DOORPRIZE PALING MAHAL





Doorprize Jalan Sehat Milad Muhammadiyah ke-109. Foto credit WA Grup Muhammadiyah Pulo

Doorprize Milad

MILAD Muhammadiyah ke-109 sudah berlalu lebih dari 10 hari sudah. Meriah sekali. PRM Pulo menggelar Jalan Sehat menyambut Milad itu. Ada doorprize-nya. Kulkas, mesin cuci, kipas, dan hadiah-hadiah hiburan yang menarik. 300 kupon doorprize yang disediakan panitia tidak cukup. Warga Muhammadiyah Ranting Pulo yang ikut Jalan Sehat melebihi ekspektasi Panitia. Alhamdulillah, ternyata jamaah Muhammadiyah, Aisyiyah, dan Ortom masih melimpah.

Hari pada Resepsi Milad itu, orang tua, pemuda, dan anak-anak, berbondong-bondong ikut Jalan Sehat. Ada lebih dari lima peserta balita ikut pula dari atas stroller. Tampak, semangat merayakan Milad dari yang paling muda sampai yang paling tua menyala-nyala. Semoga, bukan karena doorprize itu antusiasme jamaah Muhammadiyah tumpah ruah, tapi karena didorong oleh rasa syukur atas nikmat ber-Muhammadiyah yang tidak bisa dibendung.

Milad Effect

TIDAK disangkal, adanya reward (imbalan) memang menjadi motif melakukan sesuatu. Ia bagai suplemen yang mendorong orang jadi punya semangat berlebih untuk melakukan pekerjaan atau menjawab tantangan. Bisa jadi, saat belum dihadirkan reward, ketertarikan orang untuk melakukan pekerjaan atau menjawab tantangan hanya 50 sampai 75 %. Akan tetapi, dengan dihadirkannya reward, tingkat partisipasi bisa mencapai 80 hingga 95%.

Tampaknya, dihadirkannya doorprize bukan satu-satunya alasan PRM Pulo menggelar Resepsi Milad. Doorprize hanya sekadar alat untuk mengukur sejauh mana antusiasme warga Muhammadiyah saat ini. Selanjutnya, apakah antusiasme itu bisa ditransfer pada kegiatan-kegiatan rutin persyarikatan semisal pengajian rutin Malam Senin, kuliah Subuh, atau pengajian Aisyiyah pada setiap Selasa dan Jum’at, tampaknya masih perlu diperjuangkan.

Doorprize dan Muamalah Duniawiyah

JIKA ada angket disebar kepada peserta Jalan Sehat, dan salah satunya ada pertanyaan: “Apakah Bapak/Ibu ikhlas mengikuti Jalan Sehat?” Pasti jawabannya ikhlas. Apa dasar pertimbangannya? Tentulah doorprize. Sebab jika pertanyaan dilanjutkan: “Apakah Bapak/Ibu ikhlas jika mendapat hadiah kulkas saat kupon diundi?” Pasti jawabannya ikhlas.

Karena doorprize termasuk kategori muamalah duniawiyah atau masalah urusan duniawi, maka keikhlasan mengikuti jalan sehat ukurannya adalah kulkas, mesin cuci, kipas angin, atau magic jar. Itu sah dan tidak akan mengurangi nilai dari Milad dan Jalan sehat itu.

Lalu, apakah mengikuti Milad dan jalan sehat itu berpahala?

Tentu, apabila keikhlasan yang dibangun tidak semata-mata karena doorprize itu, melainkan diniatkan untuk syiar dakwah semakin semarak. Apa ukurannya? Dapat atau tidak dapat doorprize sama saja niatnya untuk syi’ar tidak bergeser. Dapat kulkas, itulah bonus. Tidak dapat, anggap saja belum rezeki, dan tetap bersyukur masih bisa menggembirakan syiar Milad.

Pahala dan perkara Ubudiyah

DARI Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiyallahu anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhari).

Shalat Subuh dan ta’lim termasuk urusan ibadah. Maka, niatnya pun sedapat mungkin harus lurus, harus lillah. Maka, shalat Subuh yang lalu dilanjutkan dengan kajian Subuh, akan bisa membelokkan niat apabila disediakan doorprize seperti doorprize Jalan Sehat. Meskipun dengan niat ingin memberi motivasi agar jamaah berbondong-bondong ikut kajian Subuh, sangat mungkin niat akan berubah dari lillah menjadi lil kulkas, lil mesin cuci, atau lil kompor gas.

Cukuplah doorprize shalat Subuh dan kajian Subuh adalah doorprize yang paling mahal. Sedemikian mahal harganya, ia tidak terbeli oleh dunia dan segala isinya. “Dua rakaat shalat sunnah Fajar lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.” (HR. Muslim). Inilah doorprize paling mahal itu.

Doorprize dua rakaat sunnah fajar memang tidak kasat mata. Tidak bisa dilihat tampilannya. Ia hanya bisa dirasakan oleh kebeningan hati, kecerdasan akal, dan keikhlasan menjalankannya. Lagi pula, Doorprize dua rakaat sunnah fajar itu tidak diterima sekarang, tapi, nanti saat hidup sudah abadi, akhirat. Yang pasti, Doorprize dua rakaat sunnah fajar tidak dikocok. Siapa pun yang datang berbondong-bondong dengan keikhlasan, akan membawa pulang doorprize-nya masing-masing.

Doorprize dua rakaat sunnah fajar adalah urusan hamba dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Manusia tidak bisa ikut campur dalam urusan ini. Yang bisa dilakukan hanya sebatas mengingatkan, menyeru, dan mengajak. Maka, berbahagialah bagi orang yang sudah mengingatkan, menyeru, dan mengajak agar orang berbondong-bondong meraih doorprize Shubuhnya. Berbahagialah orang yang menjawab seruan.

Pada akhirnya, tidak ada seorang muslim yang tidak menginginkan doorprize dari Allah. Setiap hari pun, Allah sudah memberikan doorprize duniawi yang begitu banyak dan mahal harganya. Bukankah hidung masih bisa menghirup udara, mata masih bisa berkedip, lidah masih bisa mengecap, mata masih bisa melihat, telinga masih bisa mendengar, tangan dan kaki masih lentur bisa difungsikan? Tanyakanlah, berapa harganya untuk tetap bisa bernapas?

Semoga Allah tidak bosan memberikan kita doorprize. Aamiin.

MBAK UPI; KENANGAN ATAS TUMIS PEPAYA MUDA

 

Tumis pepaya muda./Copyright cookpad.com/Christina Murni Utami

Pagi tadi, kabar duka sampai ke telinga. Mbak Upi berpulang. Memang, sudah cukup lama kehilangan kontak, sejak pertemanan di FB terputus. Saya ingat, kontak terakhir dengan almarhumah di FB itu soal tumis pepaya muda. Tumis sederhana, namun terasa mewah. Mbak Upi menimpali, “Kapan-kapan, kita ngumpul lagi Pak Abdul. Kita makan tumis pepaya bareng-bareng Pak Jabal lagi.”

Saya aminkan saja candaan itu. Namun, seakan waktu jadi belenggu. Kaki tak jua melangkah. Hingga Mbak Upi berpulang, tumis pepaya muda racikan Mbak Upi itu tak akan bisa saya nikmati lagi selamanya.

Tumis pepaya sesedap itu, salah satunya hadir dari racikan dapur rumahnya. Dari bahan sederhana dan biasa-bisa, jadi istimewa. Komposisi rasa gurih, asin, manis, dan pedasnya pas sekali. Ngena betul di lidah.

Saya tak tahu, bagaimana cara Mbak Upi mengolahnya. Apa karena sudah jam makan siang dan perut sudah minta diisi? Bisa jadi. Adakah bumbu rahasia di baliknya? Mungkin. Apa karena gratis, ya? Nah, bisa jadi juga. Sudahlah lapar, dihidangkan gratis, ya, nikmat mana lagi yang harus didustakan?

Tapi, enggak, ah. Itu bukan kali pertama menikmati tumis pepaya muda. Berkali-kali, tak terhitung. Di samping praktis dan murah, tumis pepaya muda boleh dibilang sudah jadi menu familiar orang kampung. Jadi, Mbak Upi memang punya legacy tumis pepaya muda yang oke banget. Bisa jadi, keikhlasan Mbak Upi yang selalu menyiapkan tumis pepaya itu berlebih agar bisa dinikmati bareng teman-teman Pak Jabal di kantor dahulu saat masih membersamai. Makanan yang dihidangkan dengan ikhlas, maka, cita rasanya disukai Sang Pemberi Rezeki.

“Ibun”, begitu Mbak Upi biasa disapa. Oleh anak-anak, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Sesedih apa ditinggal Mbak Upi, mereka-mereka yang dekat pastilah yang merasakannya melebihi saya. Beruntung, masih dapat waktu untuk berdiri menshalatkan jenazah dan mengantarnya ke pemakaman. Itu kesempatan terakhir untuk memberi rasa hormat sebelum urusan kembali pada masing-masing di hadapan Sang Khalik.|

Hari itu, di sela duka, Pak Jabal; suami Mbak Upi masih bisa tersenyum. Saya yang agak kikuk karena terbawa suasana, semula menyangka Pak Jabal tak setegar itu. Ia memang selalu hangat saat kami bertemu, bercanda, melempar joke, lalu tawa kami sama-sama pecah. Namun, itu di saat perjumpaan suka.

“Tertipu oleh Alam” dan “Kantong Macan” adalah topik candaan 16 tahun yang lalu milik kami, milik kami abadi. Sebab, tiap kali bertemu, “Tertipu oleh Alam” dan “Kantong Macan”, tidak pernah ketinggalan. Dan, hanya kami yang paham maksudnya saat keywords itu kami sebut. Biarpun demikian, simpati merasakan berat perasaan ditinggal istri, saya mengerti meski seberapa remuk redamnya hanya Pak Jabal yang merasa. Akan tetapi, “Tertipu oleh Alam” dan “Kantong Macan” masih pula ia singgung-singgung.

Saya harus katakan, persahabatan saya dengan Pak Jabal dan Mbak Upi adalah hubungan yang selalu berusaha merawat hal-hal yang baik. Sebagai manusia, saya dan beliau berdua pastilah mengerti bahwa tidak ada manusia sempurna. Mungkin saja Pak Jabal ada menyimpan kesan tak sedap tentang saya, begitu juga Mbak Upi. Beliau berdua juga pasti menyadari, ada hal yang tidak sedap yang saya simpan mengenai mereka. Itu manusiawi, manusiawi sekali. Akan tetapi, sisi-sisi manusiawi kami, lebih suka merawat dan mengenang yang baik-baik saja. Sebab dengan begitu, pasang surut persahabatan akan selalu membahagiakan.

Saya pun tidak tahu, apakah saya masuk list sahabat Pak Jabal dan Mbak Upi yang membahagiakannya atau tidak. Yang saya rasa, perkara tumis pepaya muda yang dipersembahkan Mbak Upi enam belas tahun lalu itu saja, sudah membahagiakan saya.

Kepergian Mbak Upi dan kepergian saudara kita yang lain sebenarnya sama. Kepergian mereka semua adalah pesan bagi kita yang masih hidup. Cepat atau lambat, antrian akan sampai waktunya pada diri setiap kita. Pintu loket alam barzakh terbuka 24 jam nonstop dan masing-masing kita sudah mengantongi nomor antrian. Hanya saja, jatuh pada antrian nomor berapa, tidak ada yang tahu. Bisa waktunya bersamaan, bisa tidak, di bumi mana kita masuk pintu barzakh, hari ini, besok, atau lusa, semuanya misteri.

Menunggu. Ya, menunggu. Cuma itu sekarang yang tersisa. Hanya saja, saat menunggu itu apakah setiap diri konsisten mencatat laba pahala jadi membengkak, atau malah menumpuk rugi menggunung. Tentu, setiap orang yang cerdas, akan tahu mana yang harus ia pilih.

Lazimnya, nomor antrian umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam itu akan sampai pada kisaran angka 60-an lebih sedikit. Jarang yang melebihi angka itu. Kalaupun ada, semoga itu tambahan keberkahan usia bagi yang mendapatkannya.

Akan tetapi, kita semua tahu, kematian keluar dari hukum angka hitungan manusia. Ia datang tidak memandang usia, tua atau masih muda, dan siap atau belum siap. Kematian itu datang sesukanya, sesuka takdir Yang Maha Pemberi Kehidupan menjatuhkan titah pada malaikal maut menjemput.

Benarlah jika kematian itu adalah pengajaran. Cukuplah ia sebagai pengingat; pengingat dari syirik kepada iman, dari lalai kepada istiqamah, dari salah menjadi salih, dari maksiat menjadi taat, dari dosa kepada taubat, dan dari semua hal yang buruk menuju pada kebaikan. Jika tidak, kerugian ditanggung masing-masing.

Kematian itu mengajarkan supaya manusia jangan terlambat seperti Namrud, Fir’aun, atau Abrahah karena singgasana, seperti Qarun karena harta, atau seperti Haman karena jabatan. Atau terlambat karena ketiganya ada di genggaman. Apalagi, harus terlambat tanpa pernah mencicipi manisnya singgasana, harta, atau jabatan berang sekejap saja.|

Sekecil apa pun kebaikan dihidangkan, mesti ada catatan timbangan beratnya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Ya Allah, jika tumis pepaya muda yang membahagiakan saya itu menjadi jalan kebahagiaan Mbak Upi di sana, berikan yang terbaik untuk Mbak Upi. Apatah lagi kebaikan-kebaikannya yang lebih besar dari itu. Maafkanlah segala khilaf dan kesalahannya. Allaahummaghfir lahaa warhamha wa ‘afiha wa’fu ‘anha.

Selamat jalan, Mbak. Maafkan saya yang tak sempat memenuhi janji.

"MISTERI" DI BALIK "TARAWIH TERAKHIR"


Draft "Tarawih Terakhir"
Kita harus mulai berpikir seperti sungai jika ingin meninggalkan warisan keindahan dan kehidupan untuk generasi mendatang." – David Brower.
INI sepenggal kisah. Kisah tentang para pemburu pasir Ciliwung dalam draft buku “Tarawih Terakhir”. Semula, rencana buku ini akan diluncurkan pada 18 November 2021 saat 95 % buku sudah siap pada Agustus 2021. 18 November adalah “waktu keramat”, tepat saat Milad Muhammadiyah ke-109. Bagi warga persyarikatan, Milad itu seperti saatnya berjumpa kekasih. Senang, bahagia, dan semringah jadi satu. Akan tetapi, karena kendala teknis, momentum Milad akhirnya tidak bisa direngkuh. Ia berlalu. Rasanya, seperti ditinggalkan sang kekasih tercinta yang pergi tanpa pesan.

Mengapa Milad?

Ya, karena buku ini punya benang merah yang kuat dengan persyarikatan Muhammadiyah Ranting Pulo. Rekaman para pejuang penggali pasir Ciliwung untuk membangun masjid yang dulunya Langgar Pak Tua Naen. Masjid yang kelak dibangun mereka susah payah harus mereka tinggalkan karena pecah kongsi.

Mungkin bagi sebagian orang, kisah ini tidak penting. Akan tetapi bagi saya, kisah ini teramat penting. Dan, ia tidak boleh terlalu lama dikubur lumpur sejarah. Sebab, semakin lama ia terkubur, semakin jauh ia terpendam dan semakin sulit ia digali. Lalu, ia lenyap dari peradaban persyarikatan karena sudah jauh dilupakan. Itulah takdir sejarah yang tidak dituliskan.

Draft buku ini sudah mulai ditulis pada 2017 sejak wawancara dimulai, bahan dikumpulkan, dokumen dicari ke sana ke mari, konfirmasi data, menafsirkan data, dan menyusunnya menjadi narasi. Editor buku ini menyebutnya “Novel Ilmiah”, sebab ia orang Bahasa dan Sastra Indonesia. Pengantar buku ini; Fikrul Hanif Sufyan, SS., M. Hum menyebutnya “Biografi” sebab ia sejarawan muda Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Lalu, apa kata pembaca nanti? Saya tidak tahu.|

Para Pemburu Pasir

BAGI masyarakat Depok sekitar aliran sungai Ciliwung, Ciliwung bagai napas hidup mereka. Sedang bagi jamaah Langgar Isnaen khususnya, Ciliwung adalah napas jihad menggali dan mengangkut pasir.

Isnaen dan jamaah langgarnya mengambil pasir setiap hari Jum'at. ­Mereka orang-orang yang paling jarang absen memikul pasir. Habis subuh, atau ­paling lambat jam tujuh pagi, mereka sudah berangkat berjalan kaki ke pinggir kedung Ciliwung. Nanti, jika pasir sedang melimpah, jam sepuluh pagi, mereka sudah sampai di langgar kembali.

Kedung adalah lubang di tengah sungai seperti ­pusaran air. Pada waktu sungai banjir, air meluap keluar masuk kedung. Saat itulah pasir-pasir meluap ikut terbawa bersama luapan air. Pasir-pasir itu kemudian menepi. Saat itu, pasir-pasir seolah datang sendiri ke tepian sungai ­menjadi rezeki melimpah bagi Keluarga Isnaen dan jamaah langgarnya.

Kadang para pemburu pasir itu tidak sabar menunggu di tepian sungai. Mereka turun ke sungai menjaga jarak aman dari kedung buat menadah luapan pasir. Luapan pasir dengan sendirinya masuk ke dalam wadah. Kira-kira wadah sudah penuh, mereka menepi untuk memindahkan pasir ke tepian sungai. Begitu ­berulang-ulang, sampai keranjang, pengki, atau lengke untuk mengangkut pulang pasir-pasir itu penuh.

Di waktu air sungai surut, pasir-pasir mengendap di dasar kedung. Pasir menjadi langka. Jika sudah begitu, para pemburu pasir itu menggali pasir di tepian sungai dengan ­tangan-tangan mereka. Bisa dibayangkan, tangan-tangan mereka menjadi ­keriput karena air sungai. Kuku-kuku mereka menjadi rusak dan kusam karena pasir. Jika pasir tidak mereka dapat gratis karena sungai sedang kering, mereka membeli di pangkalan pasir. Asalkan mereka tidak pulang dengan tangan kosong, mereka rela membeli dari kocek sendiri berpatungan.

Ada tiga kedung yang menjadi buruan mereka; kedung Plangpo, kedung Jago, dan kedung Petir. Rute ke kedung Plangpo melewati Kampung Pitara, Kampung Baru, Kampung Belimbing, terus ke kedung Plangpo. Sedangkan jika hendak ke kedung Jago, rutenya melalui Kampung Ratu Jaya, Kampung Baru, terus ke kedung Jago.

Namun, yang sering disambangi mereka adalah kedung Petir. Letaknya dekat gereja paling tua di Depok. Untuk sampai ke kedung Petir, rute yang ditempuh Kampung Pitara, Kampung Sengon, pasar Depok Lama, kemudian ke arah Gereja tua, lalu ke Petir.

Petir dilintasi aliran sungai Ciliwung berjarak tujuh sampai delapan kilometer jauhnya dari Langgar Isnaen. Lelah dan letih, pundak yang terasa panas lalu menjadi kapalan karena memikul beban berat tidak mereka hiraukan. Begitulah, semangat jihad untuk sebuah masjid, sampai-sampai letih dan lelah bagaikan ­kesenangan ­menyambut pahala yang Allah janjikan. Pundak mereka yang kapalan seperti tanda pangkat derajat mereka di surga kelak. Semua itu seperti energi ajaib yang membuat pengki mereka yang penuh pasir menjadi terasa ­ringan. Begitulah apabila motivasi beramal hanya mengharap rida Allah, semua bisa dilewati tanpa beban.

Setiap Jum'at mereka berangkat ke Petir. ­Jalan kaki! Pulang pundak memikul pasir! Dan, baru berakhir saat masjid sudah berdiri.

Tentu, jalan kampung yang dilewati sampai ke kedung waktu itu belumlah seperti sekarang yang sudah beraspal, dan mulus. Semuanya masih berupa jalan tanah, sempit, becek, dan licin di kala musim penghujan, penuh rimbunan semak di kiri-kanan jalan, sepi karena jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain masih jauh dan jarang, dan tentu masih banyak hutan.

Pendek kata, perjuangan menggali, mengumpulkan, dan memikul pasir dari sungai Ciliwung merupakan sebuah ­pengorbanan berat yang sukar dinilai saat ini. ­Hanya mereka orang-orang yang punya semangat juang yang mau melakukannya.

Sementara, mereka yang tidak punya ruh jihad, lebih memilih diam berpangku tangan sambil menonton, atau menyingkir ­tidak mau tahu seperti apa rasanya kepayahan memikul, jari-jari tangan yang keriput, kuku-kuku yang menghitam, kusam, dan rusak, serta pundak-pundak yang menjadi kapalan.

Adapun para pejuang itu, apakah mereka merasakan putus asa dan menyerah? Tidak!

Mereka sadar, merekalah yang harus berbuat. ­Merekalah yang harus mengukir sejarah. Merekalah yang harus mewujudkan cita-cita memiliki masjid itu meskipun ­biaya, tenaga, ­keringat, dan pundak-pundak mereka sebagai ­bantalan pasir-pasir itu berpindah dari Ciliwung ke langgar leluhur ­mereka menjadi taruhan. Mereka memaknai perjuangan memikul dengan gembira seakan pasir-pasir itu bahan material untuk membangun rumah-rumah ­mereka sendiri di surga.

Begitulah, pasir Ciliwung menjadi kekuatan, semacam ­energi yang membakar niat memiliki masjid tidak pernah ­padam. ­Seperti sifatnya, pasir memang memiliki kekuatan, menjadi elemen perekat bersama semen, kapur, dan batu membentuk tembok yang kokoh, menara yang menjulang, dan lantai yang sejuk.

Lalu, siapa para pejuang penggali pasir itu?|

Tarawih Terakhir

MAKA pada malam kedua Ramadan itu, apa yang ­kemudian terjadi, terjadilah. Tangan-tangan yang bersih dari bekas Pasir Ciliwung itu, tubuh-tubuh yang tidak merasakan dinginnya air ­sungai saat saudara-saudara mereka berendam di kedung Ciliwung menadah pasir itu, tangan-tangan yang tidak merasakan terkelupas oleh ­kerasnya batu Gunung Kapuran itu, tapak-tapak kaki dan betis yang tidak merasakan meluang berjalan berkilo-kilo itu, dan pundak-pundak yang tidak kapalan karena ditindih ­pikulan ­pengki, keranjang, atau lengke, menduduki tempat imam ­tarawih pada malam kedua.

Itulah Tarawih Terakhir.

Keluarga Isnaen dan orang-orang yang merasakan dinginnya air Ciliwung saat ­mengambil pasir harus angkat kaki.
Adakah air mata?
Adakah perlawanan?
Adakah penyesalan?
Adakah dendam?
Lalu, apa yang tersisa?
Tidak!
Yang tersisa adalah perjuangan baru, membuka ladang amal baru, dan membangun jalan ke surga yang baru. Akan tetapi, gesekan-gesekan perjuangan baru, makin berat tantangannya.|

Jangan Sangka

NAMUN, jangan sangka air mata tidak ­mengalir. Ia mengalir, deras mengalir, tapi hanya di dalam jiwa. Jangan sangka tidak ada isak tangis melengking. Ada, tapi diredam di dalam dada. ­Jangan sangka tidak ada keluh-kesah. Ada, tapi ditelan sendiri di alam sepi. ­Jangan pula disangka tidak ada gejolak kecewa yang menggunung. Ada, tapi dirasai sendiri-sendiri.

Catatlah! Air mata itu, isak tangis itu, keluh-kesah itu, dan gejolak kecewa itu, tidak mereka jadikan mesiu untuk membakar persaudaraan. Tidak, karena tak seorang pun yang beruntung bila sudah terperosok pada medan “Menang jadi arang, kalah jadi abu.”

Tunggu kisah lengkapnya dalam “Tarawih terakhir”, persembahan untuk mujahid penggali pasir dari saya kepada pembaca.

Salam ukhuwah.

TEKOKAK DAN MASA LALU



Foto pribadi. Jepretan Samsung A 12

KAMPUNG ini memang sudah berubah. Sungai-sungai kecilnya tak lagi menjadi rumah bagi ikan-ikan liar. Ikan benter, cere, udang, sepat, atau mujair tak bisa lagi dijumpai di sana. Bukan karena ikan-ikan itu tidak betah lalu bermigrasi mengikuti aliran sungai lalu tidak kembali ke kampung ini, bukan. Ikan-ikan itu lenyap bersama sungai kecilnya yang ditimbun batu, pasir, dan conblock.

Kampung ini memang sudah berubah. Sawah-sawahnya yang dahulu menghampar, tak lagi menjadi lahan subur di mana tumbuh genjer dan gulma yang sedap bila ditumis. Genjer dan gulma itu, kapan saja bisa dipanen cuma-cuma kalau mau. Akan tetapi, genjer dan gulma itu ikut raib bersama ikan-ikan liar dari sungai kecil itu. Bukan karena tanah sawah-sawah itu sudah tidak subur lagi, bukan. Melainkan, sawah-sawahnya juga sudah ditimbun pasir, split, aspal, juga conblock

Kampung ini memang sudah berubah. Burung-burung liar yang selalu datang pagi dan petang, terbang entah kemana. Tak tampak lagi blekok yang putih, mandar dan terkoakan yang kecoklatan, atau ayam-ayaman yang hitam legam, begitu juga emprit dan peking yang ramai saat padi mulai berbiji.

Kawanan burung itu tidak punya harapan lagi di kampung ini. Katak-katak muda tak lagi dijumpai paruh panjang si blekok. Melik dan ikan-ikan kecil tak bisa dipatuk mandar dan terkowakan. Begitu juga peking dan emprit. Kawanan burung mungil ini tak mendapatkan lagi biji padi barang sebulir. 

Burung-burung itu ikut pergi, minggat sejauh sayapnya mengepak, lalu hinggap di ekosistem baru yang masih asri ribuan kilo jauhnya. Sebab, kampung ini tidak lagi menyediakan makanan buat tembolok mereka yang kempis. Lumbung ikan dan rumpun padi tak pernah muncul lagi di air dan sawahnya yang digusur bulldozer. Karena itulah mereka semua terbang dan tak sudi kembali lagi. 

Kampung ini memang sudah berubah. Orang tak bisa lagi memanen karuk saat dahan-dahan durian berkembang lebat. Tak ada lagi pohon durian tumbuh, karena setiap jengkal tanah di kampung ini didahulukan buat membangun pondasi rumah anak cucu. Lalu, karuk tinggal kenangan belaka. Makanya, tak ada lagi ritual mencari karuk. Bahkan boleh jadi, dahulu, para pencari karuk, lebih rela ketinggalan shalat subuh di masjid atau musala kampung daripada ketinggalan memungut karuk.

Kampung ini memang sudah berubah. Tak ada lagi galah asin, kasti, benteng, atau petak umpet menjelang mengaji. Semua kegembiraan, autentik, alami, murah, menyehatkan, dan menyenangkan itu telah dilupakan. Permainan kampung itu hanya tinggal dikenang tanpa dimainkan lagi. Bukan karena orang-orang kampung lupa cara memainkannya, akan tetapi, semua permainan itu tenggelam dilibas zaman smartphone. Sedih, ia dilupakan karena mengaji tidak seramai dahulu. Yang lebih menyedihkan lagi, pengajiannya mati mendahului galah asin, kasti, benteng, dan petak umpet. Pengajian lekar turut surut, istilah "uang minyak" menjadi asing. Untunglah TPA-TPA subur seperti cendawan di musim hujan.

Begitulah. Memang kampung ini sudah berubah. Namun, biarlah ia berubah mengikuti zaman asalkan nilai-nilai luhur, persaudaraan, akhlak, dan tradisi baik tidak turut punah bersama masa lalu.

Dan, di pagi yang mendung ini saya berbinar setelah mengaji. Kaki melangkah melewati sisa-sisa sungai kecil, sawah, dan entah berapa bekas-bekas pokok pohon durian yang telah tumbang. Di sana, di sisa sawah yang tertimbun tanah urug, ada pohon perdu. Ia tumbuh subur di antara bongkahan batu. Buahnya tampak menyembul dari balik dahannya yang berbulu halus. Saya sungguh senang menjumpai marga terung-terungan ini  tumbuh liar menyendiri. Berarti, kampung ini masih menyimpan kekayaan meskipun sedikit. Jika saja ia halal saya ambil, biarlah diunder saja untuk lalapan dengan sambal terasi nanti siang.


Ya, tekokak. Masih ada tekokak tumbuh di kampung ini. Melihatnya secara tidak sengaja, seperti menemukan barang yang hilang bertahun-tahun lamanya.

Ia mirip leunca. Hanya saja aroma tekokak lebih kuat. Teksturnya pun lebih keras. Namun, bagi penyuka lalapan, launca atau tekokak sama-sama nikmat bersanding nasi panas, ikan asin, sayur asem, dan tentu sambal terasi. Jangan lupa, minumnya teh aur panas tanpa gula. Rasanya, keindahan kampung ini seakan kembali seperti dahulu.

Begitulah, kadang hal kecil bisa membangkitkan nostalgia pada masa kalu kampung yang elok, seperti ingatan pada Kampung Pulo 35 tahun yang silam.

Untuk tekokak, alhamdulillah.

“BAU” SUMANTO DALAM KEKERASAN SEKSUAL


“Bau” Sumanto? Memang, Sumanto bau apa?

Sabar. Pelan-pelan saya jelaskan. Pertama, Sumanto di sini bukan Sumanto pemakan mayat. Ini Sumanto lain. Ini Sumanto “intelek”. Kedua, tentang “Bau”. Ini bukan bau keringat, bau iler, atau bau kentut Sumanto. Akan tetapi, “Bau Pemikiran” Sumanto. Ketiga, kekerasan seksual. Apa Sumanto melakukan kekerasan seksual? Enggak. Jangan salah sangka dulu. Bahkan Sumanto bukan hanya demokratis soal seksual, bahkan cenderung liberal. Karena itu, dia tidak mungkin melakukan kekerasan dimaksud.

Terus, maksud bau di sini apa? Maksudnya, ada bau-bau pemikiran Sumanto tentang kekerasan seksual dalam Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021.

Permendikbudristek

Akhir-akhir ini, sedang ramai dibicarakan Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permen ini dipermasalahkan sejumlah pihak karena dianggap bermasalah. Titik krusial yang dipersoalkan salah satunya pasal 5 ayat 2 huruf L dan M. Pada pasal itu dinyatakan:

(2) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

L. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
M. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Ormas besar seperti Muhammadiyah pun bereaksi. Ormas Islam yang pada bulan November ini akan genap berusia 109 tahun meminta agar Permendikbud Ristek No 30 itu dicabut (argumentasi Muhammadiyah dapat dilihat pada situs resmi Muhammadiyah di https://muhammadiyah.or.id/muhammadiyah-komitmen-lawan-kekerasan-seksual-penolakan-permendikbud-30-murni-karena-substansi/). Demikian pula MUI melakukan tuntutan yang sama.

Membaca pasal 5 ayat 2 pada Permendikbudristek RI Nomor 30 Tahun 2021 itu, orang awam pun bertanya-tanya, “Apakah jika Korban setuju, maka hal tersebut diperbolehkan dalam pergaulan mahasiswa dan mahasiswi di kampus-kampus Indonesia, Pak Menteri?” Nah?

Bagi para cendekia yang pikirannya masih lurus, pasal ini bermasalah. Di mana masalahnya? Dalam bahasa mereka, Permendikbudristek No. 30 mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Karenanya harus ditinjau ulang.

Jika Muhammadiyah bersikap tegas meminta Permendikbud 30 itu dicabut, tentu hal yang wajar. Ada 166 Perguruan Tinggi dimiliki organisasi ini. Beberapa kampus Muhammadiyah bahkan diakui dalam skala internasional. Di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah itu, Muhammadiyah memiliki komitmen menghindarkan mahasiswa dari seks bebas dan berbagai turunannya yang dimasukkan dalam kerangka kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Karena itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah bebas dari relasi seksual yang haram, yang tidak sejalan dengan ajaran Islam di luar framework rumah tangga atau pernikahan.

KH. Cholil Nafis dari MUI menyebut, Permendikbud 30 itu bermasalah. Pada akun twitternya, beliau menulis, “Permendikbudristek No. 30 thn pasal 5 ayat 2 ttg kekerasan seksual memang bermasalah karena tolokukurnya persetujuan (consent) korban. Padahal kejahatan seksual menurut norma Pancasila adlh agama atau kepercayaan. Jadi bukan atas dasar suka sama suka tapi krn dihalalkan.”

Berbeda dengan Muhammadiyah dan MUI, Permen ini mendapat dukungan Kementerian Agama. Kebijakan Kemendikbud-Ristek terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi diaminkan Yaqut Cholil Qoumas. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahkan mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), seperti yang dilansir berita online www.merdeka.com. Menag pun meminta Permendikbud Kekerasan Seksual tidak dimaknai keluar konteks.

Penejelasan Kemendikbudristek

Kemendikbudristek, pihak yang berwenang atas keluarnya Permendikbudristek no. 30 itu menyampaikan penjelasan. Nizam, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek) membantah anggapan yang mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi dapat melegalkan praktik seks bebas di kampus. Nizam mengatakan anggapan tersebut timbul karena kesalahan persepsi atau sudut pandang. Menurut Nizam dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (9/11/2021), tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan'.

Nizam mengatakan, salah satu sebab lahirnya aturan itu karena adanya beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan perguruan tinggi.

Oleh karena itu, kehadiran Permendikbudristek PPKS menurut Nizam merupakan jawaban atas kebutuhan perlindungan dari kekerasan seksual di perguruan tinggi yang disampaikan langsung oleh berbagai mahasiswa, tenaga pendidik, dosen, guru besar, dan pemimpin perguruan tinggi yang disampaikan melalui berbagai kegiatan. PPKS dirancang untuk membantu pimpinan perguruan tinggi dan segenap warga kampusnya dalam meningkatkan keamanan lingkungan mereka dari kekerasan seksual; menguatkan korban kekerasan seksual yang masuk dalam ruang lingkup dan sasaran Permen PPKS ini; dan mempertajam literasi masyarakat umum akan batas-batas etis berperilaku di lingkungan perguruan tinggi Indonesia, serta konsekuensi hukumnya.

Penjelasan Nizam terkait PPKS ini tampak cukup komprehensif. Masalahnya, saat pertanyaan dilontarkan soal pasal 5 ayat 2 itu, tidak dijelaskan secara detail. Frasa “ tanpa persetujuan Korban” bisa menjadi senjata yang digunakan pelaku seks bebas di kampus dengan alasan perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Maka, apabila berbicara konteks pencegahan, maka pencegahan itu harus pula mencakup frasa dalam aturan yang sangat mungkin disalahtafsirkan karena maknanya ambigu.

Maka bisa dipahami salah satu kritik Muhammadiyah berangkat dari frasa itu. Frasa "tanpa persetujuan korban" mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada "persetujuan korban (consent)".

Sumanto dan Pemikiran Kekerasan Seksual

Sekarang beralih ke Sumanto. Asumsi saya, ada bau-bau Sumanto di sana. Sumanto Al Qurtuby PhD, Associate Professor of Anthropology–seterusnya saya tulis namanya dengan Profesor–, Profesor antropologi dan sosiologi di King Fahd University, Arab Saudi. Jelas, ya. Ini bukan orang biasa seperti kita. Pemikirannya pun tidak biasa, tidak seperti kebanyakan orang. Karena itu, bisa jadi, orang-orang biasa tidak akan sanggup memahami pemikirannya.

Salah satu pemikirannya yang tidak biasa itu adalah tentang kekerasan seksual. Silakan buka situsnya terkait topik ini di https://sumantoalqurtuby.com/seksualitas-dan-moralitas/. Di sana Anda akan bisa melihat dan menyelami dengan biji mata dan mata hati telanjang. Setelah itu, silahkan nilai sendiri. Bisa jadi, penilaian Anda berbeda dengan saya.

Dalam situsnya, Profesor ini menguraikan sejarah seksual, khas uraian seorang antropolog. Di akhir-akhir uraiannya, barulah ia memuntahkan pemikirannya. Entah pemikirannya ini orisinal, atau mengekor pendapat Profesor lain, hanya sang Profesor yang tahu.

Berikut:
Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan—seperti secara eksplisit tertuang dalam Alqur’an—telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek “seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.
Bagaimana?

Ini lagi:
Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin—seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi—itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain.
Bagaimana?

Lanjut:
Agama semestinya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…” (Dosa tidak pernah datang dari bawah; dari daging, tetapi dari atas, dari roh. Kejatuhan pertama terjadi di dunia malaikat roh murni).
Sampai di sini, bila Anda puyeng membaca pemikiran sang Profesor, sudah, berhenti saja membaca. Jangan diteruskan. Tapi jika ingin tuntas dan penasaran, lanjutkan.

Ini lagi:
Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa sebetulnya adalah hal-hal yang terkait dengan sosial-kemanusiaan bukan ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan “berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik atau non fisik) atas pasangan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut “pemerkosaan”. Kata ini tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga tetapi juga di dalam rumah tangga itu sendiri.
Nah, sampai di sini, apakah Anda sudah mencium bau-bau pemikiran sang Profesor pada pasal 5 Permendikbudristek No. 30? Kalau belum, mungkin aromanya memang belum menyengat.

Teruskan:
Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita-wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks?

Jika politisi biasa “menjual kebohongan” lewat mulut mereka supaya bisa tetap eksis di dunia politik, atau seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau penghotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi yang “menjual” suara atau bahkan pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka? Kenapa mereka hanya mempermasalahkan “mereka” bukan “mereka”?
Beginilah menurut sang Profesor soal seks. Dengan sangat vulgar ia menjelaskan kriteria seks pemerkosaan dan seks atas dasar suka sama suka. Bagi saya, aromanya sangat kuat pada hidangan pasal 5 Permendibudritsek No. 30. Akan tetapi sekali lagi, ini berdasar penciuman hidung saya. Yang jelas, sang Profesor sudah lebih dahulu melontarkan pemikirannya itu sebelum Permendibudritsek No. 30 ramai dipermasalahkan.

Apakah Permendibudritsek No. 30 menyontek ide sang Profesor?

Tak ada yang tahu siapa menyontek siapa, kecuali para perumus Permen itu. Pemikiran sang Profesor menyontek siapa, pun hanya dia yang tahu, meskipun indikasi dia mengutip tercium juga baunya. Pertama, soal hubungan dosa dan daging, ini mirip dengan Galatia 5:16-25:

Hidup menurut daging atau Roh
5:16 Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. 5:17 Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging --karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. 5:18 Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. 5:19 Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, 5:20 penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, 5:21 kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu--seperti yang telah kubuat dahulu--bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. 5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahteran, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, 5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. 5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. 5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.
Kedua, tentu Paul Evdokimov dan bukunya The Struggle with God yang dikutip Profesor yang menurutnya kata-kata Evdokimov indah dan menarik: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”

Begitulah. Selebihnya, terserah Anda menilai.

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.

Jum’ah penuh berkah.