Jiwa-jiwa yang Tenang

Gambar milik sudir_kaligrafer. https://www.instagram.com/sudir_kaligrafer/p/C3NO6MnN3vO/

Kalaupun bicara, tidak semua ia bicarakan kecuali hanya yang penting-penting saja, seperti orang yang banyak tahu, tapi sedikit omong, bukan yang tahu sedikit, tapi banyak omong.

Jum’at malam, yang saya dengar kabar ia akan berangkat ke Malang bersama suami untuk sima’an. Putri pertama mereka akan menuntaskan hafalan 30 juznya di pondok tempatnya nyantri. Masya Allah.

Akan tetapi, Allah berkehendak memanggilnya lebih dahulu. Kamis siang, 20 Februari 2025 ia berpulang, sementara mahkota yang kelak akan dipakaikan para penghafal Al-Qur'an kepada orang tuanya tengah menanti kedatangannya. Ini bikin iri para orang tua.

Perempuan yang telah melahirkan hafizhah itu berpulang membawa senyum, kalem, santun, dan pribadinya yang menyenangkan. Siapa saja yang mengenalnya, tahu betul pribadi perempuan ini.

Saya, kali pertama mengenalnya pada 2005, saat sama-sama melamar dan akhirnya diberi kesempatan mengajar di sini, di Madrasah Pembangunan (MP). Itu berlalu 19 tahun 8 bulan yang lalu. Kini, ia telah pergi meninggalkan segala kebaikan pada dirinya yang akan dikenang sebatas ingatan masing-masing orang yang mengenalnya.

Kepergiannya sangat mengejutkan. Begitulah yang terlintas di benak setiap kita manakala menerima kabar kematian sedangkan yang berpulang itu sedang baik-baik saja. Perasaan pun ingin berkata tidak, telinga berharap ia salah dengar, dan rasa cinta seakan menolak kenyataan yang sudah ditakdirkan itu.

Barangkali, begitulah gemuruh di dada suami, anak-anak, dan keluarga dekat yang ditinggalkan perempuan ini. Saya percaya, teman dan kolega-kolega di sekolah tempatnya mengajar pun merasakan hal yang sama. Hanya saja, sabar telah meredam semuanya. Ia dilepas pergi dengan hati lapang, rida atas takdir, dan iringan doa yang sambung menyambung. Rumahnya banjir pelayat, jenazahnya dishalatkan banyak orang.

Dini hari sebelum siang harinya ia berpulang, ia masih berjibaku di dapur menyiapkan makan sahur untuk suami dan putrinya. Boleh jadi, kebiasaan ini dirawatnya sejak ia berumah tangga, sejak hidup mendampingi suami yang dawam puasa sunnah Senin dan Kamis. Atau, bisa jadi juga menyambung kebiasaannya semasa masih gadis remaja. Rupanya, di malam Kamis kemarin itu, menjadi kesempatan terakhir baginya menyajikan hidangan sahur untuk sang suami. Barakallah.|

Setiap perempuan mukminah itu istimewa. Percayalah, bahkan ia sudah istimewa sejak lahir. Memang sudah fitrahnya perempuan itu istimewa. Maka, para pendaku 'pejuang' kesetaraan gender, LSM yang ‘belagu’ seolah memperjuangkan hak-hak perempuan, hakikatnya sedang ngelindur di siang bolong. Ia sedang bermimpi dengan terengah-engah seperti sedang mengangkat beratnya derajat perempuan. Padahal, Allah SWT sendiri sudah mengangkat derajat perempuan mukminah itu. Jadinya, para 'pejuang' kesetaraan gender dan LSM itu seperti sedang menggarami lautan di depan anak-anak nelayan.

Dalam Islam, siapa pun perempuan itu, apalagi seorang istri yang berbakti pada suami, sudah membuka jalan mencapai maqam tertinggi. Tengok saja hadits dari sahabat Abdurrahman bin ‘Auf yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nabi SAW menegaskan: Iżā ṣallat al mar'atu khamsahā wa ṣāmat syahrahā wa ḥa ḥafiẓat farjahā wa aṭā`at zauzahā qīla lahā udkhulī al jannata min ayyi abwāb al jannati syi'ti.

Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, dan mentaati suaminya, (di hari kiamat) dikatakan kepadanya, masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu mau.” |

Saya sedang membicarakan Ibu Nurhidayatiningsih. Di MP, ia dipanggil Bu Ida. Bu Ida mengajar matematika, mengampu ilmu yang dahulu dipopulerkan oleh Abu Ja'far Muhammad ibn Musa Al-Khwarizmi (780-850 M).

Al-Khawarizmi ilmuwan muslim era keemasan Islam, peringkat terdepan dalam jajaran matematikawan sepanjang masa. Ia menyusun karya-karya tertua mengenai aritmatika dan aljabar. Karya-karyanya itu menjadi sumber utama pengetahuan matematika selama berabad-abad di Timur dan Barat. Begitulah Al-Khawarizmi seperti ditulis Steven G. Krantz dalam bukunya An Episodic History of Mathematics Mathematical Culture Through Problem Solving mengutip Mohammad Kahn.

Ibu Ida jelas bukan Al-Khawarizmi. Matematikanya tidak melampaui ilmuan kelahiran Uzbekistan itu. Akan tetapi, Bu Ida sudah menempatkan dirinya sebagaimana fitrahnya perempuan. Boleh jadi, kelak di akhirat sosoknya berada di dalam barisan para perempuan yang kepadanya menggema seruan: “masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu mau”. Masya Allah. Semoga demikian.|

Bu Ida sudah tidak lagi bisa tahu, bahwa ada guru matematika yang lain seangkatannya di MP yang iri kepadanya. Kepada saya ia berkeluh kesah, “apakah jenazah saya bisa sebagus seperti jenazahnya Bu Ida yang saya saksikan setelah kematiannya?” katanya.

Deg!

Sebuah keluhan yang menggetarkan rasa. Rasa jiwa seperti ditonjok. Sebab, semua jiwa akan pulang, menyusul Bu Ida yang sudah tenang. Masalahnya, apakah jiwa-jiwa ini termasuk jiwa-jiwa pilihan yang pulang dengan tenang itu? Jiwa-jiwa yang diseru: "yâ ayyatuhan-nafsul-muthma'innah. irji‘î ilâ rabbiki râdliyatam mardliyyah. fadkhulî fî ‘ibâdî. wadkhulî jannatî."

Sedikit saya berbincang dengan guru matematika yang berkeluh kesah ini. Jadi, kami sama-sama berkeluh kesah soal bagaimana nanti kematian kami masing-masing. Ini dialog yang singkat, tapi kepikiran terus. Pertanda apa ini? Semoga ini bukan keluh kesah biasa yang profan, tapi cermin kesadaran bahwa kami ingin  sama-sama meninggalkan dunia dengan legacy kebaikan yang transenden.

Karena sesama perempuan dan guru matematika pula, ia lebih banyak tahu siapa Bu Ida ketimbang saya. Saya hanya mendengarkan saja. Namun, apa yang dikatakannya bertemu sepakat di hati saya. Katanya, Ibu Ida perempuan yang tidak banyak bicara. Kalaupun bicara, tidak semua ia bicarakan kecuali hanya yang penting-penting saja, seperti orang yang banyak tahu, tapi sedikit omong, bukan yang tahu sedikit, tapi banyak omong.

Dalam hati, saya hanya bergumam. Siapa pun orang dengan kepribadian seperti ini, cenderung selamat dan menyelamatkan dirinya dan orang lain.

Lain waktu, dari orang berbeda, saya mendengar cerita tentang kepribadian Bu Ida. Mendengar cerita itu, saya berkesimpulan Bu Ida orang dengan otak dan hati selaras. Bila mendengar berita sumbang tentang seseorang yang ia tahu sifat-sifatnya, Bu Ida tidak mudah percaya. Nalarnya bekerja mengaitkan informasi itu dan mencocokkannya dengan pengalaman empirik, lalu mengambil kesimpulan.

Bisa jadi, memang begitu umumnya karakter guru matematika dengan critical thinking-nya yang kuat. Orang dengan spesifikasi soft skill demikian nalarnya mendahului prasangka. Otaknya bekerja dahulu, baru mengambil kesimpulan, bukan kesimpulan dulu, baru menyusun argumen belakangan.|

Selamat jalan Bu Ida. Semoga engkau rida kembali kepada penciptamu, dan Allah rida menerimamu. Do’a terbaik dari kami para sahabat yang menunggu waktu menyusul.

Depok, usai Maghrib 21 Februari 2025.
Dari teman yang bertemu kali pertama meniti karier di Madrasah Pembangunan.

Ngaji di Majelis Mas Izzul Muslimin



Buku untuk Mas Izzul Muslimin. Foto milik PRM Ranting Rawadenok

Bila Paus Fransiskus dalam khotbahnya saat peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia tahun 2023 menyebut membuang makanan sama saja dengan mencuri makanan orang miskin, Al-Qur’an QS. 17 :27 lebih menusuk dengan menyebut “Innal-mubażżirīna kānū ikhwānasy-syayāṭīn,” bahwa "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudaranya setan …

Saya termasuk kader "kendang", alias kenal sekandang doang. Ketemunya kebanyakan cuman sesama pengurus Ranting Muhammadiyah Pulo, jauhkan dikit dengan pengurus Cabang. Lebih jauhan dikit dengan pengurus PDM, dengan Pak Ali dan selinting temen-temen di MPI Daerah bareng Mas Raihan, Mas Soleh, dan lain-lain. Udah. Jadi, main di persyarikatannya kurang jauh.

Maka, saat Pimpinan Ranting Muhammadiyah Rawadenok menggelar Pengajian Qabla Ramadhan menghadirkan Mas Izzul Muslimin pada Ahad 16 Februari kemarin, meskipun tidak diundang secara khusus, hadirlah saya dengan semringah. Secara mana, nama Izzul Muslimin sudah lama saya dengar. Sekarang, saatnya ketemu dan salaman.

Dapat bocoran dari internet. Loh, bulan dan tahun kelahiran saya dan Mas Izzul ternyata semasa. Ah, rupanya saya seumuran dengan Mas Izzul. Mas Izzul lebih tua sikit, tapi hanya sekitar 168 jam saja lebih tuanya dari saya. Namun begitu, Mas Izzul sudah kemana-mana, saya belum juga kemana-mana. Itulah takdir saya dan Mas Izzul meski sama-sama anak Muhammadiyah dan sama-sama lahir pada bulan April.

Sebelum Mas Izzul bicara, Pak Ali, Ketua PDM memantik semangat. Pak Ali memang biasa jadi “tukang bakar”. Tak bosan dia membakar semangat bermuhammadiyah warga Persyarikatan. “Ranting itu penting! Cabang harus berkembang! Masjid, makmur memakmurkan….!” dan seterusnya.

Memang harus begitu, semangat bermuhammadiyah harus dibakar terus. Jangan sampai semangat bermuhammadiyah jadi redup, apalagi padam seperti lampu colen kehabisan minyak. Tabligh, pengajian umum, penguatan ideologi, dan sosialisasi Putusan Tarjih menjadi bahan bakar agar nyala Muhammadiyah tetap terang.

Saya menikmati betul uraian Mas Izzul. Beberapa poin penjelasannya pas banget dengan realita. Misalnya, bahwa puasa itu harus bisa menjadi bulan menahan diri. Uniknya, justru banyak orang yang gagal mengendalikan diri di bulan ini.

Contoh sederhana dalam urusan belanja dan pola makan. Secara matematis, pola makan sehari tiga kali akan berkurang karena ditahan. Saat puasa, pola makan hanya sekali di waktu berbuka dan sekali di waktu sahur. Seharusnya, biaya belanja untuk kebutuhan makan itu menyusut satu porsi tiap individu.

Tapi, mengapa budget belanja malah kadang jauh lebih besar kebutuhannya di saat Ramadhan? Tampaknya, budget satu porsi makan itu diduga pindah untuk budget rupa-rupa menu takjil—kolak, bubur sum-sum, rujak timun suri, gorengan, lontong, atau es buah dan lain-lain menu. Nah, urusan belanja takjil, tidak sedikit dari orang yang puasa tak tahan menjadi kalap menyiapkan beragam takjil.

Rasanya, berlatih menahan diri dari makan dan minum baru sekadar memindahkan waktunya dari siang ke waktu malam, sedangkan volumenya tidak berkurang. Jadi, belum pada tahap menahan diri secara ikhlas dari memanjakan perut di waktu siang dengan berbagai ragam makanan.

Ada fakta ironi yang disampaikan Mas Izzul. Orang Indonesia itu punya kebiasan buruk menyisakan hampir sepertiga makanan dari piring mereka tiap kali makan bila dirata-ratakan. Sepertiga makanan itu terbuang menjadi sampah dan mubazir. Ini menunjukkan moralitas pangan dan tanggung jawab terhadap makanan masih rendah. Boleh jadi, kita menjadi tidak tercengang oleh data yang dirilis Bapanas dari tahun 2000 hingga 2019, di mana jumlah sampah makanan mencapai 23 sampai 48 juta ton di Indonesia. Jadi, kalau dirata-rata per kepala, membuang makanan antara 115 hingga 184 kilogram per kapita per tahun.

Bila Paus Fransiskus dalam khotbahnya saat peringatan Hari Lingkungan Hidup sedunia tahun 2023 menyebut membuang makanan sama saja dengan mencuri makanan orang miskin, Al-Qur’an QS. 17 :27 lebih menusuk dengan menyebut “Innal-mubażżirīna kānū ikhwānasy-syayāṭīn,” bahwa "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudaranya setan …”.

Ramadhan memberi ruang untuk melakukan tiga hal berpahala dalam konteks makanan; hindari tabzir, belanja proporsional, dan sedekahkan makananapalagi makanan berlebih. Bila menurut Nabi SAW bersedekah dengan sebutir kurma saja bisa menjauhkan pelakunya dari api neraka, apatah lagi sedekah seporsi untuk berbuka puasa.

Berbagi pangan memang sangat kontekstual untuk memaknai Ramadhan sebagai bulan solidaritas. Hanya saja, terkadang terlalu aktraktif bila diterjemahkan dalam bentuk “berbagi takjil” di jalan raya yang akurasi tepat sasaran pada orang yang berpuasa lebih sukar diukur.

Puasa itu ibadah rahasia. Bila di masjid saja sukar untuk mendeteksi mana-orang yang benar-benar puasa dan membutuhkan menyegerakan berbuka dan mana yang tidak, apalagi di jalan raya? Tentu, ini berbeda bila kemasan programnya “Sedekah Jajanan Sore” tanpa embel-embel takjil. “Sedekah Jajanan Sore” tidak menanggung beban moral. Tidak pula ada sekat-sekat ideologis karena sifatnya universal. Maka, yang puasa atau tidak, muslim atau nonis, semua orang bisa menikmati dengan semringah.😉

Ada satu poin Mas Izzul yang membuat jamaah tertegun. Saya juga tertegun. Kita kadang luput soal sosok Kiai Dahlan di akhir hayat beliau pada momen Februari. Bukan untuk mengkultuskan Kiai Dahlan, bukan. Soal kultus-kultusan sudah selesai di Muhammadiyah. Ini hanya soal merawat ingatan pada kebaikan, pada legacy pendiri Muhammadiyah.

Pada 15 Februari 1923, Kiai Dahlan meresmikan klinik kesehatan Muhammadiyah yang sekarang menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah. Sebulan sebelumnya, Kiai Dahlan meresmikan Rumah Singgah untuk orang miskin. Dan, 23 Februari 1923 Kiai Dahlan wafat. Jadi, ada dua hal besar yang ditinggalkan Kiai Dahlan pada garis akhir hayat beliau. Artinya, menjelang kewafatannya saja, Kiai Dahlan masih menyisakan solidaritas untuk kemanusiaan sebagai ekspresi penghayatan beliau pada Islam yang rahmatan lil alamin.

Sungguh beruntung Kiai Dahlan yang telah menerjemahkan QS. 3. 104: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” dalam wajah Persyarikatan Muhammadiyah dengan ribuan amal usaha yang dinikmati manfaatnya oleh umat bangsa sampai hari ini.

Sungguh singkat usia Kiai Dahlan yang hanya terhitung 55 tahun saja—1868-1923. Akan tetapi, legacy Kiai Dahlan sudah dirasakan kehadirannya sepanjang 113 tahun dalam hitungan Miladiyah.

Allah ya Rabb, Engkaulah sebaik-baik pemberi balasan. Hanya kepada Engkaulah kami mohonkan balasan terbaik untuk Kiai Dahlan.

Makasih Mas Izzul. Moga pula berkenan membaca “Matahari Terbit di Kampung Kami” dan “Sutrisno Muslimin”.

Ciputat, 17 Februari 2025.
Menjelang pulang dari mencari sesuap nasi.

Kesiangan



Jadi, begini ya. Foto milik Kamila Insan Cita.

Memang, akan datang masanya shalat menjadi tersisih, benar-benar sepi dari kehidupan seseorang. Apa sebabnya? Karena Subuh kesiangan, Zuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib kecapekan, dan Isya ketiduran.

RAJAB sudah 2 hari berlalu. Hari ini hari kedua di bulan Sya’ban. 28 hari ke depan sudah masuk Ramadhan. Subhanallah, cepat sekali rasanya waktu berputar.

Menutup Rajab di awal Sya’ban, Yayasan Kamila Insan Cita ngajakin sharing, mengulas makna Isra’ Mi’raj. Tema yang disodorkan berat sebenarnya,“Perbaiki Shalatmu, Allah Akan Perbaiki Hidupmu“. Rasanya gimana gitu. Namun, oleh keramahan dan serius keluarga besar Kamila menyimak materi sharing, sekat psikologis “ngeri” yang saya bawa dari rumah lepas begitu saja. Sepanjang materi sharing, karakter good listener audiens tampak kasat mata. Kelas terdidik memang beda saat hadir di forum stadium general seperti pengajian umum seperti ini.

Rajab itu identik dengan Isra’ Mi’raj, peristiwa agung, di mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima perintah shalat lima waktu yang dibawa dari sidratul muntaha. Meskipun terjadi ikhtilaf di kalangan ulama kapan persis terjadi peristiwa ini, mayoritas ulama mengira, peristiwa agung ini berlangsung pada 27 Rajab, seperti pendapat yang dikemukakan Al-Allamah Al-Manshur Fauri.

Ada kalangan yang menyatakan, Isra Mi'raj berlangsung pada tahun pertama, kelima, dan kesepuluh kenabian. Pendapat pada tahun pertama kenabian dikemukakan oleh Imam Ath-Thabari, pendapat pada tahun kelima dikemukakan Imam An-Nawawi dan Imam Al-Qurthubi, dan pendapat pada tahun kesepuluh dikemukakan oleh Al-Allamah Al-Manshur Fauri.

Ibnu Saad dalam "Thabaqat Al-Kubra" tampaknya cenderung kepada pendapat bahwa Isra’ Mi’raj itu terjadi 18 bulan sebelum hijrah Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah. Pendapat lebih logis berdasar analisis yang disepakati ulama bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj berlangsung setelah Ibunda Khadijah radhiyallahu ‘anha yang wafat pada tahun kesepuluh kenabian dan sebelum shalat lima waktu disyariatkan.

Memang, agak sulit memastikan persis kapan terjadinya Isra dan Mi’raj sebagaimana yang dikemukakan Al-Mubarakfuri di dalam sirahnya “Ar-Rahiq Al-Makhtum”. Al-Mubarakfuri hanya menyatakan cenderung kepada pendapat yang terakhir, yaitu Isra Mi’raj itu terjadi hanya terpaut setahun saja sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah.|

Isra dan Mi’raj sudah berlalu hampir 15 abad silam. Memikirkan kapan persis terjadinya, bukan perkara mendasar untuk diselisik sampai berpeluh-peluh. Cukuplah mengikuti sikap sahabat mulia Abu Bakar radhiyallahu anhu dalam riwayat Imam al-Hakim saat menjawab pertanyaan dari musyrikin Makkah yang bermaksud mengejek saat itu. "Apakah engkau membenarkannya bahwasanya dia pergi malam tadi ke Baitul Maqdis dan sudah pulang sebelum subuh?" Abu Bakar menjawab: "Ya, sungguh aku membenarkannya (bahkan) yang lebih jauh dari itu. Aku membenarkannya terhadap berita langit (yang datang) di waktu pagi maupun sore." Selesai, habis perkara.

Sikap Abu Bakar yang membenarkan peristiwa Isra dan Mi'raj dengan pendekatan imani inilah yang patut diteladani. Sebab, sikap beliau ini pula, Abu Bakar digelari sebagai “as-Siddiq”. Maka, tidak penting mempersoalkan kapan waktunya Isra Mi’raj di tengah ikhtilaf yang tidak berkesudahan itu, tapi lebih penting memperhatikan pesan tentang shalat: “ḫâfidhû ‘alash-shalawâti wash-shalâtil-wusthâ wa qûmû lillâhi qânitîn”. Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk. Demikian bunyi pesan QS. Al-Baqarah [2] : 238. Jadi, pesan mendasar dari peristiwa agung ini adalah menjaga mati-matian shalat lima waktu, bukan pada polemik yang tidak berujung sampai "mati".

Jangan juga begitu bersemangat memperingati Isra dan Mi’raj, mendirikan shalatnya awang-awangan. Rajin shalatnya saat kepepet, saat jatuh susah karena merasa butuh Allah. Atau, shalatnya kenceng saat duit di dompet sedang penuh sesak, saat merasa Allah begitu sayang. Jadi, shalat ditegakkan seingatnya, seingat susah atau seingat senang. Selebihnya lebih banyak tidak ingatnya. Dalam “bahasa Arab” ajam, shalat seperti ini disebut dengan istilah “blentang-blentong”.|


Bersama Ketua Yayasan Kamila Insan Cita, Drs. Achmad Djubaedi, M.BA. dan Kepala-kepala Sekolah di lingkungan Yayasan. Foto milik Kamila Insan Cita.

Dari sisi duniawi, shalat berefek positif pada kejiwaan. Maka, semakin kompleks kehidupan, semakin orang membutuhkan shalat. Perbaikan kejiwaan misalnya, shalat berefek memperkecil ketergantungan jiwa pada materialisme. Selain itu, jiwa manusia yang tidak terhubung dengan Allah akan merasakan kesepian dan kehampaan. Kehampaan sering mendorong jiwa putus asa, gelisah, dan semakin menjauh dari Allah. Namun, dengan shalat yang menghilangkan kesepian, ketakutan, kesedihan, dan kehampaan jiwa, hidup menjadi sehat (tahsin al-nafsiyyah).

Efek tahsin al-Nafsiyah menjadikan jiwa optimis. Jiwa optimis mempermudah urusan sebagai prasyarat mendapatkan kenyamanan, rahmat, dan peluang meraih rezeki. “Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu sempit karena apa yang mereka katakan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah di antara orang-orang yang bersujud)". [Al-Hijr: 97-98]. Demikian jaminan Allah kepada Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, kepada umatnya yang beriman dan giat bersujud.|

Bersama civitas akademika Sekolah Islam Kamila Insan Cita. Foto milik Kamila Insan Cita.

Akan datang masanya, shalat akan ditinggalkan, dilalaikan dari kehidupan umat. QS. Al-Maun [107]: 3-4 sudah mengabarkan hal itu 15 abad yang lalu. Bersyukurlah, di sini shalat masih ditegakkan. Masjid dan musala di kampung masih ramai setiap Maghrib dan Isya, agak sepi di kala Subuh, dan sedikit lengang pada Zuhur dan Asar.

Bayangkan bila Anda tinggal di suatu kota yang damai selama bertahun-tahun, namun tidak ada seorang muslim pun di sana. Tidak ada masjid, tidak terdengar suara azan dan iqamah dikumandangkan, dan tidak ada suara orang takbiratul ihram yang ditutup salam. Jiwa Anda yang taat tetap mengumandangkan azan dan iqamah dengan lirih. Anda tetap berdiri, takbiratul ihram, dan mengucap salam ke kanan dan ke kiri di rumah yang sepi, menyendiri saja. Tiba-tiba, ada sekelompok orang dari luar datang berkunjung, lalu nekat mengumandangkan Azan di tengah kota saat tiba waktu shalat. Banyak orang tercengang bertanya-tanya, kalimat apa itu. Apa yang Anda rasakan? Pasti ada sesuatu yang memberontak dari jiwa Anda sebab rindu yang terpuaskan.

Bayangkanlah sebaliknya. Dahulu kota tempat tinggal Anda yang damai itu ramai dengan kumandang azan dan iqamah. Berduyun-duyun saban waktu shalat orang berangkat ke masjid-masjid mengenakan sarung, koko, dan kopiah. Perempuan-perempuannya menjadi gelombang putih oleh balutan mukena penutup tubuh. Tiba-tiba semuanya lenyap, azan dan iqamah menghilang, masjid-masjid menjadi sepi dan lengang. Yang tersisa hanya kenangan oleh masjid yang sudah berubah jadi bangunan tua, menjadi rumah hantu, dan tempat singgah kelelawar. Pastilah jiwa Anda akan sedih merasa kehilangan yang sangat.

Jangan cemas. Entah kapan keadaan itu terjadi, sunnatullah akan berlaku. Kata Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, “Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu per satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah al-hukm (kekuasaan/pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.” Demikian hadits riwayat Imam Al-Hakim.

Maafkan saya, dan jangan tersinggung. Memang, akan datang masanya shalat menjadi tersisih, benar-benar sepi dari kehidupan seseorang. Sebagai tiangnya agama ia sudah runtuh. Apa sebabnya? Karena Subuh kesiangan, Zuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib kecapekan, dan Isya ketiduran. Jadilah sepanjang hayat tidak pernah menginjakan lantai masjid. Sekalinya masuk ke masjid bukan untuk shalat, melainkan untuk dishalatkan. Lalu, jiwa menyesal tanpa kesudahan.

Jadi, memang akan datang masa di mana orang tidak lagi memedulikan shalat. Ia akan jadi barang asing, seperti asingnya kain penutup aurat bagi sebagian kecil muslimah yang suka membuka auratnya untuk dilihat kepada sembarang orang di zaman ini. Paha ayam saja masih dibandrol meskipun hanya 5000 perak sepotong. Tapi, banyak paha perempuan muslimah sengaja dipamerkan di mana saja Anda sudi mau melihat sampai mata Ande pedes. Anda membayar untuk “menikmati” pahanya perempuan itu? Tidak. Gratis!

Begitulah. Rasanya, tema “Perbaiki Shalatmu, Allah Akan Perbaiki Hidupmu“ selalu relevan dibincangkan setiap bulan Rajab meskipun ia sudah berlalu. Dan, membincangkan Isra’ Mi'raj di awal Sya’ban pada Sabtu pagi ini amat berkesan. Semoga, forum ini menjadi berkah untuk seluruh civitas akademika Sekolah Islam Kamila Insan Cita. Berkah karena merawat tiangnya agama tetap tegak, menjadikan shalat sebagai substansi yang mewarnai proses pembelajaran di kelas-kelas mereka semarak sepanjang waktu. Semoga.

Depok, menjelang Maghrib, 01 Februari 2025.