SANDAL JEPIT TERAKHIR

Sandal, Gembok, dan Rantai. (Sumber: http://www.gurusiana.id/)

JANGAN sepelekan sandal jepit. Setidaknya bagiku, para santri, ia berharga. Begitu berharganya, aku sudah kehilangan 17 pasang dalam satu semester. Artinya, sudah tujuh belas kali, entah siapa pelakunya, ia menjadi berharga sehingga harus dengan cara tanpa izin ia berpindah kaki.

Sekali lagi, entah siapa yang memburu sandal jepitku. Sampai hari ini masih misteri. Aku menduga, sang pemburu sejenis siluman kecoa berkepala tuyul. Atau, makhluk dari planet Mars yang turun ke bumi untuk mencari alas kaki karena sandal jepitnya juga dicuri siluman kecoa itu. Entahlah.

Aku tak yakin bila pemburu sandal jepitku santriwati sesama penghuni asrama. Tidak mungkin. Umi, pengasuh pondok putri sudah puluhan kali memberi wejangan soal hak milik. Kata Umi, memakai barang milik orang lain tanpa izin, itu sama dengan ghasab. Tak peduli barang itu senilai sandal jepit, kaus kaki, bh alias kutang yang sudah putus talinya, atau celana dalam usang yang karetnya sudah kendor sekalipun. Ghasab itu sama dengan mencuri, saudara kembarnya korupsi.

Hisabnya berat, tahu! Apa ada santriwati yang mau tertahan masuk surga gara-gara sandal jepit? Nggak, kan?

Aku lihat, saat Umi memberi wejangan soal ghasab itu, semua santriwati manggut-manggut tanda mengerti. Semuanya menyimak, tidak ada yang berani bersuara sehingga wejangan Umi bisa didengar sampai ke pojok-pojok asrama yang kedap suara.

Akan tetapi, wejangan Umi seakan tidak berefek. Malah, sekarang, menjelang akhir semester kedua, sudah genap 30 pasang sendal jepitku raib. Makin kuatlah dugaanku pelakunya siluman kecoa kepala tuyul itu. Masuk akal, sebab bisa jadi siluman kecoa berkepala tuyul atau makhluk dari planet Mars yang kuduga sebagai pelakunya tidak paham bahasa wejangan Umi. Siluman kecoa kepala tuyul mana ngerti bahasa Arab yang dipakai Umi saat wejangan itu dinarasikan?

Afwan, soal siluman kecoa dan makhluk asing dari Mars itu hanya halu aku tingkat beginner, jangan diambil hati. Dua makhluk itu aku hadirkan saking aku sudah mual-mual karena terlalu banyak ngunyah sandal jepit. Eh, maksudku, kehilangan sandal jepit. Karena hati kecilku tidak bisa menerima apabila pelaku raibnya sandal jepitku adalah makhluk keturunan Adam dan Hawa yang "cuantik" sepertiku.|

WULAN Wattiheluw, santriwati asal Indonesia Timur, teman karibku di pondok. Aku merasa cocok dengan Wulan karena beberapa hal. Seperti kebetulan yang menyenangkan, aku dan gadis Indonesia Timur itu sama-sama bernama depan "Wulan", hanya beda nama belakang. Namaku Wulan Kesuma Wardhani. Kami sama-sama lahir di bulan April, pada tanggal kelahiran yang sama pula.

Rambut kami sama-sama keriting halus, alis yang hitam pekat, punya sepasang lesung pipi, bulu mata yang lentik, dan berhidung bangir. Nah, bagaimana bukan suatu kebetulan yang menyenangkan dengan persamaan-persamaan itu?

Posturku sedikit lebih tinggi. Kulitku lebih terang. Wulan lebih tua setahun dariku. Ini sedikit perbedaan yang mencolok di antara banyak persamaan antara aku dan Wulan.

Pondok tempat aku nyantri, boleh dikata pondok NKRI. Tidak sedikit santri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia untuk belajar di sini. Kata Umi, visi pondok ini memang ingin menyatukan watak keislaman dan keindonesiaan dalam bingkai persaudaraan dan kemanusiaan. Bahwa Allah menciptakan manusia, kata Umi lagi, terdiri dari beragam suku, bangsa, adat istiadat, warna kulit, bahasa serta budaya yang berbeda-beda, bukanlah alasan buat yang satu merasa lebih unggul dari yang lain. Di pondok tempatku nyantri, perbedaan-perbedaan itu dijadikan perekat persaudaraan dalam keragaman atas dasar kesetaraan, keislaman, dan keindonesiaan. Bhinneka Tunggal Ika! Keren, kan?

Rasanya, aku beruntung, aku dan Wulan sama-sama merasakan nikmatnya persamaan dalam perbedaan budaya di antara kami. Sudah barang tentu, karena kami sama-sama muslimah. Kami bangga sebagai muslimah. Wahai cowok-cowok! Saksikanlah! Isyhaduu bi annaa muslimuun!

Oh iya, Wulan itu cerdik. Banyak akalnya.|

WULAN seperti sudah bisa menebak, apa yang akan aku bicarakan padanya. Ia seperti sudah membaca pikiranku.

"Siapa sih, pelakunya?”
“Soal sendal, ya?" Tanya Wulan.
Aku hanya mengangguk.
"Sudahlah. Biarkan saja barang yang sudah hilang. Tak usahlah diratapi."
"Ya, gak gitu juga Wulan Wattiheluw. Hellowwww! Itu ghasab namanya. Kata Umi, ghasab itu sama dengan nyolong, korupsi!" Aku menimpali serius.
“Oke. Kalau kamu sudah tahu pelakunya, mau diapain?"

Aku diam. Jujur, aku bingung menjawab pertanyaan Wulan. Iya juga, sih. Masa, pelakunya disuruh gigit-gigit tiang listrik beton? Atau disuruh foto selfie sama monyet terus dikasih caption, “calon suami pilihan umat” terus dipasang di depan gerbang pondok biar kapok?

Hadeeeeh.

"Paling tidak, aku gak penasaran lagi. Sudah 30 pasang sandalku di-ghasab. Lumayan, kan. Tiga puluh, dikali sepuluh ribu, itu mahal, Nona. Tiga ratus ribu!" Kataku. Akhirnya aku punya jawaban.

Wulan mengernyitkan dahi.

"Jika boleh memilih, kamu mau pilih yang mana, kehilangan sepasang sandal jepit, atau kehilangan sebelah kakimu?"
"Pertanyaan macam apa itu?" Kataku sambil melotot.
"Eits, sabar Besty! Kecilkan matamu."

Aku malah semakin melotot. Aku marah dalam hati. Ya, pastilah orang akan memilih kehilangan sepasang sandal daripada kehilangan sebelah kaki.

Harga sepasang sandal, bergantung pada kaki, kata Wulan lagi sambil menirukan gaya Umi bicara. Sandal lah yang membutuhkan kaki, bukan kaki yang membutuhkan sandal. Manusianya saja yang kadang otaknya terbalik. Mulanya pake sandal, pas ketemu jalan becek, sandalnya dilepas. Alasannya sayang karena sandalnya mahal, seharga iPhone 13 pro max 128 gb. Lha, pas kakinya nginjek paku, badannya meriang, masuk rumah sakit, sandalnya sehat-sehat saja. Gelo!

“Janganlah bergantung pada benda, Besty. Apalagi bergantung pada sandal jepit. Jangan kira 
kau sendirian menderita, merana duka. Tidak. Bahkan kau harus mengerti, negara ini pun sudah hampir habis di-ghasab para cukong dan politisi busuk.”

Wulan makin jadi. Bahasanya sudah mulai bersastra. Persis gaya bahasa para novelis bertutur dan para pujangga berpantun.

"Hah! Terserah kau lah, Nona! Aku pusing! Urusanku, urusan sandal jepit, bukan urusan negara!" Kataku kemudian sambil berlalu pergi. Perutku yang sudah lapar, makin nyaring keroncongan mendengar gaya bicara Wulan yang mulai sok puitis.
"Heh, mau ke mana?" Teriak Wulan merasa ditinggalkan.
"Makan!"
"Tapi, ini belom jam makan. Mau makan apa?"
"Makan cukong!"

Wulan mendelik.|

AKHIRNYA Wulan bertutur, bahwa dia pun sudah kehilangan 25 pasang sandal jepit dalam setahun. Selisih lima pasang lebih sedikit dari kehilanganku. Hanya saja, Wulan lebih memilih diam, tidak teriak-teriak macam orang kesurupan setan Tik-Tok.

Dalam diamnya itu, Wulan melakukan hal-hal konyol. Pada kehilangan yang keenam, Wulan menuliskan permohonan pada sandal jepitnya, “Plis! Jangan diambil lagi, ya. Sudah lima pasang sandalku hilang!” Sandal berikutnya, tulisan diubah lebih nyeleneh, “Awas! Sandal ini diawasi CCTV!” , “Sandal calon mantu Kiai!”, “Semoga yang mengambil sandal ini, pantatnya tumbuh delapan bisul!” Berikutnya, seterusnya, berganti-ganti caption sampai Wulan bosan sendiri.

Wulan ganti cara. Sandal jepitnya yang ke-25 dirantai dan digembok. Akan tetapi, ia rugi dua kali. Wulan bukan hanya kehilangan sandal, tapi juga kehilangan gembok dan rantainya sekalian. 

Wulan nyerah. Namun sejak itu, Wulan mengaku tak pernah lagi kehilangan sandal jepit. Sandal jepit ke-25 itu menjadi sandal jepitnya yang terakhir.

“Loh, kok bisa? Gimana caranya?” Tanyaku antusias.
“Simpel. Sangat simpel.”
“Iya, gimana caranya?”
“Jangan pernah beli sandal jepit seumur hidup!”
“Terus, gak punya sandal, dong? Nyeker, dong! Ngaco!”
“Lha, iya. Dengan tidak punya sandal, tak ada lagi sandal kita yang di-ghasab, tak lagi kita marah sebab kehilangan, bukan?”

Aaaarrrgghhh!

Ingin rasanya kutelan Wulan bulat-bulat.|


Perpustakaan, 02 Agustus 2022.


Misread Google Map yang Berakhir Bahagia


Icebreaker; Pak Fuad sedang 'menggoda' santri peserta workshop. Video credit Ahmad Rudianto.

INI workshop yang menyenangkan. Semua pesertanya “makhluk halus”. Sekitar 250-an dari mereka berparas halus, imut, cantik, manis, ya begitulah. Mereka santriwati setingkat SMP dan SMA peserta workshop menulis bertajuk “Gemar Literasi”.

Tagline workshop ini mentereng: “Meluruskan Cakrawala Dunia Memperkuat Ujung Tombak Peradaban”. Merupakan rangkaian dari gelaran Wonderful Muharam Fest 2022. Diselenggarakan oleh Pengasuh santri putri Pondok Pesantren Modern Nurul Huda, Setu, Bekasi. Ini kali pertama acara Wonderful Muharam Fest digelar dan mengusung literasi menulis. Ada bazar buku juga. Keren.

Panitia penyelanggara di boot bazar buku-buku Pustaka MP.  Foto credit, Ahmad Rudianto.

Google Map

SEHARI sebelum workshop, tiga orang dari Tim Pustaka MP meluncur. Tim Membawa beberapa buku untuk bazar dan memastikan lokasi acara.

Pukul 09.00 pagi, Tim sudah berangkat dari Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Karena hari itu hari Jumat, direncanakan 45 menit sebelum Jumatan mereka harus sudah sampai. Karena itu, driver yang mengantar dipilih yang paling senior, yang kemampuan menyetirnya setara dengan pereli Paris Dakar. Paling tidak, mendekati Patrick Zaniroli, pereli asal Perancis peraih juara Paris Dakar pada 1985 dengan Mitsubishi Pajero yang dikendarainya. Bisa jadi karena ini misi penting, meskipun bukan misi rahasia. Jadi, harus dipastikan, Tim sampai di lokasi tepat waktu dan tepat lokasi. Tentu, yang paling diutamakan sampai di lokasi dengan selamat.

Jl. Setu Cisaat, Desa Cikarageman, Kec. Setu, Kab. Bekasi, Prov. Jawa Barat – 17320, inilah titik koordinat yang menjadi tanggung jawab driver mengantar Tim. 24 jam sebelum berangkat, driver sudah saya bekali dengan Share Location via WhatsApp. Maksudnya supaya jangan nyasar.

“Siap Bos, 86!” respons driver menjawab pesan saya.

Aman.

Misread Google Map

DI SINI, drama dimulai. Entah, apakah drama itu berlangsung karena misread google map, atau wrong location sharing antara saya dan driver. Tim diarahkan map ke lokasi yang unconvincing, jalan yang kian mengerucut sempit dan tak beraspal di area persawahan. Google Map, mesin pintar yang katanya memberi sinyal citra satelit, peta jalan, panorama 360°, kondisi lalu lintas, dan perencanaan rute untuk bepergian canggih itu, kenyataannya membuat driver dan Tim spaneng.

“Anda sudah sampai. Lokasi Anda ada di sebelah kanan.” Suara Google Map mengakhiri panduan dengan sangat meyakinkan.

Akan tetapi, semua melongo, sebab lokasi sebelah kanan yang dikatakan Google Map hanyalah kebun kosong. Tidak ada bangunan, apalagi bangunan sekelas pondok pesantren modern.

“Lha, kok, kebon Pak Dani. Mana pondoknya?” Ungkap driver pada ketua Tim.

“Bisa jadi, Rud. Dalam penglihatan Pak Abdul, kemarin ada Pondok pesantren di kebun itu.” Ucap Pak Dani, ketua Tim separuh berkelakar, separuh sewot.

Beberapa penduduk di area itu, pun tampak bingung melihat ada mobil tak lazim nyelonong ke situ. Mau ngapain? Barangkali di dalam benak mereka, sedang sengit berkelahi antara percaya dan tidak percaya,

“Itu ngapain orang bawa mobil masuk kebun kosong?”

“Mungkin mau mencari tempat pesugihan.”

Wkwkwkwkwk.

Saat Ketua Tim bertanya pada penduduk tentang lokasi yang hendak dituju Tim, mereka seperti orang linglung, tidak tahu lokasi yang ditanyakan. Mimik wajah mereka juga sukar digambarkan, antara curiga, heran, melas, atau bahkan seperti wajah orang yang sedang ditimpa musibah.

Saya yang disuguhi narasi detail cerita soal kesasar mereka sejak dari Madrasah Pembangunan sampai di gerbang Nurul Huda pada hari keberangkatan mengisi workshop, membayangkan, pasti isi kepala orang satu mobil itu juga kusut masai sambil meracau. “Ini maksud Pak Abdul apaan, sih? Mana hari Jumat lagi.”

Saya tidak tahu, ini tidak diceritakan, apakah Pak Dani sempat menghubungi Bu Nila atau tidak saat mereka kesasar masuk kebun kosong itu untuk minta nasihat dan petunjuk. Saya lupa pula menanyakan kepada Bu Nila di sela-sela workshop yang berjalan menurut saya very impressive.

Yang jelas, kata Pak Fuad, masalah teratasi setelah ia berpikir cepat dengan browsing. Di layar gawai miliknya muncul informasi Pondok Pesantren Modern Nurul Huda, Jl. Setu Cisaat, Desa Cikarageman, Kec. Setu, Kab. Bekasi, Prov. Jawa Barat – 17320.

Impressive Spontaneity

ANDAI saja kolaborasi spontanitas yang mengesankan pada workshop kemarin itu diulang lagi pada workshop-workshop berikutnya, rasanya saya akan punya Tim Workshop Menulis yang keren. Bisa jadi. #Cubit Pak Fuad, Pak Dani, Pak Sandy, dan Bang Rudi.#

Saya dan buku terbitan Pustaka MP untuk hadiah.  Foto credit, Ahmad Rudianto.

Beberapa waktu lalu, saya, Pak Sandy, dan Pak Firman sempat ngobrol ringan rencana menggagas acara “Writing Camp”. Selama tiga hari, di villa atau di tempat-tempat yang nyaman dan eksotik, peserta dibimbing teknik menulis sampai jadi satu naskah cerita dan dibukukan. Bila antusiasme peserta “Writing Camp” seperti antusiasme “Makhluk Halus” peserta workshop kemarin di Pondok Pesantren Nurul Huda itu, gak kebayang dahsyatnya, pasti gemuruh sepanjang hampir tiga jam workshop berlangsung akan terulang lagi. Gemuruh itu terus menggema karena sentuhan Icebreaker no. 2 di Indonesia itu, Ahmad Fu’ad Basyir.

Ayolah!


Antusiasme santri putri Pondok Pesantren Modern Nurul Huda mengikuti workshop menulis dan icebreaking. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Pertemuan Pertama yang Mengesankan

MATERI workshop yang dibawakan Tim dan saya kemarin terhitung materi menulis paling ringan. Akan tetapi, atmosfer “mengesankan” sudah kami dapat sejak mula berbincang dengan Pak Kiai di ruang kerjanya. Kesan itu semakin kuat pada detik pertama sesi workshop sampai detik terakhir acara ditutup. Saya tidak pula menduga, Pak Kiai berkenan mengikuti sesi workshop sampai tuntas. Ngeri-ngeri sedap, sih.😅

Saya dan workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Saya berasumsi, geliat pembiasaan literasi menulis paling mungkin bisa tumbuh dari pondok pesantren. Santri memiliki banyak peluang untuk tekun mengembangkan keterampilan menulis di sini. Beberapa peluang yang saya sebut, bisa jadi terlalu sedikit. Akan tetapi, yang terlalu sedikit itu sudah cukup menjadi pemicu bahwa gerakan literasi menulis yang paling ideal bisa berkembang memang dari sini.

Ahmad Sandy Rizani, arranger acara pada sesi break materi workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Pertama, pola kehidupan santri yang teratur dengan jadwal yang tetap memungkinkan santri memasukkan agenda kegiatan menulis rutin setiap hari di asrama. Pola hidup dengan jadwal yang tetap bisa diterapkan pada pembiasaan menulis menjadi rutinitas yang tetap dan terjadwal pula.

Kedua, berada dalam pengawasan ustaz/ustazah selama 24 jam. Kebiasaan menulis bisa dimasukkan pada jadwal pola pengawasan ustaz/ustazah. Setiap saat, ustaz/ustazah bisa mengecek aktivitas menulis mereka secara berkala dan berkesinambungan. Pola ini sangat efektif untuk menjaga konsistensi menulis santri berlangsung ajeg.

Dani Wahyudi, Pimpinan Pustaka MP sedang memberikan kuiz saat workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Ketiga, kaya pengalaman. Kehidupan di pondok pasti berlangsung dengan warna yang sangat menarik dan beragam. Pola interaksi antar santri, santri dengan Kiai atau ustaz/ustazah, dan santri dengan masyarakat sekitar menjadi sumber ide menulis yang tidak akan pernah habis digali. Apalagi aktivitas individu santri sendiri dalam mengatur pola kehidupannya di asrama, dari mulai tradisi makan, mencuci, piket, masuk kelas bahasa, bangun malam, cerita santri yang tidak betah dan berusaha kabur dari asrama, atau kehilangan sandal jepit berkali-kali menjadi ide-ide yang layak mereka tulis. Bahkan bisa menjadi narasi yang unik khas santri dan khas pondok pesantren.

Keempat, kebiasaan santri menulis diary untuk menumpahkan uneg-unegnya selama di asrama, bisa dipindahkan menjadi konten tulisan produktif yang bermanfaat, menginspirasi banyak orang, dan sangat mungkin mendatangkan keuntungan finansial. Banyak para penulis memulai karier menulisnya dari kebiasaan menulis diary seperti Raditya Dika, komedian yang terkenal dengan bukunya Kambing Jantan.

Nila Maulana Nur, pembina santri putri Pondok Pesantren Modern Nurul Huda memberikan cendera mat untuk Tim workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

Kelima, untuk kasus Pesantren Nurul Huda, dukungan Pak Kiai yang besar pada pengembangan literasi menjadi poin yang sangat penting. Saya kira, dukungan inilah yang akan mendorong pengembangan literasi menulis menjadi tumbuh cepat. Sebagaimana tradisi pesantren, Kiai merupakan otoritas. Kata-katanya bak titah, perilakunya patron, dan sosoknya memutuskan. Bila sosok Kiai sudah memberikan sinyal lampu hijau, selesailah urusan.

Pengasuh Pondok Pesantren Modern Nurul Huda menyampaikan kata sambutan dan membuka acara workshop. Foto credit, Ahmad Rudianto.

 Apalagi, pertemuan workshop pertama di Pondok Kiai Atok Romli kemarin sukses. Jadi, meskipun ada drama Misread Google Map hingga Tim tersesat ke kebun kosong pada hari Jumat, workshop dan layanan pondok sungguh menggoda dan mengesankan. Semuanya berakhir bahagia.

Bukan begitu, Pak Fuad?

Salam literasi.|