Momen Literasi Dan Pak Tohir


Dari kiri ke kanan: Artawijaya, Pustaka Al-Kautsar (moderator), Ahmad Faris BQ (CEO ImanPath), Hikmat Kurnia (Ketua IKAPI DKI Jakarta), dari Hadi Nur Ramadhan (Founder Pusdok Tamaddun) dalam Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Bila mikroskop atau teleskop adalah perpanjangan dari penglihatan, telepon perpanjangan dari suara, maka buku “Menerbitkan Kebenaran” adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi Pak Tohir sepanjang usianya sekarang.

PADA Kamis, 4 September 2025, permohonan wawancara melalui pesan WA masuk ke ponsel. Dikirim oleh seorang guru SMA Swasta di Depok.Wawancara dibutuhkan untuk siswa yang sedang mengikuti program Exploring Dream Career. Siswa kelas 10 di sekolah tempatnya mengajar sedang membutuhkan narasumber penulis non-fiksi.

Semula ingin menolak. Pertimbangannya sederhana, rasanya belum pantas menerima permintaan wawancara untuk tema kepenulisan. Hanya karena wawancara itu untuk membantu siswa yang sedang menggarap programnya; “Exploring Dream Career“, tak kuasa menolak. Menolaknya, seperti menolak siswa sendiri. Apatah lagi, siswa ini ingin menjadi penulis.

Rabu, 10 September 2025, di lobby Madrasah Pembangunan, wawancara berlangsung hangat. Untunglah, diizinkan pula menggunakan ruang lobby yang nyaman itu untuk sesi wawancara ini. Beberapa pertanyaan kunci dan penting susul menyusul. Beberapa di antaranya soal trik, tips, dan jadwal menulis.

Saat ditanya, apakah punya jadwal khusus menulis? Saya jawab, tidak. Menulis bisa kapan saja dan di mana saja. Di kelas, di sela-sela menunggui murid mengerjakan ulangan, itu kesempatan menulis. Di kereta atau di atas pesawat saat perjalanan jauh, “jari-jari bergerak sendiri”. Apalagi pada waktu-waktu senggang, di situlah “keyboard menulis dengan sendirinya”.

Soal ide menulis, bila badan, otak, dan hati sedang fresh apa saja bisa ditulis. Tinggal dipilih, ide mana yang paling menarik dan punya values untuk diselesaikan. Jadi, waktu dan ide menulis itu fleksibel. Adakalanya ia datang sendiri tanpa diundang, adakalanya, diundang pun ia tak datang-datang. Akan tetapi, menulisnya tidak berhenti, terus saja mengalir seperti air.

Saat ditanya, apa modal utama agar bisa jadi penulis? Saya memilih modal yang paling murah; banyak membaca, telaten mengamati dan menghayati peristiwa serta fenomena, dan pengalaman melakukan sesuatu. Buku-buku fiksi maupun non-fiksi saya lahir dari sini.

Ada satu hal yang lupa saya sebut saat wawancara; yakni tidak buta huruf. Maksud dengan tidak buta huruf adalah punya skill menulis dan mau menulis. Bila skill menulis bagus tapi tidak mau menulis, tidak akan lahir itu tulisan barang satu kalimat pun. Bila kemauan menulis begitu besar yang besarnya segede gaban pun, tapi skill menulis belum punya, yang lahir cuma pertanyaan-pertanyaan: saya mau nulis apa, ya? Mulainya dari mana, ya? Setelah ini, apa lagi, ya? Kok, gak jelas gini, ya kalimatnya? Dan seterusnya, dan seterusnya. Maka, orang harus belajar dan berlatih menulis agar punya skill yang memadai untuk mewujudkan harapan menjadi penulis.


Nuraini Razak (disamping kanan saya) dan dua rekannya mendampingi sesi wawancara, Rabu 10 September 2025. Foto milik Nur Aini Razak.

Saya hampir setuju seratus persen, bahwa menulis itu bukan bakat, melainkan keterampilan. Karena menulis itu keterampilan, maka untuk menjadi terampil menulis, orang harus tekun belajar dan berlatih. Apa perlu punya guru menulis? Perlu, meskipun dengan autodidak orang bisa menjadi penulis, seperti HAMKA misalnya. Masalahnya, tidak semua orang bisa seperti HAMKA dalam hal tulis menulis.

Sesi wawancara cukup panjang. Sepersepuluh isinya disinggung di sini. Abéng Teubri, fotografer madrasah berbaik hati mengambilkan gambar kami di akhir sesi. Bila sesi foto di tangan ahlinya, yakin, tidak ada ada foto yang “tidur” sambil berdiri.|

Sabtu, 12 September 2025, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok menggelar acara “Peluncuran Buku & Workshop Konten Digital”. Buku Kumpulan esai “Menjaga Nyala Api Pembaruan” tulisan kader-kader Muhammadiyah Depok diluncurkan dan dibincangkan.

Menyumbang tulisan berjudul Hilf al-Fudhul di Tanah Jawa dalam buku ini, sejujurnya untuk menjawab tesis “organisasi adalah perkara bid'ah yang tidak ada pada masa Nabi” yang sering dituduhkan sebagian saudara dari manhaj sebelah. Faktanya, pada usia 20 tahun, Muhammad SAW sudah berorganisasi sebelum diangkat menjadi rasul dengan keterlibatan beliau dalam Hilf al-Fudhul. Hampir semua kitab-kitab sirah menyinggung Hilf al-Fudhul. Jadi, dengan pendekatan sejarah, Hilf al-Fudhul sejatinya sudah menggugurkan tesis di atas.

Hanya saja, boleh jadi karena persoalan teknis, keterbatasan waktu, dan sumber daya, saat sesi perbincangan, buku “Menjaga Nyala Api Pembaruan” hanya dibincangkan “tipis-tipis”, bahkan terlalu tipis. Lain waktu, buku ini perlu dibedah lebih fokus, agak serius, laiknya acara bedah buku di mana yang dikupas benar-benar isi buku. Buku itu dikupas seperti menguliti mangga hingga keluarlah dagingnya.

Satu hal yang merisaukan, kesadaran literasi—dalam konteks menulis dan segmentasi perbukuan—anggota Persyarikatan Muhammadiyah Depok di semua level belum menampakkan kepedulian yang berbanding lurus dengan jargon yang diperkenalkan Muhammadiyah sebagai organisasi “Gerakan Pencerahan” yang gaungnya sampai ke “langit”. Sebagai anggota majelis, kerisauan itu terasa sekali, risau rasanya memanggul jargon “Gerakan Pencerahan” sementara jarak orang Muhammadiyah Depok dengan budaya literasi begitu menganga. Sedangkan pencerahan itu adalah kawan karib literasi. Sesi Tips dan Trik Menulis Sejarah Muhammadiyah Lokal yang saya bawakan pun terasa kurang greget.|

Sabtu, 20 September 2025 kemarin, berkesempatan menghadiri undangan khusus dari Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Acara bertajuk Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Acara yang digelar di Ruang HB Jassin, Lt. 4 Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat agak unik bila dilihat dari angka 3 dan 6. Angka 36 usia dan milad Pustaka Al-Kautsar, angka 63 usia dan milad Pak Tohir, owner Pustaka Al-Kautsar. Dua angka yang unik dan keren bila dibolak-balik; 36 dan 63.

Undangan dikhususkan untuk para penulis, penerjemah, komikus, dan keluarga besar Pustaka Al-Kautsar. Meskipun sejak 2017 belum menulis lagi untuk penerbit ini, dihubungi via telepon oleh Ustaz Artawijaya untuk hadir, hati rasa berkembang-kembang, artinya saya masih direken. Ustaz Artawijaya, editor buku saya “Kiai Kocak vs Liberal” masih ingat saya. Ahahaha …

Sepanjang pulang, di atas Commuterline, buku “Menerbitkan Kebenaran Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia” serius saya baca. Dan, tersentaklah saya, ternyata keluarga besar Pak Tohir itu masih ada aroma-aroma Muhammadiyah-nya, kuat aroma Al-Irsyad-nya. Boleh jadi, keluarga besar dari Hadramaut, Yaman, dari etnis Masyaikh ini sangat dekat dengan pemikiran Syekh Ahmad Surkati, ideolog Al-Irsyad dan pemasok pikiran-pikiran tajdidiyah. Jadi, ada dua arus pemikiran keagamaan keluarga besar Pak Tohir; Al-Irsyad dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah dan Al-Irsyad memang punya hubungan historis yang cukup akrab. Dikisahkan, dalam perjalanan kereta api menuju Surabaya, Syekh Ahmad Surkati tertarik untuk berkenalan dengan seorang pemuda yang saat itu sedang membaca Majalah Al-Manar. Anak muda itu adalah KH. Ahmad Dahlan. Kedua tokoh ini kemudian menjalin persahabatan.

Keduanya, bahkan sempat mendiskusikan rencana mendirikan Muhammadiyah. Diskusi mereka berlanjut pada surat resmi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kepada Syekh Ahmad Surkati pada Maret 1938 berisi pertanyaan tentang al-din, al-dunya, sabilillah, dan qiyas. Kalangan Irsyadi menyebut jawaban Syekh Ahmad Surkati untuk surat resmi ini sebagai “Fatwa kepada PP Muhammadiyah.” Muhammadiyah sendiri menggunakan jawaban Syekh Ahmad Surkati itu sebagai salah satu acuan dalam Sidang Tarjih 1938. Pada 1941, PP Muhammadiyah juga menulis kesannya, “… pandangan-pandangannya (Ahmad Surkati) memperkuat dan mendorong kebenaran perjuangan Muhammadiyah.”

Sebaliknya, Syekh Ahmad Surkati menyebut KH. Ahmad Dahlan sebagai wali Allah Ahmad dan Nashiruddin Dahlan. Syekh Ahmad Surkati mengatakan, “… Mereka mengembangkan hasil pemikiran KH. Ahmad Dahlan sebagai wali Allah dan pembela agama yang cerdik.” (Siaran Majelis Dakwah Al-Irsyad, No. 4, 1973, hal. 22-35; lihat juga Himpunan Putusan Tarjih, PP Muhammadiyah, Yogyakarta, 1967, hal. 275-277). Narasi ini bisa dibaca pada https://www.alirsyad.or.id/ahmad-surkati-al-irsyad-dan-muhammadiyah/.

Ayah Pak Tohir, Allahuyarham Mochamad Bawazir adalah orang yang supel dalam bergaul dengan banyak tokoh agama Cilacap, baik dari kalangan NU, Masjumi maupun Muhammadiyah dan sering mendiskusikan soal-soal agama (hal. 18). Ini menunjukkan, bahwa ayah beliau adalah sosok yang sangat terbuka dalam pemikiran keagamaan.

Lebih dari itu, paman Pak Tohir, Allahuyarham Umar Bawazir adalah aktivis Muhammadiyah Kabupaten Cilacap sejak zaman Kolonial Belanda. Umar Bawazir bahkan berinteraksi dekat dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman, putra terbaik Muhammadiyah. Akhir hayat aktivis Muhammadiyah ini patut disebut heroik, patut disebut syahid. Umar Bawazir dituduh “ekstremis”, dituduh musuh negara. Peristiwanya berlangsung pada Agresi Belanda II kisaran 1947-1948 (hal. 12-13). Umar Bawazir dikabarkan di buku Pak Tohir ini gugur ditembus peluru Belanda sebab tuduhan “londo ireng”, alias pribumi Jawa yang berkhianat menjadi kaki tangan Belanda. Innā lillāhi wa-innā ilaihi rāji‘ūn.|

Buku “Menerbitkan Kebenaran” bukan saja enak dibaca. Bahasanya mengalir. Bangunan narasinya hidup, seakan melibatkan pembaca masuk dalam setiap peristiwa. Untuk hal ini saya tidak heran, sebagai buku otobiografi di tangan seorang dengan literasi menulis yang sangat kental, menulis bukanlah soal, meskipun Pak Tohir sendiri berkata menulis itu pekerjaan susah. Akan tetapi, pekerjaan susah di tangan orang yang tepat, ia menjadi mudah.

Menghadirkan pembicara sekelas Hikmat Kurnia (Ketua IKAPI DKI Jakarta), Hadi Nur Ramadhan (Founder Pusdok Tamaddun), dan Ust. Ahmad Faris BQ (CEO ImanPath), “Menerbitkan Kebenaran” menjadi lebih hidup. Hikmat Kurnia menyebut buku ini dengan kalimat sederhana, ”Membaca Pustaka Al-Kaustar, ya, membaca Pak Tohir. Membaca Pak Tohir, ya, membaca Pustaka Al-Kautsar”.

Buku di mata Hikmat adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi manusia. Bila mikroskop atau teleskop adalah perpanjangan dari penglihatan, telepon perpanjangan dari suara, maka buku “Menerbitkan Kebenaran” adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi Pak Tohir sepanjang usianya sekarang.

Sudat pandang Hadi Nur Ramadhan mengingatkan saya soal kriteria buku yang bagus menurut Bambang Trim. Meskipun Hadi beranjak dari Komik “Alam Kubur” karya Abu Mahdi—nama pena Pak Tohir—tapi kriterianya ngena banget. Hadi pernah memberikan komik itu kepada seorang perempuan di sebuah tempat. Perempuan itu mengenakan rok pendek—kata Hadi, dia tidak melihat paha perempuan itu, ia hanya tahu paha perempuan itu terbuka. Haaa, dasar anak muda.

Melihat judul komik itu, perempuan itu berujar, “Mas judul bukunya serem, ya.” Entah apa yang ada di benak Hadi, diberikannya komik itu kepada perempuan ini. Hadi mengaku punya kebiasaan mencantumkan nomor HP pada semua koleksi bukunya. Apa yang terjadi, tiga bulan setelah itu, Hadi menerima telepon dari perempuan ini yang mengaku ia sudah mengenakan hijab, tergugah dari komik Abu Mahdi. Maka, bila saya sambungkan dengan kriteria buku bagusnya Bambang Trim, buku bagus itu punya tiga daya; daya pikat, daya gugah, dan daya ubah. Hadi mengabarkan kepada kita bahwa komik “Alam Kubur” punya daya pikat, daya gugah, dan daya ubah.

Apakah otobiografi “Menerbitkan Kebenaran Memilih Jalan Tengah dalam Arus Dinamika Dakwah di Indonesia” punya tiga kriteria tadi? Saya butuh waktu untuk menyelesaikan membacanya. Akan tetapi, daya pikat sudah tampak dari cover-nya yang artistik.


Artawijaya dan Ahmad Faris BQ dalam Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Ahmad Faris BQ, penulis buku “Letters From Turkey” terbitan Salsabila, melengkapi substansi bedah buku Pak Tohir. Faris punya Islamic Historical Style yang sangat kuat sepanjang mengisi 20 menit bicara. Boleh jadi karena saya mengampu Sejarah Kebudayaan Islam di madrasah tempat saya mengajar, menikmati betul gaya Faris hari itu. Gaya Faris bicara kemarin, plek ketiplek dengan bahasanya yang renyah dalam “Letters From Turkey”. Kecerdasan verbalnya sama persis dengan kecerdasan penanya.

Sense of humor Faris juga hidup. Saat doktor lulusan Hubungan Internasional, Universitas Ankara, Turki ini bercerita tentang dialog seorang anak pada bapaknya penganut teori Darwin dan ibunya penganut paham Adam dan Hawa perihal dari mana asal-usul mereka, seperti membawa pulang tawa dari Taman Ismail Marzuki untuk diulang di kamar tidur.


Berada di antara para penulis Pustaka Al-Kautsar pada Milad & Launching Buku Otobiografi Tohir Bawazir “Menerbitkan Kebenaran”. Foto milik Artawijaya.

Bedah buku yang berkesan di akhir pekan. Begitulah seharusnya buku dibincangkan. Alfu mabruk untuk Pak Tohir dan Pustaka Al-Kautsar. Selamat Milad ke-63 dan ke-36. Semoga bertambah berkah sebab menjaga nyala api literasi untuk mencerdaskan umat. Ini seperti momen literasi untuk saya dan Pak Tohir.|

Ahad, 21 September dengan rinai hujan yang berserak-serak.