikit pucat selepas surat berkop yayasan selesai ia baca. Tangannya tampak gemetar. Guru senior yang baru dua bulan diangkat menjadi kepala sekolah itu tampak seperti akan menghadapi tiang gantungan.

Pak Gusnadi memenuhi undangan ketua yayasan dua hari kemudian. Hatinya sudah sedikit lebih tenang. Seharian kemarin, ia berpikir keras menyiapkan jawaban sesuai pokok surat dari yayasan. Namun, Pak Gusnadi masih saja khawatir, kalau-kalau jawabannya tidak memuaskan pihak yayasan.

Di kantor yayasan, Pak Gusnadi sudah ditunggu Bu Retno dan Pak Suyudi serta seorang laki-laki. Pak Gusnadi belum mengenalnya. Itu kali pertama Pak Gusnadi bertemu sepanjang sepuluh tahun ia mengajar di sekolah milik yayasan itu. Rupanya, laki-laki itu bagian dari pengurus yayasan Budi Mulia.

“Bagaimana kabarnya, Pak?” Sapa Bu Retno, ketua yayasan.

“Baik-baik, Bu.”

“Kenalkan. Ini Pak Wahyu,” ucap Bu Retno memperkenalkan laki-laki itu.

Pak Wahyu melempar senyum seraya mengangguk pada Pak Gusnadi. Rupanya, Pak Wahyu adalah suami almarhumah Tika Pratiwi. Pak Gusnadi menyapanya kemudian memperkenalkan diri.

Dengan Tika Pratiwi pun, Pak Gusnadi belum pernah berjumpa. Ia hanya mengenal nama itu dari buku profil Budi Mulia. Ada deskripsi singkat tentang Tika Pratiwi sebagai pendiri dan penyandang dana sekolah Budi Mulia.

Pertemuan berlangsung lebih kurang satu setengah jam. Menjelang zuhur, pertemuan baru berakhir. Meskipun pertemuan penuh kekeluargaan, tapi bagi Pak Gusnadi, seperti ia sedang dimintai keterangan seorang penyidik. Makan siang bersama sebagai penutup pertemuan pun terasa hambar di lidahnya. Meskipun lidahnya bergoyang seolah tetap berselera, tapi pikirannya malah menerawang. Ia sibuk menerka-nerka, siapa orang yang memberikan informasi soal laporan keuangan studi wisata kepada yayasan.

“Saya titip Budi Mulia ya, Pak. Reputasi sekolah kita sedang naik. Kepercayaan masyarakat harus kita pelihara. Ayo, sama-sama kita berjuang membesarkan Budi Mulia.”

Kata-kata Bu Retno itu dirasakan seperti palu godam. Pak Gusnadi seakan benar-benar kehilangan muka di depan para pengurus yayasan.|


SEKOLAH itu bernama Budi Mulia, sekolah setingkat SMP di Kecamatan Sungai Bening. Lokasinya di Desa Makmur, desa yang lebih maju di Kecamatan itu. Jalan utama desanya saja sudah beraspal. Listrik sudah menyala dan jaringan internet mudah diakses.

Dahulu, wajah desa Makmur sama tertinggalnya seperti desa-desa tetangganya. Saat musim penghujan, jalan utama desa becek dan berlumpur. Bila malam tiba, hanya gelap pekat yang tampak dari balik sinar kunang-kunang. Lampu-lampu teplok di rumah-rumah penduduk tak sanggup mengusir pekatnya malam di desa itu. Akan tetapi, semenjak Budi Mulia berdiri, jalan utama desa diaspal, gang-gang masuk ke rumah-rumah warga di-conblock. Beberapa bulan kemudian, listrik sudah pula menyala.

Desa makmur menjadi dinamis dalam hal budaya karena aliran listrik dan internet. Bocah-bocah desa Makmur bukan lagi bocah desa yang menghabiskan pengalaman bermain dengan congklak, egrang, atau ketapel. Bukan anak-anak yang begitu riang saat bermain kasti, gobak sodor, petak umpet, atau melompat dari atas tebing sungai ngebak bersama kerbau angonan. Permainan tradisional yang murah, bersahaja, dan kaya dengan nilai-nilai sosial telah lama menghilang dari kehidupan bocah-bocah desa itu. Mereka menjadi generasi baru yang akrab dengan gawai, game online, dan media sosial. Mereka menjadi generasi terbuang, terasing dari kebersahajaan nilai-nilai baik dalam permainan tradisi.|


Berlianti sudah setahun lima bulan mengajar di Budi Mulia meski berstatus guru infal. Kapan saja Budi Mulia sudah mendapat guru matematika yang baru, segera Berlianti meninggalkan sekolah itu karena posisinya hanya sebaga guru pengganti.

Selama mengabdi, Berlianti tak sekadar mengajar, tapi berinovasi bagaimana mendekatkan matematika pada dunia riil peserta didik yang tengah mengalami trnsformasi budaya tanpa harus kehilangan karakter. Ia memanfaatkan teknologi dengan pendekatan games dalam pembelajaran. Kadang ia gunakan Math Games, Math Duel, atau Math Master. Ulangan harian pun ia kemas sambil bermain dengan Kahoot.

Pendekatan ini sangat disukai anak-anak. Peserta didik tak lagi alergi dengan rumus dan angka-angka. Matematika menjadi tidak menakutkan lagi. Di tangan Berlianti, transformasi gawai di tangan murid-muridnya ke dalam muatan pembelajaran berhasil ia terapkan. Tidak lupa, literasi bagaimana cara sehat memanfaatkan teknologi informasi ia selipkan dalam setiap proses pembelajaran.

Yang paling menarik, Berlianti mengaitkan angka-angka itu dengan values. Angka satu misalnya, ia perkenalkan sebagai simbol Tauhid. Itu angka sakral yang mengisyaratkan bahwa Allah hanya satu, tiada dua-Nya. Cara ini dilakukan Berlianti sebagai celah memberi pemahaman bahwa tradisi segelintir orang Desa Makmur yang masih meminta rezeki dengan menaruh sesaji di bawah pohon besar di bibir hutan adalah keliru. Angka lima dibahasnya sebagai simbol bahwa setiap orang Islam wajib menegakkan lima perkara Rukun Islam dalam hidup mereka. Begitu seterusnya saat guru cerdik itu menemukan korelasi dengan semangat kebaikan dari matematika angka-angka.

Keseriusan Berlianti berbuah. Ia meninggalkan legacy. Efek inovasi cara belajar dan mengajarnya mengantarkan Tim Matematika dan Sains Budi Mulia menyabet peringkat kedua pada Kompetisi Sains Nasional-Provinsi (KSN-P). Meski bukan raihan peringkat pertama, prestasi tersebut kali pertama yang diraih Budi Mulia sejak sekolah itu berdiri 25 tahun yang lalu. 

Efeknya pun luar biasa. Budi Mulia mendapat promosi gratis. Ia banyak dibicarakan di medsos. Para pengawas jadi rajin berkunjung. Wartawan lokal sering meliput. Budi Mulia kebanjiran peminat sebelum pendaftaran peserta didik baru dibuka pada tahun pelajaran baru sebelum dia hengkang.

Bersamaan dengan itu, Berlianti harus pamit dari Budi Mulia sebab waktu untuknya mundur sudah sampai. Tatapan para siswanya yang memelas agar ia tetap mengajar saat ia melangkah pergi seperti mengiris urat jantungnya. Hanya saja, perasaannya lebih teriris sejak tidak sengaja menangkap percakapan Bu Nuril dan Pak Gusnadi. Saat itu, Berlianti seperti tengah mendengar dialog para penyamun soal hasil rampokan sambil saling menasihati soal keadilan.

“Semoga segera dapat pekerjaan baru ya, Bu Berlin,” ucap Bu Nuril tanpa menatap Berlianti. “Sekarang cari kerja tidak gampang loh,” sambung Bu Nuril disertai penegasan bahwa sebenarnya ia bisa mempertahankan Berlianti tetap di Budi Mulia. Tapi kata Bu Nuril, Berlianti terlalu angkuh untuk tidak meminta kesempatan itu padanya.

“Terima kasih, Bu Nuril. Sebenarnya, saya pun masih ingin belajar banyak dari Bu Nuril di sini. Belajar bagaimana cara aman menyusun laporan keuangan,” ucap Berlianti datar.

Bu Nuril terhenyak.|