Panti Yatim Literat

Lintang Aulia Madani, salah satu kontributor Antologi Janji Surga Tertinggi dan Lezatnya Kesabaran

Menemukan quote Toni Morrison yang ini: “If there's a book that you want to read, but it hasn't been written yet, then you must write it,” jadi merenung. Kata Morrison, jika ada buku yang ingin kamu baca, tetapi belum ditulis, maka kamu harus menulisnya.

Ini gimana? Tapi, iya juga, sih.

Masalahnya, menulis itu tidak mudah. Ia bukan keterampilan cepat saji seperti memasak mie instan yang cuma butuh 2 sampai 4 menit saja mie sudah bisa dinikmati. Sedangkan menulis untuk melahirkan karya buku, prosesnya panjang dan melelahkan.

Menulis juga butuh ‘banyak’ modal; modal banyak baca, banyak jalan-jalan, banyak riset, banyak berlatih, dan banyak mengamati topik yang sedang hangat dibincangkan. Peka pada momentum juga penting sebagai modal menulis. Jadi, tidak sesederhana yang diucapkan Morrison.

Boleh jadi, bagi Morrison menulis itu sederhana, sesederhana penulis Afro-Amerika ini memasak mie instan. Wajar sih, dia memang penulis kawakan. Romannya; Beloved mengantarkannya memenangkan Pulitzer Prize pada 1988. Pada 1993, Morrison dianugerahi Hadiah Nobel dalam bidang Sastra. Ia menjadi tokoh pertama Afro-Amerika yang menerima penghargaan ini.|

Setahun lalu, pada 18 November 2022, sehari sebelum ikut hadir di arena menggembirakan Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta, saya menginap di Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali. Bukan suatu kebetulan, ustaz dan ustazah Pengasuh panti ini dulunya berkhidmah pada Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam, Sawangan, Depok tempat istri saya mondok.

Saya senang, Pengasuh panti menaruh perhatian besar pada literasi menulis. Beliau ingin anak-anak asuhnya melek literasi, punya skill menulis, salah satu keterampilan untuk menjawab kebutuhan abad 21. Saya pikir ini sosok Pengasuh panti yang “langka”. Gagasannya langka pula untuk dunia panti, meskipun pada panti di bawah pembinaan Muhammadiyah atau Aisyiyah. Ini sesuatu banget.

Maka, saya penuhi keinginan Pengasuh. Saya bersedia sharing tips menulis meskipun dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jadilah small workshop menulis. Saya ajak penghuni panti memulai menulis yang enteng-enteng; cerpen dan pentigraf berbasis pengalaman keseharian. Filosofinya sederhana, yakni menulis hal-hal ringan dari pengalaman keseharian jauh lebih mudah dituangkan dalam narasi daripada murni berbasis imajinasi sebagai sifat dari karya fiksi.

Sebagaimana sudah dimaklum, Muhammadiyah dan Aisyiyah mengusung tagline “berkemajuan” dan “mencerahkan”. Tentu saja, salah satu poin dari makna di balik tagline “berkemajuan” dan “mencerahkan” adalah kemampuan berliterasi. Satu dari sekian kemampuan berliterasi itu adalah literasi menulis di samping literasi membaca.

Dari sini, bolehlah disimpulkan, bahwa salah satu ciri dari karakter berkemajuan dan mencerahkan ada pada aktivitas membaca dan menulis. Semakin intens aktivitas membaca dan menulis, semakin tampak jelas karakter berkemajuan dan mencerahkan itu. Sebaliknya, bila tidak ada aktivitas membaca menulis, bahkan terkesan senyap karena tidak menaruh perhatian sedikitpun, karakter berkemajuan dan mencerahkan seperti rasa masakan tanpa garam.

Seharusnya, geliat aktivitas membaca dan menulis dalam konteks melahirkan produk pada sekolah-sekolah dan pondok-pondok pesantren Muhammadiyah menjadi aktivitas dominan di semua tingkatan. Bila perlu, keterampilan menulisnya menjadi distingsi dan mendapat perhatian serius. Karena kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah merupakan basis persemaian kader persyarikatan. Orang boleh kurang setuju, tapi bagi saya ini penting, bahwa kader persyarikatan harus fasih lidah dan “fasih” penanya.

Menulis itu bukan bakat, melainkan keterampilan. Keterampilan itu perlu dilatih. Semakin dilatih, semakin terampil. Karena kemampuan menulis itu sebuah keterampilan, maka siapa pun harus berlatih. Semakin intens ia berlatih menulis, semakin mahir dia menulis. Boleh jadi, benarlah tips menulis yang diberikan Kuntowijoyo. Kata budayawan Muhammadiyah ini, kunci supaya mahir menulis hanya tiga. Pertama, menulis. Kedua, menulis. Dan ketiga, menulis.|

Sebenarnya, saya menyimpan tulisan ini sejak setahun lalu, saat pulang dari Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali itu. Bagaimanapun, saya tahu kerepotan melahirkan karya buku. Apalagi, gagasan besar ini diusung Panti Asuhan Yatim dengan segala keterbatasannya. Jadi, andaikata tidak ada karya yang lahir dari small workshop menulis dari jemari anak-anak panti, permakluman saya lebih besar dari harapan saya yang menggunung.

Rupanya, pendampingan terus dilakukan Pengasuh panti selepas saya pulang. Pengasuh selalu memompa semangat menulis anak-anak asuhnya hingga lahir karya antologi cerpen dan pentigraf perdana mereka “Lezatnya Kesabaran” dan “Janji Surga Tertinggi” dalam dua wajah pada satu format buku. Ini benar-benar mengubah stigma panti yang cenderung dipandang sebagai “mustad’afin” di beberapa lini hidup mereka.

Tentu, saya malu sendiri dengan asumsi saya di muka, bahwa keterbatasan panti akan menghambat mereka berkarya. Nyatanya tidak. Di tangan saya sekarang antologi itu bisa saya raba. Tekstur paragraf, penokohan, diksi, alur, konflik, dan ending cerita sudah saya baca separuh. Ini patut disambut gembira segembira menyandang sebutan “berkemajuan” dan “mencerahkan” dalam kumpulan narasi yang dibukukan. Adakah panti Muhammadiyah atau Aisyiyah lain yang sudah melangkah sejauh ini?|

“Lezatnya Kesabaran” dan “Janji Surga Tertinggi” lahir dari rekaman hidup yang diawetkan. Anak-anak Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali lah yang telah mengawetkan alur hidup mereka melalui karya ini. Para penulisnya telah membuktikan diri sebagai penghuni Panti Asuhan Yatim Literat. Capaian ini belum tentu bisa digapai lembaga yang sama, baik proses maupun produknya.

Saya maklum, segala sesuatu belum akan sempurna tiba-tiba. Begitu juga sebuah cerita. Cerita yang menarik, dibangun dari ide, penokohan, alur, konflik, dan ending yang menarik. Yang tidak kalah penting adalah cara menyajikan cerita yang unik, genunie, dan natural. Jalan ke sana memang masih panjang. Akan tetapi, apabila jalan itu sudah berani diretas, setengah dari pertarungan sudah dimenangkan para pejuang.

Melahirkan karya literasi memang rumit. Namun, kerumitan itu pasti akan terurai seiring waktu, seiring banyak berlatih, seiring karya-karya berikutnya datang menyusul. Bila ritme ini bisa dipelihara Pengasuh, saya percaya, akan lahir dari anak-anak Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali setelah “Lezatnya Kesabaran” dan “Janji Surga Tertinggi” karya berikutnya. Saya menantikannya sebagai penebus rasa bersalah menunda tulisan ini setahun berlalu.

Satu frasa dari saya untuk Panti Asuhan Yatim ‘Aisyiyah 03 Banyudono, Boyolali; “Panti ini sudah menemukan distingsinya”. Tanpa perlu meminta izin Toni Morrison, saya modifikasi quote-nya yang keren itu. “Jika ada panti yang ingin punya distingsi literasi, tetapi ia belum memulai, maka kalianlah yang telah memulainya.”

Salam literasi.
Depok, 27 November 2023.

Gaji Guru dan Konflik di Ruang Dapur


Ilustrasi Gandum. FOTO/iStockphoto

Catatan ini berangkat dari citra guru pada era keemasan Islam. Sedikit capek menyelisik beberapa jurnal berbahasa Arab dan mengikuti ulasan seorang Kiai Muda dengan wawasan sejarah peradaban Islam yang keren, catatan ini hadir mendahului Hari Guru yang akan jatuh pada Sabtu, 25 November 2023 esok. Karena itu, catatan ini juga agak panjang. Tidak seperti catatan-catatan saya yang lain.

Tidak mengapa catatan ini mendahului Hari Guru yang substansinya juga belum jelas untuk apa. Akan tetapi, substansi dari peradaban Islam yang menempatkan guru begitu terhormat, seolah nasib guru hari ini mundur ribuan tahun. Coba simak pelan-pelan catatan ini sambil ngopi-ngopi dengan kakanda atau adinda di rumah.

Pada masa peradaban Islam, gaji guru –ini salah satu poinnya–bikin ngiler. Andaikata zaman ini bisa diputar ulang –seperti cerita sinetron Lorong Waktu-nya Deddy Mizwar– banyak guru akan menekan tombol “Masa Khilafah Islam”, terlempar dan mendarat di pusat Madinah, Baghdad, Damaskus, atau Andalusia, lalu mendaftar menjadi guru atau dosen untuk mencicipi manisnya buah peradaban yang tinggi di sana.

Berangan-angan, boleh dong. Namun boleh jadi, berangan-angan masuk ke lorong waktu untuk bisa nyicipin gaji guru di masa khilafah itu bisa dicap halu di siang bolong. Guru berprestasi bukan, malah jadi ‘guru halu’. Haaaaaa.

Akan tetapi, masih bahagia guru halu ketimbang guru ngenes. Se-halu-halu-nya guru halu, masih bisa tidur nyenyak. Guru halu masih bisa senyum meskipun itu senyum utopis. Sedangkan guru ngenes, senyumnya saja senyum breakdown, apalagi tangisannya.

Link Provokasi

Kemarin, ada teman yang berbaik hati menyodorkan link berita soal kasus guru di gorontalo.tribunnews. Saya tahu maksudnya, dia ‘mancing-mancing’ agar muncul tulisan saya ala kadarnya menanggapi. Teman ini tahu betul kelemahan saya yang mudah diprovokasi bila sudah berurusan dengan menulis.

gorontalo.tribunnews memuat akar konflik guru vs yayasan di sebuah sekolah. Seperti umumnya konflik dua entitas sekolah ini meletup, lagi-lagi pangkalnya adalah urusan kesejahteraan atau urusan honor. Ini masalah klasik. 19 tahun yang lalu saya mengalami hal ini.

Kasus-kasus seperti yang diangkat gorontalo.tribunnews ini selalu berulang. Ada yang kasusnya diekspos, ada yang disenyapkan. Boleh jadi, kasus yang disenyapkan tidak terhitung intensitasnya karena terlalu sering dan senyap.

Silakan browsing saja di internet untuk membaca lebih jelas beritanya. Ketik saja keyword “Yayasan Al-Azhar Gorontalo” pada search engine Google Chrome Anda.

Martabat Guru di Era Khalifah Rasyidah

Hampir seribu tahun lalu di era khilafah, profesi paling bergengsi adalah guru. Potensi intelektual dan aktivitas mengajar mereka benar-benar ditempatkan pada maqam terhormat. Besaran gaji mereka pada masa itu benar-benar mencitrakan guru sebagai pahlawan dengan tanda jasa.

Meskipun gaji bukanlah segala-galanya, penguasa dan masyarakat menjaga muruah guru dengan memberikan gaji yang cukup. Penguasa dan masyarakat sangat mengerti bahwa waktu guru lebih banyak untuk berkhidmat kepada ilmu dan mengajar. Maka, tidak ada penghormatan bagi guru secara materi selain memberikan mereka gaji yang cukup sebanding dengan sumbangsihnya mencerdaskan umat.

Ibnu Abi Syaibah mengisahkan soal kisaran gaji seorang guru di Madinah pada masa khulafaurrasyidin. “Di Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Umar memberi masing-masing mereka gaji sebesar lima belas setiap bulan.” kata Ibnu Abi Syaibah.

15 apa? Dinar atau dirham? Kita selisik saja keduanya. Lalu timbang, yang mana yang lebih masuk akal.

Standar Dinar adalah emas, dan standar Dirham adalah perak. Satu Dinar di masa Nabi SAW setara dengan harga satu ekor kambing kualitas super. Patokan ini berdasar riwayat Imam Bukhari bahwa Nabi SAW pernah memberi Urwah satu Dinar untuk dibelikan seekor kambing.

Anggaplah hari ini seekor kambing kualitas super harganya Rp. 2.950.000. Bila harga ini dijadikan patokan Dinar, artinya gaji yang diberikan Khalifah Umar RA yang sebesar 15 Dinar kepada guru anak-anak di Madinah itu setara Rp. 44.250.000.

Ah, masa iya gaji guru untuk mengajar anak-anak sebesar itu. Boleh jadi banyak di antara kita terheran heran dan bertanya demikian. Boleh jadi pula keheranan itu lahir dari pengalaman praktis melihat atau merasakan gaji guru hari ini.

Oke lah. Mungkin gaji sebesar itu tidak rasional. Angkanya terlalu fantastis. Gaji sebesar itu, bikin guru halu bertambah halu saja. Kita konversi saja dengan ukuran 15 Dirham.

Pada masa Khalifah Umar, 1 ekor kambing kualitas super harganya 6 dirham. Bila patokan harga 1 Dirham yang dipakai adalah Rp. 491.000, berarti harga seekor kambing seharga Rp. 2.950.000. Iya, kan? Nah, bila dikalikan dengan 15 Dirham, maka besaran gaji guru anak-anak di masa Umar RA sebesar Rp.7.366.500 per bulan.

Tampaknya, angka ini lebih rasional bila dicocokkan dengan struk gaji guru di suatu madrasah di negeri antah berantah.

15 Dinar atau 15 Dirham?

kanzunqalam.com sempat menurunkan tulisan yang meluruskan kekeliruan soal gaji guru anak-anak di masa Umar RA ini. Menurutnya, yang benar bukan 15 Dinar, melainkan 15 Dirham. Namun, 15 Dinar menurut saya lebih tepat daripada 15 Dirham. Berikut alasannya.

Pertama, sudah dimaklumi, pada masa khalifah Umar RA, kebijakan perluasan wilayah Islam meraih sukses gilang gemilang. Negara di bawah khalifah Umar mencakup Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Oleh Khalifah Umar RA, administrasi pemerintah dibagi menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Konsekuensinya, wilayah Islam yang membentang sangat luas itu berpengaruh signifikan pada pendapatan negara dari berbagai sumber keuangan.

Kedua, Khalifah Umar RA adalah penguasa pertama yang menetapkan kebijakan keuangan dalam Islam. Umar lah khalifah pertama yang mengatur pendapatan dan pengeluaran keuangan, bagian-bagiannya, dan mengatur pembukuannya masing-masing.

Ketiga, khalifah Umar RA mengatur distribusi Baitul Mal kepada tiap-tiap golongan dengan besaran yang berbeda-beda, sebagai berikut:
Kepada Aisyah RA dan Abbas bin Abdul Muthalib RA masing-masing diberikan 12.000 dirham;
Para istri Nabi selain Aisyah RA masing-masing diberikan 10.000 dirham;
Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr masing-masing diberikan 5.000 dirham;
Para pejuang Uhud dan migran ke Abyssinia masing-masing diberikan 5.000 dirham;
Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathu Makkah masing-masing diberikan 3.000 dirham;
Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah masing-masing diberikan 2.000 dirham.
Orang-orang Makkah yang bukan termasuk kaum Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham;
Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah.
Dengan catatan di atas, rasanya, gaji guru pada pada masa Khalifah Umar RA sebesar 15 Dinar, atau setara dengan Rp. 44.250.000 per bulan itu sangat masuk akal. Dengan kebijakan keuangan negara yang difokuskan khalifah Umar RA untuk kesejahteraan rakyat, termasuk guru, boleh jadi 15 Dinar bukan angka fantastis.

Kasus Perang Badar dan Upah Mengajar Calistung

Pada peristiwa Perang Badar –17 Ramadan 2 H/13 Maret 624 M–, 68 orang dari musyrikin Makkah menjadi tawanan perang. Nabi SAW menetapkan, harga tebusan tawanan saat itu nilainya 1.000 sampai 4.000 Dirham sesuai tingkat kekayaan masing-masing tawanan.

Yang menarik, bagi tawanan yang tidak sanggup membayar tebusan karena kemiskinan dan dia pandai baca tulis, dia dibebaskan dengan syarat. Syaratnya dia harus mengajar sepuluh anak-anak Madinah keterampilan menulis.

Catat, jika satu Dirham senilai Rp. 491.000 itu dikonversi dengan harga tebusan yang terendah yaitu 1.000 Dirham, itu artinya, harga satu tawanan Badar nilainya Rp. 491.000.000. Bila angka itu dibagi 12 sebagai ukuran gaji per bulan, nilainya Rp. 40.916.000.

Waw! Angka ini mendekati gaji per bulan mengajar menulis anak Madinah di masa Umar RA yang 15 Dinar per bulan.

Insentif Guru di Era Khilafah

Di era khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji guru tak ada ada obat. Cicit dari Umar bin Khattab RA, khalifah ke-8 Daulah Bani Umayyah ini pernah menginstruksikan para gubernurnya untuk mendata orang-orang yang berprofesi sebagai guru. Khalifah kemudian memerintahkan para gubernur memberikan setiap guru sebesar 100 Dinar dari kas negara. Alasan khalifah, karena guru sudah terlalu sibuk mengajar hingga tidak punya waktu banyak untuk mengurus urusan dapur mereka.

Di era Daulah Bani Abbas pada masa Harun al-Rasyid memerintah, khalifah ke-5 yang naik tahta pada usia 20 tahun menggantikan kakaknya, Abu Muhammad Musa al-Hadi (764-786 M) mengeluarkan kebijakan bikin ngiler. Guru dan ulama benar-benar dimuliakan karena aktivitas dan karya kreatif di bidang literasi ilmiah. Karya tulis guru dan ulama, baik karya sendiri maupun terjemahan ditimbang. Seberapa pun berat buku karya mereka dihargai dengan emas seberat bobot timbangan buku atau karya terjemahan mereka.

Saat Daulah Ayyubiyah berkuasa, Ayyubiyah fokus membangun angkatan perang dan program-program militer guna menghadapi pasukan salib yang menjajah sebagian wilayah kaum muslimin termasuk menguasai al-Quds. Meskipun demikian, menurut laporan Imam Suyuthi rahimahullah, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tetap memperhatikan pendidikan. Gaji guru pada masa itu bikin bengong sambil ngiler guru di suatu madrasah di negeri antah berantah.

Di madrasah yang didirikannya –Madrasah Ash-Shalahiyyah– Sultan memberikan gaji guru sebesar 40 dinar setiap bulan. Ini setara dengan Rp. 156.000.000. Gaji juga diberikan masing-masing sekitar 10 dinar atau sekitar Rp. 39.000.000 untuk pengelola madrasah. Selain gaji pokok, Sultan juga memberikan tunjangan makanan pokok sebesar 60 rithl Mesir – kurang lebih 10 kg– setiap hari kepada para guru dan pengelola madrasah.

Di zaman ini, gaji guru untuk mengajar anak-anak pada masa Umar RA yang sebesar Rp. 40.916.000 per bulan, itu bukan fakta yang musykil diterima. Tengoklah Austria. Gaji guru di negara yang terletak di bagian tengah Eropa Utara ini adalah gaji guru paling rendah di antara 10 negara dengan gaji guru tertinggi di dunia. Meskipun angkanya paling rendah, gaji rata-rata guru di Austria adalah US$ 50.000 per tahun atau setara Rp. 715.000.000 atau Rp. 56.500.000 per bulan.

Angka Rp. 56.500.000 gaji guru di Austria per bulan hari ini, selisihnya hanya Rp.15.584.000 lebih tinggi dari gaji yang diberikan Umar RA 1.379 tahun yang lalu.

Rasa-rasanya, Khalifah Umar RA lebih paham soal kedudukan ilmu dan kemuliaan guru daripada pemerintah Austria. Maka, 15 Dinar gaji guru untuk mengajar anak-anak di Madinah yang diberikan Umar RA menjadi masuk akal.

Rp. 44.250.000 per bulan untuk menggaji guru memang cukup berat untuk ukuran negeri antah berantah di mana tingkat korupsi dan kebocoran anggaran negaranya sangat tinggi. Apalagi, 1% orang terkaya di negeri antah berantah itu menguasai 46% kekayaan penduduk negeri. Ya, bagaimana bisa menggaji guru anak-anak bangsa Rp. 44.250.000 per bulan?

Dilema Antara Muruah dan Gaji

Mengajar yang dijalani guru di kelas lebih banyak berpaut pada urusan hati daripada urusan uang. Guru selalu senang menjalani hari-hari bersama peserta didik. Apalagi bila kehadiran guru selalu dirindukan murid, seketika itu juga batin guru sudah terpuaskan. Guru menjadi lupa, berapa angka gaji yang diterimanya tiap bulan saking bahagianya.

Akan tetapi, bila guru sudah di rumah, berkumpul dengan anak dan istri, lalu menengok dapurnya, maka urusan kepuasan hati di kelasnya tadi pagi, saat itu juga sudah dilupakan. Mengapa? Karena di tengah-tengah keluarga, jiwa guru sudah masuk dimensi materi. Urusannya bukan lagi kepuasan batin di kelas, melainkan soal isi dompet untuk menghidupi keluarga. Seindah apa pun cerita pengalaman mengajar yang menyenangkan di kelasnya tadi pagi tidak bisa dipakai untuk membeli nasi dan lauk pauk.

Maka, bila dapur guru sudah tidak mengepul karena logistik sudah habis, tidak ada pilihan, guru akan mencari pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup. Tidak heran, ada banyak guru honorer yang nyambi jadi ‘pilot’ ojek online dan beragam pilihan pekerjaan halal meskipun batinnya meronta-ronta. Pernahkah Anda membayangkan perasaan seorang guru yang mengantar pesanan Goofood? Dan, anak remaja tanggung yang menerima pesanana itu bergumam seakan tidak percaya: "Eh, Pak Guru?"

Pada kondisi demikian, profesi guru bukan lagi menara gading yang harus dipertahankan muruahnya di tengah-tengah keterbatasan ekonomi. Saat itu, yang diperjuangkan guru adalah merebut menara pengintai untuk melihat peluang mendapatkan uang buat menambal gaji yang bertahan hanya sampai tanggal 15 tiap bulan. Di sini, konflik di ruang dapur guru akan selalu berlangsung tiap bulan. 

Tentu, problem seperti ini dialami kebanyakan guru honorer bergaji kecil. Mereka guru-guru yang tidak mendapat tunjangan jabatan, tidak pula tunjangan kesehatan, atau tunjangan beras, atau mereka guru-guru hebat yang padat dengan job kepanitiaan yang sambung menyambung. Bukan pula guru-guru dengan latar belakang finansial keluarga yang mapan. Juga bukan guru penerima sertifikasi yang tidak pernah tahu berapa saldo tunjangan profesi itu di rekeningnya karena belum pernah sekalipun dibelanjakan sejak kali pertama sertifikasi dicairkan pemerintah.

Dilema-dilema seperti di atas sering menimbulkan problem mendasar guru bergaji kecil di negeri antah berantah ini. Maklumlah, kesenjangan penghasilan masih menganga di antara mereka. Dan, problem dilematik menyedihkan seperti ini rasanya tidak dialami para guru era Khlalifah Rasyidah atau di era keemasan Islam pada abad pertengahan.

Kembali ke Jiwa Guru

Di mana pun, konflik kerap terjadi dalam skala yang berbeda-beda kadarnya. Ada konflik yang selesai dengan diam seiring waktu berjalan. Ada konflik yang diselesaikan dengan musyawarah kekeluargaan. Ada konflik yang baru bisa diatasi bila salah satu pihak mengalah lalu menarik diri. Namun, ada juga konflik yang baru bisa diselesaikan lewat jalur hukum.

Di lembaga pendidikan, tempat proses pendewasaan peserta didik berlangsung, konflik juga kerap terjadi, baik konflik ringan atau berat. Konflik seperti yang diberitakan gorontalo.tribunnews sudah termasuk konflik berat yang dipicu soal ketidakpuasan guru pada yayasan dalam pengelolaan keuangan.

Konflik yang menyangkut urusan keuangan di lembaga pendidikan sebenarnya bisa ditekan. Syaratnya cuma satu; kembali ke jiwa guru yang autentik. Guru yang autentik adalah jiwa yang lebih fokus pada proses transmisi pengetahuan, pendewasaan, dan penciptaan kesadaran belajar berkelanjutan pada peserta didik. Di situlah energi guru dihabiskan. Akan tetapi, bila jiwa autentik guru sudah berjalin berkelindan dengan urusan keuangan, dari sinilah percikan-percikan potensi konflik kerap meletup kapan saja.

Apakah ini bererti guru tidak boleh dilibatkan dalam pengelolaan keuangan sekolah?

Boleh-boleh saja asalkan ada batasannya. Batasannya itu adalah teori “asalkan”. Asalkan mencerminkan keadilan distribusi, asalkan tidak ada campur tangan leader yang terlalu jauh kepada tim yang ditugaskan mengelola satu kegiatan dalam soal pembiayaan dan fee, asalkan formulasi honorarium diberikan sesuai beban kerja, asalkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dijalankan, dan asalkan-asalkan yang lain yang sesuai prinsip-prinsip pengelolaan keuangan. Bila teori “asalkan” ini dijalankan, meskipun gaji guru belum setara pada masa khalifah Umar RA, jiwa autentik guru akan tetap lestari. 

Selamat menjelang Hari Guru.

Ruang Guru, Kamis, 23 November 2023.

Marwah

Word of Honorable. https://thesaurus.plus/synonyms/honorable

Ada sahabat Facebook saya dari Surabaya; Mas Agung Prihandoko. Mas Agung merespons status WA saya hari ini. “Terungkap aja masih ngeri,” tulis Mas Agung yang dikirim ke nomor saya. Ini kali yang ke sekian Mas Agung ‘open’ dengan status WA saya.

Saya suka sekali mengoleksi keyword penting. Ia saya petik dari mendengar, menyimak, mengamati, bahkan sering saya pisahkan dari obrolan ringan dengan siapa saja. Lalu, keyword itu saya ikat jadi status WA seperti status WA saya hari ini.

Keyword dan status WA saya itu ide tulisan tersimpan. Karena status WA itu umurnya hanya 24 jam, maka sebelum status itu “mati” esok hari, saya sempatkan mengembangkannya menjadi narasi yang cukup untuk dibaca sekali duduk. Apalagi respons Mas Agung di atas jadi pemantik. Cepat-cepatlah ide itu diabadikan.

Adalah cerita Pak Tanenji; Kasubdit PAUD Yayasan Syarif Hidayatullah saat beliau menyampaikan sambutan dan membuka acara “Ngaji Bareng” di aula Masjid Andalusia Madrasah Pembangunan pada 10/11/23 selepas Jumatan. Ada dari sekian butir dari pesan beliau yang sayang bila hanya didengar lalu dilupakan.

Tentu, tidak cukup ruang dan waktu menurunkan cerita Pak Tanenji itu di sini untuk efisiensi narasi. Inti cerita Pak Tanenji adalah tidak mudahnya orang tua meluluhkan hati anak bila sudah bertemu simpul dengan guru. Bila orang tua memandang ada hal yang keliru dari anaknya dan ingin meluruskan, seringkali anak mengelak dengan bahasa kepatuhan pada gurunya, “Kata Bu guru emang begini!” Kalau sudah demikian –meminjam istilah Ustaz Zaki al-Hafiz– ruwet, ruwet.

Bila kesalahan itu substansial seperti kesalahan bacaan Alquran, boleh jadi kesalahan itu akan melekat selamanya pada jiwa anak. Maka, beruntung bila sejak awal orang menyadarinya dan kesalahan itu terungkap. Kalimat yang saya miringkan, itulah keyword Pak Tanenji yang saya gubah jadi status WA: “Bayangkan bila kesalahan itu tidak pernah terungkap…. Dalem, ngeri.”

Karena Pak Tenaneji sedang membawakan cerita faktual dan beliau ini dosen yang panjang akal, beliau memberi saran jitu pada orang tua sang anak untuk meluruskan kekeliruan itu, bukan dari mulutnya karena kemungkinan akan sia-sia. Dan, cukup lima menit saja, kekeliruan itu selesai melalui guru si anak itu sendiri. Nah, kecerdikan membangun komunikasi awal kepada guru itu untuk mengubah kesalahan persepsi anak, ini mahal.

***

Ngaji Bareng hari ini bertajuk Bacaan Gharib dan Musykilat. Saking gharib dan musykil-nya, pernah belajar, tapi karena jumlah kata-kata gharib dan musykil itu sedikit dari sebanyak 77.845 kata dalam Alquran, jadi sering lupa bila sendirian menemukan bacaan itu dalam mushaf.

Ngaji seperti ini penting pake “banget”. Apalagi bagi guru madrasah, tak peduli apakah itu guru Sains, PJOK, IPS, Bahasa Inggris, PKn, atau guru Seni dan Budaya. Membaca Alquran dengan benar memang bukan khusus untuk guru Quran Hadits, Fikih, atau guru Tahfizh. Guru vokal pun apabila dia muslim, Fardu Ain hukumnya membaca Alquran sesuai tajwid.

Nah, dari ngaji tadi siang itu, kami para guru disegarkan lagi dengan Saktah, Imalah, Isymam, Naql, Tashil, dan aneka musykilaat perubahan suara bacaan. Aduh, rasanya masih banyak hal tercecer dari Alquran yang belum dikuasai, seperti ada huruf sin dalam satu kalimat yang bisa dibaca dengan suara huruf shad dan sebaliknya. Nah, kondisi tercecer ini khususnya berlaku bagi pribadi saya.

Ngaji Bareng tadi siang ini sejuk. Jiwa terasa disiram embun oleh suara merdu narasumber saat memberi contoh perihal bacaan Gharib dan Musykil. Masya Allah. Andai orang bisa meminta suara merdu seperti itu sesaat dia “brojol” ke dunia, bolehlah saya orang pertama yang merengek diberi. Apalah daya, pita suara saya sudah bawaan pabriknya tak semerdu milik narasumber.

Suasana Ngaji Bareng juga terasa segar dengan pertanyaan-pertanyaan unik, tapi penting ala Pak Dry yang kadang terkesan Anti Mainstream. Oh, iya, suara Pak Dry juga merdu saat mengaji atau mengimami shalat Jumat. Ini valid. Kombinasi sempurna antara merdu suara dan Anti Mainstream. Usai foto-foto hendak shalat Ashar, saya candai Pak Dry. “Untung tadi Pak Dry tidak bertanya, Pak Kiai, itu nun mati, siapa yang bunuh?”

***

Beberapa hari yang lalu, di WA grup MTs dibagikan tulisan Dr Fauzan. Judulnya“Mengembalikan Marwah Pendidikan”. Ada di dalamnya disinggung karakter guru sebagai “Al-Muzakki”, yakni guru yang menunjukkan dirinya sebagai pribadi bersih, suci dari hal kemaksiatan, sosok yang selalu menjadi cermin kebaikan peserta didik. Juga karakter “Al-Muaddib” yang dapat dipahami sebagai sosok yang berperan dalam proses pembentukan nilai keadaban, budi pekerti, dan akhlak peserta didik melalui pembiasaan.

Terus terang ini berat, berat sekali. Boleh jadi, marwah pendidikan akan runtuh bila guru sendiri tidak punya marwah karena gagal menunjukkan karakter “Al-Muzakki” dan “Al-Muaddib” di hadapan peserta didik. Di sinilah bertemu koneksi cerita faktual Pak Tanenji dengan tulisan Dr Fauzan dalam persepsi saya hari ini meskipun konteksnya tidak sama.

Sedangkan marwah guru harus juga dijaga bukan hanya di hadapan peserat didik, tapi juga di hadapan sesama guru. Kalau boleh dipertegas, guru yang memegang jabatan, lebih mahal harga marwahnya dari harga marwah guru biasa dalam konteka relasi kepemimpinan pedagogik di suatu lembaga. Keduanya punya kewajiban untuk saling menjaga marwah masing-masing.

Uang sering menjadi Jebakan Batman. Marwah guru bisa terancam hilang disapu angin tergoda uang yang bertalian dengan posisi jabatan. Bila itu terjadi –seperti kasus penyelewengan dan BOS yang ramai di medosos misalnya–hilang pula marwah guru dan marwah pendidikan sebab jabatan itu sudah dijadikan sebagai mesin uang yang mencoreng marwah.

Oleh karena itu, jangan sungkan-sungkan betindak bila ada dari kolega guru sejawat mulai “miring-miring” masuk Jebakan Batman. Harus ada kolega yang mengingatkan sejawat itu agar marwah guru dan pendidikan tidak jatuh terjerembab karena ulahnya. Jangan setali tiga uang dengan membiarkan, apalagi ikut masuk Jebakan Batman karena manisnya uang yang semanis madu.

Dalam konteks ini, boleh juga dibongkar filosofi tulisan Dr Fauzan itu. Apakah tulisan beliau merupakan refleksi dari marwah pendidikan yang memang sudah hilang hingga dia harus dikembalikan. Atau sekadar warning agar guru benar-benar kuat mental mempertahankan karakter “Al-Muzakki” dan “Al-Muaddib” sebagai yang digugu dan ditiru.

Bila marwah guru telah jatuh dan marwah pendidikan telah hilang, hancurlah peradaban. Sosiolog dan pemikir Maroko Dr. Mehdi El Manjra (1933-2014) meskipun mengutip pendapat seorang Orientalis, boleh juga disinggung ungkapannya di sini karena cukup relevan, yakni soal jalan rusaknya peradaban. 

Kata Mehdi:

”Idza aradta an tahdim hadaarat, fa hunaaka tsalaatsu wasaail; hadmi al-usrah, hadmi al-ta’lim, isqaat al-qudwah.” Bila Anda ingin menghancurkan sebuah peradaban, ada tiga caranya: dengan merusak rumah tangga; merusak pendidikan, dan merusak panutan.

Di lain segmen, cerita Pak Tanenji tadi siang, mengingatkan pada kisah Iskandar Dzul Qarnain dan penghormatan Raja Agung itu pada sang guru. Dikisahkan, Iskandar Dzul Qarnain pernah ditanya mengapa dia begitu menghormati gurunya lebih dari menghormati kedua orangtuanya.

“Li anna abi anzalani min al-sama ila ‘l-ardhi, wa ustadzi yarfa’uni min al-ardhi ila ‘s-samai.” Karena orangtuaku telah menyebabkan aku turun dari langit ke bumi, sementara guruku mengangkat aku dari bumi ke langit. Demikian jawaban Iskandar Dzul Qarnain menempatkan guru sebagai orang yang patut dihormati sebagaimana menghormati orang tua. Sudah pasti, guru yang dihormati Iskandar Dzul Qarnain adalah guru dengan marwah mulia.

Ini berat, berat sekali. Semoga marwah masih tegak di pusat peradaban dibangun.| 

Pizaro Citizen Journalism dan Palestina

Saya dan Pizaro saat launching salah satu seri buku saya "Kiai Kocak". Foto milik Lukman Hakim Sidik 

Namanya Pizaro Gozali Idrus. Saya memanggilnya Pizaro. Nama yang keren. Usianya lebih muda 10 tahun dari saya. Tapi, semua orang tahu, usia bukan ukuran lebih tua lebih berbobot. Begitu juga antara saya dan Pizaro. Bolehlah saya lebih tua darinya 10 tahun, namun kapasitas Pizaro lebih “tua” bertahun-tahun dari saya.

Awal mula kenal Pizaro dari Facebook, lalu membaca novelnya "The Brain Charger". Beberapa kali mengikuti kelasnya yang menarik; “Zionisme Internasional”, topik yang berat tapi menggemaskan. Setidaknya bagi saya begitu.

Di mata saya, Pizaro itu humble. Dia dengan rendah hati pernah bersedia membincangkan buku saya; “Kiai Kocak” di satu forum bedah buku. Padahal waktu itu, honornya sebagai pembicara kecil. Saking kecilnya, kalau sekarang saya tanya, dia pasti lupa. Wkwkwkwk.

Pada 2017, Pizaro menjadi Redaktur Anadolu Agency, kantor berita yang bermarkas di Ankara, Turki. Setahu saya, Anadolu termasuk kategori jurnalisme perang. Pizaro naik kelas lagi dengan menyandang Jurnalis Internasional.

Pizaro cerdas, itu sudah pasti. Sekarang, cerdasnya dia bikin mata saya berkunang-kunang saat membaca aktivitasnya. Dia Senior Fellow Asia Middle East Centre for Research and Dialogue, Kuala Lumpur. Juga anggota Palestine International Forum for Media. Dan, Kandidat Ph.D pada bidang Policy Research and International Studies, Universiti Sains Malaysia.

Sebagai anggota Palestine International Forum for Media, Pizaro kerap menulis tentang Palestina. Tulisannya termasuk produk jurnalistik yang paling jernih menggambarkan Palestina dan HAMAS. Tak heran, hari-hari ini, tulisan dan pembicaraannya tentang Palestina dan HAMAS sering menjadi rujukan pemerhati Palestina. Yang bukan beneran pemerhati Palestina seperti saya, pun merujuk Pizaro.

Saya termasuk yang baru tahu, bahwa agresor Israel sudah menjatuhkan 18.000 ton bom ke Gaza. Jumlah sebanyak itu setara 1,5 kali lipat lebih banyak dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Saya tahu soal ini dari salah satu status Pizaro di akun Facebooknya.

Ada salah satu tulisan Pizaro yang sangat menarik. Tulisan ini berisi guidance utamanya menurut saya untuk Citizen Journalism dengan istilah-istilah kunci saat mereka akan menulis tentang Palestina. Karena Citizen journalism adalah kegiatan jurnalis yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan dari kalangan jurnalis profesional, saya memandang tulisan Pizaro penting diperhatikan Citizen Journalism mengindahkan keyword dari Pizaro supaya tidak keliru saat mendeskripsikan persoalan Palestina hari ini.

Begini kata Pizaro:

Pertama, hindari menulis kata “Konflik Palestina-Israel” karena yang terjadi di tanah Palestina bukan konflik, tapi penjajahan struktural. Istilah konflik tidak menggambarkan realitas sesungguhnya di Palestina yang mengalami kolonialisme sistematis oleh zionis. Istilah konflik tentunya juga tidak menggambarkan agresi dan ketidakadilan Israel terhadap masyarakat adat Palestina.

Kedua, media-media juga lebih memilih untuk menulis “bentrokan antara warga Palestina dan tentara Israel”. Berita-berita ini mengaburkan akar kekerasan Israel yang seolah-olah peristiwa ini hanya insiden sementara dan bukan kekerasan sistematis yang dilakukan penjajah Zionis sejak lama.

Ketiga, hindari menulis kata-kata “teroris Hamas”, “Teroris Palestina”, dan “tentara Israel”. Istilah ini mengesankan Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya adalah entitas ilegal, sedangkan Zionis adalah negara resmi dan tentara resmi. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Zionis saat ini menduduki tanah curian yang menjadi hak sah bangsa Palestina.

Keempat, dalam menyebut kelompok perlawanan, langsung saja sebut Hamas. Menggunakan istilah “militan Hamas” sama saja mengabaikan fakta bahwa mereka memenangkan pemilu secara demokratis sejak tahun 2006.

Kelima, hindari menulis perlawanan bangsa Palestina tanpa konteks. Jelaskan dalam penulisan akar masalah mengapa bangsa Palestina melakukan perjuangan. Karena mereka mengalami penindasan secara panjang, tidak bebas menjalankan agamanya, hidup blokade, boikot ekonomi, kemiskinan, dll akibat penjajahan.

Keenam, pastikan konsistensi dalam menggambarkan korban Palestina sebagai “terbunuh”, bukan “meninggal/tewas”. Hindari penggunaan kalimat pasif saat mendeskripsikan peristiwa. Dalam judul, sebutkan siapa yang melakukan tindakan tersebut, bukan hanya di mana tindakan tersebut terjadi, untuk menghindari ambiguitas dalam penulisan.

Ketujuh, berikan konteks penuh terhadap peristiwa-peristiwa tersebut, termasuk peristiwa-peristiwa sebelumnya yang telah menyebabkan kekerasan. Hindari menyiratkan bahwa tanggung jawab atas kekerasan hanya ada pada bangsa Palestina. Mereka adalah “korban” bukan “pelaku”. Jangan sampai yang terjadi dalam penulisan adalah sebaliknya.

Nah, ini keren. Bila Anda adalah bagian dari Citizen Journalism dan ingin menulis tentang Palestina, guidance dari Pizaro patut diperhatikan. Yang paling penting lagi, jangan jadi Citizen Journalism corong Zionis Yahudi yang kerap menuduh HAMAS adalah Syiah dan antek Yahudi.

Terima kasih, Pizaro. One day, Palestine will be free.