KILAU DARI SENTIONG


Dummy Buku Republika, Sutrisno Muslimin Sang Inovator. Gambar sampul desain https://diybookcovers.com/3Dmockups/#.  

HARI ini, di lantai 11 K-LINK TOWER, Jl. Gatot Subroto No. Kav. 59 A, RT.1/RW.4, Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Kota Jakarta Selatan, “Kilau Dari Sentiong“  saya raba wujudnya. Sebagai penulis, saya puas sekali dengan tampilan cover-nya, elegan. Saya tidak ingin menyatakan bagus dan puas soal isi. Biarlah, soal itu, akan dinilai oleh pembaca saja. Sedangkan saya, cukup berhenti pada telah mengerahkan daya dan upaya estetik saat menulisnya, paragraf demi paragraf.

“Kilau Dari Sentiong“ hanya satu sub judul dari dummy buku “SUTRISNO MUSLIMIN SANG INOVATOR PENDIDIKAN, DAKWAH, DAN POLITIK”. Secara pribadi, “Kilau Dari Sentiong“ lebih mewakili perasaan saya atas buku itu. Entah, boleh jadi karena ikatan psikologis, tiga kata itu bagi saya “Pak Tris banget”.

Buku Biografi ini selesai saya tekuni dalam waktu tidak lebih dari enam bulan. Bagaimana caranya? Saya tidak ingat lagi detailnya. Yang saya ingat, Awal Februari 2022 kami bertemu, mulai menulis, dan pada Mei 2022 saya sudah menyerahkan draft dalam bentuk sekadar dummy, 527 halaman. Permintaan Pak Tris, kalau bisa buku tiga bulan selesai, sedikit meleset.

Selepas itu, ada beberapa bagian yang perlu ditambah. Cukup panjang. Menemui dan mewawancarai narasumber, mengkonfirmasi, dan merevisi beberapa bagian penting. Persis setahun ketemu Februari, Jumat hari ini, 24 Februari 2023, dummy buku hadir di K-LINK Tower, di Jakarta Bussines School (JBS), institusi pendidikan jenjang Sarjana (S1) yang menyelenggarakan program studi Digital Business, Entrepreneurship, dan International Trade. Tahulah saya, Pak Tris adalah salah seorang dari founder JBS bersama Dato H MD Radzi Bin Saleh dari Malaysia dan Dr Hamdan Zoelva SH MH.

***

Setiap buku ada jodohnya, yakni sasaran pembacanya. Masyarakat umum, dosen, guru, kepala sekolah, da’i, mahasiswa, dan pelajar saya kira menjadi segmentasi pembaca autentik buku ini. Politisi juga dapat, tapi hanya sedikit, tidak sebanyak yang saya sebut sebelumnya.

“Bagaimana buku, sudah bagus, kan?” Pak Tris menanyai saya.

Saya tidak menjawab bagus atau tidak. Karena saya merasa, sebagai penulisnya, saya cukup berhenti pada telah mengerahkan daya dan upaya estetik saat menulisnya, paragraf demi paragraf, seperti yang sudah saya singgung.

Namun, bila meminjam kriteria Bambang Trim, buku dikatakan bagus setidaknya bila memiliki tiga daya; daya pikat, daya gugah, dan daya ubah. Tentu, ia memikat, menggugah, dan mengubah sasaran pembacanya ke arah yang positif setelah menikmati tampilan cover, isi, dan pesan yang disajikan. Maka sekali lagi, buku dinilai bagus atau buruk akan lebih objektif bila datang dari pembaca, bukan dari penulisnya.

Akan tetapi, saya tidak bermaksud mendahului pembaca, buku Pak Tris ini inspiratif. Pada Prakata, ada saya menulis: Membaca perjalanan hidup Dr. Sutrisno Muslimin, M.Si., dalam buku ini bisa jadi menorehkan berupa-rupa kesan. Terlebih bagi saya—yang berkesempatan menuliskan kisah hidup tokoh muda ini secara langsung. Beribu impresi membekas di benak. Meski saya sudah mengenal Pak Tris—begitu ia biasa dipanggil—sebelumnya, namun selalu menemukan sisi lain yang baru dari beliau. Sepanjang halaman pertama buku ini ditulis sampai halaman terakhirnya dibubuhi tanda titik, kesan itu sangat kuat. Pak Tris yang dulu dengan yang sekarang, seperti jarak langit dan dasar sumur. Yang tidak berubah adalah bahwa ia tidak jemawa dengan keadaannya yang sekarang. Ia juga tidak berusaha mengubur lokus dari mana ia dahulu berasal.

***

Buku dengan durasi xviii+438 hlm.; 15,5 x 24 cm ini, nantinya diterbitkan oleh Buku Republika, (imprint Republika Penerbit). Bagi saya, poin ini cukup signifikan bersanding dengan tiga novel dan empat seri buku Kiai Kocak saya yang diterbitkan penerbit Pustaka Al Kautsar, penerbit mayor dengan tagline-nya Penerbit Buku Islam Utama, juga beberapa buku saya yang diterbitkan oleh penerbit minor. Ini seperti hadiah literasi di awal tahun 2023, sejak tiga tahun lalu saya memegang lisensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi Penulis dan Editor Profesional, LSP PEP.

Ada Tim Pak Tris yang mengawal finishing buku ini. Nama-nama mereka saya sebut pada Prakata sebagai ungkapan terima kasih. Apalagi di sana ada Pak Irwan Kelana yang mengawal dari sisi konten. Saat dummy harus diperiksa Tim lebih teliti sebelum naik cetak, wartawan senior Republika ini membesarkan hati saya, “Afwan, koreksian mungkin lbh [lebih] pada typo dan caption foto. Kalau naskah, dari segi isi dan bahasa, menurut saya sdh [sudah] sangat bagus.”

Dummy memang dibutuhkan untuk memberi ruang perbaikan. Sambil menunggu ISBN keluar, Kata Pengantar, atau endorsement dari beberapa kalangan, Tim dan editor memang harus jeli menyelisikjika perlukata per kata.

Saat membuka-buka dummy, sekilas mata saya ada menangkap orphan dan widow pada beberapa halamannya. Orphan adalah baris pembuka paragraf yang berdiri sendiri di bagian bawah halaman atau kolom, terpisah dari teks lainnya. Widow adalah baris penutup paragraf yang berdiri sendiri di bagian atas halaman atau kolom, terpisah dari teks lainnya.

Ilustrasi Orphan dan widow . Foto credit: https://thefutur.com/content/crimes-of-typography

Orphan dan widow memang bukan kesalahan fatal pada konten buku, tapi ia mengganggu keterbacaan karena persoalan tata letak. Buku yang baik dari sisi tata letak, harus terhindar dari keduanya. 

Selamat atau tidak selamat sebuah buku dari orphan dan widow, sepenuhnya ada di tangan dua peran; peran editor dan peran layouter. Maka sepatutnya, seorang editor paham tata letak, apalagi layouter. Demikian sependek yang saya tahu, saat dahulu pernah belajar literasi perbukuan kepada Bambang Trim.

Semoga masih ada cukup waktu untuk menyelamatkan buku ini dari orphan dan widow, agar dia berkilau seperti “Kilau Dari Sentiong“ .

Sebagai penulis, saya menunggu kelak buku ini diperbincangkan di berbagai forum literasi. Ia menginspirasi pembacanya karena berdaya pikat, berdaya ubah, dan berdaya gugah. 

Satu lagi, ini bisa jadi bukan sebuah kebetulan buat saya pribadi. Sejak Januari 2023, Koran Republika tidak lagi hadir di Perpustakaan Madrasah Pembangunan. Saya menikmati harian ini secara rutin sejak diposisikan sebagai Kepala UPT Perpustakaan Madrasah Pembangunan, pada Juli 2018 lalu. Per satu Maret nanti, tugas saya selesai di perpustakaan setelah sepanjang Januari-Februari tidak lagi bersua Republika. Aih, rupanya 24 Februari 2023 di K-Link itu, “Kilau Dari Sentiong“ ternyata jadi "dijodohkan" pada Republika. Wah, saya patut bersyukur.

Pak Tris, terima kasih diberi kesempatan menulis buku ini. Juga untuk Tim Pak Tris yang hebat-hebat itu, terima kasih.  

Salam literasi.

Sepeda

SAYA suka sekali mengajak bercanda, berpikir, dan mencerna wacana dan gerakan Islam Liberal melalui narasi. Tentu, dengan kapasitas dan daya saya yang terbatas. Ya, sekelas remah-remah, lah. Belum sampai master, apalagi selevel doktor.


Dahulu, saya pernah menerbitkan novel berjudul “Jalan Islam Badrun Maria”. Novel ini berkisah tentang kehidupan asmara anak muda liberal, pejuang toleransi, pengagum feminisme, dan suka mencela orang sebagai penganut Islam radikal hanya karena orang itu tidak bersedia mengucapkan selamat natal karena alasan teologis. Novel terbit sangat terbatas dan hanya kalangan tertentu yang sudah membaca. Lalu, file naskahnya terlupa, mungkin terlalu rapi disimpan, tak tahu hendak dicari di mana.

Awal Februari kemarin, file itu ketemu, terselip di antara tumpukan file penting saat iseng bongkar-bongkar dokumen. Senangnya seperti menemukan kembali unta merah yang hilang yang membawa perbekalan air di tengah gurun. Saatnya menyediakan waktu, menikmati kembali cerita Badrun Maria.

Aih, banyak yang membuat tersenyum mendapati kalimat tidak efektif, banyak lubang cerita menganga, alur yang datar, dan konflik yang kurang tajam setelah dibaca ulang dengan segenap perasaan. Beberapa bagian harus pula direvisi, dibuang yang kurang relevan, dan ditambah informasi baru untuk mempertajam konflik ideologi dan isu pemurtadan, ide pokok novel ini.

Setengah dari sekitar 400-an halaman naskah sudah selesai disentuh ulang. Cerita lebih mengalir, natural, logis, dan bangunan plot yang kompleks dengan alur maju mundur.

Lalu saya berpikir, naskah ini lebih cocok diberi judul "Liberal Ditinggalin Pacar" saja, mengikat Si tokoh utama yang berpendapat bahwa murtad bukanlah dosa, melainkan proses menemukan kesadaran baru, akhirnya remuk redam karena pacarnya--Maria-- diambil orang dan dipaksa murtad. Sakitnya tuh di sini, kira-kira begitu, sekadar meresume suasana hati tokoh utama novel ini.

Banyak booster saat proses menghaluskan naskah, yaitu kehadiran sosok evangelis Yusuf Manubulu, dan dua pendeta murtadin Saifuddin Ibrahim, dan Muhammad Kace pada channel YouTube mereka masing-masing. Sudah hampir setahun lebih saya mengikuti narasi-narasi mereka soal kekristenan yang bertujuan menjatuhkan Islam.

***

KARENA asyik ada waktu luang pada Sabtu kemarin 18 Februari 2023, tepat pada acara puncak HUT ke-49 Madrasah Pembangunan, saya menunda pulang cepat. Apalagi, di atas panggung masih ada doorprize yang sengaja disimpan panitia di penghujung pesta.

Bila ide sudah mentok, balik ke depan menyimak kalau-kalau nama saya dipanggil naik ke panggung. Ya, biar pun tidak dapat doorprize yang gede, masa sekadar hadiah hiburan tidak dapat. Namun, sampai menjelang zuhur, memang tidak terdengar nama saya disebut-sebut. Apes ini.

Ah, sudahlah, balik lagi ke laptop saja. Tenggelam lagi membaca romantika cinta Badrun-Maria. Saya lupakan doorprize. Barangkali, memang belum jodoh pulang bawa hadiah sambil tetap ngarep. Mungkin tahun depan.

Sampai pada Bab 17 setelah zuhur, saya berhenti. Bukan karena tidak ada ide, tapi ide itu diganggu doorprize. Doorprize lagi, doorprize lagi. Saya sudahi menulis, lalu keluar, duduk bersanding dengan Pak Roni di depan perpustakaan. Saya lihat wajah Pak Roni semringah. O, iya, pantas. Dia baru dapat tiket naik haji dari Sekolah; Calon Haji Saroni. Alhamdulillah. Mabruk alfa mabruk, Pak.

Ustaz Endang Purwanto datang melintas.

“Dapat, doorprize apa, Kiai?” Begitu ustaz serba bisa ini bertanya. Ustaz Endang ini di antara orang “rese” yang memanggil saya dengan panggilan “Kiai”.

“Doa antum buat saya kagak makbul. Nama saya kagak kedengeran dari tadi.” Saya menimpali.

“Lah, doa buat diri sendiri aja kagak makbul, apalagi doa buat Kiai.”

Haaaa.

Tapi, beberapa menit kemudian, nama Ustaz Endang malah dipanggil. Dia berhak mendapat alat buat ngepel, apa itu namanya saya kurang memperhatikan. Berarti, doa Ustaz Endang makbul nih, pikir saya. Ada harapan ini.

Usai Ustaz Endang nyanyi “Sakit Gigi” dan disawer pula dia, dua nama berturut-turut dipanggil naik ke panggung. Nama saya masih juga tidak disebut. Harapan tipis. Tenggorokan sudah makin kering. Mana duit dan kupon belanja sudah habis. Ngapain lagi, nih.

***

MUNGKIN ada benarnya ­ucapan Albert Einstein, bahwa kehidupan itu ­seperti naik sepeda. Untuk menjaga ­keseimbangan, orang harus tetap terus bergerak. “Life is like riding a ­bicycle. To keep your balance, you must keep ­moving.”

Terbukti ucapan Einstein benar. Karena saya bergerak terus, masuk perpustakaan, duduk, mengetik, bangkit lagi dari kursi, keluar perpustakaan lagi, duduk di samping Pak Roni, ngarep-ngarep lagi, begitu terus keep ­moving alias ajag-ijig kagak bisa diem.

Akhirnya, pukul 12.47, malaikat Mikail “turun” juga memberi rezeki. Nama saya dipanggil buat naik panggung untuk menerima satu unit sepeda dari BJB. Dalam hati saya bergumam, “Alhamdulillah, untung Ustaz Endang duluan yang dipanggil. Terima kasih, Ustaz. Hahaha.”

Maka saya berkesimpulan, tips untuk mendapat doorprize sepeda, amalkanlah petuah Albert Einstein; Keep ­moving. Ajag ijig!

Oh, Allah di misericordia, alhamdulillah.

Salam literasi.

The Right Man in The Right Place

Ilustrasi milik: https://id.depositphotos.com/stock-photos/rekomendasi.html

Seorang penulis memang ‘nakal’. Dia sering mengganggu tidur, istirahat, kesenangan, atau bahkan mengganggu proses ‘melahirkan’ alias buang air orang lain lewat tulisannya. Baik karena terkesan atau terusik karena tulisan itu, keduanya sama saja; mengganggu.

Seorang penulis, apalagi bukan penulis kaleng-kaleng, kadang ia terlalu bandel. Ia tidak peduli pada risiko. Sepanjang apa yang ditulisnya itu persoalan substantif, objektif, dan fair, risiko bukan perkara yang ia takutkan. Seorang Bambang Tri Mulyono bahkan kelewat bandel dengan menulis buku "Jokowi Undercover" yang menggugat keaslian ijazah Presiden Jokowi. Ini bukan lagi bandel, tapi “gila”!

***

Tulisan saya: ”Honor And Respect”, rupanya ada juga mengusik orang. Aduh, jadi kasihan. Padahal, itu tulisan ringan sekali. Isinya hanya refleksi sekadar, otokritik biasa. Bila ditakar, isinya tidak sepadat isi perut ‘tahu isi’. Akan tetapi, rasanya seperti sepedas tahu jeletot di hati yang terusik.

Konon katanya, ”Honor And Respect” akan dibawa dan diangkat dalam Rapim di Yayasan yang menaungi lembaga di mana saya mengajar. Ada embel-embel, ”Honor And Respect” jadi pertimbangan saya tidak direkomendasikan untuk posisi Kepala UPT Perpustakaan.

Emang penting bagi saya? Nggak juga.

Maksud saya, sebelum jadi Kepala UPT periode empat tahun kemarin, saya tidak meminta-minta jabatan apa pun. Menjadi Kepala UPT. Perpustakaan Madrasah Pembangunan, pun bukan hasil ‘lobi politik’. Itu ‘ngemis’ namanya. Yang ada, saya dipanggil, diajak bicara, lalu diberi amanah untuk duduk di perpustakaan mengembangkan literasi menulis. Karena literasi menulis adalah tema ‘seksi’ buat saya, tergodalah hati ini. Setelah tiga hari berlalu, waktu yang saya minta untuk menimbang, saya terima tawaran itu. Maka, berang-berang naik pangkat, berangkaaat!

Hari ini, amanah sudah saya tunaikan. Februari 2023 ini, menjadi hari-hari terakhir bagi saya menyumbangkan ide, gagasan, dan karya pengembangan literasi menulis di Madrasah Pembangunan melalui pintu perpustakaan. Peluncuran “Amieru” dan “Chekhov's Gun”, dua karya fiksi ilmiah pertama peserta didik MTs Pembangunan menjadi penutup program literasi saya.

Adapun soal tidak direkomendasikan untuk mengurus perpustakaan lagi karena ”Honor And Respect”, otokritik saya pada acara peluncuran “Amieru” dan “Chekhov's Gun”, apa saya harus nangis bombay? 

***

Seorang leader adalah orang yang paling tahu kekuatan dan kelemahan lembaga yang dipimpinnya. Di samping itu, dia punya visi dan misi yang bisa diterjemahkan pada tataran aksi saat dia bekerja. Daya kreasi dan inovasinya hidup, kedewasaannya menonjol, kemampuan literasinya di atas kebanyakan orang, dan managerial skill dalam prinsip the right man in the right place-nya presisi. Masih banyak lagi. Tidak apa tidak semua kompetensi memimpin dikuasai, asalkan jangan menunjukkan gelagat leader bingung yang tidak tahu harus melakukan apa.

Jadi, sederhana sekali memahami filosofi rekomendasi itu, sesederhana memahami orang yang pandai memasak diberi tugas sebagai koki. Jadi, sekali lagi, bila tidak diberi rekomendasi, itu artinya dipandang tidak cocok ada di situ. Kalau dipandang tidak cocok ada di situ, masa mau maksa tetap nongkrong di situ sambil berharap-harap dikasihani? Mending bangun, berdiri, dan tetap berkarya sesuai passion.

***

Sepanjang menjadi Kepala UPT Perpustakaan, saya bekerja dibantu pustakawan literat, difasilitasi para pimpinan literat, dan didukung mitra gerakan literasi yang konsisten. Lahirlah Pengantin Fort van der Capellen dan Tarawih Terakhir yang mulai saya tulis pada 2017, rampung dan diterbitkan pada 2021. Tahun sebelumnya, pada 2019 Fiksi 8 Jam menjadi buku kenangan yang saya tulis saat membuka dan mengisi Kelas Menulis Fiksi Perpustakaan. Sepanjang mengisi kelas menulis itu, saya juga menulis. Maka, saat peserta kelas menulis melahirkan antologi Melankolia Sepasang Sepatu, diam-diam saya pun melahirkan Fiksi 8 Jam. 


Dua buku lagi, Refleksi dan Alfanumerik menjadi karya saya paling mutakhir selama menjadi Kepala UPT yang terbit pada awal 2023. Sejak mula hingga akhir paragraf dua buku ini ditulis di antara ribuan koleksi perpustakaan MP UIN Jakarta selepas tugas mengajar, di sela istirahat, atau menunda pulang cepat hanya untuk mengikat ide agar tidak kemana-mana.

Karena itu, menjadi atau tidak menjadi apa pun, tetap menulis.

Salam literasi.

Honor And Respect

 



Amieru dan Chekhov's Gun, dua karya fiksi ilmiah pertama peserta didik MTs Pembangunan disambut antusias saat peluncuran pada Literacy Day HUT ke-49 Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Tentu, yang paling antusias adalah para penulis. Rona bahagia tampak dari wajah mereka yang berseri-seri.

Demikian pula orang tua yang mendampingi para penulis. Ayah dari salah seorang penulis, bahkan sempat menitip pesan sebelum pulang agar ia dikabari apabila ada even serupa yang digelar Madrasah Pembangunan meskipun putrinya yang menulis Amieru saat ini sudah bukan lagi peserta didik MTs Pembangunan UIN Jakarta. Sebuah pesan apresiatif dari "orang luar" yang amat mengesankan.

Termasuk yang turut bahagia dan merasa even ini amat berharga adalah alumni para penulis novel dan antologi sebelumnya; Lukisan Ellisa, Standing Next to You, The Batavian, Bayang-Bayang Field Trip, Let' Explore Our Talents, Mata Pribumi, Kala Mentari Terbit, Gadget Yang Terlupa, dan Hezbollah. Juga alumni guru penulis Perpustakaan; Melankolia Sepasang Sepatu dan All About MP.

Panitia secara pribadi menerima beberapa pesan WA melalui sekretaris panitia dari orang tua alumni penulis. Isinya sangat mengharukan. Mereka bahagia masih dikenang bahkan diundang secara khusus menghadiri acara peluncuran karya adik kelas mereka. Sebagai ketua penyelenggara, saya pribadi tidak menyangka, undangan yang saya anggap hal biasa, tapi dimaknai sebagai sebuah penghormatan dari Madrasah. Ini penting sebagai bahan refleksi.

Seorang alumni penulis antologi yang lain merasa tidak beruntung karena masih berada di luar negeri dan tengah mempersiapkan Ujian Akhir Semester. Ia merajuk, diundur saja acara peluncuran Amieru dan Chekhov's sampai ia rampung ujian, liburan, dan pulang ke Indonesia. 🤣

Meskipun disampaikan dengan bercanda rajukan itu, tapi emosi kebanggaan bahwa ia masih diingat sebagai peserta didik yang dahulu meninggalkan legacy literasi menulis saat di MTs, masih menyala-nyala. Terima kasih telah menempatkan rasa hormat untuk dirimu sendiri, guys.

Emosi yang menyala itu cukup menghangatkan. Sahibul bait dari MTs saja yang notabene ini merupakan selebrasi peserta didik mereka sendiri boleh saya nilai menganggap dingin, sedingin sayur kemarin pagi acara ini. Begitulah faktanya.

Akan tetapi, siapa yang peduli? Saya pun tidak. Sedingin salju pun sikap itu, bagi saya tak penting. Bodo amat, emang gua pikirin? Begitu kalau dibahasakan ekspresi bodo amatnya orang Depok.

Di balik itu, saya merasakan kerisauan serius dari salah seorang Direktur Yayasan yang hadir. Bahkan, beliau menyatakan dalam testimoninya harus membatalkan hadir pada acara kajian rutin pada agenda lain hanya untuk menghadiri acara literasi ini. 

Bagi panitia, kehadiran dan apa yang beliau sampaikan adalah honor and respect kepada para penulis, narasumber, dan para undangan, bukan kepada panitia. Sekali lagi bukan, sebab gelaran acara ini memang honor and respect seluruhnya untuk para penulis. Amat pantas diterima para penulis yang masih anak-anak dengan kecerdasan linguistik itu di tengah miskinnya karya literasi, baik karya fiksi maupun nonfiksi tulisan guru-guru mereka sendiri.

Jadi, bisa dimaklum saat Direktur melihat banyak kursi kosong dan menanyakan mana perwakilan siswa dan guru MTs dengan wajah sedikit disenyum-senyumkan pada saya. Tapi, apa mau dikata, saya pun tidak bisa menjawab kecuali mengangguk dengan bibir saya senyum-senyumkan pula.

Tapi kemudian saya kaget, acara belum lagi usai, seorang pimpinan menunjukkan WA berbunyi;

"Ini gambaran kegiatan yg penting, mem[n]ghadirkan narasumber penting tp kita tdk bisa menghadirkan peserta yg ms[a]ksimal sehingga banyak kursi kosong....ingat ini nama baik lembaga".

Sebuah ekspresi yang menampar ulu hati.

Selamat kepada para penulis dan salam literasi.