Bintang di Hati Ayah

Aku, Pak Sunir, Kakak Perempuan, dan Ibunda Adelia Kusumawardhani. Foto koleksi Abdul Mutaqin atas seizin Pak Sunir.

Kalian berdua boleh jadi tidak tercatat sebagai yang terbaik di panggung wisuda kemarin, tapi bagi kami ayah kalian, kalianlah yang terbaik. Bagi kami, setiap anak adalah istimewa, setiap kalian adalah bintang di hati ayah

25 tahun yang lalu, aku belajar di sini, di Fakultas Tarbiyah, program Diploma dan Sarjana. Wisuda Diploma dengan Rektor Prof. Dr. Quraish Shihab MA. Wisuda Sarjana dengan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. Saat itu masih IAIN. Kampus Biru ini belum bertransformasi menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia masih “jadul” betul.

Dua hari kemarin, Sabtu 24 Mei 2025, aku duduk di ruang Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Payah juga mengumpulkan memori waktu dahulu belajar di sini. Terseok-seok rasanya menjembatani kesenjangan bangunan fisik IAIN dengan UIN sekarang. Rasanya, “baynassamaa wassumuur”, bak jarak langit dan dasar sumur.

Aku ingat betul, dahulu banyak orang mengejek fisik kampus IAIN dengan sebutan seperti bangunan “pabrik kaos”. Rasanya, otakku mendidih. Maka, agak payah mengumpulkan memori lampau dan menyatukannya pada acara wisuda ke-136 Sabtu kemarin dengan fisik bangunan UIN sekarang.

Dalam sambutannya, Pak Rektor ada menyinggung pesan untuk wisudawan. “Saya yakin perjalanan kalian untuk sampai ke titik ini bukanlah hal yang mudah. Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing. Ada biaya, tenaga, pikiran, dan doa dibalik terwujudnya kalian menjadi wisudawan pada hari ini,” ucap Prof. Asep Saepuddin Jahar, M.A., Ph.D.

Di penghujung sambutannya, Pak rektor menegaskan, “Jangan sampai kesuksesan kalian hari ini menyakiti hati orang tua kalian. Jangan alpa dalam mengucapkan terima kasih. Aktualisasikan rasa terima kasih itu dengan karya, prestasi, dan kerja-kerja besar kalian di masa yang akan datang. Doa saya selalu bersama kalian para wisudawan, wisudawati,” pesan lulusan McGill University dan Leipzig University ini sebelum turun mimbar.|


Di atas panggung wisuda, ada putriku Mikal Zidna Fajwah. Ruang prosesi terasa lebih khidmat kurasakan saat kuncir di toganya dipindahkan. Bahagia dan haru lalu datang begitu saja memancing mataku sedikit berkaca-kaca, menghangat sampai ke dada.

Aku sangat bersyukur. Mikal selesai menempuh studi di kampus di mana dahulu ayah dan bundanya belajar. Aku wisuda yang ke-49, November 2000. Ella istriku wisuda yang ke-56 atau 57, Maret 2004. Sekarang, ada tiga alumnus UIN di rumah kami, Aku, Ella, dan Mikal.

Ah, biasa aja kali. Ya, boleh jadi begitu. Namun tidak bagiku.

Bagi masyarakat kelas tertentu, boleh jadi kuliah di UIN itu ringan, seringan mereka merogoh kocek seharga satu sampai dua ratus ribu rupiah untuk secangkir kopi dan sepotong cake-nya sekali hangout. Bagi masyarakat kelas ini, harga segitu tidak penting, sebab ia bukan persoalan kopi dan cake-nya. Ini persoalan prestige, soal gaya hidup yang tidak mengenal batas mahal dan murah.

Akan tetapi bagiku, mengantarkan Mikal sampai pada tangga wisuda di UIN itu kesempatan mahal dan mewah. Maka, ketika kuncir toga di kepalanya digulir di depan Pak Rektor, ada haru bahagia. Inilah bahagianya wali wisudawati yang sesapan kopinya cukup di kedai dengan harga goceng saja. Se-goceng itu pun sudah dengan sepotong pisang goreng pula sekali hangout.

Memang, wisuda bukanlah semata-mata gula-gula dari pahitnya belajar. Bukan pula ukuran keberhasilan dari proses belajar yang panjang. Tidak, wisuda hanyalah satu fase dari fase-fase pendewasaan dalam proses belajar. Pun, hakikat belajar itu—dalam agama kita—tidak mengenal “wisuda” sebagai ujung akhir belajar, sebab proses belajar baru berhenti bila jasad sudah masuk ke liang lahad. Sesungguhnya, kematianlah “wisuda” dari tugas belajar seorang muslim yang sepanjang hayat itu.

Akan tetapi, sebagai sebuah budaya dari “peradaban belajar”, wisuda itu harus dicicipi juga manisnya. Biar otak dan hati ada rihatnya juga dari rasa pahit bergelut dengan mata kuliah, peliknya mengulik literatur, sukarnya dosen fulan berkompromi karena asyik dengan dirinya sendiri, perihnya skripsi yang dicoret-coret, ah banyaklah lagi, terlalu panjang bila disebutkan semua. Pak Rektor sudah meringkasnya dengan empat keyword; biaya, tenaga, pikiran, dan doa.

Maka, wisuda itu seperti hari pembalasan. Saat itu, wisudawan yang beriman masuk berbondong-bondong ke ruang wisuda jannatun na'im menikmati buah amal dengan wajah berseri-seri.|

Sampailah satu momen di mana hadirin menahan perasaan dengan susah payah. Aku tidak tahu, ada berapa tetes air mata yang diusap saat itu sebab ia tak tertahankan lagi. Orang tua wisudawan asal Cirebon yang duduk di sampingku kutengok sudah beberapa kali mengusap matanya dengan sapu tangan. Mungkin dia malu bila air matanya dilihat orang di sampingnya. Padahal, mataku pun hampir basah oleh bulir-bulir bening seperti rinai hujan yang bersusulan. Hanya saja aku sudah lebih dahulu mengusapnya diam-diam agar mataku tetap terlihat kering.

Adalah ayah dari wisudawati Adelia Kusumawardhani naik ke panggung. Kedua tangannya memeluk foto Adelia. Boleh jadi, bukan maksud laki-laki itu ingin menghadirkan Adelia secara fisik, melainkan kewajibannya menunaikan hak Adelia yang terakhir sebagai wisudawati.

Adelia sudah berpulang lima hari menjelang Adelia diwisuda. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan laki-laki itu sejak ia berangkat pergi ke kampus untuk mewakili putrinya. Allah ya, Rabb. Saat itulah air mataku tidak bisa aku tahan lagi. Biarlah ia jadi perpaduan air mata suka dan duka dalam satu momen.

Aku tidak kenal Adelia. Tidak juga kenal ayahnya. Karena nama Adelia disebut saja, jiwanya didoakan, dan lalu suasana haru menyeruak memenuhi ruang sidang Senat Terbuka. Siapa yang tidak hanyut terbawa haru? Seakan-akan, aku merasakan jiwa Adelia sedang tersenyum semringah sambil menikmati limpahan rezeki di alam barzakhnya mendapati sang ayah hadir sambil menunjukkan foto putri yang amat dia banggakan. Semua rasa sayang tumpah mendoakan kesejahteraan untuk Adelia dalam hitungan tiga sampai empat menit. Itulah momen untuk Adelia Kusumawardhani, S.Pd.

Aku percaya, setiap ayah dan ibu menantikan momen ini setelah energi dihabiskan untuk mengantarkan putra-putri mereka sampai pada tangga wisuda. Namun bagi ayah Adelia, saat tangga itu akan ditapaki putrinya tinggal sekelok lagi, kematian lebih dahulu menjemput sang putri. Hati siapakah yang tidak masygul mengenang Adelia dan melihat ketabahan ayahnya saat itu?

Bilapun ada jiwa yang tidak tersentuh haru pada momen untuk Adelia kemarin, mungkin jumlahnya tidak lebih dari hitungan sebelah tangan saja. Bilapun ada, tidak berdosa juga sekadar bertanya pada diri sendiri, terbuat dari apa hati nurani yang demikian itu. Aku percaya, tidaklah demikian hati nurani 569 wisudawan serta undangan yang memenuhi ruangan Auditorium Harun Nasution kemarin itu. Semua hati sejenak tenggelam mengenang Adelia dan tulus mendoakannya.

Di luar auditorium, aku menemui ayahnya Adelia. Aku sapa sepantas mungkin yang aku bisa. Aku raih tangan laki-laki ini sambil memperkenalkan diri sebagai salah seorang wali wisudawan dengan suara sedikit lirih. Ada rasa berat, takut laki-laki ini menjadi tidak nyaman dengan sapaanku. Moga-moga aku masih dipandang elok karena mengambil momen haru untuk membincangkan Adelia.

Seperti harapanku, laki-laki ini murah hati sekali. Dia menyambut hangat sapaanku. Wajahnya tenang. Malah, aku jadi terbata-bata mendapati keramahannya saat pelan-pelan menanyakan perihal Adelia lebih jauh. Mataku juga basah lagi.|

Dengan senang hati, Ayah Adelia menyediakan waktu kuajak berbincang. Laki-laki ini lalu berkisah. Tutur bahasanya tenang, runut dan runtut. Bunda dan kakak perempuan Adelia sesekali menimpali meski lebih banyak menyimak saja perbincangan kami. Ada banyak pelajaran hidup milik Adelia yang kupetik dan kubawa pulang.

Adelia lulusan SMA Jurusan Fisika. Adelia masuk UIN pada 2018, mengambil Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Karena sakitnya yang membutuhkan perawatan intens, menjadikan masa studi Adelia harus selesai dalam batas waktu maksimal.

Adelia sudah jatuh sakit saat memulai menulis skripsi. Hanya saja, Adelia punya daya juang sangat kuat untuk menyelesaikan studinya. Dua kali menjalani kemoterapi tidak juga membuat jiwa Adelia patah. Menangis sambil mengeluhkan sakitnya pun tidak. Adelia tetap tegar, matanya tetap kering, niatnya konsisten mempertahankan tekad untuk lulus dari UIN.

Saat sidang skripsi, kesehatan Adelia belum pula membaik. Sakit yang dideritanya sedang meningkat perihnya. Akan tetapi, kekuatan argumentasi saat Adelia mempertahankan skripsinya di hadapan penguji membuktikan semuanya. Rasa sakit dialihkannya menjadi daya dorong menuntaskan kewajiban akademik yang terakhir. Boleh jadi, begitulah memang Adelia. Rasa sakitnya diabaikan meskipun sudah di ujung stadium. Hasilnya, Adelia lulus dan mempersembahkan wisuda untuk ayah, ibu, juga kakak perempuannya Sabtu kemarin.

Adelia gadis dengan karakter tidak mau dikasihani. Kanker yang dia derita bukan alasan baginya bertekuk lutut pada belas kasihan orang. Bahkan belas kasih dari ayah, ibu, dan kakak perempuannya. Adelia memang menikmati belas kasih itu sebatas lazimnya keluarga yang menginginkan kesembuhan dari orang yang dia sayangi, bukan dengan alasan dia harus dikasihani karena sakitnya.

Pak Sunir tersenyum sambil berkata di akhir perbincangan kami. “Allah lebih sayang pada Adelia, Pak.”

Aku menatap foto Adelia di tangan ayahnya sejenak. Kata kakak Adelia, foto selfie itu dibuat Adelia pada malam Minggu, 17 Mei 2025. Lusa, pada Senin 19 Mei 2025 Adelia berpulang. Seharusnya, Sabtu, 24 Mei 2025 Adelia wisuda. Namun, takdir batas usia telah lebih dahulu mengantarnya pada panggung wisuda kehidupan yang sesungguhnya.

Mahasiswa yang sedang berjuang menyelesaikan studi perlu bercermin dari Adelia. Adelia adalah ketekunan, kesabaran, ketahanan, dan tidak mengenal kata menyerah untuk urusan belajar. Gadis ini bisa lulus meskipun dikepung problem kesehatan. Pantaslah bila ayah, ibu dan kakak perempuannya merasa sangat beruntung pernah memiliki Adelia dalam kehidupan mereka. Aku percaya, Adelia akan selalu mereka rindukan. Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa'aafihaa wa’fu’anha.|

Sebagai seorang lelaki, rasanya aku belumlah seberapa tabah dibanding Pak Sunir. Perihal membentuk mindset anak seperti karakter Adelia, aku masih tercecer di belakang. Andaikata satu waktu aku bertemu Pak Sunir lagi, ingin aku berbincang lebih hangat. Aku penasaran, bagaimana laki-laki ini membentuk karakter Adelia menjadi anak perempuan yang tidak mudah menyerah, pantang mengeluh saat menghadapi masalah, dan sosok perempuan yang tidak mau dikasihani.

Kedamaian dan kelimpahan kebaikan untuk Wisudawati Adelia Kusumawardhani yang telah menikmati kesempurnaan peran. Keteguhan dan kesabaran mengemban amanah ilmu untuk Mikal Zidnah Fajwah masa amalmu di dunia ke depan. Selamat atas wisuda kalian masing-masing.

Kalian berdua boleh jadi tidak tercatat sebagai yang terbaik di panggung wisuda kemarin, tapi bagi kami ayah kalian, kalianlah yang terbaik. Bagi kami, setiap anak adalah istimewa, setiap kalian adalah bintang di hati ayah. Ya Allah, limpahilah terus rahmat-Mu untuk putra-putri kami. Aamiin.

Ciputat, Senin, 26 Mei 2025.
Ruang guru yang hangat oleh pempek dan cuko Bu Rina Zul.

Muhasim dan Gerakan Tani; Sorotan Tajam Buku Matahari Terbit di Kampung Kami

 

Matahari Terbit di Kampung Kami


yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya itu dan Simalungun itu saya.

Poin ketiga sorotan Tajam buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang disampaikan H. Nawawi soal peran Muhasim. Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo Periode 1987-1995 ini pernah menjadi utusan KTNA (Kelompok Tani dan Nelayan Andalan) Depok pada acara Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara pada 22-27 Juli 1986.

Buku Matahari Terbit di Kampung Kami memuat sejarah berdirinya Muhammadiyah Ranting Pulo. Mengulas juga para pimpinan ranting yang sudah wafat. Muhasim adalah salah satu Ketua Pimpinan Ranting. Maka, pada bagian dari sub judul buku ini ada mengulas secara ringkas biografi dan kiprah Muhasim, termasuk informasi tentang keterlibatan Muhasim dalam gerakan tani pada “Kelompok Tani Sari Jaya” di Kampung Pulo dan KTNA.

Kiprah Muhasim pada gerakan tani hampir semua orang asli Kampung Pulo tahu. Saya juga tahu, karena sempat dilibatkan sebagai anggota “Kelompok Tani Sarijaya” meskipun hanya sekadar penggembira memakai kaus kuning Golkar bertuliskan “Kelompok Tani Sari Jaya” sewaktu ada acara kunjungan pejabat meninjau gerakan tani di Kampung Pulo.

Narasi kiprah Muhasim dalam gerakan tani dan KTNA, bisa sampai ke Simalungun, dan bertemu dengan Ibu Tien Soeharto di Istana Negara saya dapat melalui wawancara dengan ahli warisnya. Informasi tambahan tentang KTNA—terutama soal perhelatan di Simalungun—saya gali dari media untuk melengkapi hasil wawancara.

Akan tetapi, narasi tentang kiprah Muhasim dalam gerakan tani dan soal Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara dinilai “salah fatal”. Dalam waktu yang sempit menjelang bedah buku itu, H. Nawawi berkata, “yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya itu dan Simalungun itu saya.” Beliau kemudian menunjukkan beberapa dokumen foto dan piagam penghargaan untuk memperkuat alasan kesalahan fatal narasi pada buku saya ini.

Sekali lagi, saya sangat terbuka dengan kritik atau sorotan tajam atas semua buku yang saya tulis dengan penghakiman “salah fatal” sekalipun. Apabila kritik itu argumentatif dan substansial, saya sangat senang dan tidak keberatan untuk memperbaiki atau memasukan catatan tambahan pada edisi penerbitan berikutnya. Namun, sorotan H. Nawawi untuk kasus narasi keterlibatan Muhasim pada gerakan tani di Kampung Pulo dan Simalungun sambil menyodorkan dokumen-dokumen, itu sama sekali bukan “salah fatal”, melainkan hanya sekadar pemberitahuan bahwa H. Nawawi yang berperan.

Saya tidak mengingkari peran H. Nawawi seperti yang diutarakannya sebelum acara launching itu. Namun, pahamilah juga, saya sedang menarasikan fakta Muhasim sebagai sosok Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo, pernah aktif dalam gerakan tani, dan pernah ikut menghadiri Pertemuan Nasional (Penas) KTNA VI di Desa Marihat Bandar, Simalungun, Sumatera Utara pada 22-27 Juli 1986. Itu saja. Jadi, saya sedang menarasikan sosok Muhasim, bukan orang lain.

Adapun fakta bahwa H. Nawawi lah yang berperan dalam gerakan tani di Rangkapan Jaya Lama dan ikut hadir di Simalungun, itu soal lain. Meskipun tidak disinggung perannya pada narasi soal Muhasim di buku buku Matahari Terbit di Kampung Kami, itu bukan suatu kesalahan, apalagi “salah fatal”.

Inilah tiga poin “salah fatal” pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang langsung disampaikan H. Nawawi kepada saya. Saya tidak menanggapi “salah fatal” yang lain yang dibeberkan H. Nawawi kepada beberapa orang—saya tahu dari informasi yang sampai kepada saya soal ini. Saya tidak menanggapi karena takut keliru menangkap substansi dari kesalahan yang dimaksud beliau.

Maka, bolehlah saya sebut, sorotan tiga poin “salah fatal” pada buku buku Matahari Terbit di Kampung Kami terlalu dipaksakan. Baiklah saya rangkum jawaban saya pada dua tulisan sebelumnya di sini.

Sorotan pertama, soal tahun 1961 pada Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961 sebagai legalitas pengakuan secara resmi PP Muhammadiyah atas keberadaan Muhammadiyah di Depok. Pada poin ini, H. Nawawi salah persepsi. Dalam persepsi saya, surat PP Muhammadiyah itu bukan menunjukkan berdirinya Muhammadiyah di Depok pada 1961, tapi legalitas pengukuhan berdasarkan dikeluarkannya surat tersebut. Adapun Muhammadiyah di Depok, jelas-jelas saya tulis pada buku  Matahari Terbit di Kampung Kami sudah dirintis H. Mualim Usman pada 21 Juni 1953, sebulan sebelum beliau menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto yang berlangsung pada 9-14 Juli 1953. Sepulangnya dari muktamar itulah H. Mualim Usman mendirikan Muhammadiyah di Kukusan.

Sorotan kedua narasi soal H. Nipan pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami. Narasi tentang H. Nipan pada buku saya ini sangat menentang Muhammadiyah dan melontarkan kalimat provokatif itu disebut H. Nawawi “salah fatal”. Menurut H. Nawawi, pelakunya bukan Nipan, melainkan H. Saprin sambil menunjukkan narasi pada bukunya; 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok.

Pada poin ini, H. Nawawi lebih salah persepsi lagi. Sebab, Nipan yang H. Nawawi bayangkan, bukanlah H. Nipan yang dimaksud narasumber saya. Ini jelas salah orang. Memang, H. Saprin mengeluarkan juga kalimat provokatif. Tapi, bunyi kalimat provokatif H. Nipan dan H. Saprin beda; beda kata, beda kalimat, dan beda redaksi. Coba bandingkan:

Kata H. Nipan: “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!”
Kata. H. Saprin: “Antum rijalun wa nahnu rijal.”

Dua orang ini sama-sama penentang Muhammadiyah yang sangat keras. Dua orang ini sama-sama menyampaikan kalimat provokatif di rumah Micang. Hanya saja, H. Nawawi mengutip ucapan H. Saprin, narasumber saya mengutip ucapan H. Nipan.

Jadi, sorotan “salah fatal” buku Matahari Terbit di Kampung Kami soal H. Nipan ini, tidak lebih seperti peribahasa “jauh panggang dari api”. Lagi pula, perlu juga H. Nawawi memahami teknik mengutip, dalam hal ini soal sumber kutipan pada footnote sebuah buku. Pada footnote buku Matahari Terbit di Kampung Kami, saya tidak mengutip dari buku 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok. Terus, “salah fatal”-nya di mana?

Sorotan ketiga, soal Muhasim, ulasan pada tulisan ini.

Lebih dari itu, saya mengucapkan terima kasih kepada H. Nawawi yang memberi perhatian pada buku saya apapun motivasi di balik sorotan tajamnya pada buku saya ini. Namun, sebagai penulis, bila sorotan itu memang perlu saya tanggapi sebagai tanggung jawab ilmiah, maka saya punya ruang untuk melakukannya, baik secara lisan maupun tulisan. Semoga beliau sehat-sehat selalu.

Kamis, 22 Mei 2025.
Ruang kelas yang sejuk sambil nungguin PH Sejarah Kebudyaan Islam

Cover Untuk Ustaz Budi

Cover dua wajah: Kemah Ceria Indrokilo dan Pena Anak Santri

Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati.

MALAM Jum’at kemarin, aku minta dibuatkan rebusan jahe dan gelar merah. Aku ingat, hari Selasa tiga hari sebelumnya, Ustaz Budi baru panen jahe dan mengabariku. Nyambunglah otak dan hatiku kepada Ustaz Budi dan keluarganya yang hangat di Boyolali. Sempat pula beliau bercanda dan aku timpali.

“Ada bagian buat Ustadz... 😆”

“Alhamdulillah. Kirim lewat WA, Ustaz,” jawabku.

Pagi harinya, Jumat, 16 Mei 2025 tetap berangkat mengajar. Wedang jahe semalam ada juga efeknya. Jam mengajar hari itu hanya empat jam, pukul 07.00 sampai pukul 10.40. Namun, sepuluh menit sebelum jam mengajar terakhir berakhir, aku izin keluar kelas lebih dahulu. Badanku terasa agak demam, greges-greges, dan cepet capek. Lalu, aku izin pulang saja ingin istirahat di rumah.|

Aku dan Ustaz Budi kerap berbagi cerita hal-hal kecil seperti soal panen jahe itu. Barulah sekarang aku menyadari, bahwa berbagi cerita hal-hal kecil itu menyuburkan kedekatan kami masing-masing. Hanya saja, dengan rasa dekat itu aku belum sempat mengutarakan di hadapan Ustaz Budi bahwa aku ingin beliau menganggapku sebagai adik. Sedangkan aku, diam-diam sudah menempatkan Ustaz Budi dan Umi Ipit sebagai kakakku sejak aku sering bertamu sewaktu Ustaz Budi dan Umi Ipit masih di Bambanglipuro, Bantul.

Literasi menulis adalah sisi yang paling merekatkan hubunganku dengan Ustaz Budi. Seolah, dunia menulis itu menjadi sifat identik kami. Rasanya, bila sudah diskusi soal menulis dan buku, itu seperti jalan yang tidak ada ujung buat berhenti. 

Ada diskusi pada 9 Maret 2025 yang lalu. Diskusi ini soal soal draft cover dua muka untuk calon buku karya terbaru anak-anak panti yang dibimbing Ustaz Budi "Kemah Ceria Indrokilo" dan karyanya sendiri "Pena Anak Panti".

Aku diminta membuat cover buku ini. Namun, karena Ramadhan kemarin jadwalku cukup selip, habis Ramadhan baru mungkin bisa aku usahakan. Berharap pula penundaan sampai akhir Ramadhan tidak mengganggu mood Ustaz Budi turun, aku kirim pesan buat meyakinkannya, “Nyalakan terus api literasi panti”. Dibalasnya pesanku itu, “Dukungan dan harapan Ustadz Abdul sangat memotivasi kami... 😆💪✊”

Sekira pertengahan Ramadhan aku minta kisi-kisi cover. Diberinya aku elemen-elemen dasar. Aku mikir keras menerjemahkan bayangan cover yang diminta Ustaz Budi. Karena tidak bertemu langsung buat diskusi bagaimana bentuk perwajahan yang diinginkan, aku exercise saja. Pelan-pelan aku kerjakan pada hari keempat lebaran dan selesai dalam dua hari.

Sebenarnya, aku belum biasa merancang cover buku. Aku lebih mahir mengatak isi buku daripada cover. Tapi, aku coba juga mengerjakannya pelan-pelan. Sampai aku yakin draft benar-benar mendekati dugaan bayangan Ustaz Budi, aku sodorkan hasilnya. Ustaz Budi berteriak, “Wowww... mantapz bingitz... 👍👍👍,” saat cover mendarat di layar WhatsAppnya. Senanglah aku.

Kira-kira dua hari menjelang lebaran, Ustaz Budi minta diusahakan novelku; Pengantin Fort van der Capellen. Karena aku tidak punya barang satu eksemplar saja, aku coba hubungi Retna, kolegaku, pustakawan Madrasah Pembangunan, barangkali dia masih menyimpan barang satu eksemplar yang masih segel. Habis pula rupanya novel itu karena sudah diinput semua menjadi bahan koleksi perpustakaan.

Aku tawarkan saja dummy edisi revisi untuk dibaca Laskar Badar Muhammad. Aku kirim novel itu. Aku selipkan pula buku biografi Sutrisno Muslimin Sang Inovator: Pendidikan, Dakwah, dan Politik. Biografi ini diterbitkan Buku Republika pada April 2023. Aku pikir, biografi yang kutulis ini cukup pas dinarasikan untuk adik-adik panti survive dan belajar kesuksesan dari sosok Sutrisno Muslimin.|

Cover calon buku "Kemah Ceria Indrokilo", "Pena Anak Panti" dan "Pengantin Fort van der Capellen" menjadi penutup diskusi aku dan Ustaz Budi untuk selamanya. Sabtu pagi kemarin, 17 Mei 2025, kabar mengejutkan aku terima dari putriku Mikal Zidna Fajwah bahwa Ustaz Budi Nurastowo berpulang. Ya, Allah, cover itu seperti khusus aku persembahkan sebagai “Cover Untuk Ustaz Budi” di akhir hayatnya bergelut dengan literasi menulis. 

Mataku nanar, panas, dan berkaca. Mulutku terasa terkunci meski bibir bergetar. Mendengar kabar duka ini seakan aku tidak siap. "Tidak! Ustaz Budi masih ada!" Jeritku dalam hati. Sampai kemudian aku sadar sepenuhnya bahwa jiwa ini hanyalah titipan setelah membaca sendiri broadcast dari Grup Alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah Asy Syifa Bambanglipuro Bantul yang disodorkan putriku. Pupus sudah rencana kami bisa makan wader balado di panti kapan waktu aku datang berkunjung.

Aku biarkan mataku basah. Mata istriku basah. Mata Putriku basah. Di atas balkon lantai dua rumahku pagi itu, air mata kami bertiga tidak bisa lagi dibendung. Bukan semata karena sedih kehilangan, tapi karena begitu banyak kenangan manis kami bersama Ustaz Budi yang tidak mungkin bisa diulang kembali. Aku, istri, dan putriku kehilangan guru, sahabat, dan kakak yang kami banggakan.

Aku yang tidak bisa menjangkau jenazahnya Sabtu pagi itu hanya bisa merangkai doa. Allah ya, Rabb. Sayangi Ustaz Budi di sana. Ampunkan segala khilafnya. Terimalah segala amal kebaikannya meski hanya setitik debu di antara bongkahan kebaikan yang sudah ditorehkan. Allahummaghfir lahu warhamhu wa aafihi wa'fu anhu.

Selamat jalan Mas Budi, abangku tercinta. Biar jasad kita berpisah, kontak jiwa kita tetap aku jaga tersambung.|

Depok, Ahad siang, 18 Mei 2025.

H. Nipan dan H. Saprin: Sorotan Tajam Buku Matahari Terbit di Kampung Kami

Matahari Terbit di Kampung Kami

Salah lu, Wi. Bukan Nipan itu yang gua maksud, tapi H. Nipan, guru ngaji, orang Cipayung, mertuanya Si Micang,” tegas M. Ma’ruf. “Nipan yang lu maksud mah bukan guru ngaji, juga belom haji,” tegas M. Ma’ruf sekali lagi.

Buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” yang saya tulis menyertakan footnote atau catatan kaki. Footnote itu saya maksudkan sebagai keterangan tambahan, memperkuat data dan rujukan, dan mengapresiasi sumber informasi. Saya maksudkan pula untuk menghindari plagiarisme dan memberikan informasi lebih mendalam tanpa mengganggu alur teks utama buku yang saya tulis. Maka, apabila pembaca merasa kurang puas dengan narasi yang saya hadirkan di buku ini, atau kurang yakin atas informasi yang saya sajikan, pembaca bisa merujuk sumber kutipan sesuai footnote yang saya cantumkan.

Maka, poin kedua sorotan H. Nawawi pada buku “Matahari Terbit di Kampung Kami”—juga dengan bahasa “salah fatal”—yang memuat statement H. Nipan dan menurut H. Nawawi adalah statement H. Saprin bisa dikembalikan pada footnote dari mana peristiwa itu saya kutip.

Perlu saya spill sedikit tentang H. Nipan dan H. Saprin ini supaya jelas siapa mereka dalam eskalasi konflik pada awal-awal Muhammadiyah berdiri di Rawadenok dan Pulo. Kedua mereka ini tokoh Ahlussunnah wal Jamaah, penentang dakwah Muhammadiyah yang paling gigih.

Lalu, mengapa soal H. Nipan dan H, Saprin dipermasalahkan H. Nawawi dan menjadi dasar menilai pada bagian dari buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” sebagai “salah fatal”?

Begini masalahnya.

Pada halaman 53 dan 54 buku Matahari Terbit di Kampung Kami ada narasi peristiwa yang melibatkan H. Nipan. Saya screenshot narasi tersebut dan saya turunkan di sini. Berikut screenshot-nya:




Narasi dan statement H. Nipan di atas saya kutip dari buku saya sebelumnya; “Tarawih Terakhir”. Narasi itu saya olah dari hasil wawancara dengan M. Ma’ruf. Peristiwa H. Nipan menyampaikan ceramah bernada agitasi di rumah Micang itu, diketahui M. Ma’ruf, bahkan ia hafal statement yang dilontarkan H. Nipan waktu itu.

Biar lebih jelas, saya screenshot juga narasi dari buku “Tarawih Terakhir” untuk saya turunkan di sini:



Menurut H. Nawawi, tokoh yang berceramah di rumah Micang itu bukan H. Nipan, melainkan H. Saprin. Kalimat yang dilontarkan H. Saprin pun bukan : “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!”, melainkan kalimat: “Antum rijalun wa nahnu rijal”.

H. Nawawi memang ada memuat peran H. Saprin sebagai sosok yang sangat keras menentang dakwah Muhammadiyah saat itu pada bukunya “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”. Pada bukunya itu, narasi ini dimuat pada halaman 55. Supaya jelas, saya lampirkan hasil jepretan halaman dimaksud di sini:



Karena persoalan ini, buku saya disebut “salah fatal”.

Oke, meskipun wajah memerah mendengar penilaian itu, tidak apa-apa. Penilaian ini malah membuat saya penasaran. Saya temui kembali narasumber saya; M Ma’ruf untuk meminta konfirmasi soal H. Nipan ini. Boleh jadi memang narasumber saya keliru mendeskripsi tokoh seperti yang dimaksud H. Nawawi.

Akan tetapi, M. Ma’ruf malah memberikan penjelasan tambahan soal H. Nipan ini. Artinya, sosok H. Nipan dalam konteks pendiriannya menentang dakwah Muhammadiyah dan menyampaikan ceramah bernada agitasi di rumah Micang yang saya tulis pada “Tarawih Terakhir” dan saya kutip untuk buku “Matahari Terbit di Kampung Kami” adalah benar, bukan H. Saprin tokoh yang dimaksud H. Nawawi.

Maka, kesimpulan saya, pertama, H. Nawawi tidak paham, atau belum paham, atau pura-pura tidak paham soal teknik footnote dan kutipan dalam sebuah buku. Di buku “Matahari Terbit di kampung Kami”, jelas sekali saya cantumkan dari mana sumber narasi H. Nipan itu saya ambil. Artinya, saya tidak mengutip buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” dalam konteks H. Nipan.

Kedua, penulis yang tidak mengutip —katakanlah saya tidak mengutip dari buku H. Nawawi, tapi mengutip dari sumber lain—dari satu buku di antara banyak sumber, tidak berarti penulis itu melakukan “kesalahan fatal”, meskipun kutipan itu sama substansinya. Sebab, sumber atau pelaku sejarah dalam satu peristiwa itu boleh jadi tidak tunggal. Persoalannya terletak dari sumber mana kutipan itu diambil.

Lagi pula, bunyi statement H. Nipan yang saya kutip jelas berbeda dengan bunyi statement H. Saprin meskipun maknanya sama-sama menentang dakwah Muhammadiyah. Fakta ini saja sudah cukup untuk dipahami sebagai bukan fakta yang harus dipermasalahkan H. Nawawi.

Lain ceritanya, bila bunyi statement H. Nipan sama persis dengan bunyi statement H. Saprin, lalu di buku “Matahari Terbit di kampung Kami” saya tegaskan sebagai statement H. Nipan, sementara di buku H. Nawawi; “30 tahun Muhammadiyah Cabang Depok” statement itu disampaikan H. Saprin.

Masalah ini seperti jalan buntu sebelum akhirnya terurai pada satu waktu. Satu hari, saat H. Nawawi—mungkin sengaja datang menemui saya untuk meminta kembali buku "Matahari Terbit di Kampung Kami" yang sudah ditandai sebagai kesalahan fatal yang saya minta untuk saya pelajari catatan-catatannya—saya konfrontir dengan M. Ma’ruf soal sosok H. Nipan ini. Maka, terbukalah tabir “salah fatal” itu.

Rupanya, sosok H. Nipan yang diceritakan M. Ma’ruf dan saya kutip untuk dua buku saya itu bukan Nipan yang dimaksud H. Nawawi. Bila saya tidak keliru, Nipan yang dimaksud H. Nawawi pada kesempatan konfrontir itu Nipan orang tua H. Maarif, orang Rawadenok.

“Salah lu, Wi. Bukan Nipan itu yang gua maksud, tapi H. Nipan, guru ngaji, orang Cipayung, mertuanya Si Micang,” tegas M. Ma’ruf. “Nipan yang lu maksud mah bukan guru ngaji, juga belom haji,” tegas M. Ma’ruf sekali lagi.

Karena saya yang paling berkepentingan dalam masalah ini sebab persoalan “salah fatal” itu, saya tegaskan kepada H. Nawawi saat itu, clear soal H. Nipan yang dimaksud buku saya. Jadi, permasalahannya hanya soal siapa mengutip siapa. Dalam hal ini, H. Nawawi mengutip peristiwa H. Saprin yang mengatakan: “Antum rijalun wa nahnu rijal” yang dilontarkan tokoh ini saat berpidato di rumah Micang. Sedangkan M. Ma’ruf mengutip pernyataan H. Nipan, “Kalau Orang Muhammadiyah udah lebih paham Al-Qur'an dan Hadits, kalau kita kalah dalam urusan ini, jangan diam saja. Pukulan jalanin!” yang juga disampaikannya pada saat ceramah di rumah Micang.

Boleh jadi, kemungkinan kedua tokoh ini sama-sama melontarkan statement pada waktu yang sama dan forum yang sama di rumah Micang. Boleh jadi juga, kemungkinan H. Saprin dan H. Nipan berbicara pada forum dan waktu yang berbeda meskipun peristiwanya sama-sama berlangsung di rumah Micang. Hanya saja, H. Nawawi menangkap statement H. Saprin, sedangkan M. Ma’ruf menangkap statement H. Nipan.

Pada akhirnya, setelah proses konfrontasi sumber, “kesalahan fatal” justru ada pada H. Nawawi. Pertama, ternyata, Nipan yang disangka H. Nawawi sebagai Nipan orang tua Ma’arif bukanlah sosok H. Nipan yang dimaksud M. Ma’ruf sebagai H. Nipan guru ngaji, mertuanya Micang.

Kedua, sorotan “salah fatal” atas satu bagian dari buku “Matahari Terbit di kampung Kami” karena dianggap salah mengutip H. Nipan sebagai pelaku, bukan H. Saprin sesuai buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” sudah kadung ditimpakan kepada saya. Sebagai kalimat menilai “salah fatal” yang telah dilontarkan dari mulut H. Nawawi, ia tidak bisa ditarik lagi.

Si cela est, que peut-on faire?|

Jakarta, 15 Mei 2025.
Siang yang lelah, di antara draft-draft baru.

Kesempatan Terakhir


Ucapan bela sungkawa KMMD. Flyer milik pengurus KMMD

Kalau saya jadi Pak Mutaqin, akan saya ambil kesempatan ini. Itu sekolah bagus. Ambillah kesempatan ini!

Dua puluh tahun yang lalu, mulutku seperti menelan sekam. Tak kuasa lisan hendak berkata. Tak kuat hati hendak berterus terang.  Ya, seperti itu, karena, beliau sudah kadung menganggapku guru kesayangan. Entahlah, mungkin itu hanya rumors yang sempat sampai ke telingaku. Atau hanya perasaan ge er-ku saja saat itu.

Akan tetapi, aku harus berterus terang, meski dengan suara terbata karena rasa sungkan, rasa hormat, dan posisinya yang aku tempatkan sebagai guru. Tidak ada lagi selain perasaan itu. Maka, kukatakan juga maksudku, maksud pamit mundur dari mengajar pada yayasan yang beliau pimpin. Aku menyatakan berhenti.

Hening. Senyap. Beliau diam membisu. Aku juga diam membisu. Kami berdua, seperti berbicara dalam diam. Beliau bertanya dalam diam. Aku menjawab dalam diam.

Beberapa menit berlalu, kami masih sama-sama diam. Itu jeda waktu yang masih aku ingat sampai hari ini. Aku kenang sepanjang aku melangkah pergi dari latar rumahnya sampai aku berteduh di latar rumah yang lain. Saling diam itu seperti peristiwa seorang ayah akan melepas anaknya merantau. Atau, seorang anak akan melepas ayahnya untuk menikah lagi dengan perempuan lain setelah ibunya pergi. Rela, tapi berat, berat rasanya.

Saat beliau bertanya di sekolah mana aku berlabuh, hatiku lega, wajahku berbinar. Rasa sungkan yang beku mencair seperti gumpalan es dibakar matahari yang terik. Maka, aku bilang, setelah melalui proses seleksi yang panjang, aku diterima di sebuah yayasan untuk posisi guru Sejarah Kebudayaan Islam.

Tiada aku duga, beliau berkata lugas, “Kalau saya jadi Pak Mutaqin, akan saya ambil kesempatan ini. Itu sekolah bagus. Ambillah kesempatan ini!”

Mendengar repsonsnya, diamku semakin beku meski perlahan meleleh, hangat, dan haru. Lalu, ada bulir menitik di kelopak. Dan, kurasa beberapa saat, bola mataku jadi berkaca-kaca. Buru-buru kupalingkan muka. Aku tidak ingin mataku yang berkaca itu ditangkap mata beliau.

Dan, aku melangkah pergi dengan bahagia. Semoga, beliau juga bahagia melepasku.|

“Innalillahi wa innalillahi rajiun.. Telah berpulang ke rahmatullah Buyut, Kakek, Bapak, Guru kami Bp. H. Kastubi, BA di RS. Awal Bros, Batam pd hari Senin, 12 Mei 2025 pukul 19.30. Mohon diampuni segala dosa beliau dan berkenan memberikan doa al-fatihah yg terbaik untuk almarhum.”

Demikian bunyi pesan yang masuk di beranda gawaiku kemarin malam. Seketika ingatanku terlempar pada peristiwa saling diam dua puluh tahun yang lalu itu. Teringat lagi saat kucium tangannya sambil berpamitan, pergi meninggalkan takdir di Nurussyamsi untuk menjalani takdir yang lain. Beruntunglah waktu itu aku membawa restunya.

Hari ini, Selasa, 13 Mei 2025, saat jenazahnya tiba untuk dishalatkan, kebisuan orang tua yang lembut ini abadi. Siapa orang tua yang paling lembut bicaranya padaku sepanjang aku bergaul, belum ada gantinya selain H. Kastubi. Hari ini, lembut saat beliau bicara itu, pergi, hilang, dan fana bersamaan jasadnya dikebumikan.

Jangan lagi ditanya garis hidupnya ada di mana. Jangan lagi ditanya jejak kedermawannya pada siapa saja. Dan, jangan pula ditanya komitmennya pada Qur’an dan Sunnah. Jawaban atas semua itu terekam baik dalam memori masing-masing orang yang mengenalnya.

Aku percaya, hadir dalam mengantar jasad kematian adalah kesempatan terakhir untuk manusia yang pernah berperkara. Besar atau kecil, sengaja atau spontan, sadar atau karena lupa. Setiap orang punya salah. Ini sunnatullah fil kaun yang berlaku sampai kiamat.

Maka, gugurlah semua perkara hari ini. Aku rida, semoga beliau rida. Ya, Allah, ridailah kami semua yang hadir menyaksikan, menyalatkan, mendoakan, dan menguburkan jasadnya. Ridai juga siapa saja yang mengenalnya, mereka yang tidak berkesempatan hadir karena keterbatasan ruang dan waktu yang tidak terelakkan. Asalkan doa-doa dipanjatkan, semoga sampai juga rida-Mu kepada kami semua.

Maka, Ya Allah, semoga beliau sudah memaafkan hamba pada kali terakhir kami bertemu entah di mana. Sebab, waktu yang kejam tidak memberi kesempatan bagi hamba bersua lagi dan meminta maaf sebelum kepergiannya kemarin. Meskipun maaf itu beliau utarakan dalam diam, seperti diamnya beliau dua puluh tahun yang lalu itu, tiada mengapa, asalkan maafnya sampai ke pangkuan-Mu.

Sebagaimana kewajiban kami yang masih hidup merelakan maaf atas salah dan khilafnya, terimalah doa hamba Ya Allah, “Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘aafihi wa'fu anhu.” Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, sejahterakan dia, dan maafkanlah segala kesalahannya."

Aamiin.

Selamat jalan guru, orang tua, dan pemilik bahasa yang lembut.

Depok, 13 Mei 2025.
Sore yang sejuk dengan rinai hujan yang luruh.

1961: Sorotan Tajam Buku Matahari Terbit di Kampung Kami

Matahari terbit di Kampung Kami


Buku Matahari Terbit di Kampung Kami yang saya tulis mendapat sorotan H. Nawawi Napih, tokoh Muhammadiyah, dan penulis buku 30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok. Sebagai diskursus, sebuah buku disorot tajam itu soal biasa. Dianggap “salah fatal” pun biasa, asalkan bangunan argumentasinya kokoh, jelas rujukannya, dan bisa diuji berdasar sumber yang dirujuk.

Buku saya sebelumnya: Tarawih Terakhir, pun tidak lepas dari sorotan H. Nawawi. Ada beberapa sorotan saya terima karena memang setelah saya tinjau materi yang saya tulis mengundang kontroversi seperti tentang sejarah Depok. Di sini, sorotan atau kritik menjadi sangat berguna untuk perbaikan.

Satu kali dalam perbincangan dengan H. Nawawi mengenai buku Tarawih Terakhir, ada dua buku —satu buku tentang Muhammadiyah dan dan satu lagi sejarah Islam Depok yang sampai ke tangannya—pun disorot, dikritik tajam, dan dijumpai poin-poin kesalahan, bahkan menurutnya salah fatal. Dua buku yang saya ingat yang menurut H. Nawawi mengandung kesalahan fatal adalah buku tulisan Muhsin MK, KH. M. Usman Perintis Muhammadiyah Depok Ulama dan Pejuang Bangsa. Buku ini terbit pada 2018.

Satu lagi, bukunya Syamsul Yakin—saya agak lupa judulnya, mungkin JEJAK LANGKAH ISLAM DI DEPOK : KEMBALI KE AKAR SEJARAH KEMBALI KE SUMBER SYARIAH. Syamsul Yakin ini doktor, dosen Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta. Buku ini pun dikritik habis H. Nawawi.

Pahamlah saya, soal menilai buku, H. Nawawi lugas sekali. Maka, ketika ada bagian dari buku Matahari Terbit di Kampung Kami disebutnya ada yang “salah fatal”, saya tidak terlalu kaget. Buku Syamsul Yakin yang seorang doktor dan dosen UIN saja dianggap banyak kekeliruan fatal, apalagi saya. Apalah saya ini.

Persoalan lain, buku apabila sudah di-publish, itu menjadi milik publik. Publik berhak membaca, menilai, memuji, bahkan berhak menjatuhkan dengan sorotan, kritik, atau bahkan membongkar isinya bila dianggap salah dengan menunjukkan letak dan poin-poin kesalahannya.

Dengan argumen ini, seorang yang berani menulis dan mem-publish bukunya, dia harus siap menghadapi risiko publik. Bukan sekadar girang menikmati pujian dari pembaca, tapi harus siap dikuliti kesalahan-kesalahan dari buku yang ditulisnya. Maka, seorang penulis itu harus siap “bertarung” mempertahankan apa yang ditulisnya. Akan tetapi, penulis juga harus legowo apabila ternyata memang yang ditulisnya itu mengandung kesalahan setelah “pertarungan” adu argumentasi usai ditengkarkan.

Sebagai yang belum bosan untuk belajar soal tulis menulis, diksi “salah fatal” itu serem. Bila merujuk ke kamus, penjelasan kata itu demikian bunyinya: fatal/fa·tal/ a 1 mematikan; 2 tidak dapat diubah atau diperbaiki lagi (tentang kerusakan, kesalahan); 3 menerima nasib (tidak dapat diubah lagi); celaka.

Ini poin pertama. Artinya diksi “fatal” kesannya terlalu berlebihan. Kesalahan fatal untuk menilai sebuah buku itu bisa diganti dengan diksi lain, misalnya “serius”. Kesalahan serius pada sebuah buku itu bisa jadi karena tidak sesuai fakta, menyalahi kebiasaan, atau bertentangan dengan sumber lain yang lebih kredibel.

Apalagi menyangkut narasi dalam sebuah buku, ia rawan mispersepsi pembaca, atau karena mengandung kesalahan berat secara substansi. Namun harus dipahami, kesalahan itu bisa diperbaiki seringan atau seserius apa pun kesalahannya. Kesalahan itu bisa jadi sekadar typo. Ini kesalahan ringan. Bisa jadi salah kutip, ini kesalahan sedang. Cukup merujuk lagi pada sumber kutipan, selesai.

Disebut sebagai kesalahan serius apabila kesalahan itu menyangkut substansi. Bentuknya bisa karena bertentangan dengan data rujukan, data sejarah, atau fakta yang sesungguhnya. Tapi, ini bukan kesalahan fatal, hanya kesalahan serius atau kesalahan berat karena masih bisa diperbaiki. Tinggal penulisnya mau atau tidak memperbaiki kesalahan narasi pada bukunya itu berdasar sumber data, rujukan, atau fakta yang sesungguhnya sebagai alat koreksi.

Sekarang saya masuk pada poin kesalahan fatal versinya H. Nawawi atas beberapa bagian dari buku Matahari Terbit di Kampung Kami. 

Tiga poin kesalahan fatal disampaikan H. Nawawi—boleh jadi lebih dari tiga kesalahan setelah acara launching yang menghadirkannya sebagai testimoni dan telah tuntas mengoreksi buku saya. Tiga poin kesalahan fatal itu diutarakan beberapa menit menjelang acara launching dan bedah buku ini di MTs. Muhammadiyah Kukusan. Rasanya, karena waktu yang mepet, sangat tidak memadai untuk saya menjawab atau memberikan klarifikasi tuduhan salah fatal itu.

Saya bahas satu poin dulu. 

Poin pertama ini, soal legalitas berdirinya Muhammadiyah Cabang Depok. Poin ini dianggap salah fatal. Tertulis pada halaman 35 buku Matahari Terbit di kampung Kami yang dipegang Pak H. Nawawi—pada edisi revisi tertera pada halaman 40 dengan redaksi sama persis, menyangkut tahun legalitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok. 

Berikut saya kutipkan sebagian narasi pada halaman 35 yang disebut sebagai kesalahan fatal itu:
Nanti, bersama Kamaludin, warga Muhammadiyah asal Jasinga, Kabupaten Bogor yang memimpin Kecamatan Depok, KH Usman mendirikan Cabang Muhammadiyah Depok membawahi dua ranting, yakni Ranting Muhammadiyah Kukusan dan Ranting Muhammadiyah Srengseng. Legalitas Muhammadiyah Cabang Depok ini kemudian disahkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961…
Poin kesalahan yang menurut H. Nawawi fatal adalah data tahun 1961 yang kemungkinan dipahami beliau sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah Cabang Depok. Kata H. Nawawi, “Muhammadiyah di Depok sudah ada tahun 1952”, tegasnya.

Saya tidak mengerti, bagaimana H. Nawawi salah memahami redaksi pada paragraf di atas. “Legalitas Muhammadiyah Cabang Depok ini kemudian disahkan berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September 1961”. Terang sekali, tahun 1961 adalah tahun legalisasi secara administratif dari PP Muhammadiyah sebagai bentuk pengakuan bahwa Muhammadiyah Cabang Depok telah sah, legal, bukan tahun resmi berdiri Muhammadiyah di Depok yang ditetapkan PP Muhammadiyah.

Pertanyaannya sekarang, dari mana data tahun 1961 saya ambil?

Data tahun ini saya ambil dari mengutip: PDM Kabupaten Bogor pada website http://bogor.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet- sejarah.html. Saya akses website ini pada 09 Maret 2024. Saya cantumkan pada catatan kaki no. 54. Pada naskah revisi catatan kaki nomor 51.

Namun, sayang sekali, saat website PDM sesuai link di atas saya kunjungi lagi—11 Mei 2025—halaman sudah tidak ada, Web server is down.

Tangkapan layar website PDM Bogor saat dikunjungi pada Ahad, 10 Mei 2025.


Akan tetapi, saya menemukan jejak data yang sama pada sebuah blog. Di sini alamatnya:
https://ipmcbeji.blogspot.com/2012/05/sejarah-muhammadiyah-kota-depok.html
Data yang ditampilkan blog ini sama persis dengan website PDM Bogor. Berikut tangkapan layarnya-nya:


Tangkapan layar website IPM Beji

Sebagai orang yang pernah belajar menulis, pernah menempuh ujian dan lulus memegang lisensi penulis profesional dari LSP Penulis & Editor Profesional, saya hanya disiplin pada etika mengutip. Penulis tidak boleh mengubah data dari sumber kutipan. Data yang saya dapat dari website PDM Bogor harus saya tulis apa adanya, 1961, tidak boleh saya ubah jadi 1952.

Dalam satu kesempatan bertemu, H. Nawawi tidak menerima klarifikasi saya dan masih menyebut data itu sebagai kesalahan fatal dalam buku Matahari Terbit di Kampung Kami. Ya, sudah. Mau bagaimana lagi. Barangkali H. Nawawi memegang salinan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, nomor 1514/A, tanggal 30 September, namun tahunnya 1952”.

Saya tidak menolak, bahwa Muhammadiyah sudah ada di Depok tahun 1952, didirikan oleh M. Usman sebagaimana informasi dari buku H. Nawawi: “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok” pada halaman 18. Buku ini pun banyak saya kutip dan saya rujuk saat menulis Tarawih Terakhir dan Matahari Terbit di Kampung Kami.

Baiklah, sekarang giliran saya mengkritisi buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”—terutama soal tahun 1952 yang disebut H. Nawawi sebagai tahun di mana Muhammadiyah sudah ada di Depok. Kritik saya bukan pada salah atau benar 1952, tapi soal hasil analisis saya dari satu dua sumber dan keterangan selain buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”.

Ditulis pada halaman 18, sebagai berikut:
Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah, M. Usman sangat dikenal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa sampai kepada para pejabat di Kecamatan Depok. Pada tahun 1952 Kecamatan Depok, dipimpin oleh Kamaludin seorang warga Muhammadiyah berasal dari Jasinga Kabupaten Bogor. Sebagai warga Muhammadiyah kedua tokoh tersebut saling berkenalan. Atas perkenalannya itu mereka berdua bersepakat mendirikan Cabang Muhammadiyah Depok. Waktu pendiriannya disaksikan oleh Kamil Jamil Konsul Muhammadiyah Daerah Bogor, bertempat di Kantor Kecamatan Depok.
Bagi H. Nawawi, narasi paragraf di atas boleh jadi tidak menimbulkan penafsiran lain dari maksud yang ditulisnya. Tapi, bagi pembaca, atau saya yang akan mengambilnya sebagai rujukan, didirikannya Muhammadiyah Cabang Depok pada 1952 pada paragraf di atas masih multitafsir. Berikut tafsiran saya atas narasi di atas:
  1. H. Nawawi secara eksplisit menyebut 1952 sebagai tahun bersamaan Kamaludin menjabat Camat Kecamatan Depok;
  2. H. Nawawi tidak secara eksplisit menyebut 1952 sebagai tahun Muhammadiyah sudah ada di Depok atau sudah didirikan di Depok;
  3. Muhammadiyah sudah ada di Depok atau sudah didirikan di Depok pada 1952 bersamaan dengan Kamaludin menjabat Camat Kecamatan Depok;
  4. Muhammadiyah sudah ada di Depok atau sudah didirikan di Depok bersamaan dengan Kamaludin menjabat Camat Kecamatan Depok. Hanya saja tahunnya belum tentu pada 1952, boleh jadi sebelum atau sesudahnya;
  5. H. Nawawi secara eksplisit hanya menyebut tahun 1952 saja, tanpa tanggal dan bulan. Tentu akan lebih meyakinkan untuk memberikan kepastian kapan sebenarnya Muhammadiyah sudah ada di Depok bila dilengkapi tanggal, bulan, dan tahun didirikan.
Andai saja redaksi paragraf di atas itu begini:
Muhammadiyah didirikan pada 1952, bersamaan dengan Kecamatan Depok dipimpin oleh Kamaludin, seorang warga Muhammadiyah yang berasal dari Jasinga Kabupaten Bogor. Sebagai sesama warga Muhammadiyah, M. Usman dan kamaludin saling berkenalan. Atas perkenalannya itu mereka berdua bersepakat mendirikan Cabang Muhammadiyah Depok. Kesepakatan itu terlaksana. Muhammadiyah Depok didirikan. Waktu pendiriannya disaksikan oleh Kamil Jamil Konsul Muhammadiyah Daerah Bogor, bertempat di Kantor Kecamatan Depok.
Nah, bila redaksinya demikian, tidak mungkin multitafsir. Dan, kecil kemungkinan timbul pertanyaan untuk mencari kepastian, “Ini tahun 1952 tahun didirikannya Muhammadiyah, atau tahun Kamaludin jadi Camat Depok?”

Maka, bagi saya tidak ada salah, apalagi salah fatal narasi pada buku Matahari Terbit di Kampung Kami pada halaman 35 soal tahun 1961. Jadi, Muhammadiyah boleh jadi sudah eksis pada 1952 di Depok, namun legalitas resminya baru tahun 1961. Inilah yang saya pahami.

Sebenarnya, bila mau disebut salah fatal dan dipersoalkan, data tahun 1953 yang saya ambil sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah di Depok—dalam hal ini adalah Kukusan—bukan 1952 seperti yang disebut H. Nawawi. Dalam soal ini—untuk keberadaan Muhammadiyah di Depok—saya tidak mengutip buku “30 Tahun Muhammadiyah Cabang Depok”.

Di buku Matahari Terbit di Kampung Kami, tahun 1953 saya ambil sebagai tahun berdirinya Muhammadiyah Depok. Bahkan 1953 saya sebut sampai tiga kali. Satu kali pada halaman 30, dan dua kali pada halaman 34—pada edisi revisi, satu kali disebut pada halaman 35, dan dua kali disebut pada halaman 40.

Saya menganalisis sumber lain untuk mengambil data 1953.

Pertama, sumber dari Iis Muala Wati, “JEJAK KH. M. USMAN MEMBANGUN MUHAMMADIYAH DI KOTA DEPOK” yang dimuat di https://pdmdepok.com/jejak-kh-m-usman-membangun-muhammadiyah-di-kota-depok/. Pada situs ini disebutkan, pada tahun 1953, KH. M. Usman ikut menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto, Jawa Tengah. Inilah titik awal berdirinya Muhammadiyah di Kota Depok. Clear, jelas sekali.

Informasi Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Purwokerto yang berlangsung pada 1953 memang patut dipertimbangkan. Pasalnya, M. Usman menghadiri Muktamar ke-32 Muhammadiyah di Banyumas, Purwokerto, Jawa Tengah itu.

Perkembangan Muhammadiyah di bidang pendidikan, ibadah, dan sosial kesehatan dari berbagai daerah disiarkan dalam muktamar ini. Kemajuan Amal Usaha Muhammadiyah yang disiarkan saat itu sangat menggembirakan dan membuat kagum M. Usman. Makin tertariklah beliau buat mendirikan Muhammadiyah. Maka, bisa dimengerti, sepulangnya dari Purwokerto, tidak beberapa lama kemudian beliau mendirikan Muhammadiyah di Kukusan.

Sumber kedua, laman webiste https://profil.mediamu.com/kh-muthalib-usman-ulama-pejuang-dan-tokoh-pendiri-muhammadiyah-depok-jawa-barat. Pada laman website ini, secara eksplisit disebutkan M. Usman baru merintis Muhammadiyah pada 21 Juni 1953, kira-kira sebulan sebelum Muktamar di Purwokerto digelar.

Akan tetapi, bila dikatakan 1952 M. Usman sudah merintis Muhammadiyah, ini masih logis. Sebab, yang namanya merintis baru sekadar meletakkan dasar-dasar, menyiapkan segala keperluan sebelum semuanya benar-benar siap. Walaupun H. Nawawi menyebut Muhammadiyah sudah ada pada 1952, pastilah ada sumber yang dijadikan rujukan.

Dari dua data; 1952 dan 1953, keduanya bisa dianggap mendekati benar. Hanya saja, saya memilih 1953 sebagai tonggak Muhammadiyah berdiri di Depok. Data ini lebih meyakinkan saya bila dihubungkan dengan peristiwa hadirnya M. Usman pada Muktamar ke-32 yang baru berlangsung pada 9-14 Juli 1953 sebagai aktor di balik berdirinya Muhammadiyah Depok setelah pulang dari Muktamar. Maka, bila pada 21 Juni 1953 M. Usman baru merintis Muhammadiyah Depok, ini masuk akal.

Sorotan berikutnya akan saya ulas pada tulisan mendatang.

Depok, 11 Mei 2025 setelah Isya yang sejuk.