PETI MATI DI ATAS ROLLER COSTER

Allah ya Rabb, biarkanlah wabah ini berlalu. Mohon perlindungan-Mu Ya Rabb. Kami benar-benar seperti di atas roller coaster sambil memandangi peti mati.


INI soal rasa. Sejak akhir Agustus sampai petang ini, rasa seperti menaiki roller coaster. Jantung nyut-nyutan, pandangan rasa jungkir balik, adrenalin naik turun tidak karu-karuan. Akan tetapi, ini bukan seperti rasa roller coaster di Dufan yang histeria bahagia tegang. Ini histeris sedih tegang.

Akhir Agustus kemarin itu, dapat WA dari sahabat karib. Minta doa terbaik buat ibundanya yang sedang dirawat. Deg! WA, saya balas normatif. Doa mengalir, semoga Ibunda lekas pulih, begitu saya penuhi. Pikiran liar ke sana ke mari menunggu kabar berikutnya. Jeda hampir sepuluh menit. Dan, kecemasan terjawab. Ibundanya positif Covid.

Pukul empat pagi empat hari kemudian, WA saya terima lagi. Sahabat karib ini mengirim pesan suara. Isinya rekaman via handphone dia pada sang Bunda. Pesan suara yang sangat menyentuh:
Assalamualaikum, Ma. Ini ***. Mama jam segini, biasanya sedang tahajud, loh. Ayo, Ma, lakukan kebiasaan Mama semampunya meski hanya dengan isyarat. Dari rumah, *** bantu doa agar Mama lekas sembuh.
Setiap kalimat sapaan dalam pesan suara itu direspon sang Bunda. Tidak jelas kalimat respon apa yang diucapkannya. Hanya suara seperti dengkuran tiap kali dia disapa. Dan, jam empat pagi hari itu, air mata saya jatuh. Ingat orang tua sendiri yang sudah sepuh.

Siang harinya, hanya berselang tujuh jam, sekitar pukul sebelas, kabar duka menutup semua pesan. Ibunda berpulang. Diurus dan dimakamkan dengan protokol Covid. Inna lillahi wa inna ilayhi rajiun.

Delapan September, sahabat karib ini kembali kirim pesan. “Hasil swabnya, saya positif covid ustadz. Laa hawla wala quwwata illa billah. Klo misal sy duluan, tolong lihat²in haafidz ustadz jika lagi senggang.”

Haafidz putra sahabat karib, bocah tiga tahun. Pesan ini, rasa ingin menjerit membacanya.

Sejak saat itu, hampir setiap hari, WA saya kirimkan buat menguatkannya menjalani isolasi mandiri. Meskipun jawabannya selalu menggembirakan, “Alhamdulillah saya sehat dan kuat InsyaAllah.” Akan tetapi, dalamnya laut, siapa yang bisa mengukur. Bagaimana rasa dan warna jiwa sahabat ini, saya tidak tahu. Namun, karena kasat mata saya tahu pengamalan agamanya baik, apa yang dia katakan, itulah dirinya.

Sebelas September, teman sekelas sewaktu SD, kolega saya; Pimpinan Ormas, Ketua Kampung Siaga Covid-19, jamaah pada kajian rutin Ahad petang yang saya isi, hasil swabnya positif Covid. Duh, orang-orang dekat yang saya kenal baik, satu lagi masuk dalam daftar yang memacu detak jantung berakrobat laiknya sedang naik roller coaster.

Pukul tujuh pagi tadi, saya menemani istri membeli sayuran di dekat komplek Depok Maharaja. Saat menunggu istri, bertemu lagi teman lain sewaktu SD. Asyik sekali kami mengobrol bertukar kabar. Namun, keasyikan itu terhenti saat teman ini mengabarkan. “Keponakan saya, murid ente dulu waktu Ibtidaiyah, positif Covid. Sekarang, lagi isolasi mandiri. Semua keluarganya sementara mengungsi ke sini.”

Sejenak, wajah anak yang ganteng itu, berpostur tinggi sedang, berkulit putih, berhidung mancung, murah senyum, yang begitu hormat saat bertemu saya, berkelebat. Dalam ingatan saya sekarang, dia sedang murung. Keluarganya, pasti pula sedang gelisah dan cemas.

Allah ya Rabb.

Saya pikir sudah selesai. Telah cukup guncangan macam roller coaster itu. Belum. Pukul satu siang tadi, sahabat, guru, dan editor buku saya; Kiai Kocak VS Liberal, editor senior pada penerbit buku saya itu dirilis, positif Covid. Kabar saya terima melalui akun Facebook sahabat saya juga; Editor in Chief pada penerbit yang sama mereka bekerja. Saat ini, sang editor sedang menjalani isolasi di Wisma Atlet. Rasa benar-benar ingin menjerit.|


Saya tidak tahu, apa kita semua akan bisa bertahan atau tidak menghadapi wabah ini. Rasa cemas mengejar-ngejar bukan karena persoalan sakit dan kematian, tapi “lelah” melihat arogansi penguasa saat mula pertama wabah ini merebak. Bukan sigap menyelamatkan jiwa anak bangsa, tapi ramai-ramai melawak dengan tema Corona yang “garing”.

Dimulai dari pernyataan Presiden dengan sangat confident yang menyebut virus Corona tidak masuk ke Indonesia merespon Corona sudah merenggut korban meninggal 1.018 di Cina Daratan seperti yang disiarkan Kompas TV pada 11 Februari 2020. Pernyataan presiden ini seperti draft naskah komedi yang diturunkan menjadi dialog ketoprak humor yang diperankan para pembantu. "[Ini] guyonan sama Pak Presiden ya. Insya Allah [virus] Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal," ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

"Corona [Masuk Batam]? Corona kan sudah pergi.... Corona mobil?" ujar Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan.

"Katanya virus corona enggak masuk ke Indonesia karena izinnya susah," kata Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

"Corona itu seperti istrimu, ketika kamu mau mengawini kamu berpikir kamu bisa menaklukan dia. Tapi sesudah menjadi istrimu, kamu tidak bisa menaklukkan istrimu," kata Mahfud MD.

Setali tiga uang, wakil rakyat yang menulis buku “Saya Bangga Jadi Anak PKI” juga genit, latah mengambil peran, "Itu tadi dijabarkan sama ahli paru di Metro TV kalau enggak salah saya lihat. Ini lebih bahaya MERS dan SARS dibanding itu daripada si corona, kecuali [maksudnya] 'komunitas rondo mempesona'...Bapak-bapak kalau kena korona yang itu ngeri kita. Itu korona beneran itu, korona yang membahayakan itu, komunitas rondo mempesona," ujar Anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning.

Apakah mereka telah kehilangan sense of disaster? Saya tidak tahu. Bisa jadi, it’s about leadership capacity, integrity. Lingkaran positif jadi makin mengecil. Begitu kata teman-teman saya dalam obrolan ringan di Telegram.

Apa mau dikata. Begitulah suara dari mulut orang-orang “berkasta” pejabat di atas yang terlanjur mereka muntahkan, polos seperti robot yang tak kenal rasa akan dosa. Bagi saya, lelucon mereka itu adalah legacy buruk sejarah bangsa ini. Entah, apakah saat ini mereka menyesalinya atau tidak, sementara korban Covid 19 terus bertumbangan setiap hari.

Lima bulan lalu, artikel bertajuk "Dying doctors. To many coffins. Indonesia late in battle against coronavirus” dimuat Los Angeles Times pada Jumat (24/4) seperti dilaporkan https://dunia.rmol.id. Sekarang, para dokter sekarat. Terlalu banyak peti mati. Indonesia terlambat berperang melawan virus corona sedang tayang di pelupuk mata.

Allah ya Rabb, biarkanlah wabah ini berlalu. Mohon perlindungan-Mu Ya Rabb. Kami benar-benar seperti di atas roller coaster sambil memandangi peti mati.

Depok, 19 September 2020.








MUTUALISME SECANGKIR KOPI DAN SEBARIS ESAI

Bila naluri aksara sudah mulai bekerja, otak akan memerintah. Kata demi kata diurai. Antar kalimat dicarikan jodohnya. Tentu, beberapa kalimat harus diganti diksi baru. Bahkan, ada di antaranya yang tidak bisa diselamatkan. Dengan berat hati, ia harus dibuang. Kalimat utama dengan kalimat penjelasnya dipasangkan serasi. Jadilah ia paragraf sejoli yang berjalan mesra bergandengan tangan. Dan, sesapan kopi menutupnya. Sempurna.



NGOPI di perpustakaan bukan sembarang “ritual”. Bukan sekadar memenuhi selera lidah. Bukan pula hirupan relaksasi dari aromanya yang kuat an sich. Akan tetapi, ngopi di perpustakaan adalah sumber inspirasi. Imajinasi otak dan jemari. Lebih dari itu, sesapannya bagai mantra yang menggerakkan. Seduhan hasil gilingan biji dari pohon pendek berbuah kecil-kecil yang konon ditemukan pertama kali oleh penggembala kambing di Ethiopia pada abad ke-9 itu, sanggup menjadi energi buat menjadikan esai yang bisu mampu berbicara.

Pada hitungan entah yang keberapa kali, sesapannya ampuh meredakan sakit kepala. Syaraf-syaraf dan otot di sekitar leher yang kaku seakan turut pula mengendur. Mata yang seakan sudah keruh, cerah lagi. Huruf-huruf yang tampak bertumpukan di pelupuk, seolah menata sendiri posisinya di mana dia berada. Memang, obatnya bukan tablet pereda nyeri, tapi cukup secangkir kopi panas. Jari jemari lah yang kemudian mengeksekusi. Dan, lihat hasilnya. Paragraf yang semula membuat kening berkerut-kerut, menjadi bermakna meskipun sumber masalahnya hanya soal silap membubuhkan tanda baca.

Jangan ditanya bila masalahnya bukan sekadar titik dan koma. Hampir-hampir saja, secangkir kopi gagal mengurai maksud dari susunan kalimat panjang yang melelahkan. Atau pendek, tapi membingungkan. Meskipun sudah berkali-kali dibaca, pelan-pelan, tetap saja tak mengubah kejelasan. Hurufnya sama, kalimatnya pun tidak ada yang baru, tapi efeknya seperti mantra membuat lupa. Semakin ia dibaca berulang-ulang, semakin jauh tersesat tak tahu jalan pulang.

Jika sudah begitu, masalahnya bukan pada kopi, tetapi pada paragraf dan peminum kopi yang sudah kelelahan. Kopi pun ditambah dosisnya. Disesap lagi sehirupan demi sehirupan sambil mengambil jeda. Sementara, tukar suasana dulu dari meja yang kaku. Pergi sejenak buat melempar pandangan ke luar jendela. Jika pas suasana sedang hujan, itu pertanda baik. Sebab, biasanya, memandangi tetesan air dari langit itu kadang ampuh mengembalikan mood. Suara gemuruhnya jadi terapi otak yang mulai jenuh. Sejenak menikmati suasana hujan dengan gembira, bak camilan pendamping kopi. Sabar menunggu beberapa menit, sampai naluri aksara akan bekerja lagi.

Bila naluri aksara sudah mulai bekerja, otak akan memerintah. Kata demi kata diurai. Antar kalimat dicarikan jodohnya. Tentu, beberapa kalimat harus diganti diksi baru. Bahkan, ada di antaranya yang tidak bisa diselamatkan. Dengan berat hati, ia harus dibuang. Kalimat utama dengan kalimat penjelasnya dipasangkan serasi. Jadilah ia paragraf sejoli yang berjalan mesra bergandengan tangan. Dan, sesapan kopi menutupnya. Sempurna.

Esai itu singkat, ringan, dan bebas. Sesingkat merenung, seringan menikmati kopi, dan sebebas merefleksi. Hanya saja, saat ia dituliskan menjadi wacana di atas kertas, di sinilah masalah bermula. Secangkir kopi panas tidak akan bisa menolong mewujudkannya apabila belum pernah sekalipun serius menulis karangan bebas. Memang demikian. Orang boleh berkata berkali-kali bahwa menulis itu gampang, tetapi tak segampang menyeduh kopi. Gampang dalam konteks ini berlaku bagi pembelajar, yang keras berlatih, dan membiasakan menulis. Menyeduh kopi pun bila dilakukan sembarangan, bisa jadi citarasanya rusak tak senikmat hasil racikan tangan orang yang terlatih.

Esai itu tulisan gembira seperti gembiranya perasaan saat menikmati secangkir kopi. Orang dengan esainya merdeka menganalisis dari sudut pandang pribadi. Leluasa menilai sesuatu dari kearifan reflektif yang menyeruak dari pikirannya tanpa beban. Ia bukan tulisan semacam makalah, bukan pula tulisan laiknya skripsi yang bertebaran ratusan kutipan, rujukan, teori, atau bukti literatur autentik yang berbaris-baris pada catatan kaki dengan pola mekanis. Tidak, tidak demikian. Bolehlah sekali dua kali mengutip, tapi biarkan suara hati bekerja lebih sering daripada terikat dengan kutipan yang membelenggu.

Esai itu lentur. Gaya penulisannya tidak kaku. Jadi, jangan tergoda menulis yang terlalu teoretis dengan sering mengutip data-fakta atau informasi yang tidak perlu. Jika terjebak pada kutipan tak perlu, penulisan menjadi bertele-tele dan terkesan menggurui. Tulisan jadi melebar kemana-mana. Sekali lagi, esai itu tulisan opini yang sifatnya sangat subjektif. Penulisnya bebas menulis apa pun dari sudut pandang pemikiran dan pemahamannya.

Oleh karena esai adalah hasil perenungan dalam bentuk wacana, apakah penulisnya mesti merenung dulu? Betul, dan apa susahnya merenung. Adakah orang yang tidak pernah merenung seumur hidupnya? Rasanya hampir tidak ada. Manusia itu makhluk berpikir, maka setiap orang pasti pernah merenung. Meskipun sepintas saja, tetaplah disebut merenung. Memang tidak harus lama. Sesuai kadar objek yang direnungkan saja. Harap juga dibedakan antara merenung dan menghayal.

Namun, jangan berhenti hanya merenung lalu selesai sambil manggut-manggut. Duduklah yang rileks di depan piranti menulis. Tuangkanlah segera. Ikat ia dengan kata, kalimat, dan paragraf. Lalu, susun dengan alur berpikir yang menunjukkan kejelasan, keringkasan, ketepatan, kepaduan, dan ketuntasan. Syarat-syarat itu sudah cukup membuat tulisan dipahami pembaca. Nanti kalau sudah terbiasa, tambahkan lagi efeknya bukan saja sekadar pembaca mengerti, tapi buatlah pembaca terhibur.

Kata seorang maestro ilmu menulis, tulisan yang bagus itu punya tiga daya; daya gugah, daya ubah, dan daya pikat. Entah, apakah tiga daya itu bisa “dicicil” atau merupakan paket komplit di mana ketiganya menjadi syarat sebuah tulisan dikatakan bagus. Akan tetapi, karena sasaran tulisan adalah hati, pikiran, dan emosi pembaca, memang dia harus menggugah, mengubah, dan memikat, sekecil apapun daya-daya itu memengaruhi pembaca.

Kata maestro yang sama, para penulis itu sejatinya merdeka. Paling tidak pikiran dan perasaannya. Kalau belum merdeka, pasti ia sedang terbelenggu kepentingan: beras, bensin, dan benci. Para penulis itu sejatinya pejuang. Paling tidak mereka sedang memperjuangkan kebahagiaan. Kalau tidak berbahagia, berarti mereka tengah didera kepandiran.

Membaca dan memperbaiki naskah pun, butuh kemerdekaan pikiran dan perasaan. Dia juga harus bahagia. Kalau tidak merdeka dan bahagia, bagaimana nasib naskah yang diperbaikinya nanti. Jadi, bukan saja penulis yang harus bahagia, merdeka perasaan dan pikirannya, editor pun demikian. Seorang editor yang belum merdeka dan tidak bahagia, sebaiknya merdeka dan berbahagialah dahulu, baru mengedit naskah. Kemerdekaan dan kebahagiaan itu juga kadang tidak mahal, cukup dengan secangkir kopi panas dengan uapnya yang mengepul menebar aroma unik.

Kopi, menulis, dan editor kadang seperti saudara kembar—tentu, tentu saja ini berlaku bagi penulis atau editor penyuka kopi. Ia seperti membebaskan pikiran dan perasaan dari “ketakutan” menyusun kata, kalimat, dan paragraf. Memang, salah satu kendala tak mau tergerak untuk menulis adalah ketakutan: takut jelek, takut salah, dan takut dibaca orang. Apalagi jika tulisan itu dilombakan, daftar ketakutan biasanya bertambah panjang.|



Baiklah. Jadi, saya sedang bahagia. Kemarin, dami buku kumpulan tulisan dari hasil lomba menulis di lingkup Madrasah Pembangunan saya terima dan sedang saya baca ulang. Lomba ini digagas Perpustakaan Madrasah Pembangunan pada event Pesta Literasi 2019. Pesta Literasi 2019 mengangkat tema All About MP menyambut HUT Ke-46 MP. Pada mulanya, karangan yang dilombakan tulisan berbentuk esai. Akan tetapi, tulisan yang masuk lebih dari sekadar esai. Esai plus, begitulah kira-kira.

Saya berterima kasih kepada dua tokoh yang kami mintakan kesediaannya untuk menilai naskah yang kami terima; Bapak Bambang Trimansyah, Direktur Lembaga Sertifikasi Profesi Penulis dan Editor Profesional (LSP PEP) dan Dr. Tantan Hermansah, M.Si., dosen Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Bidang Inovasi dan Pengembangan Pendidikan pada Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta. Kedua beliau ini, sudah tidak asing dalam dunia literasi tulis menulis. Naskah Bapak dan Ibu yang memenangi lomba ini, seratus persen rekomendasi dari nilai kedua juri yang kami terima. Tidak ada campur tangan panitia lomba, apalagi kuasa buat memindah-mindah posisi siapa yang harus juara dan siapa yang harus mengalah. Dengan alasan apa pun, oleh siapa pun, dan dengan motivasi apap pun, tidak bisa. Sayembara memang mendidik kita untuk siap menang, lebih ksatria untuk siap kalah.

Ada keterlambatan rencana terbit buku ini dari jadwal semula. Sejak Covid 19 merebak, tak pelak, rencana berubah, agenda ditunda, bahkan ada agenda Perpustakaan Madrasah Pembangunan yang dibatalkan. Urusan yang lebih mendesak harus didahulukan, terutama persiapan strategi pembelajaran di masa pandemik yang banyak menyita perhatian pada persiapan penerbitan buku ini.

Sekarang, buku ini sudah ada di tangan. Jangan lupa, nikmatilah sambil minum kopi jika Anda penyuka kopi.

Salam literasi.

TILIK DAN LITERASI DIGITAL HARI INI

Bila dari sudut ini TILIK ditelisik, jauh-jauh hari, hiburan televisi di rumah tangga kita sudah bertabur konten gibah gila-gilaan. 

TILIK merebut perhatian banyak kalangan. Sebuah film pendek yang diproduksi pada 2018 itu menuai berbagai penilaian. Ramai di jagat medsos, TILIK dinilai dari sudut kreativitas, kebebasan berekspresi, sampai pada penilaian dari sudut moral sebuah karya sinema. Tentu, ragam penilaian itu berangkat dari standar nilai masing-masing penilai. Pada akhirnya, pro-kontra atas TILIK menjadi pertunjukkan kedua setelah Bu Tejo.

Setelah menonton TILIK, “kolom opini” di kepala saya pun muncul begitu saja. Kesimpulan saya, hampir tidak ada yang baru yang ditawarkan TILIK. Bila dipandang sebagai kreativitas, kebebasan berekspresi, bahkan dinilai dari sudut moral pun, rasa-rasanya, TILIK bukan yang pertama dan terakhir. Ambil sudut moral misalnya, TILIK tidak bisa mengelak dinilai sebagai tontonan gibah. Bila dari sudut ini TILIK ditelisik, jauh-jauh hari, hiburan televisi di rumah tangga kita sudah bertabur konten gibah gila-gilaan.

Namun, ada hal yang perlu dicermati, yakni soal literasi digital. Entah, apakah Bu Tejo dan kawan-kawannya satu truk itu memang benar-benar disetting untuk mengungkap fakta ini atau tidak, hanya Wahyu Agung Prasetyo; sang sutradara yang tahu. Akan tetapi, disetting atau tidak sama saja, fakta kelemahan literasi digital orang Indonesia sangat mengkhawatirkan.

Beberapa poin dari TILIK yang menggambarkan lemahnya literasi digital itu sangat penting untuk dikurikulumkan sebagai mata ajar kehidupan. Bahkan, bisa jadi sudah sampai pada kondisi darurat apabila kelahiran TILIK semacam bayi kembar kelahiran “buzzer pekok” yang kerap melempar informasi salah dengan maksud diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran.

Rasanya, memang tidak ada yang berani menyangkal bahwa penemu internet mestilah orang pintar. Begitulah argumen yang dibangun Bu Tejo buat meyakinkan ibu-ibu satu truk— “kebetulan” semuanya berkerudung, kok bisa ya?— soal Dian yang mereka gosipkan. Bu Tejo menjadikan kepintaran penemu internet untuk menguatkan tesisnya bahwa informasi dari internet pasti benar karena internet buatan orang pintar.

Ini masalah pertama. Tidak perlu diperdebatkan bahwa penemu internet adalah orang pintar, namun pengguna internet tidak semuanya pintar. Pengguna internet yang pintar pun tidak semuanya lurus. Tidak sedikit pengguna internet pintar yang bermental “buzzer pekok” tadi. Di tangan mereka, informasi kebohongan dikemas sedemikian rupa menjadi berkilau-kilau. Kalau sudah begini, korbannya adalah orang-orang seperti Bu Tejo yang menganggap apa pun informasi dari internet pasti benar karena buah dari kepintaran penemunya.

TILIK memang gurih menyajikan kesalahpahaman Bu Tejo soal internet. Soal informasi internet pasti benar dikuatkannya dengan bukti konkret semisal foto atau gambar. Ini masalah kedua. 

Di zaman teknologi audio visual sudah sedemikian maju hari ini, gambar atau foto, bahkan video tidak bisa otomatis absah sebagai bukti konkret sebuah isu. Hari ini, apa pun bisa direkayasa. Jangankan cuma gambar atau foto, video, bahkan suara bisa diedit alias direkayasa. Maka foto, video, atau suara tidak serta merta menjadi bukti valid sebuah informasi dinyatakan benar dan konkret.

Masalah ketiga soal ukuran ramainya persoalan dibincangkan di medsos. Jadi, makin ramai medsos membicarakan suatu perkara, Bu Tejo meyakininya sebagai kebenaran. Bayangkan, bila ini yang terjadi, maka orang begitu mudahnya digiring memercayai kepalsuan sebagai keaslian dan keaslian sebagai kepalsuan. Yang kaya adalah si “buzzer pekok”. Semakin ramai postingan yang dilemparnya ke medsos, di-reshare dan di-like ratusan bahkan ribuan Bu Tejo, makin kaya dia. Sementara korbannya semakin miskin literasi sambil membayar kuota internet untuk konten bohong yang mereka telan. Rasanya, buzzer bayaran sudah gentanyangan sejak beberapa tahun belakangan saat kontestasi politik membutuhkan kehadiran mereka sudah jadi rahasia umum.

Masalah keempat, soal komentar dan komentator yang dianggap sebagai saksi. Jadi, makin bayak komentar, makin banyak saksi suatu peristiwa bagi Bu Tejo. Logikanya, makin banyak saksi, makin kuat sebuah isu dianggap benar.

Di medsos, dalam batas-batas tertentu komentar bersifat bebas dan sangat terbuka. Tidak ada ukuran validitas. Semua orang bebas berkomentar. Tidak penting dia mengerti atau sama sekali tidak mengerti tentang hal yang dikomentari. Semua punya kesempatan yang sama. Lagi pula, banyak komentar bisa bersumber dari satu orang yang punya seribu akun palsu. Apalagi, akun palsu itu memang sengaja diplot buat meramaikan sebuah isu di medsos. Di sini, “buzzer pekok” adalah ahlinya.  

Masalah kelima. Nah, ini yang paling krusial. 

Didasari keyakinan bahwa sumber internet pasti benar dengan didukung foto, ramai dibincangkan, dan dikomentari banyak orang, maka sharing informasi yang belum valid tidak disadari sebagai bukan kesalahan. Begitulah yang terjadi dalam keseharian di akun-akun medsos, grup-grup What’sApp, Twitter, Youtuber, atau Instagram. Orang dengan entengnya membagikan postingan yang belum jelas validitasnya atau mengambil validitas milik orang lain lalu diaku sebagai karyanya. Ini terjadi, mungkin di luar kesadaran karena kemiskinan literasi digital, bukan karena niat yang tidak baik.

Pekerjaan rumah yang cukup berat. Kita patut “berterima kasih” kepada Bu Tejo dan TILIK yang menyadarkan lagi bahwa buta literasi digital masih diidap umumnya penikmat internet. Biarlah itu diidap orang awam. Masalahnya, apabila persepsi dalam pemeran “Bu Tejo-Bu Tejo” itu berprofesi sebagai pendidik. Ini kecelakaan sejarah.

Allahu a’lam. 
Sumber gambar: https://www.bobobox.co.id/blog/tempat-wisata-cantik-yang-bisa-kamu-kunjungi-di-lokasi-film-tilik/