Rindu





Ilustrasi rindu, kangen. (Gambar oleh Goran Horvat dari Pixabay)

Persaudaraan bukanlah semata-mata karena darah atau nasab, melainkan lahir dari hati yang tulus saling menaruh rindu. Ia tumbuh dari keikhlasan memberi dan menerima, dari kehangatan yang hadir tanpa syarat, seakan jiwa sudah lebih dahulu mengenal sebelum raga bertemu.

Beberapa titik di Jakarta chaos sejak demo mahasiswa di gedung DPR RI 25 Agustus 2025 berakhir ricuh. Demo berlanjut. Affan, driver OJOL yang meninggal ditabrak kendaraan Rantis Brimob saat demonstrasi berlangsung pada 28 Agustus menambah daftar catatan hitam aparat kepolisian di arena demonstrasi. Tragedi Affan menyulut kemarahan draiver OJOL bergolak-golak. Situasi chaos.

Chaos meluas ke Solo, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Beberapa kota di Indonesia Timur juga chaos. Dipicu ucapan anggota dewan dari Nasdem Ahmad Sahroni yang menyebut rakyat yang meminta DPR dibubarkan sebagai “tolol” sedunia, Uya Kuya dan Eko Patrio dari PAN yang joget-joget saat tunjangan gaji anggota dewan naik, demo bermula dan menjadi bumerang.

Sahroni, Kuya, dan Eko bukan hanya memanen hujatan. Politisi artis yang mengemis suara rakyat saat Pemilu sedang menuai badai dari angin yang dia tabur sendiri. Suara hati permintaan maaf ketiganya tidak digubris, mungkin dianggap seperti suara kentut yang semakin membuat orang marah. Rumah mereka dirusak dan dijarah rakyat. Ungkapan “salamatul insan fi hifzil lisan”, bahwa keselamatan seseorang bergantung pada sikapnya menjaga lisan sedang dibuktikan lagi oleh sejarah.

Jakarta mencekam. Beberapa titik di Jakarta; Slipi, Petamburan, Senen, dan Kwitang menjadi zona merah. Perjalanan pada Jumat sore ke Pasar Senen, 29 Agustus bikin jantungku berdetak lebih keras dari biasanya.

Sepanjang berangkat, driver Grab terus memantau situasi. Beruntung sang sopir orang Sunter, Jakarta Utara dan tahu persis peta rawan Jakarta saat ini. Hatiku berkata, mengganti rencana berangkat dari Commuterline dengan Grab berisiko sangat signifikan dalam situasi seperti ini. Benar saja, jalan utama menuju stasiun Pasar Senen diblokir. Massa sudah berkumpul dari arah Timur menuju Senen, kemungkinan massa itu akan bergerak menuju titik chaos di Mako Brimob, Kwitang malam itu.

Saat mengambil rute alternatif melalui jalan Bungur, aku berbisik, kemungkinan perjalanan ke Jogjakarta batal. Beberapa ruas jalan sudah ditutup. Yang paling aku takutkan bila belum sampai di Stasiun Senen, situasi sudah benar-benar chaos dan aku terjebak tidak bisa kembali pulang.

“Mas, turunkan saya di titik paling dekat ke Stasiun Senen. Biar kami jalan kaki saja,” kataku.

Tidak ingin mengecewakan penumpang, sang sopir mengambil risiko. Melihat masih banyak motor menuju jalan yang dibokir ke arah stasiun, ia terus melaju. Ya Tuhan, keberuntungan masih bersamaku. Sampai juga di gerbang lobi stasiun. Alhamdulillah.|

Aku, Ella, dan Miray, putri kecil kami berangkat ke Jogjakarta untuk satu keperluan penting. Rencana keberangkatan dari dua bulan sebelumnya tidak bisa ditunda lagi. Ada persaudaraan menanti di Gungungkidul, ada rindu yang tertahan di Bantul, dan ada persahabatan yang harus dihangatkan lagi setelah sekian lama terpisah.

Persaudaraan bukanlah semata-mata karena darah atau nasab, melainkan lahir dari hati yang tulus saling menaruh rindu. Ia tumbuh dari keikhlasan memberi dan menerima, dari kehangatan yang hadir tanpa syarat, seakan jiwa sudah lebih dahulu mengenal sebelum raga bertemu.

Dalam persaudaraan, ada kekuatan yang selalu hadir. Saat dekat, ia menjadi penguat yang menegakkan langkah; saat jauh, ia menjadi alasan untuk saling mencari. Jarak hanya menguji, tetapi tidak pernah benar-benar memutuskan ikatan yang sudah terjalin.

Bahkan ketika berjarak, persaudaraan membuat jiwa saling merasa kehilangan. Ada ruang kosong yang tak bisa diisi selain oleh kebersamaan yang dirindukan. Namun jiwa tetap tersambung, seakan benang tak kasat mata menjaga hubungan itu tetap hidup.

Maka beruntunglah mereka yang memelihara nilai persaudaraan. Sebab dalam ikatan ini, jiwa terpanggil untuk saling membahagiakan, bukan saling menuntut. Di situlah letak keindahan; rasa dekat tanpa harus selalu bersama.|

Sabtu 30 Agustus 2025 kemarin, aku menemukan lagi ketulusan yang membahagiakan, kebahagiaan yang tidak lapuk meski kami berjauhan. Pertama dengan keluarga Ustaz Budi Nurastowo Bintriman, Allahuyarham di Gunungkidul.

Ustaz Budi dan Umi Ipit, seperti kakak tertua bagiku. Dari mereka aku belajar cara bagaimana bersyukur supaya hidup seakan tidak ada cela yang harus diratapi sesempit apa pun ujian hidup. Seolah-olah, Ustaz Budi dan Umi Ipit tidak pernah menemui jalan buntu. Ustaz Budi tetap survive meski “takdir baik” seolah tidak pernah berpihak kepadanya. Maka, kepergian Ustaz Budi yang secepat itu menjadi sosok yang selalu kurindukan kehadirannya lagi.

Selamat beristirahat dengan bahagia Ustaz, aku akan selalu menyambungkan kebersamaan kita melalui Umi, Liukan, Laskar, Liga, Lintang, dan Zaki. Atau jika satu waktu aku lalai, aku harap salah seorang dari orang-orang tercinta Ustaz ini yang menyapaku lebih dahulu.

Lalu di Jogjakarta yang kedua, Ella istriku meluruhkan kangen dengan keluarga Bude Hartinah melalui putra dan putrinya; Mas Riyan dan Mbak Nisa. Aku peluk Riyan saat bertemu dan berpisah. Ada isak bahagia Ella saat ia memeluk Nisa, gadis Bude Hartinah dan Pakde Yamta yang makin ayu dan dewasa.

Riyan yang dahulu bila bicara seperlunya saja, malam Minggu tadi malam senyumnya selalu mengembang saat kami mengobrol. Sekarang, sudah pula ia jadi laki-laki dewasa. Sebentar lagi pun, akan jadi seorang ayah, buah hati dari pernikahannya dengan gadis Bantul; Mbak Ria yang murah senyum. Selamat ya, Mas, Mbak. Semoga bayi dan kalian berdua sehat-sehat.

Dari Bude Hartinah dan Pakde Yamta, aku belajar bagaimana seharusnya bersikap kepada tetangga. Perhatiannya kepada keluargaku melebihi perhatian lazimnya status orang yang tinggal bersebelahan rumah. Mereka kerap hadir seperti saudara kandung untuk menghibur adiknya yang sedang murung. Aku banyak tahu dari Ella, istriku yang lebih banyak bergaul dengan Bude.

Meskipun Bude Hartinah dan Pakde Yamta tidak hadir, sudah cukup memuaskan rindu sejak perpisahan empat tahun yang lalu. Aku titip salam pada Riyan dan Nisa, bagaimana pun takdir yang sedang berlaku untuk Bude dan Pakde hari ini, rasa hormat kami kepada keduanya masih seperti dahulu, tidak ada yang berubah, cinta dan rindu akan selalu ada.

Malika, putriku yang berkenalan saat ia baru berumur 12 hari dengan Buda Hartinah, menyampaikan salam dan menulis surat rindu untuknya. Kami tidak tahu isinya. Barangkali, anak ini ingin mengadukan kesannya yang diperlakukan seperti anak bontot Bude dan Pakdenya.

Minggu, 31 Agustus di atas Fajar Utama Jogja.

Merdeka atau Terjajah

Ilustrasi milik: https://www.goodnewsfromindonesia.id/

Jiwa merdeka jauh lebih penting daripada kebebasan seremoni.
Beragam permainan hiburan dan lomba-lomba marak tiap kali Hari Kemerdekaan dirayakan. Boleh? Boleh —dalam bahasa agama hukumnya mubah—asalkan tidak mencederai norma, kepatutan, dan moral. Yang paling penting —sayangnya poin ini sering dilupakan—hiburan dan lomba-lomba itu punya muatan edukasi.

Islam tidak melarang secara ketat soal lomba dan hiburan selama ia tidak merusak akidah, tidak melanggar syariat, dan jelas batas-batas halal dan haramnya. Silakan menggelar lomba dan menghadirkan hiburan sepanjang ia sehat dalam timbangan syariat, norma, kepatutan, dan moral. Selesai.

Momen Hari Kemerdekaan memang identik dengan kegembiraan. Dari lapangan kampung sampai lapangan istana, semuanya gembira. Ada musik, joget-joget, dan lomba-lomba. Semuanya senang, semuanya tertawa-tawa.

Dahulu, para pejuang merebut kemerdekaan dengan derai air mata, darah yang tumpah, dan nyawa yang melayang. Lalu, pengorbanan para pahlawan itu dikenang beberapa menit saja saat “Mengheningkan Cipta” pada upacara peringatan 17 Agustus. Dikirimkanlah doa untuk mereka.

Bagi muslim, kiriman doa hening cipta kadang dengan persembahan bacaan sirr surah Al-Fatihah. Lalu, paduan suara atau alunan musik kolosal lagu Mengheningkan Cipta gubahan Truno Prawit mengiring Al-Fatihah itu. Siapa saja bolehlah sekadar bertanya, sejak kapan bacaan sirr surah Al-Fatihah atau doa untuk para syuhada diiringi dengan nyanyian atau musik instrumental? 

Sebagian kalangan, prosesi ini dinilai sebagai kearifan lokal. Bacaan sirr surah Al-Fatihah dengan iringan “Mengheningkan Cipta” adalah harmoni antara wahyu sakral dan seni dalam tata upacara. Begitulah sudut pandang masing-masing orang menilai.

Hanya saja air mata, darah, dan nyawa pahlawan itu lalu hilang dalam kenangan sesaat kiriman doa “Mengheningkan Cipta” selesai. Setelah itu, scene berpindah pada euforia. Anak bangsa tenggelam dalam sorak-sorai berbagai tradisi lomba dan pesta Agustusan yang beberapa di antaranya serba hedonis. 

Ada juga anak bangsa yang memaknai Peringatan Hari Kemerdekaan itu dengan sepi dari hiruk pikuk duniawi. Ia memulainya dengan berucap “alhamdulillah” telah merdeka lalu berkarya lagi pada masing-masing bidang pekerjaan seperti hari-hari kemarin sebelum Agustusan. Ia punya definisi sendiri atas lomba dan kegembiraan.

Lomba-lomba dalam pesta kemerdekaan layaknya bunga-bunga di pekarangan rumah. Ia dipandang perlu sebagai ornamen memeriahkan dan mempercantik rumah bangsa yang sebelumnya muram karena terjajah. Akan tetapi, ada catatan kritis bilamana lomba itu melibatkan interaksi lawan jenis, bentuk-bentuk lomba yang “berbau seksual”, atau lomba yang menimbulkan  kesan merendahkan martabat perempuan.

Catatan positif untuk panitia Agustusan yang menghadirkan lomba-lomba bernuansa edukatif, memantik kreativitas, inovasi, patriotisme, dan nalar kritis. Terutama lomba untuk anak-anak usia sekolah, usia di mana otak, hati, dan tangan mereka diberi sentuhan pendidikan, nilai-nilai sosial, menghargai perjuangan jasa-jasa para pahlawan, dan akhlak mulia. Ini lebih substantif. Tentu, lomba-lomba dengan karakter demikian itu diberi nuansa spirit islami sangat patut diapresiasi.

Satu poin lagi soal lomba, soal hadiahnya. Sedianya, lomba-lomba Agustusan itu simbol kerekatan antar sesama anak bangsa. Momen merajut kebersamaan dalam suasana gembira karena merdeka. Meskipun saling bersaing untuk berebut hadiah, hadiah itu nantinya diterima dengan gembira, dengan jiwa merdeka. Karena itu, jangan sampai persoalan hadiah malah membuka “konflik” soal remeh-temeh karena nilai hadiah dipandang tidak sepadan dengan bobot jenis lomba yang dipertandingkan. 

Jangan memindahkan “konflik” kolonialisme Belanda dan Jepang yang sudah berlalu itu ke dalam hadiah lomba kemerdekaan. Karena itu, panitia perlu menyediakan keterbukaan informasi soal jenis lomba dan besaran hadiah tiap mata lomba. Pastikan informasi itu sudah diketahui dan dipahami tiap peserta sebelum lomba digelar. Jadikan dia sebagai tafsir tunggal yang menutup pendapat penitia begini, pendapat yang menang lomba begono saat hadiah sudah diterima.

Hal yang paling panting, semeriah apa pun perayaan Hari Kemerdekaan dan segembira apa pun lomba Agustusan dihadirkan, jangan lupakan hakikat kemerdekaan. Jiwa merdeka jauh lebih penting daripada kebebasan seremoni. Bagi seorang muslim, merdeka itu leluasa menerima diri sebagai hamba Allah, bukan hamba seremoni.

“Al-’ubūdiyyatu lillāhi hiya haqīqatul hurriyyah. Fa man lam yata’abbad lahu, kāna ‘ābidan lighayrih”. Penghambaan kepada Allah itu adalah hakikat kemerdekaan. Siapa saja yang tidak menghamba kepada Allah, dia itu budak (terjajah) bagi selain-Nya. Demikian ungkapan Syaikh al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatāwa wa Rasāil Fadhīlat al-Syaikh Al-Utsaimin.

Merdeka!!!

Sehari setelah 17 Agustus 2025.

Kyai Adung is Back?

Kyai Kocak. Narasi "Wajahmu" dalam karya komik. Komik milik Vbi_Djengotten.

Dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. Sampai hari ini, “Kyai Kocak” masih menyepi sambil menikmati kenangan masa lalu yang yang terus bergulir menjauh.
“Buku apa yang paling menarik Anda baca?

Ini pertanyaan biasa, hampir setiap pembaca bisa menjawab. Boleh jadi jawaban tiap pembaca tidak sama, bergantung latar masing-masing. Akan tetapi, lain hal bila pertanyaannya demikian: “Buku apa yang paling menarik saat Anda tulis?”

Saya punya jawaban spesifik untuk pertanyaan kedua: “Kyai Kocak”, buku ringan dengan karakter “Kyai Adung”, tokoh fiksi yang kolot, tapi cerdas, juga jail. Dari semua buku saya yang sudah terbit, “Kyai Kocak” punya tempat tersendiri.

Setidaknya ada tiga momen yang menjadikan buku ini paling berkesan buat saya. Pertama, ini debut pertama menapaki ikhtiar menjadi penulis. “Kyai Kocak” adalah representasi isi pikiran saya merespons sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis) dengan cara yang jenaka, tapi, argumentatif dalam karya buku.

Kali pertama, “Kyai Kocak” menyapa pembaca melalui “ijtihad” self-publishing, ditangani Kang Dani Ardiansyah, pemilik Indie Publishing saat itu. Dari Indie Publishing, saya berkenalan dengan Vbi_Djenggotten, nama pena komikus Veby Surya Wibawa, ikon dari komik “33 Pesan Nabi”. Saya pernah bertemu Mas Vbi sekali di Cirendeu. Kami mengobrol sambil makan sop kambing. Kata Vbi, buku “Kyai Kocak” itu “komikal” banget.

Kyai Kocak” besutan Kang Dani sempat merebut hati pembaca. Satu waktu, saya iseng menyambangi beberapa toko buku Gramedia sekitar Jakarta Selatan dan Depok. Kepada “penunggu” Gramedia, pura-pura saya tanya-tanya soal “Kyai Kocak”. Rupanya, laku juga buku ini. Beberapa Gramedia stok “Kyai Kocak” bahkan sudah kosong.

Kedua, pertemuan saya dengan Woro Lestari di Facebook membuka jalan “Kyai Kocak” bertemu tokoh perbukuan nasional dan penulis-penulis berkelas di penerbit Pustaka Al-Kautsar. Ini adalah pengalaman mahal. Setidaknya bagi saya, penulis pemula yang belum punya bentuk bisa tersambungkan dengan Pustaka Al-Kautsar penerbit buku-buku Islam ternama dan penulis-penulis andal. Apatah lagi melalui Pustaka Al-Kautsar, “Kyai Kocak” dapat panggung Islamic Book Fair. Jadi, bertemu Pustaka Al-Kautsar adalah takdir kedua, panggung Islamic Book Fair dan royalti adalah berkahnya. 

Ketiga, forum akademisi INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) pernah memberi kesempatan saya mengulas buku ini dalam diskusi INSISTS Saturday Forum. INSISTS Saturday Forum itu forum ilmiah dan bergengsi. Narasumbernya cendekiawan kaliber nasional dan internasional yang getol membendung arus liberalisme. Pesertanya aktivis kampus, aktivis dakwah, dosen, dan peminat pemikiran kelas berat.

Saya memang sempat sering mengikuti forum ini sebagai peserta. Akan tetapi, diberi kursi untuk duduk sebagai narasumber di INSISTS Saturday Forum, itu “bagai memindahkan air ke bukit”. Bersyukurnya saat itu, sampai juga air itu saya pindahkan ke bukit meski dengan gemuruh dada seperti suara beduk bertalu-talu.

Begitulah dahulu “Kyai Kocak” pernah mengisi hati sebagian kecil peminat buku. Ia buku ringan yang penulisnya sempat merasakan “kursi angker” intelektual INSISTS Saturday Forum. Maka, pengalaman menarik menulis buku ini jadi dikenang lagi. Hanya saja dalam panggung perbukuan, setiap masa ada tokohnya, dan setiap tokoh ada masanya. 

^o^

Pukul 16.44 sore, Kamis 7 Agustus 2025, Mbak Aminah Mustari menyapa melalui WA. Lama sekali tidak tersambungkan dengan penulis keren di Pustaka Al-Kautsar ini. Maka dengan segera pesan saya balas. Syukur-syukur ada kabar yang melimpah berkah.

Kamis kemarin, 14 Agustus 2025 kami bertemu di bilangan Pondok Cina. Hampir satu jam kami berbincang menjajaki kemungkinan “membangunkan” “Kyai Adung” si “Kyai Kocak” yang masih semedi. Hanya saja, apakah “Kyai Kocak” masih kontekstual sebagai counter liberalism yang gaungnya mulai meredup?

Dahulu, “Kyai Kocak” turun gunung di tengah badai hiruk-pikuk liberalisme. Hari ini, angin liberalisme memang masih bertiup meski tidak sekencang 13 tahun lalu saat pertama kali “Kyai Kocak” bersilat lidah melawan liberalisme dengan caranya sendiri.

Boleh jadi, “Kyai Adung” harus dibisiki untuk menyudahi semedinya. Angin grafik liberalisme memang sudah melandai, tapi, grafik angin buzzer dan relawan pemuja tokoh politik sedang menggila dan kehilangan akal sehat. Ini realitas yang membikin gerah seperti gerahnya “Kyai Adung” kepada para pemuja Sepilis.

Sampai hari ini, “Kyai Kocak” masih menyepi sambil menikmati kenangan masa lalu yang yang terus bergulir menjauh. Lalu, akankah “Kyai Kocak” akan kembali turun gunung, Mbak Aminah?

Ciputat, Jum’at penuh berkah, 15 Agustus 2025.