Anda Guru Tidak Pantas Untuk Pekerjaan Ini


Review kerja kelompok guru kelas 4 Workshop Asesmen Sumatif KKG MI Cipayung. Foto Credit: Suprihatiningsih

TIGA puluh satu tahun lalu menginjakkan kaki di sekolah ini. Waktu itu baru lulus Madrasah Aliyah. Masih segar, energik, dan idealis. Tiap hari jalan kaki lebih kurang 1 km pergi mengajar. Honorarium tidak seberapa. Tidak dapat uang transport, tidak uang makan, tidak pula uang tunjangan. Akan tetapi, energi selalu penuh.

Semula, tidak pernah terpikir menjadi guru. Mendengar kata orang, gaji guru itu kecil bila hanya honorer. Ia masih kalah dengan upah kuli bangunan. Di belakang hari, ada benarnya kata orang soal gaji guru itu. Jadi, sempat kaget saat menerima honor bulan pertama mengajar. Saat itu, upah minimum buruh di Jakarta saja memang baru Rp18.200 per bulan.

Ayah memberi nasihat yang menohok soal honor pertama itu. Katanya, “Bila semua orang berpikir dan berbuat seperti yang kamu pikirkan, maka tidak akan ada orang yang mau mengajar. Semua memilih jadi kuli bangunan saja. Lalu, siapa yang akan mengajar anak-anak di madrasah?”

Jleb!

Per Januari 2023, upah minimum buruh di Jakarta sudah Rp 4.901.798. Senang rasanya jadi buruh bila fokusnya pada upah. Tapi, dada terasa sesak. Kesenjangan penghasilan guru honorer di beberapa daerah pinggiran Jakarta masih sama dengan pengalaman 31 tahun lalu.

***

Sharing teknik penyusunan soal Pilihan Ganda, Isian, dan Jawaban Singkat Asesmen Sumatif KKG MI Cipayung. Foto Credit: Suprihatiningsih

HARI ini begitu bermakna. Kebermaknaan itu sebab bertemu komunitas guru madrasah yang peduli dengan kekuatan kolaborasi, sharing, dan mau belajar di madrasah tempat dahulu saya memulai karier mengajar. Mereka guru-guru yang sadar pada perubahan yang harus dijawab dengan kesadaran belajar. Seperti ingin menjawab sindiran, “Guru yang berhenti belajar, sebaiknya berhenti mengajar” mereka mengundang untuk sesi sharing pengalaman, fokus pada perencanaan asesmen, membuat indikator soal, dan merancang kisi-kisi persiapan asesmen sumatif pada Desember esok.

Penggagasnya Kelompok Kerja Guru (KKG) Madrasah Ibtidaiyah Kelurahan Cipayung, Depok. Ketua KKG-nya siswa MI saat kali pertama menjadi guru 31 tahun lalu. Siswa ini termasuk siswa cerdas saat dulu saya mengajar. Setelah tamat dari Muallimat, dia mengambil studi Jurusan bahasa Arab di UIN Jakarta. Pernah menjadi Kepala Madrasah, karier tertinggi seorang guru. Salut.

Surprised! Sekretaris KKG-nya siswa saya Jurusan Akuntansi pada 2003. Posturnya yang mungil masih saya ingat. Juga senyum serta sopan santunnya sejak di SMK tidak berubah. Ah, bahagia sekali, hari ini kedua siswa saya menjadi motor penggerak.

***

AWALUDIN, sang sekretaris KKG tak mengira akan menjadi guru. Cita-citanya ingin jadi akuntan. Namun, rencana masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) kandas karena faktor ekonomi. Seperti saya yang orang kampung, Awal –begitu saya memanggilnya– lalu bekerja apa saja untuk meringankan beban hidup orang tua selepas lulus SMK. Tapi, Awal lebih gigih daripada saya soal melakukan segala pekerjaan. Hingga satu waktu, ada orang yang meminta Awal mengajar olahraga di sebuah madrasah.

Awal memang punya skill olahraga yang baik. Dia punya kecerdasan Kinestetik sangat menonjol sejak masih SMK. Kakinya begitu lincah menggocek 'si kulit bundar'. Tangannya seperti ‘bertuah’ bila sudah memegang raket. “Ha? Jadi guru olah raga badan kecil begini?” Begitu Awal bercerita berseloroh pada saya tadi siang.

Pesan sang ibu memantapkan Awal memilih profesi guru. Dia dinasihati supaya fokus mengajar saja meskipun honor tidak seberapa. Namun, Awal sempat berhenti mengajar dan melakukan apa saja pekerjaan halal asalkan punya penghasilan lebih besar dari honor mengajar. Pada akhirnya, Awal memutuskan kembali menjadi guru mendengar sindiran rekan kerja yang menohok waktu itu, “Anda guru. Tidak pantas untuk pekerjaan ini.” 

Jebred! Teringat kembali Awal pada pesan ibu.

Saya antusias mendengarkan cerita Awal sepenuh jiwa. Pada penggalan cerita bagaimana saat dia menyempatkan waktu susah payah kuliah malam mengambil gelar Sarjana Pendidikan, ada keharuan menyeruak. Awal merasa belum absah mengajar sebelum mengantongi lisensi. Dari sini saya menemukan pembuktian lagi, bahwa pada dasarnya jiwa seorang guru adalah jiwa pembelajar. Kali ini saya dapat dari siswa sendiri yang sudah setara dengan saya; sebagai guru.

***

Berpose bersama peserta usai acara Workshop Asesmen Sumatif KKG MI Cipayung. Foto Credit: Suprihatiningsih

TERSAMBUNG lagi dengan Awal bukan sebuah kebetulan. Rupanya, dia pernah mengikuti sesi workshop di Madrasah Pembangunan empat tahun ke belakang. Diajak oleh koleganya dan semringah mengetahui salah satu pembicaranya adalah gurunya sewaktu SMK.

Moderator ada menyinggung dua alasan rekomendasi sesi sharing hari ini menyasar saya. Pertama, soal di mana saya mengajar. Jadi, poin pertama ini lebih pada soal reputasi Madrasah Pembangunan. Kedua, soal literasi menulis yang saya geluti. Moderator menyebut buku-buku karya saya sebagai guru penulis.

Dua alasan ini menjadi pertimbangan KKG menghadirkan saya untuk berbagi. Saya no comment. Soal lembaga, ada banyak guru Madrasah Pembangunan yang lebih mumpuni, lebih legitimate, dan lebih kredibel dengan posisi sebagai leader yang pantas dirujuk soal asesmen daripada saya. Apalah awak ini.

Lepas dari itu semua, ada poin perbincangan Awal selepas shalat Zuhur yang saya pikirkan terus sampai tulisan ini jadi. Soal nasihat rekan kerja Awal yang berkata: “Anda guru. Tidak pantas untuk pekerjaan ini.”

Alamak! Ucapan itu sepadan dengan:

“Anda guru. Tidak pantas berpolah laku begini.”
“Anda guru. Tidak pantas berucap begini.”


Bagi saya, itu satu kalimat sejuta interpretasi makna.

Thank’s Awal, telah bebagi cerita berharga. Teruslah menjadi guru penggerak!

Depok, Sabtu ceria, 14 Oktober 2023.

Generasi Baper

Baper. Resource https://tirto.id/

SEJAK internet mendunia, smartphone jadi personal device, dan media sosial jadi diary, orang bisa membaca isi hati dan isi pikiran orang lain melalui status, notes, atau video reels yang diposting melalui akun media sosial masing-masing.

Dunia jadi lebih ramai dengan loncatan efisiensi waktu yang tidak terkira. Dalam hitungan detik, guru di sebuah sekolah di Ciputat misalnya, bisa tahu seorang temannya yang tinggal di luar Jawa sedang makan di restoran mewah menikmati menu ‘Pecak Oncom’ dari unggahan video di Instagram miliknya.

Guru di Ciputat itu terbit air liurnya sebab unggahan itu dilihatnya di saat jam makan siang. Sayangnya, dia sedang tidak punya uang untuk membeli nasi karena tanggal tua. Jadilah dia guru baper dan menganggap postingan itu ‘tidak manusiawi’. Lalu, dorongan baper itu menuntun jarinya memberi komentar : “UNFAEDAH!”. Ditulis dengan CapsLock. Di-bold pula. Diikuti tanda seru (!). 

Dan, ‘perang’ dimulai.

Unggahan Pecak Oncom itu hanya ilustrasi. Akan tetapi, begitu banyak fakta kasus serupa terjadi. Kasus baper sebenarnya, tapi kadang berujung di pengadilan. Gara-gara status, video atau foto unggahan, baper bermain, orang berkelahi di media sosial, dan berlanjut pertarungan itu di Meja Hijau. Ini baper membawa sengsara. Padahal, mental anti baper adalah salah satu saham utama literasi digital dalam transaksi di media sosial.

Orang baperan itu seperti orang yang ketakutan tidak kebagian oksigen. Otak dan dadanya jadi sempit. Orang nge-share video atau foto, disangka sedang menggurui dia. Apa pun status orang yang dia baca, seolah itu khusus ditujukan pada dirinya. Membaca quote milik teman sebelah, disangka sedang menyindir. Membaca notes yang beririsan dengan pengalaman pribadi, disangka sedang menguliti aibnya. Lha?

Jadi, apa pun unggahan orang di akun media sosial, semua dipersepsikan sebagai tengah menunjuk batang hidungnya. Semua pesan itu dijustifikasi sebagai ‘ini gue banget’ dalam konotasi negatif. Ini baper level paling kacau dalam komunitas media sosial.

Orang baperan itu lupa, setiap pengguna media sosial dengan segala konten yang mereka unggah,  itu punya kepentingan masing-masing dan sangat subjektif sifatnya. Itu hak dia, subjektivitas dia.

Hanya saja, memang, dan ini karakter dunia maya yang tanpa batas, subjektivitas itu menjadi area terbuka di mana setiap orang akan menafsirkan sesuai dengan subjektivitasnya masing-masing juga. Lha, kalo baper jadi modal analisis untuk menafsirkan status atau konten orang lain, sampai kucing berjengger pun hidup dalam komunitas medsos tidak akan pernah bisa tenang.

Akan tetapi faktanya, hari ini medsos memang selalu 'hamil' dan melahirkan jutaan generasi baper.  Perangkat teknologi jadi bukan membuat hidup mereka menjadi mudah, malah menambah susah hati, susah tidur, susah makan, susah be a be, susah napas, akhirnya susah sosialisasi.

Baperan itu tidak ada obatnya, kecuali ojo baperan. Supaya punya sikap ojo baperan, pahami saja nasihat Grand Syeikh Al-Azhar Asy Syarif, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi.

Kata Syaikh: ”Likulli syakhsin nazhratuh, fa laa ta’tab nafsaka lituhsina ‘inda al-aa’khariin”. Jadi, “Pada akhirnya, setiap orang memiliki pandangannya masing masing, maka tak usah berlelah-lelah agar tampak baik di mata orang lain”.

Begitu kata Syeikh Thantawi yang diangkat menjadi Mufti Negara Mesir pada 28 Oktober 1986, diangkat sebagai Syekh Universitas Al-Azhar pada 1996 menggantikan Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, dan wafat pada Rabu pagi, 10 Maret 2010 waktu Saudi Arabia. Syeikh Thantawi wafat di Saudi dalam usia 82 tahun akibat serangan jantung.

Salam anti baper.

Ruang Guru. Rabu, 4 Oktober 2023.

Refleksi Maulid for Teenager

Ilustrasi generasi milenial. Resource dari https://news.unair.ac.id/

KALI ini ada rasa ‘gregetan’ dengan penceramah undangan yang isi ceramahnya out of context. Berharap dapat pencerahan baru bagaimana meneladani akhlak Nabi shallallahu alaihi wa sallam, malah miskin dari nilai cerah. Alih-alih ingin membuat suasana segar, penceramah malah melempar pantun bernuansa dewasa. Itu konten belum cukup umur untuk peserta didik tingkat Tsanawiyah. Ini poin pertama.

Berharap dapat refleksi dari ‘orang luar’, mendatangkan penceramah sebenarnya strategi bagus. Memang harus dipilih cara ini agar anak-anak dapat nuansa baru. Kalau tiba-tiba guru mereka sendiri –misalnya Pak Abdul– yang naik panggung ceramah, bisa-bisa mereka nyeletuk, “Dia lagi dia lagi”. Jadi, meskipun values atau isi ceramah itu sama saja dengan guru mereka sendiri, kejenuhan bisa dihindarkan.

Hanya saja, bila penceramah luar itu tidak well prepare, ceramah akan tidak efektif. Sangat mungkin pada waktu yang bersamaan, peserta didik asyik ngobrol dengan kiri-kanan, penceramah asyik sendiri dengan ceramahnya. Itulah yang terjadi pada acara maulid Jumat (28/9) kemarin.

Ujung-ujungnya, tidak kurang dari 30 menit penceramah sudah turun panggung, ceramah usai, zonk values, peserta didik ‘gak dapat apa-apa. Alasan penceramah bikin geli, karena anak-anak ‘gak fokus dengerin. E, busye?

Orang yang punya sense of critical thinking tentu bertanya, mengapa anak-anak ‘gak fokus dengerin? Tentu jawaban yang paling masuk akal bukan karena anak-anak ‘gak mau dengerin, tapi karena isi ceramah tidak menarik. Ditambah lagi dengan kegagalan penceramah merebut perhatian anak-anak.

Ini risiko mendatangkan penceramah luar yang tidak populer. Lain soal bila penceramah yang diundang  sekelas Dennis Liem. Kalau sudah Dennis Liem yang turun, rasa-rasanya, dia mau ngomong apa saja, pada suka semua. Jangankan peserta didiknya, guru-guru mereka yang perempuan juga betah berlama-lama dengerin Dennis Liem ceramah. Eheheheheh. Itu karena Dennis Liem punya tiga modal yang sangat kontekstual; popularitas, ganteng, dan da’i milenial.

Akan tetapi, populer tidak populer figur penceramah bukan satu-satunya kunci ceramah menjadi menarik. Misalnya, sebelum naik panggung, penceramah harus mau melakukan riset, meskipun hanya riset kecil-kecilan. Penceramah luar –populer atau belum– wajib tahu bagaimana kebiasaan audiens, dari kelas mana mereka datang, apa umumnya hobi mereka, bagaimana kondisi jika mereka mendengarkan ceramah dari penceramah luar sebelumnya, mana yang lebih kondusif antara ceramah dengan media indoor atau outdoor.

Ini resources yang harus diolah untuk mengemas materi ceramah. Rumit, ya. Ya, memang rumit, tapi kan sepadan dengan kemampuan menghadirkan ceramah yang memikat. Lagi pula, data-data itu bisa digali dari Wakasis. Wakasis punya semuanya. Jadi, ‘gak rumit, tinggal minta bocoran saja, selesai.

Naik panggung tanpa persiapan cukup, atau menyamakan dengan audiens di tempat lain, belum tentu presisi untuk segmentasi murid sekolah. Bila nekat, ini sama saja dengan ‘bunuh diri’. Apalagi untuk audiens sekelas peserta didik Madrasah Pembangunan. Ceramah tanpa well prepare di sini, sama saja masuk medan tempur tidak bawa senjata. Ujung-ujungnya penceramah minder sendiri karena merasa ceramahnya kurang mendapat respons. Ini poin kedua.

Masih ada cara alamiah untuk mengatasi lost focus audiens. Di sini, volume jam terbang dan pengalaman sangat menentukan. Jika merasa audiens sudah tidak memberi perhatian cukup, mengapa tetap stay di panggung? Cobalah turun. Dekati mereka. Libatkan mereka dalam ceramah. Ini efektif untuk merebut perhatian audiens. Tentu, mereka akan tersentak dan lalu memberi perhatian. Tinggal, pertahankan perhatian mereka itu dengan pesan-pesan yang menyentuh. Ini jauh lebih bermakna ketimbang membiarkan mereka tidak memberi perhatian dengan tetap ngomong di atas panggung. 

Hal berikutnya adalah konten maulid yang 'sekufu' dengan usia mereka. Ada banyak bahan ceramah maulid yang bisa digali untuk peserta didik di zaman milenial ini. Bawakan saja kisah masa kecil Nabi yang sudah menggembala kambing sebagai bentuk kerja keras untuk memenuhi sedikit keperluan beliau. Ini penting untuk menanamkan karakter sabar dan kerja keras kepada anak-anak milenial atau generasi Z hari ini yang lebih suka pada hal-hal yang bersifat instan, maunya serba cepat, dan cenderung malas menjalani proses yang rumit. Kalau mengaku cinta Nabi, ya harus mau kerja keras. Itu poinnya tu.

Bawakan juga kisah masa kecil Nabi sampai beliau dewasa sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul yang tidak secuil pun terpengaruh tradisi jahiliyah dengan segala potret negatif cermin kemerosotan moral, etika, dan akhlak masyarakat Arab waktu itu. Bangun narasi kontekstual dengan dampak negatif dunia digital hari ini, tantangan terbesar generasi milenial dan generasi Z yang akrab dengan gadget karena begitu mudahnya mereka mengakses konten negatif melalui layar ponsel mereka. Katakan kepada mereka, sebesar apa pun bahaya era digital, seberapa sering pun menggunakan gaway, mereka tetap setia pada nilai-nilai akhlakul karimah warisan Sang Nabi. Keren, kan?

Ah, ya wis. Jangan diambil hati. Ini tulisan sembarang menunggu jam bubar sekolah.

Senin, 2 Oktober 2023.