BERMUHAMMADIYAH SAMPAI KE METRO

RSU Muhammadiyah Metro. Foto credit https://halopaginews.com

TAHUN 1912, seperti tahun “keramat”. Itu “angka Muhammadiyah”. Sejarah telah memilihnya sebagai penanda ia berdiri, melekat, dan berkohesi dengan ingatan. Pada 18 November esok, batang usia Persyarikatan ini akan menyentuh bilangan seratus lebih sepuluh tahun, penanda bahwa Muhammadiyah tetap survive meski sudah melintas zaman.

Dahulu, sewaktu mengaji di masjid dan sekolah Diniyyah sore, sedikit sekali peristiwa besar pada 1912 yang diungkap di ruang-ruang kelas. Guru-guru ngaji dan Diniyyah saya amat jarang menyebut peristiwa selain kelahiran Muhammadiyah saja. Bisa jadi, karena Muhammadiyah sangat dicintai dan sudah kadung identik dengan angka 1912.

Padahal, Sarekat Dagang Islam (SDI) bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI), KH. Agus Salim membuka H.I.S (Hollandsche Inlandsche School) partikelir di kota Gedang, atau Indische Partij yang didirikan Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantoro berlangsung pada tahun yang sama.

Bila lensa sejarah diarahkan lebih jauh sampai pada lokus World History and Timelines, pada tahun yang sama Albania menyatakan merdeka dari Turki Utsmani, pemilihan Woodrow Wilson sebagai presiden Amerika, Yoshihito dinobatkan sebagai Kaisar Jepang, Republik Rakyat Cina diproklamirkan mengakhiri riwayat Kekaisaran Cina, kematian Kaisar Meiji, sampai pada penemuan modulasi frekuensi radio semua berlangsung pada 1912.

Dan, andaikata Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet tidak memerankan film karya sutradara James Cameron, bisa jadi banyak warga persyarikatan–termasuk saya– tidak tahu bahwa kapal Titanic tenggelam di perairan Atlantik Utara pada 14 April di tahun yang sama, 1912.|

SAMA halnya dengan Muhammadiyah yang identik dengan Kota Gudeg. Yogyakarta adalah Muhammadiyah, dan Muhammadiyah adalah Yogyakarta. Itu adagiumnya.

Waktu sekolah rendah, mungkin guru-guru Diniyyah saya khilaf. Mereka hanya menyebut Yogyakarta. Wajar saja bila saya dan kebanyakan murid-murid Diniyyah menganggap Muhammadiyah hanya ada di dua tempat: Yogyakarta dan Muhammadiyah di region kampung sendiri waktu itu. Jadi, literasi tentang persebaran Muhammadiyah yang diserap sangat sedikit. Tidak sampai berpikir bahwa Muhammadiyah sudah ada di mana-mana. “Lugu” sekali.

Hari ini, bisa jadi masih tersisa generasi Persyarikatan yang masih “lugu” itu. Mereka terhambat bertumbuh meninggi, terbatas bergerak melebar, dan sulit memuai memanjang pada persoalan literasi sejarah Muhammadiyah. Frame berpikir tentang Muhammadiyahnya masih sama sewaktu masih kecil dahulu.

Saya pun belum jauh melangkah belum tinggi mendaki. Wajarlah jika saya tercengang mendengar Muhammadiyah saat ini sudah memiliki 24 Cabang Istimewa (PCIM) di luar negeri, dari Asia, Eropa, Amerika, hingga Afrika. 24 PCIM itu menyebar di Kairo (Mesir), Iran, Khartoum (Sudan), Belanda, Jerman, Inggris, Libya, Malaysia, Perancis, Amerika Serikat, Jepang, Pakistan, Australia, Rusia, Taiwan, Tunisia, Turki, Korea Selatan, Tiongkok, Arab Saudi, India, Maroko, Yordania, dan Yaman. Entah berapa lagi PCIM baru akan menyusul belakangan.|

RIHLAH Dakwah dan Raker ke Metro, gagasan Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok (KMMD) bagi saya pribadi menjadi cara meluaskan wawasan Kemuhammadiyahan. Maka, agenda Raker KMMD yang menempel pada kegiatan ini sebenarnya tidak lebih signifikan muatannya dari ikhtiar meluaskan wawasan itu. Apatah lagi sekadar menikmati Bakso Sonhaji Sony, menyicip manis durian berdaging kuning, dan leyeh-leyeh di pantai Sari Ringgung yang sayang jika dilewatkan. Pastilah para mubaligh Rihlah Dakwah akan semakin tergembirakan bila agenda itu jadi digenapkan.

Rihlah Dakwah ke Metro penting untuk menikmati hasil-hasil daya juang Muhammadiyah dan memuaskan kekaguman kepada para da’i Persyarikatan yang sudah berhasil memperkenalkan Muhammadiyah ke Sumatera pada kisaran 1920-an. Era ini hampir bersamaan dengan masuknya Muhammadiyah di tanah Batavia (Betawi) yang berlangsung pada 1921, lalu tujuh tahun kemudian mendapatkan pengesahan dari Pusat Pimpinan di Yogyakarta. Padahal Batavia masih di tanah Jawa, tempat lahir Muhammadiyah. Sedangkan Sumatera harus menyeberang lautan. Bayangkan!

Di Lampung, khususnya di Metro, 
Muhammadiyah sudah dirintis pada 1938 bersamaan dengan HIS Muhammadiyah di sana. Barulah pada 1939, Muhammadiyah Cabang Metro resmi berdiri. Mohammad Chajad, Sosro Sudarmo, Abdullah Sajad, dan Ki Mohammad Asrof merupakan sebagian dari tokoh-tokoh perintis Muhammadiyah Cabang Metro saat itu. Adapun Surowinoto, Muhajir, Seno Hadipuspito, dan D. Subari tercatat sebagai guru-guru perintis HIS Muhammadiyah Metro.|

ADA catatan menarik Kuswono, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro tentang geliat Muhammadiyah di Lampung pada 1939. Catatan Kuswono bersumber dari Mailrapport Politieke Verslager Lamongsche Districten (Laporan Surat Wartawan Politik Distrik Lamongsche) yang tersimpan rapi pada Arsip Nasional Indonesia (ANRI).

Dalam laporan itu, Pemerintah Hindia Belanda mengontrol kegiatan-kegiatan perkumpulan kaum intelektual pribumi, termasuk Muhammadiyah. G.W. Meindersma, pejabat Keresidenan Lampung dan H.E.J. Oosterwijk, kepala Dinas Intelejen Politik (Politieke Inlichtingen Dienst) sebagai pejabat pemerintah memiliki kepentingan mencatat semua kegiatan yang dianggap berpotensi mengumpulkan massa dan mengganggu kepentingan pemerintah kolonial.

Misalnya, pada Oktober 1939, pertemuan antar anggota Muhammadiyah yang digagas oleh Cabang Muhammadiyah di Telokbetong dan Gedong Tataan tidak luput dari pantauan pemerintah. Apalagi, pertemuan terbuka pada malam tanggal 30-1 Oktober 1939 itu dihadiri kurang lebih seribuan peserta laki-laki dan 400-an perempuan serta anak-anak.

Hasan Adnan, seorang pembicara mengangkat tema “Kewadjiban Ummat Islam terhadap Anak Jatim dan Persatoean” pada pertemuan itu. Saat Hasan Adnan menyinggung kewajiban menunaikan herendienst (kerja wajib) atau membayar dengan uang sebanyak f 9 bagi masyarakat pribumi, pihak keamanan Hindia Belanda memperingatkan Hasan Adnan bahwa dia sengaja sedang melakukan provokasi. Pada kali kedua Hasan Adnan diperingatkan, tokoh Muhammadiyah Lampung itu bergeming. Beliau tetap melanjutkan pidatonya sampai polisi memaksa memberhentikan dan menurunkannya dari mimbar.

Hasan Adnan dengan lugas membicarakan hal sensitif dan membuat telinga pemerintah 
memerah. Sebenarnya beliau bukan sedang menyinggung pemerintah, melainkan membicarakan kepentingan umat. Kita beroleh pelajaran berharga, kadang membela kepentingan ummat bisa dianggap mengganggu pemerintah. Dan, ini berisiko.

Hasan Adnan bukan satu-satunya potret para pejuang persyarikatan. Begitulah karakter dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang diusung Muhammadiyah sejak lahirnya sampai sekarang. Karakter demikian itu yang menjadi pupuk bagi kesuburan dakwah Muhammadiyah sejak dulu, kini, dan esok. Apakah karakter-karakter seperti Hasan Adnan masih terus akan bertumbuh di hati para mubaligh Muhammadiyah?

Secara umum, Muhammadiyah di mana pun, termasuk Muhammadiyah Metro bila kita lebih serius membaca sejarahnya, sudah mengangkat tema-tema keumatan seperti masalah-masalah agama dan pendidikan sejak awal mula berdiri. Tema-tema ini menjadi penting digali KMMD saat melakukan Rihlah Dakwah sebagai oleh-oleh paling mahal yang dibawa pulang. Memang, tidak ada salahnya bermuhammadiyah sampai ke Metro.

Nasrun minallah wa fathun qariib.

Selamat Rihlah.

MOTEL TETANGGA MASJID

Trio Ustaz Korps Mubaligh Muhammadiyah Depok: Fathoni (jaket merah), Irfan, dan Chairil Ihsan. Foto Credit Ustaz Mahfan.

TADI malam, di warung Mie Aceh, sedikit segmen tentang Islam di Korea jadi bahan obrolan. Naratornya Ustaz Irfan. “Ustaz Korea” ini pulang kampung buat sejenak menikmati bulan madu. Enam bulan pengalaman berdakwah di Korea, wajar saja ada futur-nya, ada kangennya pada kekasih.

Dalam konteks waktu enam bulan itu penting digarisbawahi. Secara historis, ia bisa dirujuk. Dahulu, Khalifah Umar bin Khattab (khalifah pada 634-644 M) menetapkan waktu tugas bagi seluruh prajurit Muslim di medan perang tidak lebih dari enam bulan. Jadi, tak apalah kita anggap, Ustaz Irfan itu prajurit yang sedang melaksanakan fatwa Khalifah Umar untuk menemui kekasihnya setelah lelah bertempur enam bulan di medan dakwah.|

KALI pertama Islam masuk ke semenanjung Korea berlangsung pada masa Dinasti Silla. Dinasti Silla merupakan salah satu pemerintahan dari periode Tiga Kerajaan Korea yang muncul pada sekitar 57 SM. Memasuki abad ke-9 M–ada juga yang menyebut abad ke-7–melalui pedagang Muslim Arab, Cina, dan Persia, Islam bersinggungan dengan Semenanjung Korea pada saat dinasti ini berkuasa.

Nanti, pada abad 13-14 M, pada masa Dinasti Koryo (Goryeo), banyak imigran Muslim yang datang ke Semenanjung Korea kemudian menetap secara permanen dan berasimilasi ke dalam masyarakat Korea. Sejak itu, Islam di Korea mengalami pasang surut.

Islam di Korea sempat “tiarap”, dalam arti tidak bisa lagi bergerak bebas pada abad ke-15 M. Adalah Dinasti Joseon yang berkuasa saat itu mengeluarkan peraturan berupa larangan masuknya budaya asing– Politik Isolasi, di mana seluruh rakyat harus memeluk agama Konghucu. Sejak itu, Islam dan Muslim tidak bisa lagi masuk ke Korea. Kontak antara Korea dengan dunia Islam pun terputus selama hampir 500 tahun.

Islam baru bisa kembali hadir di Korea dan mengalami kebangkitan di awal abad ke-20 M. Tonggak kebangkitan itu dimulai pada 1920, saat 250 penduduk Muslim Rusia etnis Kazak Turki datang ke Korea. Mereka orang-orang sipil korban penindasan ekonomi dan politik ekses dari Revolusi Bolshevik Rusia. Di Korea mereka mendirikan pemukiman permanen dan mewarnai geliat Islam di Korea. Sayang sekali, karena gangguan sosial yang menimpa Korea pasca penarikan Jepang tahun 1945, sebagian besar pemukiman ini bermigrasi ke negara-negara lain.

Pada era modern, komunitas Muslim Korea mulai tumbuh. Fase ini dimulai ketika kedatangan pasukan tentara perdamaian Turki saat terjadi perang Korea tahun 1950-1953 M. Abdul Ghafur Kara Ismailoglu menjadi tokoh dakwah sentral pendamping tentara perdamaian asal Turki. Beliau seorang imam yang memperkenalkan dan mengawal perkembangan Islam di Korea saat itu. Hasilnya, 10 orang Korea masuk Islam di tangan Abdul Ghafur. Mereka adalah Changkyou Kim, Chansu Kim, Duyoung Yoon, Iljo Kim, Jaehee We, Jin Kyu Kim, Paikhyun Shin, Sungjao Paik, Youngkul Cho, dan Youngkyu Kim. Setelah itu menyusul beberapa rekan mereka memeluk Islam seperti Sabri Suh Jung Kil, Abdul Aziz Kim, dan Prof. Abu Bakar Kim. Beberapa Muslim generasi awal ini merupakan unsur pertama komunitas Muslim Korea yang terus bertumbuh jumlahnya.

Lalu, pada 1970-an sudah hadir organisasi masyarakat Muslim Korea, Korea Muslim Federation (KMF) yang menggerakkan dakwah Islam di Korea secara lebih teratur melalui pendidikan, media massa, dan isu-isu sosial.

Hari ini, Korea, khususnya Korea Selatan adalah rumah bagi sekitar 200.000 Muslim. 75.000 di antaranya penduduk asli Korea, para muallaf. Mereka terdiri dari guru besar (profesor), doktor, ahli hukum, ahli ekonomi, penguasa, pegawai negeri, tentara, mahasiswa dan petani. Selebihnya, sekitar 125.000 adalah para imigran Muslim yang mulai datang ke Korea Selatan sejak tahun 1990 sampai 2000-an.

Populasi Muslim secara keseluruhan di Korea memang sangat kecil. Misalnya, data Hankook Research yang melakukan survei terhadap 23.000 warga Korea (dari Januari hingga November tahun lalu) Muslim bahkan tidak diperhitungkan dalam statistik.

Menurut Federasi Muslim Korea, keberadaan Muslim berada dalam bayang-bayang populasi umat Kristen yang mencapai 20 persen, Buddha 17 persen, Katolik 11 persen, serta 50 persen tidak beragama dari populasi Korea. Muslim dilaporkan hanya mewakili 0,4 persen dari seluruh populasi Korea pada 2018.

Sebagai rahmtan lil alamin, Islam semakin mendapat tempat di Korea. Dakwah di Korea Selatan pun terus menggeliat. Salah satunya karena faktor imigran. Hari ini, Korea famous dan banyak dilirik para pekerja, wisatawan, dan mahasiswa dari berbagai negara seiring perkembangan pesat Korea dalam berbagai bidang terutama teknologi, sehingga menjadi negara maju dan diakui dunia internasional. Faktor inilah yang mengundang, khususnya imigran Muslim ke Korea baik sebagai pekerja atau mahasiswa.

Lembaga-lembaga filantropi Islam melihat ini sebagai peluang dakwah. Di samping sebagai upaya memelihara layanan keislaman para migran, tentu segmentasi dakwah Islam di Korea juga harus dilanjutkan para dai.|

OBROLAN dakwah di Korea ini menarik sebab ia pengalaman empirik. Ditambah Mie Acehnya juga gratis, tambah enak. Hahaha. Dan, Ustaz Irfan berlaku sebagai dosen sejarah yang menyampaikan kuliah Islam Korea di atas meja hidangan Mie Aceh.

Ustaz Irfan menyimpan greget, tapi bukan greget pada gadis Korea yang kata ustaz ini 
“tjakep-tjakep”. Greget itu soal niat akan menuliskan pengalaman utuh dakwah di Korea ini dalam satu buku. Wah, jika greget ini terwujud, akan jadi literasi memoar dakwah yang “tjakep”, lebih “tjakep” dari artis Drakor semisal Jang Nara dan Shin Hye Sun. Aihihihihi.

Dari menyimak cerita Ustaz Irfan, jadi memang, dunia dakwah seperti dakwah di Korea dan umumnya di negara-negara yang Muslimnya minoritas, medan dakwahnya naik turun dan penuh “gajlugan”. Tantangannya benar-benar berat. Haq-batil, surga-neraka, dan salih-kafir berhadapan vis a vis sampai ke tembok masjid. 

Saya tidak mungkin mengira Ustad Irfan hanya sekadar berkelakar soal motel yang bersebelahan dengan masjid tempat pusat dakwah Ustaz Irfan. Saban malam, suara “desahan” penghuni kamar motel sampai nyaris terdengar masuk ke ruang shalat dari balik tembok masjid. Apa ini tidak serem?

Belum lagi pengalaman ustaz lulusan Libya ini pernah "digodain" gadis Korea yang putih dengan pakaian minim khas musim panas. Mana istri jauh di kampung halaman pula. Lha, ini lebih seram, kan?

Berat, berat sekali. Jadi, dai-dai yang berani masuk rimba dakwah Korea, memang dai-dai kelas berat yang tahan banting lahir batin. Ustaz Tamami secara terbuka merespons bahwa rasanya ia belum tentu sanggup "dibanting" jika terjun ke medan dakwah seperti medan dakwah di Korea.

Tadinya, pikir nakal saya mengira ustaz ahli sembelih itu tidak sanggup soal gadis Korea-nya. Untunglah ada penjelasan belakangan bahwa ketidaksanggupan ustaz karena jauh dari istri. Saya jadi tahu pula kelemahan Ustaz Tamami ini, soal di mana baju koko buat ceramah besok, ustaz tidak tahu di mana ia disimpan karena yang tahu nyonyanya ustaz. Kan, gak mungkin ceramah pake kaos oblong, sebab di mana kaos oblong disimpan pun, ustaz juga tidak tahu. Pantas saja Ustaz Tamami uring-uringan jika jauh dari nyonya.

Memang waktunya amat terbatas. Malam Jumat pula. Jadi, kuliah Ustaz Irfan berakhir menjelang Isya, sementara rasa ingin tahu masih menagih-nagih. Saya percaya, masih banyak hal yang belum diungkap Ustaz Irfan. Tentu konten-konten dakwah substantif yang menjadi bagian dari problematika dakwah di Korea yang cukup menantang. Karena itu, kita tunggu buku Ustaz Irfan yang mengulas aktivitas dakwahnya di Korea dari hulu hingga hilir.

Bravo, Ustaz Irfan!|

DAKWAH MEDIA PROFETIK




Kover Majalah Tabligh

Kewajiban Dakwah

TUGAS dakwah terus berpindah. Semula, tugas berat ini hanya diemban para Nabi, sendirian saja sebelum mendapatkan pengikut. Awalnya dengan sembunyi-sembunyi, lalu secara terbuka dan terang-terangan seiring seruan mendapatkan sambutan.

Dunia dakwah mengalami pasang surut dan berliku. Pertama karena tantangan dakwah tidak ringan. Kedua karena pendakwah bergeming pada kebenaran yang diserukan. Kedua hal ini akan terus bergelut untuk saling mengalahkan. Konsekuensinya pun ada dua kemungkinan; dakwah akan terus berlangsung karena keteguhan pendakwah, atau surut ke belakang karena tantangan semakin berat.

Keyakinan pada kebenaran menjadi kunci dakwah terus tersambung sampai sekarang. Memang begitulah janji Al-Quran apabila yang haq telah datang, maka akan hancurlah segala kebatilan (QS. Al Isra [17] : 81). Dan, karena tantangan ini, semangat dakwah bukan malah padam melainkan kian berkobar. Sebaliknya, manakala keyakinan pada kebenaran yang disampaikan itu sudah hilang, tak perlu badai besar, embusan angin kecil pun sudah cukup memadamkan seruan.

Strategi Dakwah

DAKWAH pada era Nabi SAW dan generasi terbaik sesudahnya tidak lepas dari strategi. Pada era dakwah paling awal di Makkah itu, dakwah dilakukan sembunyi-sembunyi, dengan berbisik dari mulut ke mulut, kepada keluarga dan sahabat dekat lebih dahulu. Tidak ada pilihan strategi dakwah yang lebih canggih selain cara itu. Meskipun demikian, strategi ini sangat efektif.

Strategi dakwah seperti main petak umpet ini berlangsung tiga tahun. Nabi SAW dan para sahabat berhasil merebut hati lebih dari 40 generasi Islam pertama yang militan. Mereka inilah yang dalam sejarah Islam ditulis dengan tinta emas sebagai as-Sabiqun al-Awwalun, generasi paling awal yang memeluk Islam pada kisaran 610-613 M.

Pada era dakwah terbuka dan terang-terangan yang berlangsung sejak 614 M hingga ditutup dengan peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Yatsrib–nama sebelum diganti menjadi Madinah– pada 622M, dakwah periode Makkah hampir sampai pada titik kritis. Aksi penyiksaan dan isolasi dari kaum Quraisy bisa saja mematahkan iman kaum muslimin yang masih sangat muda waktu itu. Akan tetapi, alih-alih mereka berbalik murtad, keteguhan hati para sahabat malah semakin mengkristal sampai pada periode dakwah Madinah yang berlangsung 10 tahun (622-632 M).

Media dan Islamophobia

DAKWAH sebagai jalan haq akan selalu berhadapan dengan kebatilan. Adakalanya yang haq bisa meluluhlantakkan yang batil atau sebaliknya. Karena itu, strategi lagi-lagi menjadi jawaban untuk memenangkan pertarungan.

Ungkapan “Al haqqu bi laa nizham yaghlibuhul baathilu bin nizham”, kebenaran yang tidak terorganisir bisa saja akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir sering ada benarnya. Boleh jadi, kebatilan yang terorganisir malah sudah menang berkali-kali tanpa disadari juru dakwah sporadis.

Hari ini, media memegang peran penting untuk memenangkan pertarungan, apa pun itu, termasuk upaya-upaya memenangkan atau “mematikan” dakwah. Dalam konteks "mematikan" dakwah, Islamophobia termasuk anasir yang terus bermetamorfosis. Islamophobia di tengah arus media digital hari ini semakin rapi daripada Islamophobia zaman jahiliyah pada era kenabian dahulu. Melalui pengorganisasian kendali media, Islamophobia disebarkan melalui media cetak, film, media online, poster, brosur, artikel, buku, bahkan hingga komik secara sangat efektif.

Asrinda Amalia dan Aidil Haris, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Riau menulis “WACANA ISLAMOPHOBIA DI MEDIA MASSA” pada Jurnal Medium Volume 7 Nomor 1, Juni 2019. Penulis mengambil sampel "tribunnews.com" dan "detik.com." Menurut Asrinda dan Aidil, 
"tribunnews.com" dan "detik.com." telah terjebak pada dimensi pewacanaan mendiskreditkan Islam dengan labeling teroris. Dari 10 sampel berita seputar teroris yang dipilih Asrinda dan Aidil, keduanya berupaya untuk menggulirkan wacana Islamophobia di Indonesia. Meski wacana yang digulirkan kedua media itu tidak melabelkan aqidah, namun simbol-simbol Islam dilarutkan dalam pemberitaan kedua media tersebut.

Ada juga Islamophobia berbasis pemikiran. Kelompok ini lebih rapi dan dan terorganisir memanfaatkan media elektronik dan cetak. Mereka mengusung dan mempropagandakan liberalisme Islam. Sangat getol melontarkan gagasan-gagasan “nyeleneh”. 

Ungkapan seperti, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar” yang dilontarkan pentolan jaringan ini masih bisa diakses sampai hari ini di media online. Dari mereka, ada juga yang berkata: “Jilbab pada intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency)”. Pernyatan ini tendensius ingin menganulir syariat jilbab. Seolah jilbab yang bertujuan menutup aurat sebenarnya hanya persoalan budaya, dan perempuan muslimah tidak wajib berjilbab.

Persoalan ‘iddah pun diserang. Ia dikatakan sebagai konstruk budaya Arab. Salah seorang penulis liberal menyatakan “’Iddah sebagai konsep keagamaan lebih merupakan konstruk budaya dari pada ajaran agama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi mengecek ada tidaknya kehamilan. Di sisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istri pada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yang dipakai sebagai alasan keagamaan.” Oleh sebab itu, maka konsep ‘iddah pun harus direvisi menurut sang penulis.

Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran kelompok liberal adalah "Jawa Pos" yang terbit di Surabaya, "Tempo" di Jakarta, dan Radio Kantor Berita 68H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut gagasan-gagasan dan penafsiran liberal disebarkan secara masif.

Karya-karya cetak berupa buku representasi pemikiran liberal antara lain Fiqih Lintas Agama, Menjadi Muslim Liberal, Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Lubang Hitam Agama, dan banyak lagi buku serta artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal.

Lontaran gagasan itu terkesan cerdas sebab pelakunya orang bergelar akademik mentereng. Akan tetapi, gagasan itu tidak kurang tidak lebih bentuk Islamophobia berbaju intelektual. Bagaimana bisa kawin sesama jenis dipandang indah sedangkan syariat mengharamkan hal itu? Bukankah ini bentuk phobia pada syariat?

Untuk memperjelas masalah ini, setidaknya ada enam butir produk pemikiran liberal dalam timbangan apakah pemikiran liberal sedang menunjukkan jalan kebaikan sebagaimana tujuan dakwah profetik, ataukah jalan untuk merusak syariat. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa kitab-kitab tafsir klasik itu tidak diperlukan lagi. Kedua, poligami harus dilarang. Ketiga, mahar dalam perkawinan boleh dibayar oleh suami atau istri. Keempat, masa iddah juga harus dikenakan kepada laki-laki, baik cerai hidup ataupun cerai mati. Kelima, pernikahan untuk jangka waktu tertentu boleh hukumnya. Keenam, perkawinan dengan orang yang berbeda agama dibolehkan kepada laki-laki atau perempuan muslim. Di luar enam butir poin di atas, masih banyak gagasan "nyeleneh" yang tidak kalah ngawur yang jelas-jelas menyelisihi syari'at. 

Dakwah Media Profetik

PARA pegiat Islamophobia dan kelompok liberal memanfaatkan media pada dasarnya adalah “dakwah” juga, dakwah dalam arti mempengaruhi pembaca dengan wacana, gagasan, dan ide-ide yang umumnya kontra dengan ajaran Islam.

Pada era dakwah kenabian, mayoritas musyrikin Arab itu penganut Islamophobia. Mereka menuduh Alquran sebagai dongeng orang-orang terdahulu (asathirul awwalin). Mereka mengatakan itu dalam rangka “dakwah” mempengaruhi masyarakat Quraisy untuk menolak Alquran, menolak mengikuti risalah Muhammad SAW. Dan di zaman ini, pengasong liberalisme Islam Indonesia ada pula menulis hal senada pada akun Twitternya: “Kekuatan Al-Quran bukan sebagai kitab sejarah, tapi kitab kisah atawa dongeng”. Apa bedanya pengasong liberal itu dengan Nadhar bin al Harits, phobia Islam musyrikin Arab yang menuduh Alquran sebagai 
asathirul awwalin?

Pada masa tertentu, didukung dana-dana asing yang kuat, pengasong liberalisme sangat leluasa memanfaatkan media sebagai sarana yang efektif menyampaikan pesan destruktif berkedok humanisme, toleransi, dan HAM. The Asia Foundation dan dana-dana domestik dari Amerika dan Eropa ditengarai sebagai mesin “ATM” untuk proyek liberalisme mereka melalui media online maupun media cetak.

Meskipun belum sepenuhnya redup, bandrol jualan liberalisme melalui media belum turun. Situs mereka masih memasang stok. Barangkali karena mereka masih punya modal dari sisa-sisa tabungan setelah lembaga donor berhenti mengucurkan uang karena menganggap liberalisme Islam di Indonesia telah gagal merebut mikrofon mimbar di masjid-masjid dan surau-surau.

Menuju Dakwah Media

DAKWAH dengan orasi yang memukau memang tetap relevan. Namun, dakwah dengan ketajaman pena melalui media juga sudah saatnya dikencangkan. Peran itu harus diambil para da’i, mubaligh, ustaz atau guru-guru agama. Tujuan utamanya menyebarkan kebaikan melalui media, baik cetak maupun elektronik, termasuk media online.

Hanya saja, problem utama dakwah media adalah keterampilan menulis. Harus diakui, menulis itu tidak mudah. Meskipun banyak pelatihan yang memotivasi bahwa menulis itu mudah, nyatanya, tetap saja susah. Ujung-ujungnya tidak pernah menulis.

Susah yang pertama merasa tidak ada ide, tidak tahu mau menulis apa. Susah kedua tidak tahu mau mulai dari mana. Susah ketiga takut tulisan jelek. Susah keempat malas memulai menulis. Susah kelima merasa tidak punya waktu cukup karena sibuk. Ini sebagian kecil problem menulis. Namun, problem pokoknya hanya satu; belum memiliki skill menulis. Itu saja.

Skill menulis tidak datang sendiri. Ia juga bukan bakat bawaan. Ia bisa dikuasai dengan berlatih, pembiasaan, dan konsisten menulis. Bila sudah dilatih, dibiasakan, dan konsisten menulis, maka keenam susah yang disinggung di atas bukan lagi masalah. Ide menulis berserakan di mana-mana, bisa dimulai dari mana saja, jelek bisa diperbaiki, dan urusan malas, shalat saja bisa datang malasnya apalagi menulis. Menulis tidak perlu berjam-jam sekali duduk. Hanya menulis lima menit untuk satu paragraf asalkan kontinyu bisa jadi kesibukan baru yang mengasyikkan.

Bila difokuskan pada dakwah media, maka skill menulis berita, artikel, opini, atau esai mau tidak mau harus dikuasai para da’i, mubaligh, ustaz, guru-guru agama, dan aktivis dakwah persyarikatan. Apalagi bila berniat mahir menulis buku yang bernuansa dakwah, ini keren. Maka, mulailah. Jangan lagi dibelenggu enam susah di atas. Jangan mau tidak menulis seumur hidup.

Jadi, kapan mulai menulis?