CREATIVE MINORITY


Creativity. Photo Credit: https://lifestyle.kompas.com/
Toynbee dan Akar Peradaban

CREATIVE Minority. Idiom ini saya dapat dari Ketua Majelis Pengurus ICMI Orda Depok Prof. Dr. Eng. Ir. Sri Harjanto pada kata sambutan pembuka rapat kerja ICMI. Menarik sekali soal creative minority ini beliau ulas.

Creative minority merupakan gagasan sejarawan Arnold Joseph Toynbee, profesor sejarah Universitas London. Toynbee dalam bukunya; A Study of History menyebutnya sebagai cikal bakal peradaban yang lahir dari sekelompok minoritas yang kreatif, atau Creative Minority itu.

Menurut Toynbee, sebuah peradaban itu muncul bukan berasal dari individu dengan genetik yang superior, atau karena lingkungan geografis yang menguntungkan. Akan tetapi, peradaban terbentuk karena ada individu-individu atau sekelompok orang yang memberikan respons kreatif dari situasi atau kondisi, atau tantangan yang sulit.

Respons kreatif itu bisa berupa ide atau gagasan, metode atau program kerja sebagai upaya realisasi dari ide dan gagasan. Begitu kreatifnya, bisa jadi ia out of the box. Yang jelas, ide kreatif itu merupakan jawaban dari masalah-masalah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Nah, dari sanalah muncul peradaban baru. Dan, peradaban baru itu akan lebih baik dan berdaya tahan lama ketika Creative Minority ini selalu hadir dalam satu komunitas. Metode atau program kerja Creative Minority itu kemudian ditularkan dan disebarkan kepada komunitas yang lebih mayoritas, dalam lingkup dan skala yang lebih luas.

Begitulah Creative Minority yang diilustrasikan Toynbee.

Filosof di Tengah Para Sophis

SEBUAH novel setebal 700 halaman lebih; “Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat” hampir tuntas saya baca. Novel itu sangat menarik menurut saya. Membaca novel ini, seperti melahap menu filsafat yang berat, namun mata hampir tidak mau berhenti menyisir tiap paragraf. Penulisnya; Jostein Gaarder, intelektual dan novelis asal Norwegia, pandai sekali memikat saya yang gandrung pada filsafat dan novel.

Dalam novel itu, Gaarder ada menyinggung dua komunitas; sophis dan filosof. Para sophis adalah komunitas yang tidak mau menjadi pembelajar. Mereka orang kebanyakan, para penikmat dunia –digambarkan sebagai orang yang sibuk menyelusup ke dalam bulu-bulu kelinci dan meringkuk dengan nyaman di sana. Di dasar bulu-bulu itulah mereka tinggal sepanjang ­hidup dengan nyaman. Kenyamanan itu membuat mereka tidak mau mengambil risiko dari memanjati bulu-bulu halus kelinci untuk sampai ke ujungnya.

Para filosof adalah komunitas yang mau bersusah-susah memanjati bulu kelinci itu. Sebagian di antara ­mereka jatuh bertumbangan, namun bangkit dan memanjat lagi, jatuh dan memanjat lagi. Yang sudah sampai di puncak tetap bertahan ­mati-matian sambil ­meneriaki para sophis yang terbuai di tengah kelembutan yang nyaman. “Ibu-ibu dan Bapak-bapak! Kami melayang-layang di angkasa!” teriak para filosof antusias melihat dunia luar dari atas puncak bulu.

Akan tetapi, para sophis bergeming dan tetap asyik menjejali diri mereka dengan makanan dan minuman lezat. Tidak seorang pun di antara para sophis menaruh peduli. Bahkan, para sophis balik meneriaki para filosof itu dengan ketus. “Huh! Gerombolan pembuat onar!” kata mereka sambil terus berceloteh. “Tolong ambilkan menteganya, ya! Seberapa banyak saham kita naik hari ini? Berapa harga tomat?” sambung mereka bersahutan.

Keriweuhan para sophis itu semuanya soal uang, soal rumah dan kendaraan, soal kebutuhan perut, pokoknya soal kesenangan di zona nyaman. Tidak lebih. Kesibukkan mereka hanya seputar permasalahan pribadi sehari-hari sehingga keheranan mereka ­terhadap dunia tersuruk ke belakang.

Sementara, para filosof melihat dirinya hanya sebagian kecil dari permasalahan universal yang menggelisahkan. Karena itu mereka tidak suka berdiam diri di zona nyaman. Mereka mau berpeluh-peluh, memeras otak memasarkan ide dan gagasan. Mereka Creative Minority yang berusaha menjawab tantangan membangun peradaban baru yang akan diwariskan kepada generasi masa depan.

Bukan Genetik

Tipologi filosof dan komunitas Creative Minority bukan perkara kebetulan dan tiba-tiba. Akan tetapi, ia bisa muncul dengan sendirinya dipicu oleh kesamaan persepsi, ide, dan gagasan. Artinya, kebetulan dan ketiba-tibaan itu hanyalah momentum di mana “para filosof” itu bertemu lalu membentuk komunitas kreatif yang sedikit itu. Jadi, baik filosof maupun Creative Minority bukan bersifat bawaan, tapi ia “diciptakan” oleh problem yang membutuhkan jawaban.

Di setiap zaman, proses kreatif mengalami pasang surut. Konon menurut para sejarawan, pada abad pertengahan, Eropa tersuruk dan terbenam dalam lumpur zaman kegelapan (The Dark Age). Akan tetapi pada saat yang bersamaan, peradaban Islam yang diwakili oleh Baghdad dan Andalusia sedang menikmati masa-masa keemasan (The Golden Age) hampir di segala lini hidup mereka. Bagaimana itu semua terjadi? Itu semua terjadi karena ketiadaan dan keberadaan Creative Minority di tengah-tengah mereka.

Lalu, pendulum sejarah berputar. Perdaban Eropa naik kelas sampai hari ini karena Creative Minority terus tumbuh bergantian sejak mereka belajar pada Islam di Andalusia. Sementara peradaban Islam masih terseok-seok dan semakin kekurangan Creative Minority dari hulu hingga hilir. Hmm, pekerjaan rumah yang berat.

Dunia membutuhkan komunitas Creative Minority. Sekolah; dunia kecil sebagai salah satu pusat peradaban, tidak boleh kehilangan Creative Minority. Bahkan ia, seharusnya menjadi semacam inkubator bagi persemaian bibit-bibit Creative Minority itu tumbuh setiap jenjang, setiap tahapan, mengikuti pola hierarki calon filosofis itu berkembang. Hanya saja, seleksi alam selalu sampai pada kesimpulan; para filosof amat sedikit saat ia berdiri di samping para sophis.|

I LOVE MY JOB


Cover buku You Can if You Think Can. Photo Credit: ttps://www.jasonrichcemerlang.com/

NORMAN Vincent Peale menulis buku "You Can if You Think Can", Anda bisa, bila Anda berpikir Anda bisa.  Judul buku Peale di atas dielaborasi narasumber pada wawancara saya pagi menjelang siang pada Sabtu 28 Mei 2022. Wawancara dilakukan untuk buku yang sedang saya selesaikan.

Narasumber kali ini bukan orang biasa di Kementerian Agama Jakarta Selatan. Beliau orang penting yang menganggap penting setiap orang yang mengajaknya berbincang. Ia orang yang sudah melahap buku Peale di atas saat masih duduk di bangku SMP. Saya beruntung sekali.

Tulisan ini konten yang saya sisihkan dari topik wawancara hasil sadapan dari buah pikir Dr. H. Taufik, MM., M.Pd., narasumber saya ini. Bahkan, sadapan ini terlalu penting dan menggelitik. Biar saya bagikan saja, khususnya saya bagikan kepada guru atau pendidik.

Ruh al-Mudarris

PAK Taufik ada menyinggung beberapa kalimat kunci. Dalam pemahaman saya yang sedikit, kalimat kunci Pak Taufik begitu penting, menohok, dan patut jadi cermin. Apa itu? Yakni, guru tidak patut kehilangan ruh al-mudarris (jiwa guru) saat ia menjalani profesi keguruannya.

Guru yang kehilangan ruh al-mudarris akan terjebak pada rutinitas; masuk kelas saat bel jam pertama dimulai, mengajar sesuai tupoksi, pulang saat bel terakhir berbunyi, dan di awal bulan menerima gaji. Hanya sebatas itu aktivitas berbilang tahun. Selesai. Terlalu rigid.

Guru yang kerasukan ruh al-Mudarris menjadikannya sosok enerjik yang dirindukan. Ia menjadi inspirasi, sebab kata-kata dan aksinya selalu membangkitkan. Ia menjadi guru yang kehadirannya ditunggu-tunggu meskipun pertemuan hanya berlangsung sekejap untuk konfirmasi tugas mandiri di kelas.

Tanpa ruh al-mudarris, guru hanya fisik tanpa jiwa. Guru akan sering menjadi “makhluk gaib” dengan setumpuk tugas mencatat. Sekali dua kali, ia jadi buah bibir anak-anak yang baru beranjak dewasa oleh sebab terlalu sering meninggalkan kelas dan menitip catatan. Tapi tunggu dulu, ini hanya contoh kasuistik. Bukan gejala umum.

Tanpa ruh al-mudarris, guru gampang "masuk angin", gampang "mencret", dan gampang "pusing". Akan tetapi, kelas tetap tampak terisi dengan istilah yang dihalus-haluskan; "free time".

Saya berkaca, dengan mata berkaca, saya masih jauh panggang dari api, masih terseok-seok dari citra guru dengan ruh al-mudarris yang berapi-api. Sementara Pak Taufik dengan lugas memberi garis bawah, orang tidak bisa jadi guru bila tidak memiliki jiwa guru, miskin dari ruh al-mudarris.

Saya dan Dr. H. Taufik MM., M.Pd., Foto Credit: Abdul Mutaqin

I Love My Job.

GURU dengan ruh al-mudarris yang menyala, akan mencintai dunia mengajar lebih dari sekadar profesi yang berhak menikmati salary. Akan tetapi, pada dimensi soul-nya, guru tidak bekerja untuk uang. Dia bekerja untuk mentarbiyah jiwa manusia yang hidup, jiwa yang sedang menyongsong masa depan.

Boleh jadi, keberhasilan masa depan peserta didik, banyak bergantung pada jiwa guru yang mengasuhnya. Boleh jadi pula, kegagalan masa depan peserta didik disebabkan karena kemiskinan ruh al-mudarris guru-guru mereka. Dahsyat.

Guru itu sabar merawat azzam dengan spirit I Love My Job meski tidak harus diteriakkan di muka kepala sekolah. Karena mencintai itu, guru tak pernah kehabisan energi untuk membuka jalan bagi masa depan peserta didik tiap kali tatap muka berlangsung di kelas. Seperti mencintai kekasih, energi selalu tersedia.

Setiap guru yang sungguh-sungguh berbisik I Love My Job, bisikkannya, sedikit atau banyak, pastilah akan menggerakkan jiwanya sendiri dalam berkarya. Lalu, karyanya membuat jiwa-jiwa peserta didik selalu menyala. Sebab, di tangan guru yang demikian, tiap kali tatap muka, peserta didik mendapatkan inspirasi, sesuatu yang berharga yang akan dikenangnya sepanjang hidup.

Work With Love

MATA batin guru selayaknya tetap jaga untuk segala potensi siswa yang kasat mata. Guru tidak boleh "merem" atau "pura-pura merem", lalu baru terbuka lebar bila ada bayangan nominal di sana, baru bergerak bila ada konvensasi. Memang guru berhak menikmati salary. Akan tetapi, baru berenergi bila ada uang lebih untuk tambahan membayar cicilan tentu terlalu naif, tidak sepadan dengan muru’ah kepribadian guru yang dipersonifikasikan sebagai pahlawan.

Guru memang pengambil peran, bukan penunggu peran. Sebab, jiwa-jiwa peserta didik menaruh harapan pada peran gurunya. Maka, tidaklah elok, hanya karena tidak ada imbalan, guru mengabaikan hal yang kasat mata itu sambil menunggu peran di mana di sana ada uang lebihan. Ini mematahkan harapan perserta didik. Materi memang penting, tapi abai pada jiwa karena lebih tertarik pada materi, sama saja menyia-nyiakan potensi peserta didik yang jauh lebih penting dan berdampak panjang.

Soal nominal uang, itu domain pemangku kebijakan. Sepatutnya guru tidak terlibat terlalu jauh di sini. Bolehlah, asal sekadarnya. Lagi pula, asalkan pemangku kebijakan memperhatikan sisi manusiawi guru pada kebutuhannya, selesai. Toh, guru sangat layak menerima reward, tapi bukan pengejar reward.

Tentu, reward diberikan dengan dalil asas pemerataan, keadilan, dan profesionalisme personal. Dalam sistem tata kerja lembaga, pada spirit Work With Love memang ada nuansa keikhlasan yang khas. Namun, ikhlas bukan berarti harus tidak dibayar, melainkan berangkat dari falsafah Islam tentang reward: "berikanlah imbalan sebelum keringat mereka kering" reward harus diperhatikan.

"Berikanlah imbalan sebelum keringat mereka kering" adalah ucapan manusia yang paling mengerti soal keikhlasan; Nabi Muhammad SAW. Pastilah orang dengan gelar akademik di atas rata-rata dan mengerti hadits di atas pemahaman orang kebanyakan, hadits di atas amat diperhatikan.

Akan tetapi di saat yang bersamaan, pengamalan hadits tentang reward itu tidak boleh menimbulkan problem ketimpangan. Dalam satu rumah, keringat penghuni bisa diatur demi pemerataan. Kapan siapa harus basah lalu menerima reward, kapan siapa harus kering tidak menerima reward. Ini ide dasarnya. Ini hukum equilibrium yang diperlukan dalam soal basah dan kering rezeki untuk menghilangkan kecemburuan sosial dan meneguhkan keadilan sosial. Bukankah manfaat harta tidak diperkenankan berputar-putar pada orang yang itu-itu saja?

Mengajar Dengan Hati

"If you don't love the work you're doing, you'll get sick -physically, mentally, or spiritualy. Evantually, you'll make other's sick too." Lorraine Monroe, Principal & Founder of Frederick Douglass Academy.

Kalimat Lorraine Monroe di atas saya kutip dari hand out Pak Taufik. Kalimat itu begitu menghentak. Bisa jadi, hentakannya bisa membuka kesadaran banyak orang, atau bahkan menutup kesadaran karena dianggap terlalu berlebihan.

Akan tetapi, setiap guru pasti sepakat bahwa mengajar dengan hati adalah kunci keberhasilan pembelajaran yang dikelolanya. Hanya saja pada tataran praktis, soal kadar cinta, itu sepadan dengan pribadi setiap guru itu sendiri. Banjir, sedang, atau kering kadar cinta, tentu masing-masing pribadi yang bisa mengukurnya.

Semoga saja, para guru tidak susah sekadar berujar, I love my job! Semua guru bisa mengatakannya. Anda pun bisa. So, You can if You think can.|

BARISTA MUDA KOPI KEBUN

Fitriyanti, Dwi Ferdyana, Ahmad Sandy Rizani, Abdul, Dani Wahyudi di Kopi Kebun. Foto Credit: Ahmad Rudianto.

Benua Hitam

SIAPA yang tidak mengenalnya? Ia sangat familiar. Boleh jadi, semua orang pernah merasakan sensasi rasanya. Tak terkecuali Anda. Atau, barangkali Anda adalah salah seorang dari penikmat fanatik minuman beraroma khas ini.

Dari cerita yang beredar, konon bahan dari minuman ini ditemukan di Ethiopia, Afrika, pada abad ke-9. Bermula dari para penggembala kambing di benua hitam itu yang menemukannya secara tidak disengaja. Mereka heran, ada apa dengan ternak-ternak mereka yang selalu terjaga di malam hari. Sampailah pada satu kesimpulan; dedaunan dari pohon pendek berbuah kecil-kecil yang banyak dimakan ternak mereka di siang hari. Ya, kopi! Dedaunan dari pohon pendek berbuah kecil-kecil itu adalah kopi.|

Kopi Berkelas



Kopi Pala, salah satu sajian kopi khas Kopi Kebun. Foto Credit: Kopi Kebun

KOPI sudah menjadi trend. Dari lapak-lapak warung tradisional, rumah makan, cafe-cafe, sampai restoran berkelas menyajikan kopi. Pendek kata, kopi sudah menjadi nomenklatur minuman yang amat digemari dari masyarakat biasa sampai orang gedean.

Meski demikian, bagi penikmat kopi fanatik, tempat bukanlah ukuran kepuasan menikmati kopi. Generasi 90-an ke belakang di kampung saya, “ngopi” baru disebut “ngopi” bila yang mereka teguk adalah kopi merk Liong Bulan atau Kopi Liong. Selain kopi merk itu, ’gak nendang’ meskipun di meja mereka ada sajian kopi resto paling top sekalipun.

Sampai hari ini, sisa-sisa generasi 90-an ke belakang itu masih bertahan dengan kopi Liong. Hujan badai tiada arti jika sudah berhadapan dengan seduhan Kopi Liong cap gambar naga dan bulan sabit tua. Tak ada Liong, tak ada “ngopi” kata mereka.

Di Jl. Cendrawasih 1 No.59, Sawah Baru, Kec. Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten 15415, ada tempat ngopi dengan racikan berkelas. Lokasinya tidak jauh dari kota satelit Bintaro. Meskipun berada di kawasan padat penduduk, tempat kopi ini rimbun, seperti konsep yang dikembangkan pemiliknya sebagai Kopi Kebun. Kopi di sini kopi generasi baru, generasi yang tidak sempat berkenalan dengan Liong.

Dibangun di area seluas lebih kurang 6000 meter persegi, Kopi Kebun bukan saja lapang, ia juga menghadirkan pepohonan seperti kecapi, bambu, rambutan, dan beberapa jenis pohon lain layaknya kebun. Ada juga sepetak rumpun padi. Dari batangnya yang agak tinggi, kemungkinan itu rumpun padi jenis padi beras ketan.

Lebih dari itu, sajian kopinya berkelas.|

Dari Tangan Barista Muda


Dwi Ferdyana , salah satu owner Kopi Kebun. Foto Credit: Ahmad Sandy Rizani

USIANYA masih muda. Ganteng pula wajahnya. Sekilas, rupa anak muda ini seperti WNI keturunan. Bisa jadi, tapi entahlah. Riskan juga menanyakannya soal itu. Gak penting juga buat diselisik. Apalagi, perhatian sudah terpesona pada cita rasa dari racikan kopi yang dihidangkan.

Barista Muda ini salah satu dari pemilik Kopi Kebun. Ia belajar seluk beluk kopi sampai Gayo Takengon, Aceh, ke markas GAM sebab ia penikmat kopi cukup fanatik. Dari petualangannya menguak rahasia kopi ini, Kopi Kebun adalah sintesis dari rasa kopi yang ia cicip di mana kopi dihidangkan sepanjang daerah yang dijelajahi sampai ke Aceh itu.

Ia bertutur, rasa kopi ditentukan oleh banyak faktor. Kopi Gayo yang ditanam di area dengan ketinggian 1400 MDPL (Meter di Atas Permukaan Laut) dengan 1200 MDPL, tidak sama dalam cita rasa padahal ia sama-sama kopi Gayo. Kopi yang ditanam dengan tumpang sari pohon cokelat tidak akan sama rasanya dengan kopi tumpang sari pohon pisang, singkong, atau palawija.

Begitulah kopi.

Rasa kopi memang kompleks. Kata barista muda ini lebih lanjut, 60% rasa kopi ditentukan petani, 30% rostery, dan 10%-nya ada di tangan barista.

“Makanya, kata saya, mempelajari kopi lebih sulit dari mempelajari wanita, Pak.” Kata Barista Muda ini.

Ups! Segitunya?|

Masa Lalu

HUJAN deras mengguyur. Dingin, namun tak berarti lagi sebab sesapan kopi panas Kopi Kebun membuat rasa itu luruh. Perbincangan jadi mengalir hangat hasil perpaduan kopi yang masih mengepul dan topik kopi yang menarik. Apalagi soal Rahma, dan masa lalu Barista Muda ini, rasanya perbincangan seperti jalan yang tak berujung. Oh, Rahma.

Sesekali perbincangan terputus karena backsound petir yang mengiringi hujan bersahutan. Meski begitu nyaringnya bak memecah langit, petir tidak mengganggu perbincangan sore kemarin.

“Kepikiran ‘nggak waktu di sekolah, bakalan punya usaha kopi?” Tanya saya.

Barista Muda ini menggeleng.

Memulai usaha dengan modal hampir setengah miliar, dalam jangka waktu satu setengah tahun sudah BEP (Break Even Point). Bahkan sekarang, Kopi Kebun berkembang dengan kehadiran Dapur Kebun. Di Dapur Kebun, pengunjung bisa menikmati menu kampung, menu sudah langka tapi bisa membawa pada masa lalu yang bersahaja. Sebut saja tumis genjer. Aih, sedapnya. Ada juga tumis daun pepaya dan menu lain yang ngangenin mengajak ingin kembali lagi ke Dapur Kebun.

Top, dah.|

Almamater Berkesan


Suasana Kopi Kebun di malam hari. Foto Credit: Kopi Kebun

RASANYA, waktu berjalan begitu cepat. Perbincangan harus segera disudahi sebab ia adalah batas ruang dan waktu. Hujan pun mulai reda. Tinggal rinai-rinai halus hujan yang masih jatuh dari langit Kopi Kebun.

Barista Muda ini, Dwi Ferdyana, punya kesan saat dahulu belajar di Madrasah Pembangunan (MP). Alumnus 2011 ini merasakan pengalaman belajar di MP, almamaternya dengan ragam gaya guru-guru yang masih melekat di benaknya. Ia fasih sekali menyebut gaya guru-gurunya itu, tanpa beban, lepas, dan membuncah.

“Pak Abdul kayaknya, termasuk killer waktu ngajar dulu.”

Jyaaaaaah. Nasib. Ternyata, oh ternyata.

Dwi merasa mendapat tanaman nilai-nilai dari MP yang dirasanya berguna pada kehidupannya sekarang. Dwi merasa tidak harus jumawa atau besar kepala dengan capaiannya sekarang di usia 25 tahun. Punya omset cukup besar, keren, tapi dalam takaran tertentu Dwi merasa ia biasa-biasa saja. Kedua orang tua Dwi juga mengajarkan hal yang sama; kerendahan hati, sedekah, dan shalat Subuh di masjid.

Hmm, sore itu saya dan guru-guru Dwi; Pak Sandy, Bu Fitri, Pak Dani dan sahabat kami Bang Rudi seperti belajar pada murid sendiri; belajar tentang kopi dan kehidupan.

Teruslah menebar kebaikan ya, Dwi. We are proud of you!


Perpustakaan, Kamis 19 Syawal penuh berkah.

"DIJEWER" KIAI MUDA MUHAMMADIYAH

Foto Credit: Saling Sapa TV

SAAT itu masih muda, baru 28 tahun. Di usia segitu, sudah diberi amanah memimpin Ranting Muhammadiyah periode 2000-2005. Berat ini.

Beberapa hari setelah Musran usai, Drs. H. Moh. Muslim (Allahuyarham) membesarkan hati. "Anda pasti mampu. Terima dengan legowo." Begitu kata beliau dengan gaya bicaranya yang khas.

Tenanglah rasa hati sedikit. Apalagi, kepemimpinan dipanggul 9 anggota pimpinan. Tentu, hasil-hasil Musran lebih ringan dilaksanakan karena urusan ditanggung renteng.

Di tengah-tengah periode kepemimpinan, tiba-tiba dua anggota pimpinan menyatakan mundur. Apa ini?

Berkerut juga dahi saat itu. Saya tanya pada rumput yang bergoyang, tak ada jawaban.

Malang tak dapat ditolak. Itu hak setiap orang. Orang berhak maju, berhak juga untuk mundur. Apalagi dalam perkara mengurus Muhammadiyah yang tidak boleh dipaksa-paksa. Tidak pula digaji. Ini hanya soal komitmen. Maju atau mundur hanya soal pilihan posisi; memilih di depan atau di belakang.

Bermuhammadiyah, baik pimpinan atau anggota sama-sama berat. Sama-sama membawa contoh teladan Nabi Muhammad SAW baik di depan atau di belakang, sekadar kemampuan masing-masing. Ada yang kadarnya banyak, sedang, sedikit, ada juga yang lebih sedikit.

Hanya saja, menjadi pimpinan lebih berat tanggung jawab moralnya. Kalau ada pimpinan Muhammadiyah dan anggota Muhammadiyah melakukan pelanggaran, yang lebih disorot tentu pimpinan daripada sekadar anggota, padahal sama-sama melanggar. Sekadar contoh, kalau ada anggota Muhammadiyah, yang satu anggota biasa yang satu pimpinan dua-duanya pernah ketahuan godain istri orang, siapa yang paling ramai dibicarakan di warung kopi, di pangkalan ojek, di warung sayur, atau di forum-forum arisan?

Jamaah masjid yang jarang ke masjid untuk berjamaah, tidak terlalu disorot. Akan tetapi, jika pengurus DKM jarang ke masjid tanpa ada alasan (uzur syar’i), atau ustaznya jarang ikut jamaah, tentu akan jadi pusat sorotan. Begitulah hukum dialektika berlaku dalam sebuah organ.|


PENGALAMAN paling berkesan saat mengurus Muhammadiyah didapat ketika "dijewer" seorang kiai muda Muhammadiyah dari Sawangan pada pengajian bulanan. Kiai Muda itu diundang untuk menyampaikan ceramah. Beliau tamu saya. Saya yang mengundang.

Saat menyampaikan kata sambutan, persoalan liberalisme (yang menganggap semua agama sama, nikah beda agama bukan masalah, homoseksual dan LGBT dianggap halal, termasuk bolehnya mengucapkan selamat natal) saya kemukakan. Karena semakin hari paham ini makin menguat dan meresahkan.

Sebagai Pimpinan Ranting, saya pandang perlu membicarakan kembali problem ini kepada warga Muhammadiyah supaya sejak awal mereka paham bahwa tantangan dakwah ke depan semakin berat dan kompleks. Dan, bahaya paham ini sudah beberapa kali saya sampaikan dalam satu dua kesempatan pengajian. Jadi, bagi jamaah Ranting Muhammadiyah Pulo, wacana tentang liberalisme Islam bukan hal baru bagi mereka.

Akan tetapi, entah apa dasar pemikiran sang kiai. Dalam ceramahnya, secara terbuka beliau sampaikan, "Tak perlu lah kita bicara soal paham liberal. Tidak relevan dengan lingkungan kita," katanya dengan penjelasan sedikit sumir.

What?

Aduh, rasanya seperti murid yang disetrap disuruh berdiri sambil mengangkat sebelah kaki di depan kelas. Lalu, kuping dijewer di muka banyak orang. Wajah terasa hangat memerah. Barangkali jika bercermin, bisa jadi merahnya wajah ini semerah kepiting rebus karena menahan rasa tak enak hati di muka jamaah sendiri.|


DEDDY Corbuzier bikin heboh karena mengundang pasangan gay, Ragil Mahardika dan Fredik Vollert untuk podcast-nya di YouTube. Banyak orang Islam tersinggung karena Deddy dipandang mendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Saya cuma narik napas melihat reaksi galau banyak orang Islam dan tokoh agama saat masalah ini mencuat lewat podcast-nya si Deddy. Telat! Ke mana saja selama ini?

Tapi, daripada tidak bereaksi sama sekali, tak apalah meskipun telat. Sementara bahaya liberalisme sudah semakin masif. LGBT di depan mata.

Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan berita pernikahan perempuan berjilbab dengan seorang pria Katolik. Pernikahan berlangsung di hotel. Yang bertindak sebagai penghulunya Ahmad Nurcholish, aktivis LSM dari Pusat Studi Agama dan Perdamaian, ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace). Pemberkatan pernikahan tersebut dilakukan di gereja Saint Ignatius, Semarang. Asal diketahui, pengantin kawin silang ini merupakan pasangan ke 1.424 yang menikah beda agama di Semarang, Jawa Tengah.

Demikian pula yang dilakukan Staf Khusus Presiden Jokowi, Ayu Kartika Dewi jadi perbincangan hangat. Pernikahan beda agama yang dijalaninya dengan Gerald Sebastian berlangsung secara Islam dan Kristen, akad nikah dan pemberkatan.

Ayu mengatakan ia menikah dengan Gerald setelah dua tahun pacaran. Dalam unggahannya, Ayu menulis bahwa ia pernah mencoba menulis 100 kriteria teman hidup yang ia inginkan. "Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa nulis sampai ke angka 100. Beberapa tahun kemudian, saya dikenalkan dengan orang ini. Ternyata dia memenuhi 97 dari 100 kriteria. Jadi, ya gitu deh," tulis Ayu seperti dikutip https://www.liputan6.com/.

Bayangkan. Syari’at larangan menikah beda agama tersingkir dengan 97 kriteria yang dasarnya hanya keinginan. Akad nikah berlangsung pada 18 Maret 2022. Ayu tampak mengenakan hijab saat akad berlangsung. Setelah pernikahan, pemberkatan pernikahan dilangsungkan di Gereja Katedral, Jakarta.

Pernikahan semacam ini sudah seperti gelombang. Bukan mustahil, gelombang semakin membesar seiring liberalisme semakin menguat. Belum lagi kita dihadapkan pada fenomena islamophobia yang pernah diulas Prof Haedar dengan sangat lugas. Masihkah para ustaz berdiam diri mengunci mulut? Terus, masihkah kita dilarang-larang mengupas bahaya liberalisme? |

PAGI ini, rasa hati agak miris membaca pesan yang di-forward Ustaz Nur Fajri Romadhon di akun Grup WA KMMD. Pesan itu berisi kritik seseorang atas beberapa persoalan warga Muhammadiyah di akar rumput. Disinggung juga soal kasuistik kualitas ustaz-ustaz Muhammadiyah yang cara ibadahnya sudah centang perenang. Memang, maksud dari “centang-perenang” dalam pesan itu tidak jelaskan.

Akan tetapi, kata “centang perenang” sendiri bermakna “porak-parik; berantakan”. Artinya cara ibadahnya sang ustaz yang dimaksud sudah porak-parik; berantakan. Sedemikian centang perenangkah cara ibadah ustaz yang dimaksud di tengah kemudahan akses tuntunan ibadah menurut Manhaj Tarjih Muhammadiyah yang bisa diakses 24 jam?

Miris memang, semiris hati saat “dijewer” Kiai Muda itu.|

Rabu, 18 Syawal penuh berkah.

KETIBAN TAKRA

Foto credit, https://www.pikiran-rakyat.com/

KETIBAN Takra
, istilah tua, anak milenial jarang yang mengerti. Tapi, bagi 'generasi kolonial', istilah ini adalah bahasa sehari-hari.

Ketiban Takra itu tidak enak, lebih tidak enak dari ketiban tangga. Rasa sakit ketiban tangga, mungkin sehari dua hari sudah hilang sakitnya. Paling lama seminggu atau sebulan. Akan tetapi, Ketiban Takra bisa berbulan-bulan, bisa jadi berbilang tahun sakitnya tidak juga hilang.

Jadi, saya pernah Ketiban Takra. Ceritanya begini. Satu kali, ada orang datang tanya-tanya soal umrah. Orang tanya, ya saya jawab. Jawaban berdasar pengalaman, bukan ngasal jawaban ngalor ngidul.

Rupanya, mertua orang yang tanya-tanya itu mau umrah. Keren. Harus dibantu meskipun sekadar bantuan informasi.

"Kemaren Babe umrah, pake travel mana, Ji?"

Eeeh, tak kira mau tanya kaifiat umrah? Cuma mau tanya soal travel, toh. 😄

"Pelayanannya gimana? Memuaskan tidak?"

Wah, gak bisa kasih informasi detail kalau pertanyaan soal kepuasan travel, yang bisa menjelaskan tentu orang yang pake travel itu. Salah alamat ini.

"Wah, tanya Babe kalau soal itu."

Berangkatlah orang itu nemuin Babe.|

Eh, orang itu balik lagi, nanyain soal travel dan minta diantar ke travel di mana Babe berangkat umrah.

Berangkatlah pake motor saya, bensin saya yang isi, orang itu tinggal nangkring sampai ke travel. Kan maen, dah.🤣

Memang, travel ini punya kawan saya. Kawan pun hanya kawan selewatan saja, tidak akrab, sekadar kenal.

Saya pun bukan bagian dari travel milik kawan ini, tidak juga tanam saham, muthawwif-nya juga bukan. Pendek kata, saya tidak punya hubungan bisnis atau kemitraan dengan travel itu. Saya benar-benar orang asing bagi travel milik kawan ini.

Namun, karena kawan yang punya travel ini ia kenal baik saya, saya diperlakukan lebih dari sekadar tamu saat mengantar orang itu mendaftar. Ini kali kedua bertemu soal urusan umrah setelah ngurus umrah Babe.

Kawan ini begitu senang tersambung silaturahim lagi. Bahkan kawan ini sempat menawari saya mengisi kajian pada tiap Sabtu untuk calon jamaah umrah travelnya. Namun saya tidak menyanggupi.

Kewajiban saya diminta mengantar selesai. Tidak ada komisi, tidak ada uang tanda terima kasih, baik dari travel atau dari orang yang minta diantar. Asli, memang niat saya bukan cari komisi, cuma nganter.

Seterusnya, orang yang mendaftarkan umrah mertuanya ini jalan sendiri. Ya, karena sudah tahu travelnya. Segala transaksi, segala tetek bengek, dan segala administrasi apa pun antara calon jamaah umrah dengan travel, menjadi tanggung jawabnya.

Hampir dua tahun berlalu. Tak ada kontak lagi.|

Tiba-tiba, jebred! Heboh. Travel itu kolap. Banyak jamaah tidak diberangkatkan. Jamaah merasa ditipu.

Mertua si orang yang minta diantar itu termasuk yang tidak diberangkatkan ke Makkah. Kasihan.

Rupanya, cerita tidak selesai sampai di sini. Seolah-olah, saya dianggap turut bertanggung jawab atas gagalnya sang mertua orang ini berangkat umrah. Ia datang berkali-kali membawa wajah masam. Istrinya juga masam.

Naluri saya berkata, meski tidak diucap, saya tahu, saya dituduh. Saya dituduh ikut menipu. Orang itu sendiri yang mengutip omongan salah seorang keluarga mertuanya bahwa kepindahan saya ke Meruyung karena alasan malu, buat membuang rasa malu karena menipu.

Lha, padahal, sewaktu kali pertama orang itu minta informasi soal travel, dia datangnya ke Meruyung, rumah sewa yang saya tinggali. Lha, coba itu. Mungkin dia lelah.|

Suatu hari, saya sudah putus asa. Daripada dikejar-kejar melulu, lebih baik diganti sajalah uangnya. Cuma, istri saya ngotot.

"Apa urusannya kamu mengganti untuk uang yang kamu tidak tahu apa-apa? Ini bukan soal uang, ini soal harga diri. Kalau itu kamu lakukan, secara tidak langsung kamu mengakui bahwa kamu ikut menipu dan menikmati uang itu! No! La! Nehi!"

Bener juga.

Pada kedatangan orang itu yang kesekian kali, dia bawa serta pamannya. Wah, tambah ribed ini, pikir saya.

Akan tetapi, hati orang siapa tahu. Tanpa saya duga, sang paman malah membela saya setelah mendengar penjelasan bagaimana duduk perkara yang sebenarnya dari saya.

"Bapak ini tidak salah. Salah alamat kalau dituntut harus ikut bertanggung jawab."

Twew!

Nasrun minallaah wa fathun qariib.|

Waw! Rupanya, kasus ini ramai dibicarakan beberapa orang bagian utara kampung saya, tempat orang yang minta diantar itu. Bisa jadi, nama saya sudah begitu buruknya jadi bahan omongan. Buruklah pokoknya. Inilah kasus Ketiban Takra yang saya alami. Tidak tahu soal duduk perkara, didudukkan seperti pelaku.

Adalah Bibi saya, orang yang sampai hari kemarin masih menyimpan teka-teki soal jamaah yang tertipu travel itu, soal yang saya sendiri sudah nyaris melupakan karena sudah hampir lebih dari 4 tahun berlalu.

Jadi rupanya, selama ini, Bibi saya itu selalu memikirkan saya. Dari cerita yang saya dengar darinya malam Jumat kemarin, hati nuraninya seakan bertarung antara percaya dan tidak atas keterlibatan saya.

"Masa sih si Aa begitu? Si Aa begimana sih, ya? Enggak mungkin ah si Aa begitu."

Demikianlah hati Bibi saya itu bolak-balik. Ah, bisa jadi, tiap kali Bibi saya hadir dalam kajian-kajian yang saya sampaikan, mendengar saya ceramah, hatinya semakin sengit berkelahi. Apa lagi kalau bukan informasi yang Bibi tahu dari mulut ke mulut bahwa saya adalah bagian dari travel yang telah menelantarkan jamaah umrah. Saya adalah bagian dari penipu uang jamaah.

Barulah setelah saya sampaikan duduk perkara di mana posisi saya dalam kasus travel itu, tampak sekali Bibi saya lega.

Saya mengerti, kasihan jamaah yang mengalami kasus seperti yang saya kisahkan ini. Kasihan kawan saya yang pemilik travel itu. Dari informasi berbeda yang saya dengar, uang jamaah digondol orang dekatnya sendiri. Kawan saya itu juga korban. Namun apapun itu, kawan saya harus menerima risiko dipenjarakan jamaah yang merasa ditipu.

Betapa sakitnya banyak pihak yang tersangkut kasus travel itu. Betapa pahitnya Ketiban Takra. Mudah-mudahan dapat ganti ketiban rezeki.😁

Sabtu, 13 Syawwal yang penuh berkah.