KEHILANGAN



Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (terjemah QS. Al-Jumu’ah [62] : 8)
 
Hampir jam satu dini hari. Akan tetapi, mata tak jua bisa dipejamkan. Nyeri dan demam menyerang lagi. Meski mata dipaksa dipejamkan, tapi kantuk jauh panggang dari api. Tak bisa tidur. Saat demikian itu, ingatan berputar pada sebulan terakhir, bulan kesedihan.

Kehilangan orang yang kita menaruh hormat kepadanya, rasanya amat berat. Pada hari kepergiannya, bukan hanya kesedihan dan kehilangan figur, tapi kenangan sewaktu hidup berkelebat lagi seakan menambah beban sedih bertambah dalam. Tentu, kesedihan yang amat beralasan.

Dalam sebulan, saya kehilangan dua perempuan. Untuk keduanya, penghormatan saya mendekati sikap hormat pada Ibu karena beberapa alasan. Tentu, alasan kerabat menjadi perekat rasa hormat itu semakin kuat. Dan saat keduanya berpulang, kesedihan itu mencari jalannya sendiri. Alasan lain karena legacy kebaikan yang ditinggalkan. Legacy inilah yang lebih berat untuk sebuah alasan kehilangan.|


Pada 14 Ramadhan 1442 H, saya kehilangan Hj. Sopiah, kakak Ibu saya. Saya memanggilnya "Mak Iyah". Perempuan autentik bahwa seorang ibu adalah "madrasah" pertama bagi anak-anaknya. Bahkan pada diri Mak Iyah, madrasah itu beserta kurikulumnya sekalian.

Tangan, kaki, mata, dan telinga Mak Iyah adalah madrasah. Otak, hati, dan ikhtiarnya adalah kurikulumnya. Sebab, yang paling ia perjuangkan sepanjang hidup sebelum anak-anaknya "jadi orang" pada hari ini adalah pendidikan. Pendidikan dan urusan sekolah lah fokus Mak Iyah di tengah keterbatasan hidup yang dahulu membelitnya mengalahkan urusan dapur yang kadang mengepul kadang dingin sebab tak ada sisa bara api bekas menanak nasi di mulut "lueng".

Mak Iyah tak peduli, hari ini bisa makan atau tidak asalkan ada uang untuk sekolah bagi kedua Abang saya, tumpuan masa depan mereka.

Maka, siang hari adalah waktu tegar bagi Mak Iyah mencari uang. Dia tidak ingin harapan pendidikan anak-anaknya putus. Juga tidak menyerah pada faham fatalisme sederhana kebanyakan orang kampung saya soal pendidikan pada tahun itu. Apalagi dengan kondisi hidup dalam gambaran pepatah orang kampung saya "boro-boro mikirin sekolah, buat makan saja susah".

Akan tetapi, Mak Iyah bukan tipe perempuan macam itu. Ia persis seperti falsafah namanya; "Sophia", bijak bestari.

Orang bijak memandang sesuatu tidak semata dari kulit luar, tapi menembus hakikat terdalam suatu persoalan. Dari persoalan itu, ia mengerti dan memahami sebuah hakikat. Lalu, pesan hakikat ia tangkap dengan kesadaran; "apa yang harus ia lakukan".

Mak Iyah tegar bagai singa di siang yang terik, tapi malamnya ia "rapuh" di mana air matanya meleleh, jatuh di atas tikar dengan mukena yang masih melekat. Tema sujud dan doa panjangnya bukan meminta agar ia bisa keluar dari kemiskinan, melainkan menitipkan anak-anaknya kepada Yang Maha Pemberi Rezeki supaya mereka tetap bisa sekolah.

"Keramat" cucur keringat, air mata, dan doa seorang Mak Iyah terjawab sudah sebelum ia berpulang. Tentu, kosa kata saya tak mungkin memadai mengurainya pada ruang yang sempit ini. Hanya saja, hari-hari setelah Mak Iyah tiada, adalah hari-hari kerinduan sambil mengenang lagi bagaimana dahulu ia mendidik kedua Abang saya yang sudah "jadi orang" itu.

Semoga damai sejahtera Emak di sana.|


Pada Kamis 14 Syawwal 1442 H kemarin, Hj. Rohani, saudara sepupu ayah saya menyusul berpulang. Semasa hidup, ia aktif dalam kegiatan Aisyiyah Depok. Sejak bergabung dengan Aisyiyah, usianya banyak dihabiskan mengurus organisasi perempuan Muhammadiyah mendampingi sang suami; H. Djachroddin yang aktivis Muhammadiyah. Inilah legacy yang ia tinggalkan pada catatan saya.

Bu Ro saya memanggilnya. Pada lebaran kemarin, seperti biasanya, ia membawa semua anak dan menantu mengunjungi ayah.

Rasanya, hangat di pipi saya masih belum hilang bekas cium dan peluk sayang sebelum ia pamit pulang usai silaturahim. Saya bahagia sekali. Apalagi mandapati kesehatannya semakin membaik. Yang lalu-lalu, hanya istri saya yang dicium dan dipeluk di manapun saat kami bertemu dan lebaran. Rupanya, itu adalah cium dan pelukan perpisahan untuk saya. Silaturahim lebarannya juga pesan terakhir buat kami semua.

Bu Ro perempuan aktivis. Beramal memikirkan umat dan persyarikatan. Beberapa peiode terpilih menjadi pengurus Aisyiyah di Ranting, Cabang, dan Daerah.

Sewaktu saya tinggal bersama keluarga beliau, banyak tahulah saya. Bu Ro hampir tak pernah berpisah dari Bapak ke manapun untuk urusan kegiatan dakwah persyarikatan dan salat berjamaah di masjid. Setia sekali. Di mana ada Bapak, di situ ada Ibu.

Saya masih ingat betul bagaimana pula ia tak pernah bosan membangunkan sebelum waktu salat Subuh tiba pada anak-anaknya. Seperti Mak Iyah, ia tidak ingin pendidikan rohani abai ia lakukan pada hari-hari paling awal menjalani hidup anak-anaknya.

Seperti falsafah namanya; "Rohani" sebagai pusat kedamaian, Bu Ro sangat ramah. Tutur katanya halus. Senyumnya selalu merekah mengiringi saat ia bicara dan bertemu siapa pun. Ramah, tutur kata yang halus, dan senyum miliknya adalah legacy rohani yang mendamaikan semua orang dan terkenang lebih sering saat ia sudah tiada.

Terlalu banyak Bu Ro dalam kenangan. Tak ingin menitik lagi air mata ini yang payah saya tahan sejak kalimat pertama saya tuliskan untuk mengenangnya.

Doa yang sama untuk Ibu, semoga damai sejahtera Ibu di sana.|


14 Ramadhan dan 14 Syawwal 1442 H bukanlah tanggal kebetulan. Tanggal itu adalah ajal yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh untuk Mak Iyah dan Bu Ro. Keduanya perempuan istimewa bagi saya karena kekerabatan dan legacy yang abadi.

Azan pertama sebelum Subuh sudah berkumandang dari corong Al-Huda. Mata belum bisa diajak tidur meski demam dan nyeri sudah diringankan obat. Waktu untuk "bermesraan" dengan Yang Tidak Pernah Ngantuk dan Tidak Pernah Tidur sudah sampai pada zona mustajabah.

"Ya Rabb, sayangi kedua perempuan dalam catatan ini. Juga untuk kedua mertua hamba yang sudah mendahului kami. Kepada Ayah dan Ibu hamba yang masih hidup di usia sepuh demikian pula, Ya Rabb. Aamiin.|

TIPS MENGATASI GATAL DI LIDAH


Sudah aku bilang Ayah jangan sakit, malah sakit.


Ini hari ketiga saya demam. Lumayan berat rasanya. Obat hanya membantu mengatasi selama beberapa jam. Setelah itu, demam lagi.


Ada infeksi sekitar pangkal paha sebelah kiri. Seperti bisul, tapi tidak seperti rupa bisul umumnya yang ber"mata". Tak tampak ada "mata" pada hari pertama dan kedua selain rasa nyeri. Ya sudah, saya simpulkan saja ini adalah bisul. Dari pada pusing. Melawan nyerinya saja sudah puyeng.

Pada malam salat gerhana, rasa nyeri makin berat. Apa mau dikata, tugas tak tega saya batalkan karena waktu kedatangan si bisul tak mempertimbangkan jadwal gerhana yang mepet. Kasihan panitia, mau cari pengganti ke mana. Maka, tetap maju pantang mundur. Bismillah.

Akan tetapi, kondisi fit adalah kunci setiap pekerjaan sempurna dieksekusi. Kayaknya begitu. Inilah yang tidak bisa saya persembahkan. Saat takbirratulihram rekaat pertama sampai turun dari mimbar, saya sudah kesulitan mengkompromikan antara hafalan dan rasa nyeri. Konsentrasi pecah. Sempat dua kali bacaan saya dikoreksi jamaah.

Alhamdulillah, imam memang merasa tenang jika makmum di belakangnya oke. Semoga jamaah yang membetulkan bacaan saya tidak tahu, bahwa sejak berangkat ke masjid, saya sudah meringis-ringis. Cukuplah dia tahu bahwa saya sedang silap.

Hari ini, meski rasa nyeri makin hebat dan demam masih naik turun, sudah tampak "mata" si bisul. Selama "mata" itu belum enyah, pastilah nyeri dan demam belum akan mereda. "Awas lu!" Ancam saya.

Namun, tak kurang pula nikmat yang Allah beri. Pada beberapa jeda meringis-ringis dan banyak berbaring, Uwais sering menghibur. Celotehnya memaksa saya tersenyum. Bukan soal tutur katanya yang mendekati standar KBBI dan PUEBI untuk anak usia 5 tahun, tapi kadang kala, celotehnya agak-agak 'jail'.

"Sudah aku bilang Ayah jangan sakit, malah sakit."

Ini yang dikatakan Uwais pada hari pertama saya banyak berbaring. Bahasanya rapi dan berpola umumnya bahasa tutur yang baik.

"Semoga ayah cepat sembuh."

Ini kalimat keduanya sebelum anak ini kembali bermain.

"Hai, Ayah."
"Hati-hati, Ayah. Jangan ngebut!"

Sapaan demikian saya nikmati hampir sepanjang waktu dan saat akan berangkat mengajar.

Kemarin sore, suara guruh lumayan sering selama beberapa menit. Hari mulai gelap. Bundanya belum pulang dari mencari keperluan. Uwais menanyakan ke mana bundanya pergi. Saat Bundanya tiba di rumah di saat guruh masih bersahutan, Uwais begitu senang. "Alhamdulillah." Itulah kalimat yang keluar dari mulutnya dengan semringah saat melihat Bundanya datang. Saya yang sedang berbaring di sampingnya mengulangi hamdalahnya.

Siang ini Uwais memberi tahu apabila suatu saat saya mengalami gatal-gatal di lidah. Saya serius akan menyimak. Saya pikir, ini ilmu yang entah dia dapat dari mana. Palingan dari tokoh kesukaannya "Upin dan Ipin" pikir saya.

Sebelum anak ini menyampaikan tips mengatasi gatal-gatal itu, pikiran saya menerawang. Jawabannya, pastilah ada ramuan obat herbal yang harus diminum, pil, atau tablet resep dokter. Ternyata bukan. Tipsnya sungguh simpel dan murah.

Nyeri dan demam seperti hilang sesaat karena tips Uwais cukup membuat saya geli. Benarlah, anak-anak merupakan hiburan, perhiasan dan kesenangan, di samping ujian berat di dunia.

"Digaruk pake gigi." Katanya.

Duh, Uwais. 

Jawaban ini membawa alam fiksi saya pada tokoh rekaan buku ringan yang kerjaanya mengajak pembacanya menertawai penganut SEPILIS. Tokoh yang jail, nyeleneh, kolot, dan kampungan, tapi otaknya encer.

Begitulah saya terhibur di tengah ujian. Semoga nyeri dan demam ini segera berlalu.|

REUNI SPIRITUAL


Reuni Kecil. Duduk dari kiri ke kanan: Fatimah, Mulyati, Ratu Ratna Wulan, Rosyidah, Habibah, dan Khusnul Halimah. Berdiri dari kiri ke kanan: Saya (Abdul Mutaqin), Mas Amron Khasani, Mas Haji Rusmono, dan  Kang Jari Jahruddin. (Foto: Dok. Mas Haji Rusmono)


Ini reuni unik. Boleh dikata, mungkin, inilah satu-satunya reuni yang ditutup dengan kuliah tentang manajemen kematian. Narasumbernya Mas Mono, inisiator reuni dan yang merogoh kocek untuk sup gurame, gurame goreng, ayam goreng, dan lalapan penyerta makan siang yang hangat dan bersahaja. Hati saya dag dig dug seperti suara beduk lebaran sejak berangkat dari rumah. Mau bertemu 'alumni' sejak lulus 25 tahun silam, rasanya gimanaaa gitu. Maaaaaaaak!!! 

Ini catatan ringkas saya tentang reuni hari ini. Kamis, 20 Mei 2021, tepat seminggu setelah lebaran.

Pertama, bahagia sekali rasanya. Beneran, kebahagiaan itu nyaris tidak berubah seperti dahulu sejak zaman kuliah. Mas Amron lah yang memantik. Dia yang berhasil membawa alam pikir kami semua kembali ke masa itu, masa-masa masih kurus ceking, ngejar-ngejar makalah, dan ngotot supaya dapat nilai bagus. Dia terlalu vulgar, bahkan untuk menyebut ungkapan yang "secret" kepada salah seorang dari kami. Tentu, itu bukan ditujukan kepada saya, Mas Mono, atau Mas Jari yang dimaksud. Hahahaha. 

Kedua, bahwa persaudaraan itu memang autentik dan penting untuk tetap dipelihara dalam kebersamaan. Buktinya, perjumpaan kami hari ini terasa ada yang hilang, yaitu wajah-wajah yang tidak kami dapati di meja hidangan.  Meskipun tidak semua terjangkau, rasa kangen itu dipuaskan dengan video call  beberapa dari yang tidak hadir. Terobatilah sedikit rasa itu dengen telewicara dan telemeeting. Beneran, meskipun tak bersambung nasab, rasa saudara begitu kental saat pertemuan itu berlangsung.  

Ketiga, haru. Rasanya, ketidakhadiran teman-teman karena perasoalan jarak dan kesibukan masing-masing hingga tidak dapat bergabung mengurangi bahagia itu. Tiap kali sup gurami hendak disuap, terbayang wajah Sahidup, Roid, Yadi, Mukhson, Solkihudin Radio, Teh Yayat, Mbak Hilmi, Mas Tohari, Mbak Fiqoh, Murni, Mas Ansori, Pawit, Muchdi, Solehuddin, Eti Fauziyah, Riyadi Solihin, Sobah, Farida, Ali Eryanto, Marwi, Tony Latifi, Mas Slamet Tohirin, Ahmad Mukti, Nurmilah, RA. Fauzi, Mutmainnah, Murtafiah, siapa lagi saya lupa. Akan tetapi, wajah mereka semua berkelebat seakan tidak rela tidak ikut menikmati sup gurame.

Gurame Goreng Resto Situ Gintung. Kepala Gurame menghadap ke saya. Bisa jadi dia tak suka saya tatap seakan berteriak, "Ape lo!?  (Foto: Dok. Mas Haji Rusmono)

Keempat, pertemuan hari ini bukan sekadar bertemu dan mengobrol tantang hidup dan kehidupan. Tetapi kami disadarkan, bahwa suatu saat, entah siapa yang mendahului, semuanya akan berpulang. Teman kita Sri Sunarsih, sudah mendahului. Semoga lapang kuburnya dan bahagia di sisi-Nya.|

Mas Mono luar biasa. Sudah ratusan kali dia memberi kuliah tentang manajemen kematian. Menginspirasi banyak orang yang ikut kelasnya sampai pada kesadaran bahwa semua kita akan mati, sementara kebanyakan manusia lupa bahwa semua manusia akan kembali. Falsafah tentang keuntungan memandikan jenazah keluarga, meskipun singkat disampaikan, namun pesannya sampai kepada kami semua bahwa itu penting. 

Maka, reuni kecil hari ini jadi berdimensi spiritual, bukan sekadar pertemuan yang profan, nisbi, dan sesaat seperti nikmat yang sesaat hidangan Resto Situ Gintung. Satu waktu, sudah saatnya kita alumni D-2 mengikuti kelas Mas Mono di  "Kuliah Manajemen Kematian" Masjid Raya Pondok Indah.|

"Kang, masih nyukur?" Tanya Mas Jari.

Wkwkwkwkwkw.

Mas Jari memang masih seperti dahulu, lugu. Orang lagi bahagia ketemuan, eh menyingkap profesi masa lalu. Untunglah Kang Yadi orang yang paling easygoing sedunia. Dia menimpali.

"Mao nyukur?"

Qiqiqiqiqiqi.

Itulah obrolan pembuka saat reuni disambung menyambangi rumah Kang Yadi Setiadi. Seperti biasa, Kang Yadi berhasil mengocok perut kami. Ada saja cerita yang dia bawakan saat pertemuan bersambung lagi di rumah Mas Amron.

Dengan Kang Yadi, ada moment yang tidak bisa saya lupakan. Saat itu, Kang Yadi "diusir" Prof. Dr. Salman Harun, Dekan Fakultas Tarbiyah sewaktu kami mengurus administrasi konversi dari D-2 ke S-1. Pasalnya, Kang Yadi pake kaos. Prof. Salman tidak mau menerima mahasiswa yang pake kaos ke kantornya. Maka, saya harus melepas kemeja, tukeran dulu dengan Kang Yadi. Padahal seumur-umur, saya tidak pernah pake kaos saat kuliah.

Suara beduk di hati saya baru reda setelah Mas Amron berkelakar tapi melempar pesan serius. Bahwa kita semua sudah menjadi pribadi yang utuh dalam kebahagiaan yang digenggam masing-masing saat ini. Tentu, saya bahagia berjumpa semuanya hari ini dengan kebahagiaan sebagaimana yang Mas Amron katakan. Semoga Allah melanggengkan kebahagiaan teman-teman semua, baik yang hadir ataupun tidak. Selalu hidup rukun dalam rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
  
Next, semoga niat berkunjung ke Ketanggungan bisa kesampaian. Terus bisa lanjut ke Purbalingga. Semoga.

'Ala kulli haal,
alhamdulillah. Matur suwun sanget Mas Mono telah menjadi wasilah silaturahim hari ini. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda. Aamiin.


PALESTINA DAN MEME KHILAFAH





Meme Palestina. (Foto: Dok. nugrislucu)

Birruh, biddam, nabdika ya Aqsa!



DI Palestina, anak perempuan berusia delapan atau sembilan tahun mengaku tidak takut dengan bom Israel itu biasa. Atau, anak laki-laki kelas 2 SMP melempar tentara Isarel dengan batu di komplek Al-Aqsa, itupun pemandangan biasa. Menjadi martir sekalipun, rasanya bukan perkara yang mereka takutkan.

“Birruh, biddam, nabdika ya Aqsa!” Kalimat ini diucapkan anak-anak Palestina sambil menarik karet ketapel yang diarahkan ke tentara zionis yang merebut tanah mereka dan menguasai komplek Al-Aqsa. Anak sekecil itu berteriak lantang: “Dengan jiwa dan darah, kami akan membelamu wahai al-Aqsa!” Rasanya, tidak ada tempat di muka bumi ini, di mana anak anak-anak bisa seberani itu selain di Palestina.

Seolah, anak-anak itu adalah Izzuddin al-Qassam, sayap militernya HAMAS kecil atau faksi lain seperti Brigade Al-Quds. Seperti namanya, “HAMAS”; Harakah Al Muqawamah Al Islamiyah, “gerakan perlawanan Islam” bila diterjemahkan, anak-anak itu sudah sadar sedari kecil bahwa mereka adalah mujahid.

HAMAS didirikan oleh ulama kharismatik; Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah. Bersama beberapa aktivis Islam seperti Abdul Aziz Rantisi, Shalah Syahadah, Ibrahim Yazuri, dan Isa Nashshar HAMAS dibentuk pada 14 Desember 1987. Tujuannya jelas; membebaskan seluruh bumi Palestina dari penjajah Israel tanpa syarat dan mendirikan Daulah Islamiyah di Palestina.

Batalyon Izzuddin al-Qassam dibentuk pada 1991. Nama batalyon ini mengingatkan orang yang menaruh cinta dan minat pada Palestina pada sosok mujahid, ulama sunni Palestina yang syahid pada 1935 di Jenin, di masa penjajahan Perancis.|

Palestina memang tidak sendirian, akan tetapi zionis pun banyak pendukungnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagian mereka terang-terangan berada di pihak zionis, sebagian lagi sembunyi-sembunyi. Ada pula yang malu-malu kucing alias abu-abu. Gak jelas banget. Ucapan, tulisan, dan sikapnya seolah pro-Palestina, tapi condong pada zionis. Model yang seperti ini di Indonesia tidak sedikit, malas menyebutkannya.

Lalu, apa akar masalah konflik Palestina-Israel sampai hari ini?

Para pendukung zionis menyalahkan rakyat Palestina. Ini jelas. Rakyat Palestina ditembaki, mereka sebut sebagai tindakan membela diri karena rakyat Palestina memprovokasi mereka dengan kekerasan. Jadi, seolah mereka ingin mengatakan: “Wajar dong orang Palestina ditembak? Mereka yang mulai, sih.”

Padahal, perampasan tanah, pendudukan, pembantaian massal, blokade, penangkapan, rasialisme, dan pengusiran oleh zionis atas warga Palestina adalah akar masalah yang mereka bakar sejak 1947 sampai hari ini. Sekali lagi, ini akar masalahnya. Bukan intifadah, bukan ketapel, dan bukan lemparan batu anak-anak Palestina yang tidak berdosa. Tidak akan ada intifadah di bumi Palestina bila bangsa keturunan kera itu tidak semena-mena dan tahu caranya berterima kasih kepada muslim Palestina.

Fauzil Adhim adalah pendidik yang lembut. Akan tetapi, dia sangat gusar dalam narasinya tentang orang Yahudi Israel itu. “Dahulu monyet-monyet kudisan tanpa alas kaki dan tanpa baju ini datang dalam keadaan terusir. Tidak ada satu pun negeri di Eropa mau menerima kehadiran mereka. Satu-satunya negeri yang mau menerima mereka adalah Palestina dan menyambut hangat kehadiran mereka. Muslimin Palestina memperlakukan mereka layaknya manusia. Bukan sebagai monyet kudisan.”

Saya belum cek, apakah ini benar kalimat-kalimat Fauzhil Adhim atau bukan. Hanya saja, broadcast yang beredar di WA, jelas ada tercantum nama Adhim di akhir tulisan. Adhim seolah ingin menyaingi kegarangan Hitler dalam menilai orang-orang Yahudi yang tida tahu berterima kasih itu.

Hitler menyebut Yahudi itu sebagai “race-tuberculosis of the peoples”; ras yang menjadi sumber penyakit bagi ummat manusia seperti ganasnya tuberkolosis. Hitler memusnahkan mereka dari negerinya, tetapi ia menyisakan sebagian agar kelak dunia mengerti mengapa ia membinasakan mereka. Kata Hitler, “I would have killed all the Jews of the world, but I kept some to show the world why I killed them. (Aku akan membunuh seluruh orang Yahudi di muka bumi, tetapi aku menyisakan sebagian untuk menunjukkan mengapa aku membunuh mereka),” pungkas Adhim.|

Banyak cara untuk membela Palestina. Memang, tidak mesti harus datang ke sana sambil menenteng ketapel bergabung dengan anak-anak pemberani melempari tentara zionis dengan batu. Asalkan jangan bersikap abu-abu sudah merupakan empati, meskipun itu sekecil-kecilnya pembelaan.

Anak-anak Indonesia menyaksikan dari jauh wujud cinta Palestina. Akan tetapi, empati di antara mereka sangat dekat melihat aksi heroik anak-anak Palestina itu melalui sharing video tentang Al-Quds. Mereka punya cara sendiri khas anak SMP dalam menunjukkannya seolah mereka juga ada di sana turut menarik karet ketapel. 

Sharing video tentang Al-Quds menunjukkan mereka mau tahu sejarah dunia Islam. Ini cara elegan seorang anak usia SMP dalam menumbuhkan kesadaran sejarah dalam bingkai ukhuwwah islamiyyah sebagai pembelajaran kontekstual. Bahwa di mana pun, Muslimin terikat sebagai saudara seiman, terlepas dari apa pun ras, suku, warna kulit, bahasa, pro atau tidak pada khilafah, dan warna nasionalisme masing-masing. Semua perbedaan itu lebur dalam semangat yang sama; rasa memiliki Baitul Maqdis.

Masalah Palestina memang tidak sesederhana topik diskusi soal khilafah versus nasionalisme di meja debat yang kesimpulannya sulit dipertemukan. Karena itu, membela Palestina sambil menyindir hanya karena beda pandangan soal khilafah lewat meme, sebaiknya dihindari selama kontribusi pembelaan sendiri belum seujung kuku dibanding gigihnya khilafah terakhir membela Palestina. Alih-alih ingin menempatkan diri sebagai pro-Palestina lewat meme, yang timbul malah kesan sebaliknya.

Allahu a’lam bishawab.

PELANGI

Dikunjungi alumni MIM 2 Cipayung Angkatan 1993. (Foto: Dok. Nurhikmah)


Ada kata mutiara yang berbunyi ilmu apabila tidak diamalkan seperti pohon yang tidak berbuah. Namun, percayalah buah-buah ilmu yang Bapak berikan telah saya bawa sebagai bekal kehidupan. ... Semoga lelahmu menjadi Lillah._ Ziggy.


Terus terang, kalimat di atas begitu menghentak. Dikirim oleh siswa saya yang masih sangat muda.

Saya bermenung sejenak, rasanya, pada usia yang sama saat kelas 1 SMP, sekali pun, saya tidak pernah menulis kalimat bernas untuk guru saya seperti yang saya terima dua hari kemarin persis di hari lebaran. Bisa jadi karena waktu itu saya belum mengenal teknologi Handphone.

Namun, bukan itu rasanya alasan yang jujur. Literasi saya amat terbatas. Ini alasan yang benar.

Siswa saya ini, meski baru kelas 7, tetapi literasinya memukau dari kalimat ucapan selamat lebaran yang dia kirim. Kalimatnya berhasil membuat saya speechless dan merenung hanya dengan satu paragraf saja.

Hebat anak ini. Dia berhasil keluar dari paragraf membosankan, 'mendayu-dayu', tidak efekif, dan dipuitis-puitisi hanya untuk sekadar meminta maaf lahir dan batin. Saya katakan ini, karena kerap kali saya amat boros dalam menulis semisal kalimat ucapan selamat.

Anak ini pun tidak 'tergoda' menggunakan ungkapan: "dari lubuk hati yang paling dalam", atau minta: "izinkan kami dengan segala kerendahan hati bersama keluarga dan orang sekampung untuk meminta maaf" dan semisalnya.

Mungkin ungkapan itu dipandang terlalu mainstream. Bisa jadi dia memang tidak mau mencomot dari gudang template ucapan selamat hari lebaran yang disediakan medsos.

Lepas dari itu, kata-kata memang bisa memberi warna. Membaca ucapan satu paragraf di atas, jiwa serasa sedang bertelekan di atas pelangi.|


28 tahun silam, saya mengajar mereka. Saya tak tahu kesan mereka saat dahulu saya mengajar. Biarlah itu menjadi milik mereka masing-masing.

Beberapa waktu berselang, ada sekali kesempatan bertemu mereka dalam reuni kecil. Saya dan dua orang guru berkesempatan hadir.

Ada yang masih bertahan sejak terakhir kami berinteraksi di kelas pada 1993 pada reuni itu, yaitu; takzim mereka kepada kami guru-gurunya.

Hari ini rasa bahagia seperti reuni kecil itu berulang. Mereka datang berkunjung membawa takzim yang sama, menyambung silaturahim di hari lebaran, dan mendoakan untuk kebaikan saya dan keluarga. Adakah yang lebih membahagiakan dari itu? Nothing.

Betapa saya surprise di sela-sela kami mengobrol mendapati beberapa di antara mereka mengaku sudah punya menantu. Aih, mendadak saya merasa masih sangat muda meskipun rambut ini tak bisa berdusta.|

Menerima satu paragraf ucapan selamat lebaran yang keren dan dikunjungi satu angkatan MIM 2 Cipayung tempat dahulu saya mengajar, seperti indah warna pelangi di sore yang merintik hujan.

Semoga kalian melimpah berkah. Selamat Idul Fitri 1442 H. Teruslah menciptakan pelangi dengan kata-kata dan silaturahim.|