Ngaji “Sepilis” di Cimanggis Tapos





Pluralisme Agama. Ilustrasi milik: https://annursungaiduri.id/pluralisme-agama-sejarah-dan-konsep-2/

Kelas menjadi hening. Untuk beberapa saat saya juga tercengang. Ketercengangan saya baru buyar saat mendengar pintu dibanting seorang mahasiswa yang meninggalkan kelas sambil berteriak: “Dosen kafir!

Topik Berat

Pagi ini, Ahad, 29 Desember 2024 membawakan topik: "Membentengi Akidah dari Paham Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme)”. Dua minggu sebelumnya, seorang anggota PCA menghubungi, menawarkan, dan meminta saya membawakan topik ini pada Pengajian Cabang Aisyiyah dan Muhammadiyah Cimanggis-Tapos.

Tentu, agak terkejut juga diminta ngomongin topik “Sepilis” ini. Ini topik berat, njlimet, dan agak-agak sensitif di sebagian kecil kalangan Muhammadiyah—boleh jadi, karena dalam skala nasional ada beberapa sosok penting dari Muhammadiyah yang sangat dihormati ditengarai menjadi penumpang dari gerbong pengusung paham ini.

Sepengetahuan saya, “Sepilis” bukan pula topik populer pada pengajian-pengajian Muhammadiyah di sini. Umumnya, pengajian di lingkungan Muhammadiyah Depok lebih banyak membahas penguatan ideologi Muhammadiyah—merujuk pada MKCH, HPT, PHIWM, Tafsir At Tanwir—atau tema-tema kajian lepas yang dihubungan dengan nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan. Maka, saat diharap bisa membahas topik ini, agak bergidik juga untuk menyanggupi.

Dosen dari Mc. Gill

Saya mengenal model pemikiran “Sepilis” dari dua kutub yang berseberangan. Pertama, saat menjadi mahasiswa UIN Jakarta di mana kesempatan sangat terbuka bagi saya bergaul dengan pemikiran ini melalui beberapa kegiatan, dialog, stadium general, buku, jurnal, dan menyerap materi kuliah di kelas. Tentu, pengalaman yang terakhir menjadi pengalaman yang paling membekas, bahkan menyadarkan saya pada kekeliruan paham ini di belakang hari.

Adalah seorang dosen muda yang baru lulus dari McGill University mengisi kelas Sejarah Aliran Modern Dalam Islam. Menikmati mata kuliah ini menjadi puncak kekaguman saya pada pemikiran berbasis sekularisme, pluralisme, dan liberalisme saat itu. Bukan saja karena dosennya yang handsome, muda, dan cerdas, melainkan juga kepiawaiannya menjelaskan topik kuliah dengan sangat menarik, logis, dan menantang.

Asli, mata kuliah ini dan dosennya keren. Saya seperti anak kecil yang kegirangan karena dibelikan mainan baru tiap kali menyimak sajian tentang jilbab sebagai budaya Arab belaka, soal natal dan dibolehkannya mengucapkan selamat natal, kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk tidak beragama, HAM, gender equality, rekonstruksi tafsir klasik dengan pendekatan hermeneutika, tema-tema Islam progresif, dan kebebasan berpikir. “Inilah yang saya cari”, begitu kata hati saat itu. Akan tetapi, dari mulut dosen lulusan McGill University ini pula saya mulai mencurigai ada yang tidak beres pada pemikiran “Sepilis” ini.

Malaikat dan Mukjizat

Satu kali—saya lupa entah itu pertemuan kuliah yang ke berapa—dosen ini membuka wacana diskusi soal-soal keimanan. “Anda percaya Malaikat?” begitu dosen ini bertanya memulai diskusi. Jawaban dan argumentasi normatif dari mahasiswa bersusulan bahwa malaikat itu ada dan merupakan salah satu pilar dari rukun iman. Tentu, saya termasuk yang menjawab dengan jawaban normatif itu dan menegaskan percaya malaikat merupakan perkara pokok keimanan.

Dan, alangkah saya terkejut saat dosen ini merespons, “Tidak ada itu malaikat. Malaikat itu mitos belaka. Mana ada malaikat peniup sangkakala. Emangnya Kenny G!” ujar dosen ini dengan sangat meyakinkan.

Kelas menjadi hening. Untuk beberapa saat saya juga tercengang. Ketercengangan saya baru buyar saat mendengar pintu dibanting seorang mahasiswa yang meninggalkan kelas sambil berteriak: “Dosen kafir!”

Kecurigaan saya semakin kuat saat diskusi seputar keharusan merasionalkan dogma yang disebut dosen ini sebagai ajaran yang mematikan nalar. Katanya, Islam adalah agama rasional, ajarannya masuk akal. Katanya lagi, umat Islam sudah terlalu lama terjebak pada dogma berupa mitos-mitos yang terus dihidupkan dan menggiring umat Islam lebih percaya pada hal-hal ajaib yang tidak jelas. Percaya dan meyakini kebenaran pada mitos-mitos inilah yang bikin umat Islam tidak maju-maju. Maka, segala hal dari ajaran Islam yang tidak rasional—termasuk perkara mukjizat yang memang di luar nalar—harus ditafsir ulang sebagaimana Barat menafsir ulang dogma Kristen. Tafsir ulang atas dogma Kristen inilah yang kemudian mendorong kemajuan dan peradaban mereka.

Disajikanlah contoh kisah Nabi Ibrahim as. yang meminta penegasan bagaimana Allah kuasa menghidupkan dan mematikan—kisah ini dimuat dalam surat Al-Baqarah [2]: 260. Allah kemudian mempertanyakan sikap Ibrahim as. ini apakah belum yakin bahwa Allah Maha menghidupkan dan mematikan. "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)," ujar Ibrahim.

"Kalau demikian tujuanmu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. Letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera," firman Allah menjawab permintaan Ibrahim as.

Nabi Ibrahim as. pun segera melaksanakan titah itu. Beliau mencincang-cincang empat ekor burung dan menempatkannya di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian dagingnya. Saat Ibrahim as. memanggil bagian-bagian daging cacahan itu, ia datang merespons panggilan Ibrahim as. dalam bentuk sempurna burung sebab Allah telah menghidupkannya kembali seperti semula.

“Pemahaman yang benar atas ayat itu bukan “cincanglah” burung itu, tapi “latihlah” burung itu agar jinak. Nanti, setelah burung itu dilatih dan jinak, kapan saja dia dipanggil burung itu akan datang menghampiri.” Begitu sang dosen berkesimpulan menguatkan tafsir hermeneutika-nya.

Exactly right! Begitu juga kata hati saya. Itu rasional dan logis. Akan tetapi, bukan itu poin tafsirannya. Poinnya adalah soal kuasa menghidupkan dan mematikan, bukan perkara menjinakkan dan memanfaatkan kejinakan burung itu menurut saat ia dipanggil.

Maka, kemerdekaan berpikir saya pun berkata, “Kalau cuma sekadar melatih burung supaya jinak dan bisa dipanggil pulang, jangan kata Allah, anak kampung yang tidak sekolah juga bisa melakukannya.” Sedangkan bagi Allah, menghidupkan dan mematikan bukan perkara yang tidak masuk akal, bahkan ia sangat mudah dan sangat rasional namun begitu ajaib dan menakjubkan bagi manusia. Bertambahlah keyakinan dan iman manusia atas kuasa Allah yang Mahamenghidupkan dan mematikan dari kasus ini.

Dosen ini berpindah pada mukjizat Mabi Musa as. Menurutnya, Nabi Musa as. dan pengikutnya bukan menyeberangi Laut Merah saat dikejar-kejar Fir'aun dan bala tentaranya, melainkan sedang berlari dengan melintasi rawa-rawa kering. Pada bagian-bagian dari rawa yang kering itulah Musa as. dan pengikutnya melompat dari satu gundukan ke gundukan yang lain di dasar rawa dan selamat sampai ke tepian. 

Ajib! 

Sayangnya, dosen ini tidak menjelaskan bagaimana nasib Fir'aun sesudah itu. Sungguh, ini pemaknaan baru atas mukjizat yang dipaksa harus masuk akal. Namun, hasilnya malah tidak rasional. Kesimpulan saya, pemikiran liberal sedang mendegradasi autentisitas mukjizat yang dikisahkan Al-Qur'an dan berusaha membuangnya dari keyakinan umat Islam.  

Bersikap Adil dan Kritis Pada “Sepilis”

Pengalaman bergumul dengan pemikiran “Sepilis” yang kedua saya dapati saat rutin mengikuti kajian di INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) di Kalibata. Bertemulah saya dengan pemikiran beberapa akademisi yang kritis pada “Sepilis” semisal Hamid Fahmi Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Anis Malik Thoha, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Henri Salahuddin, juga Dinar Dewi Kania dan beberapa cendekiawan muda yang lain termasuk Fahmi Salim. Umumnya, mereka adalah akademisi murid-murid langsung Syed Muhammad Naquib al-Attas di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Kuala Lumpur Malaysia yang menguasai Sejarah Peradaban Islam dan expert pada disiplin ilmu-ilmu syariah, menguasai diskursus liberalisme dan sekularisme, mendalami pemikiran dan peradaban Barat Kristen, dan penguasaan atas Islamic Worldview yang sangat matang.

Selain mengikuti kajian, diskusi, dan acara-acara rutin INSISTS, membaca jurnal dan buku-buku tulisan ber-genre counter-liberalism sangat membantu saya memahami “Sepilis” secara lebih adil dan akademis. Hingga sampailah kesadaran dan kesimpulan bahwa memang paham ini bermasalah. Terlebih saat mengikuti gagasan-gagasan liberal kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mendestruksi syariat secara terang-terangan—silakan akses tautan https://www.canva.com/design/DAGZ4bQbl4M/rzv6P0h-DUHzOfhtf1vxMQ/edit?utm_content=DAGZ4bQbl4M&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton untuk memberi sedikit gambaran gagasan-gagasan pengusung “Sepilis”.

Kiprah JIL yang terang-terangan menyebarkan pemikiran—meminjam kesimpulan Adian Husaini— yang: (1) menghancurkan aqidah Islam dengan menyebarkan paham pluralisme agama, (2) meruntuhkan bangunan syariat Islam dengan program “kontekstualisasi ijtihad” dan penggunaan metodologi interpretasi hermeneutika terhadap al-Qur’an, (3) membongkar konsep al-Qur’an sebagai wahyu Allah, lafdhan wa ma’nan minallah, yang suci dari kesalahan, (4) membongkar konsep-konsep dasar Islam seperti makna iman, kufur, murtad, Islam dan sebagainya, (5) meruntuhkan otoritas ulama dalam pemahaman Islam dan (6) mendukung kerusakan akhlak, dengan berpegang pada paham liberalisme dan relativisme moral, cukuplah sudah bagi saya untuk say no to liberalisme.

Pengajian Anti Mainstream
 
Ngaji Sepilis di PCA dan PCM Cimanggis Tapos, Ahad 29 Desember 2024 di musala Nururrohman. Foto kiriman Annisa Nur Balqis.

Anggota PCA Cimanggis Tapos pada Pengajian bulanan, Ahad 29 Desember 2024 di musala Nururrohman. Foto kiriman Annisa Nur Balqis.

Saya harus berkomentar bagaimana saat PCA dan PCM Cimanggis Tapos tertarik dan menyimak topik ini pada pengajian tadi pagi, speechlessSpeechless, mereka warga Persyarikatan di Depok yang menaruh minat pada topik berat dan njlimet ini. 

Saya sendiri menyebut “Sepilis” sebagai “Khurafat Milenial” dari Barat Kristen. Daya rusak khurafat jenis ini lebih dahsyat dari khurafat dan tahayul jahiliyah yang diberantas Kiai Dahlan pada masa-masa awal Muhammadiyah digerakkan. Menyatakan dan mendukung bahwa LGBT itu hal yang fitrah, kodrati, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang disebarkan kelompok “Sepilis” misalnya, itu lebih menyesatkan dan daya rusaknya lebih dahsyat dari sekadar meyakini khurafat “bila mimpi gigi tanggal akan ada kerabat yang meninggal”.

Bukankah demikian?

Lepas dari itu, beneran, pengajian pagi tadi itu pengajian anti mainstream.

Depok, Ahad, 29 Desember 2024.
Catatan di ujung senja dari kader biasa.

Leadership dan Daya Pikat Seorang Leader

Sudirman Said, Hamdan Zoelva, dan Sri Nurhidayah moderator pada diskusi panel bertajuk: Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity. Kamis, 19 Desember 2024 di Aula Ki Hajar Dewantara Sekolah Bakti Mulya 400. Foto milik Chairul Latif. 

Soal sertifikasi guru, sebenarnya itu tanggung jawab negara sebab ia adalah amanat undang-undang. Setiap guru dengan kualifikasi dan syarat terpenuhi berhak mendapatkannya. Masalahnya, Pak Tris ini selalu menyimpan rasa “cemburu” bila tidak turun tangan mengambil peran mengisi kekosongan untuk guru-guru di bawah binaannya melalui sertifikasi internal.

Pada tulisan yang lalu —Pak Tris di Mataku— kesanku pada Sutrisno Muslimin belum beranjak dari dominasi masa kecil, satu-satunya referensiku yang terawat berbilang tahun. Biografinya —Sutrisno Muslimin Sang Inovator— yang merekam tiga daya Pak Tris sebagai sosok guru dan leader tak jua mengalihkan aku pada masa kecil itu. Sekarang, kesan itu sudah bergeser, benar-benar bergeser.

Kemarin, Kamis 19 Desember 2024 sekolah BM 400 menggelar Kick Off Meeting Sekolah Bakti Mulya 400 Tahun 2025 dan Peluncuran School Leadership Program. Ada diskusi panel bertajuk Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity” sebagai core dari acara ini. Sudirman Said dan Hamdan Zoelva dihadirkan untuk bicara leadership. Bolehlah, bagiku diajak menyerap energi leadership dari kedua tokoh ini aku sebut sebagai keberuntungan yang menyenangkan. Atas undangan Pak Tris, aku hadir membaur, nyempil di antara guru-guru Bakti Mulya 400 menikmati paparan dua narasumber berkelas ini.

Aku dan Mbak Anisa "nyempil" di antara para guru BM 400 pada diskusi panel bertajuk: Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity. Kamis, 19 Desember 2024 di Aula Ki Hajar Dewantara Sekolah Bakti Mulya 400. Foto milik Chairul Latif. 

Mbak Anisa, Pak Irwan Kelana, dan Rahma—Tim yang turut menangani Sutrisno Muslimin Sang Inovator— juga hadir. Mas Irul tak usahlah aku sebut hadir sebab dia bagian dari acara ini. Mbak Anisa duduk di sebelahku, Pak Irwan di depan. Kabar angin dari Mas Irul menyebut, Rahma juga hadir duduk di belakang. Ah, mungkin Rahma lagi marah padaku dan enggan mendekat. Bangku yang disediakan di sebelah Mbak Anisa untuknya jadi kosong tak berpenghuni.

Mbak Anisa lebih familiar di sini. Banyak kolega yang dia kenal di BM 400. ‘Gak kebayang bila aku tanpa dia kemarin. Blash! Pastilah aku laksana penyendiri di tengah keramaian. Memang, ada juga wajah-wajah petinggi BM 400 yang aku simpan gambarnya di benak yang mengenalku sedikit saat peluncuran Sutrisno Muslimin Sang Inovator setahun yang lalu. Tapi, itu bukan alasan dan tidak akan menutup kesepianku bila tidak ada Mbak Anisa.

Mencerahkan

Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity” disajikan dua narasumber dengan santai bernas. Hamdan Zoelva, praktisi hukum dan mantan Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi memberikan wawasan hukum dan kaitannya dengan leadership.

Beliau yang juga Ketua Umum Sarekat Islam (SI) sempat sedikit me-review SI dengan apik dan kontekstual. Disebutnya SI itu rumah leadership Indonesia. Dari rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang sempit lahir tokoh-tokoh besar. Rupanya, Tjokroaminoto pendiri SI adalah guru langsung Founding Fathers dan inspirator bagi tokoh-tokoh penggagas pendidikan tanah air yang melegenda seperti KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Setahuku, SI dan KH Ahmad Dahlan memang punya hubungan khusus. Pada “Statuten Perhimpoenan Centraal Sarekat Islam” yang dibuat di Surabaya pada 26 Juli 1915, ada nama Ahmad Dahlan. Pada susunan pengurus, tertulis bahwa Ahmad Dahlan sebagai penasihat. Nama dia dilengkapi dengan profesinya sebagai guru agama. Nanti, pada 1913 —sebagaimana laporan Engelenberg, A.P.E. Korver— Ahmad Dahlan sudah menjadi komisaris dalam kepengurusan Centraal Sarekat Islam.

Di sini, aku menggulung panjang benar merah sejarah. Sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam, poin ini terasa seperti sup daging yang lezat dan segar kuahnya. Aku tidak tahu, apakah audiens pada forum ini seperti citarasaku menikmati sajian Hamdan Zoelva.

Dalam konteks kekinian, Hamdan Zoelva sampai pada kesimpulan bahwa nilai-nilai luhur leadership bangsa yang diwariskan para pendahulu seperti Tjokroaminoto sudah dirusak oleh kepentingan politik pragmatis. Ah, ini poin sangat menarik. Aku serius sekali menyimak.

Boleh jadi, watak Agus Salim, Hatta, Kartosuwiryo, Tan Malaka, Soekarno, dan lain-lain tokoh yang pernah berguru pada Tjokroaminoto seakan tidak bernilai lagi hari ini bagi para petualang politik. Politik untuk kemakmuran rakyat yang diperjuangkan para pendiri bangsa di atas telah dibelokkan skenarionya oleh mereka hanya untuk menambah pundi-pundi kekayaan dan melanggengkan kekuasaan segelintir orang.

Hamdan Zoelva menyebut, ada banyak pemangku kepentingan sudah kehilangan keadaban bernegara. Dalam bahasaku —boleh jadi yang dimaksud Hamdan Zoelva— moral etik tidak lagi menjadi cermin untuk mengontrol kekuasaan politik. Moral etik sudah dibuang, diganti tipu daya untuk mengatur strategi mengawetkan uang dan kekuasaan.

Paparan Hamdan Zoelva ini satu napas dengan temuan penting Syed Muhammad Naquib al-Attas mengenai loss of adab (keruntuhan atau hilangnya adab), kebingungan (kerancuan) ilmu (confusion of knowledge) dan konsep kepemimpinan. al-Attas menyebut problem ini sebagai “dilema” umat Islam dan bangsa kita hari ini. Dampaknya mengerikan. Dari loss of adab lahir kebingungan dan kerancuan ilmu; dari kerancuan ilmu dan loss of adab lahirlah para pemimpin palsu, yaitu para pemimpin yang tidak memiliki identitas dan integritas.

Sudriman Said MBA dan Dr. Hamdan Zoelva, SH. MA, narasumber diskusi panel bertajuk: Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity. Kamis, 19 Desember 2024 di Aula Ki Hajar Dewantara Sekolah Bakti Mulya 400. Foto milik Chairul Latif. 

Bahasan leadership, Sudirman Said menyampaikannya secara sistematis. Bahasanya yang mengalir menjadikan penjelasan topik ini enak disimak poin per poin. Terasa seperti sedang mendengarkan seorang profesor idola mengajar di kelas kuliah. Aku benar-benar menikmatinya, namun tidak ingin mengulasnya di sini. Cukuplah menelaah handout Pak Dirman yang dibagikan Mas Irul atau menyimak rekaman videonya untuk menyerap penjelasan Pak Dirman biar tetap dapat sisi ilmiah dan autentisitasnya.

Tiga Daya

Dr. H. Sutrisno Muslimin, M.Si. Ketua Pelaksana Harian Sekolah Bakti Mulya 400 saat membuka diskusi panel bertajuk: Character and Leadership Education: “Preparing Future Leaders with Values and Integrity. Kamis, 19 Desember 2024 di Aula Ki Hajar Dewantara Sekolah Bakti Mulya 400. Foto milik Chairul Latif. 

Sekarang aku kembali kepada Pak Tris. Di benakku, bukan lagi soal pengalaman autentik masa kecil kami mengejar layangan putus yang selalu kukenang. Itu sudah selesai. Sorry, sudah bergeser.

Memang, dia tidak pernah lelah menghadirkan inovasi. Rupanya, sejak Sutrisno Muslimin Sang Inovator diluncurkan, inovasinya masih terus dia gulirkan. Menggelinding dari waktu ke waktu. Baginya, setiap saat harus ada inovasi baru sebagai legacy bahwa dia pernah ada. Energinya untuk ini seperti tidak habis-habis. Makan dan minum apa orang ini.

Inovasi yang paling kasat mata pada acara kemarin tentu School Leadership Program. Lagi-lagi Pak Tris menunjukkan bagaimana cara dia bekerja dan berpikir. Langkahnya selalu dilandasi filosofi yang kuat. Menghadirkan Sudirman Said dan Hamdan Zoelva bicara soal kepemimpinan, tentu upaya Pak Tris memberikan landasan filosofis School Leadership Program itu.

Program sertifikasi internal guru BM 400, ini juga mengejutkan —setidaknya buatku sebagai outsider teacher. Soal sertifikasi guru, sebenarnya itu tanggung jawab negara sebab ia adalah amanat undang-undang. Setiap guru dengan kualifikasi dan syarat terpenuhi berhak mendapatkannya. Masalahnya, Pak Tris ini selalu menyimpan rasa “cemburu” bila tidak turun tangan mengambil peran mengisi kekosongan untuk guru-guru di bawah binaannya melalui sertifikasi internal. Seakan-akan, Pak Tris ingin bersaing dengan negara untuk urusan pendidikan dan kesejahtaeraan guru. Boleh jadi, karena Pak Tris adalah leader yang berangkat dari dapur seorang guru, paham betul asam garamnya kehidupan mereka. 

Teringatlah aku pada pelajaran menulis yang aku dapat dari Bambang Trim. Aku ingin memakai analogi Bambang Trim soal buku untuk memotret Pak Tris. Pak Tris itu leader seperti buku bagus. Buku bagus itu selalu menyimpan tiga daya: daya pikat, daya ubah, dan daya gugah.

Daya pikat Pak Tris ada pada saat dia berorasi. Kemarin, aku tercengang. Benarlah, aku seperti terhipnotis, seperti khalayak di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terkagum-kagum oleh khutbahnya dua orang laki-laki yang diceritakan Ibnu Umar. Khutbah dua laki-laki ini amat memikat, sehingga Rasulullah berkata: “Inna ba’dho al-bayaani sihrun”, sesungguhnya sebagian dari bayan (penjelasan) itu adalah sihir.

Daya pikat Pak Tris tidak berhenti pada keterpukauan orang pada orasinya saja, bukan pada wacana yang dia lempar semata. Namun, bagaimana orasi itu diterjemahkan menjadi program yang dinikmati buahnya oleh komunitas di bawah otoritasnya bekerja. Begitulah, daya pikat ini melekat pada diri Pak Tris meskipun boleh jadi dia menampiknya.

Daya kedua dan ketiga, yakni daya ubah dan daya gugah. Aku rasa, orang-orang dekat Pak Tris dan orang-orang yang bekerja di bawah kepemimpinannya langsung lebih peka dariku soal ini. Tentu, Mbak Anisa, Rahma, atau Mas Irul termasuk orang yang secara atraktif menangkap dua daya ini secara terus menerus sepanjang mereka berinteraksi. Atau Pak Irwan Kelana yang kerap mengulas berita soal Pak Tris di media massa. Biar mereka saja lah yang bertutur.

Selamat, Pak Tris.

Selamat berbahagia guru-guru BM 400. Ini catatan dari pengalaman berharga di Hari Bela Negara, 19 Desember 2024 di forum Kick Off Meeting kemarin. Mbak Dian, terima kasih undangannya. Mas Irul, terima kasih bukunya.

Depok, 20 Desember 2024.
Jumat pagi yang selalu berkah.

Kecerdasan Tauhid

Kepala Sekolah menyampaikan pengantar pada acara pembukaan Tes Pemetaan PPDB. Didampingi anggota PRM dan Komite Sekolah. Poto koleksi penulis.


Kepala sekolahnya bukan malaikat, guru-gurunya juga bukan peri yang suka menolong, tenaga penunjang kependidikannya pun bukan pangeran tampan dan dayang-dayang jelita seperti karakter kisah di dunia dongeng. Ini juga, gedungnya pun tidak menyerupai eloknya Fairy Garden atau istana kerajaan di dunia peri. Ah, entahlah.

Tahun Ajaran Baru

Menjelang Tahun Ajaran Baru, sekolah sangat sibuk menjaring calon peserta didik. TIM PPDB dibentuk. Promosi, open house, beasiswa, program unggulan, atau tawaran biaya rendah tapi fasilitas keren banyak ditawarkan. Ya, tentu saja agar dapat murid.

Banyak sekolah yang berhasil. Peserta didik baru melebihi kuota. Ada sekolah yang bersyukur masih dapat mempertahankan kuota tahun lalu. Ada sekolah yang mulai gelisah sebab kuota tidak terpenuhi. Ada sekolah yang terpuruk karena hanya dapat setengah kuota saja. Ada pula sekolah yang bercucuran air mata karena tidak mendapat murid sama sekali.

Ada banyak faktor keberhasilan atau kegagalan sekolah mendapat peserta didik baru. Berbagai analisis untuk membaca peluang dan gejala-gejalanya dilakukan sekolah. Kadang, ia begitu rumit sehingga sulit ditemukan formula untuk mengatasinya. Namun, dengan kesungguhan dan strategi cerdik problem itu bisa dipecahkan.

Kadang problem kuota begitu sederhana, hanya saja diabaikan karena dianggap bukan faktor yang mengancam. Akan tetapi, faktor sederhana yang diabaikan itu menjadi begitu mematikan di belakang hari. Puluhan kelas kosong melompong karena tidak dapat murid. Kelas-kelas yang beberapa tahun ke belakang selalu ramai, tiba-tiba senyap, menjadi seperti kontrakan yang ditinggalkan penyewanya. Ini menyakitkan.

Maka bagi sebagian kalangan di sekolah, menjelang tahun ajaran baru di akhir semester ganjil, ia bisa menjadi waktu menikmati liburan, atau jantung terasa copot karena detaknya mengikuti ritme grafik naik atau turun kuota PPDB. 

Kecintaan Alumni

Tidak sedikit SDM dikerahkan, biaya juga banyak dianggarkan untuk mengelola PPDB. Di beberapa sekolah masih pula mengalokasikan biaya cetak banner, spanduk, dan brosur untuk menarik minat mata masyarakat. Hanya saja banner, spanduk, dan brosur kadang kurang efektif memengaruhi masyarakat menjatuhkan pilihan.

Ada promosi rendah biaya. Boleh jadi, malah tidak ada sesen pun biaya yang dikeluarkan sekolah untuk mendapatkan murid dengan promosi ini. Apa itu? Mengikat hati alumni.

Kecintaan alumni pada almamater itu berkah. Ia bisa menjadi jalan promosi alami paling murah, tapi digdaya menjaring murid. Sekolah cukup menyediakan hati untuk merawat mereka. Ikat mereka agar terus mencintai almamater. Bila cinta sudah melekat, maka peluang sekolah mendapat murid baru secara turun temurun cukup terbuka.

Jalan mengikat cinta alumni memang panjang. Namun, asalkan pola pendidikan sekolah memberi kesan, pola interaksi dan komunikasi warga sekolah pun memberi kesan cinta bisa tumbuh bak cendawan di musim hujan. Bila cinta sudah melekat, cinta itu akan menarik mereka ingin kembali lagi ke sekolah dengan memasukkan adik, saudara, keponakan, sepupu, anak-anak, bahkan cucu mereka juga.

Jangan lupa merawat cinta itu dengan melibatkan mereka secara berkelanjutan. Boleh jadi, dari alumni yang masih menyimpan rasa cinta itu ada yang sudah menjadi menteri, anggota dewan, dokter, dosen, insinyur, pengusaha, pilot, diplomat, artis, pengacara, presenter, Polisi, TNI, ah, banyak lagi. Sekali dua kali, undanglah mereka. Beri ruang untuk sharing pengalaman dan kesuksesan kepada siswa sekolah. Kebayang tidak efeknya?

Intinya, jangan kecewakan aset alami lumbung murid baru seperti mereka. Bila mereka kecewa, selesai sudah. Ironi yang mengenaskan, apabila alumni malah merusak reputasi sekolahnya sendiri. Lalu tanpa bersalah mereka bersulang dengan menularkan perilaku tak terpuji itu kepada adik-adik kelasnya, kepada mereka yang masih belajar di kelas-kelas yang dahulu mereka duduk di dalamnya. Ini ironi di atas ironi.

Daftar Inden

Lha, sepertinya kan tidak lucu, ya. Masa bayi baru berusia 4 bulan sudah didaftarkan orang tuanya masuk ke sebuah SD di Yogyakarta untuk tahun ajaran 2030/2031 pada 29 Juni 2024 kemarin —sila browsing di YouTube atau Tik Tok, wa akhwatuha. Jadi, daftarnya enam tahun sebelum anaknya masuk sekolah nanti. 

Ada juga sekolah setingkat SMP atau MTs yang sudah membuka pendafataran untuk calon peserta didik yang masih duduk di kelas 4 dan 5 SD. Banyak yang daftar dan kuotanya sudah habis di semester ganjil. Ini apa-apaan?

Saya masih “kucek-kucek mata” —seperti orang yang belum percaya pada apa yang dilihat— dengan fenomena kebijakan suatu sekolah yang sudah menjalankan program daftar inden ini. Apa resepnya, apa formulanya, dan apa daya tarik yang bisa membuat para orang tua bersedia mengikuti permainan ini. Apakah karena rahasia pendidikan langit sudah mereka pecahkan sehingga peminat pendidikan di bumi seolah bersimpuh di hadapannya? Halagh!

Otak saya yang tempurungnya hanya untuk space menjadi guru biasa, terseok-seok untuk menganalisis. Faktanya, memang ada sekolah yang demikian itu. Kepala sekolahnya bukan malaikat, guru-gurunya juga bukan peri yang suka menolong, tenaga penunjang kependidikannya pun bukan pangeran tampan dan dayang-dayang jelita seperti karakter kisah di dunia dongeng. Ini juga, gedungnya pun tidak menyerupai eloknya Fairy Garden atau istana kerajaan di dunia peri. Ah, entahlah.

Akan tetapi, boleh jadi, meskipun jasad fisik mereka bukanlah tokoh-tokoh itu, jiwa-jiwa mereka seperti jiwa-jiwa “malaikat”, jiwa “peri penolong”, dan jiwa-jiwa “pangeran” dan “dayang-dayang” yang begitu memikat para orang tua. Bukan mustahil, muatan pendidikan dan layanan yang mereka tawarkan itu manusiawi dan memenuhi harapan. Bukan saja manusiawi kepada para orang tua dan siswa, melainkan juga memanusiakan siapa saja yang tetes keringatnya turut menyertai membesarkan sekolah itu.

Tes Pemetaan 

Pada sekolah-sekolah tertentu, tes pemetaan calon peserta didik kerap dilakukan. Umumnya berlaku pada sekolah-sekolah yang tidak terlalu dipusingkan dengan problem kuota peserta didik baru terpenuhi atau tidak. Jadi, sekolah macam ini sudah selesai untuk urusan peminat.

Persoalannya, apakah pemetaan itu substansial atau administratif saja sifatnya. Jadi, masalahnya ada di sini. Asalkan pemetaan itu bukan sekadar untuk mendapat kesimpulan apakah calon peserta didik bisa direkomendasikan diterima atau tidak diterima, itu substansial. Namun, bila tes pemetaan itu hanya berhenti di situ —sebatas keputusan diterima atau tidak— ini hanya administrasi saja, tidak substansial, tidak berefek.

Apakah tes pemetaan itu memang penting? Penting. Asli penting. Sebab, proses ini menjadi layanan pendidikan yang berkorelasi langsung dengan proses belajar.

Sebatas teoretis ilmu pedagogik, tes pemetaan merupakan proses untuk menggali potensi dan kesiapan belajar calon peserta didik. Ini substansinya. Nanti, hasil pemetaan ini akan dibaca guru dan menjadi dasar pertimbangan mereka merancang proses pembelajaran di kelas.

Kecerdasan Unik

Setiap calon peserta didik memiliki kesiapan belajar yang berbeda-beda, potensi yang berbeda-beda, juga ragam kecerdasan yang unik. Itulah titik-titik yang menjadi sketsa hasil pemetaan yang akan diterjemahkan dalam aktivitas belajar. Bila pemetaan diarahkan demikian, ini keren.

Sketsa yang saya maksud adalah setiap wali kelas dan guru mendapat salinan hasil tes pemetaan bahwa calon peserta didik bernama A adalah auditori, B visual, C kinestetik, D visual kinestetik —penelitian terbaru belakangan, teori ini sudah dianggap usang—, dan seterusnya. Sketsa ini menjadi pertimbangan bagi guru dalam merancang pembelajaran —menetapkan metode, pendekatan, penilaian, alat bantu belajar— yang menjangkau diferensiasi peserta didik sesuai kebutuhan mereka.

Dari pemetaan itu juga akan terbaca bahwa calon peserta didik memiliki kecerdasan yang paling menonjol di antara beragam kecerdasan seperti teorinya Howard Gardner. Jadi, bila diilustrasikan, begini kira-kira: bila calon peserta didik diketahui memiliki potensi menjadi elang, dengan pendampingan belajar yang tepat, potensi elangnya diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang, maka peserta didik ini akan menjadi elang. Dia akan bisa terbang tinggi sekali layaknya elang.

Akan tetapi, bila potensi itu tidak terbaca lalu salah pendampingan, boleh jadi dia tetap bisa terbang. Hanya saja, kemampuan terbangnya rendah, sekelas terbang burung emprit atau burung sejenis emprit. Tragedi yang lebih menyedihkan, apabila kesalahan pendampingan itu malah membuat sayap-sayap modal terbang itu dibuat patah atau lumpuh. 

Apalah artinya elang bila tidak sanggup mengepakkan sayap. Kasihan. Elang yang hanya mampu berjalan menginjak tanah sambil mematuk remah-remah, hilang wibawanya di dunia burung karena tidak sanggup mengudara. Lha, kok ke sono?😂

Visi Kecerdasan

Sabtu kemarin 14/12/24, sempat menghadiri pembukaan proses Tes Pemetaan PPDB di suatu sekolah. Saya kenal baik beberapa guru di sini. Kenal baik juga Kepala Sekolahnya. Sebelum acara pembukaan dimulai, menyempatkan berbincang dengan “The Young Principal” ini. Asyik dan nyambung.

Meskipun tidak mengikuti proses pemetaannya, saya percaya pemetaan yang dilakukan sekolah ini dilakukan untuk mendapatkan sketsa kesiapan belajar calon peserta didik baru esok. Saya kira, reputasi sekolah ini memang harus melakukan pemetaan yang diarahkan pada tujuan menunjang keberhasilan belajar peserta didiknya.

Sebagai sekolah yang bercirikan Islam yang kuat, fokus pada kecerdasan tertinggi, yakni kecerdasan spiritual atau kecerdasan tauhid cukup diperhatikan. Sementara kecerdasan Spasial – Visual, Linguistik, Interpersonal, Intrapersonal, Musikal, Kinestetik, dan kecerdasan Logis – Matematis ada juga dikembangkan pada ragam ekstra kurikuler yang disediakan.

Muara pendidikan Islam itu adalah kecerdasan tauhid. Ia bertujuan menyadarkan siswa untuk apa dia hidup di dunianya masing-masing. Jadi, visinya adalah akhirat. Inilah yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan sekuler yang tidak mau menghubungkan urusan dunia dengan agama, apalagi terkoneksi langsung dengan akhirat.

Bagi kita, anak boleh jadi apa saja yang baik-baik sesuai cita-cita dan kecerdasan masing-masing. Akan tetapi, menjadi apa saja yang baik-baik itu harus menyadarkan mereka bahwa capaian-capaian itu hanya sarana untuk kebahagiaan akhiratnya.

Apalah artinya jadi elang yang bisa terbang tinggiii sekali, namun tidak tahu ke mana dia akan pulang dan di dahan mana akan hinggap. Ini seperti dokter, insinyur, dan apalah semua yang gemerlap itu yang fasih pada urusan dunia, tapi gagap bila sudah menyangkut urusan ibadah. Sedih tidak, bila murid sudah sukses dunianya, tapi tidak tahu caranya bersuci, tidak paham wudhu, dan tidak bisa membedakan mandi wajib dan mandi biasa?

Baiklah bapak “The Young Principal”, tetaplah menjadi nakhoda yang mengantarkan guru dan siswa bapak meraih kecerdasan tertinggi, kecerdasan tauhid. Cara bapak membangun kepercayaan diri peserta didik seperti yang saya lihat kemarin, itu detail yang tidak bisa dianggap sepele. Maturnuwun sanget.

Happy weekend.

Depok, 15 Desember 2024.
Di sela Ahad yang sibuk.

RAYYA Bag. 12





Perawan

Seketika Umi bangun dari duduknya. Umi yang kukenal sabar, lembut, dan tenang, saat itu wajahnya berubah tegang dan keras. Mata Umi yang biasa teduh dan menyejukkan, jadi berkilat-kilat seperti tatapan singa betina yang terluka.

Cobaan hidupku belum berhenti saat haid sudah aku dapatkan. Saat Umi dan Ayahku begitu bergembira karena haidku sudah normal, saat duka hati mereka mulai terbasuh karena puteri mereka sudah memasuki gerbang sebagai gadis setengah sempurna, saat itu pula, palu godam menghantam. Umiku yang paling terpukul menghadapi semuanya. Seolah kebahagiaan yang tengah ia rasakan tenggelam ditelan kabar bahwa Rayya, putrinya sudah tidak perawan. Setelah aku mengerti, tahulah aku, tidak perawan adalah momok memalukan bagi perempuan yang belum menikah di kampungku. Entah siapa yang mulai menyebarkan berita itu.

Di kali lain, aku menjumpai Umi dan Ayah duduk mematung di meja makan. Wajah Umi murung. Saat ditanya Ayah mengapa Umi murung, Umi tidak segera menjawab. Umi hanya menunduk saja. Sesekali Umi bicara. Tidak jelas apa yang tengah dibicarakan Umi. Ayah lebih banyak mendengar saja tanpa banyak menimpali. Mungkin Ayah bingung bagaimana harus bersikap. Beberapa menit kemudian Umi menangis terisak-isak.

“Loh, kok nangis?”

Umi tidak menjawab. Dengan masih menangis, Umi malah bergegas mengunci diri di kamar. Ayah menyusul. Cukup lama Ayah mengetuk pintu kamar.

“Umi, ada apa? Tolong buka pintunya, Mi,” pinta Ayah.

Umi membuka pintu. Aku lihat mata Umi memerah.

Di kamar mereka berbincang lagi diselingi isak tangis Umi yang bersambung. Aku dengan jelas menangkap apa yang tengah mereka bicarakan. Aku dengar, Umi seperti tengah menumpahkan rasa kesal. Umi mengaku malu mendengar omongan para tetangga. Omongan itu sampai ke telinga Umi. Rupanya sudah ramai para tetangga membincangkan bahwa aku sudah tidak perawan lagi karena operasi yang aku jalani.

“Rasanya Umi ingin mati saja, Ayah.”

“Kok tiba-tiba minta mati?”

“Umi ‘nggak kuat.”

Saat itulah aku menangkap semua pembicaraan Umi tentang keperawananku. Yang paling membuat Umi sakit hati adalah masalah jodohku. Kata para tetangga itu, gadis yang tidak perawan sulit mendapat jodoh, lebih sulit dari jodoh seorang janda yang jelas-jelas sudah tidak perawan.

“Jika semua orang tahu bahwa Rayya sudah tidak perawan lagi, nanti siapa laki-laki yang akan bersedia menikahinya, Ayah?” keluh Umi.

Ayah tidak menjawab.

“Mengapa penderitaan Rayya tidak kunjung putus?”

Umi terus mengadu, mengeluh, dan menumpahkan segala emosinya di depan Ayah. Sampai pada titik putus asa, Umi menyesali dirinya sendiri. Sampai keluar pernyataan dari mulutnya bahwa Umi merasa sangat berdosa telah melahirkan aku dengan segala penderitaan yang kualami. Umi merasa telah gagal menjadi ibu yang sanggup memberikan segala kebahagiaan buatku. Gagal memberikan kenyamanan pada anak gadisnya. Gagal memberikan keriangan dan keceriaan karena ketidaksempurnaan rahimku.

“Umi takut jika Rayya mendengar sendiri cibiran dari para tetangga itu.”

“Ayah mengerti, tapi kita juga tidak bisa menyumbat setiap mulut tetangga.”

“Mereka seperti menghukum Rayya dan Umi. Apa salah Umi? Apa salah Rayya?”

“Umi, istighfar. Tidak ada yang salah dengan kita.”

“Tapi mengapa Umi, Rayya yang harus menanggung semua ini?”

“Kita sedang diuji, Mi.”

“Tapi ujian ini terlalu berat buat Umi, Ayah.”

Tangis Umi makin menjadi. Kudengar Ayah berusaha menenangkan Umi. Umi seperti meronta. Ayah mulai bersikap tegas mengingatkan Umi.

“Umi, dengar! Tidak ada ujian Allah yang melampaui batas kemampuan. Ini bukan ujian Umi dan Rayya. Ini ujian Ayah juga. Ujian keluarga kita!” tegas Ayah.

Saat itulah tanpa aku sadari Umi keluar dari kamar dan menjumpaiku tengah berada di balik pintu. Umi hanya menatapku dengan air mata yang masih berurai. Lalu dengan masih ingin terisak, Umi memelukku. Didekapnya tubuhku seperti seorang ibu yang baru pertama kali menemukan putrinya yang hilang. Dibelainya rambutku seolah ingin menghapus segala sial yang menimpa kepalaku. Umiku semakin merasa ngenes, hal yang selama ini ingin disembunyikan dariku, akhirnya sia-sia.

Selang beberapa minggu setelah obrolan Umi dan Ayah, satu kali aku mengadu pada Umi. Dengan keluguan anak kelas enam, aku bicara tanpa beban. Mengadukan apa yang dikatakan salah seorang tetanggaku saat aku bermain di rumah mereka. Aku jadi ingat bahwa Umi dan Ayah pernah membicarakan hal ini.

“Umi, memang aku tidak perawan lagi ya? Perawan itu apa, Mi?”

“Rayya, siapa yang bilang begitu, Nak?!”

“Mamanya Dewi,” kataku.

“Apa lagi yang dikatakan mama Dewi, Rayya?”

“Eee, apa ya?”

“Katakan Rayya!”

“Katanya, jodohku bakalan susah, Mi.”

"Astaghfirullah!"

“Kenapa, Mi?”

Umi tidak menyahut. Seketika Umi bangun dari duduknya. Umi yang kukenal sabar, lembut, dan tenang, saat itu wajahnya berubah tegang dan keras. Mata Umi yang biasa teduh dan menyejukkan, jadi berkilat-kilat seperti tatapan singa betina yang terluka. Rupanya batas kesabaran Umi sudah habis. Selama ini Umi hanya menahan segala cibiran dan menelan saja semuanya. Nasehat Ayah agar Umi bersabar menghadapi tajamnya lidah para tetangga sudah tidak mempan mengerem sakit hati yang sekian lama ditelannya sendiri.

Umi beranjak pergi. Tahulah aku setelah mendengar ribut-ribut di luar rumah. Rupanya Umi pergi untuk memberi pelajaran pada mamanya Dewi. Para tetangga yang lain terkejut. Semuanya tidak menyangka, Hanifah, Umiku bisa semarah itu. Saat itu, Umi berhasil memaksa mama Dewi meminta maaf pada Umi.

Beberapa hari kemudian, mamanya Dewi dan beberapa tetangga yang lain datang ke rumahku untuk meminta maaf sekali lagi. Mereka menyadari kekeliruan atas apa yang telah mereka katakan dan gunjingkan mengenai keperawananku. Ayah yang saat itu ada di rumah tidak mau mencampuri. Meskipun Ayah juga merasakan pedih atas apa yang dilakukan para tetanggaku itu, cukuplah Umi yang menyelesaikan.

Umi menunjukkan jiwa besarnya. Mamanya Dewi dan yang lain diterima dengan baik. Tidak tampak lagi sorot mata Umi yang kemarin. Lalu semuanya berakhir dengan saling memaafkan. Semuanya berjanji untuk menjaga perasaan masing-masing. Alhamdulillaah, sejak saat itu sampai menjelang aku kelas tiga SMP, tidak terdengar lagi tetangga menggunjingkan keperawananku. Namun kenangan tentang ucapan Mama Dewi tetap membekas, seolah dia tidak mau pergi dari ingatanku.

Saat aku telah benar-benar mengerti soal keperawanan, aku seperti terdakwa oleh paradigma keperawanan berdasar persepsi masyarakat yang bersifat menghukum. Aku pun akhirnya maklum mengapa Umi benar-benar merasa terpukul waktu itu. Memang di mana tempat, seorang perempuan yang kehilangan keperawanannya tidak lagi mendapatkan tempat yang baik di mata para tetangga dan laki-laki.

Mungkin tidak keliru pandangan demikian jika diartikan sebagai peringatan bahwa seorang gadis harus benar-benar bertanggung jawab menjaga kesucian dan keperawanannya. Namun masalahnya, pandangan itu tidak memilah-milah, mana keperawanan yang hilang karena sebab asusila, mana keperawanan yang hilang karena faktor seperti takdir atas diriku.[]

 

Kain Ihram Anak Kampung

Cover Kain Ihram Anak Kampung. https://www.kautsar.co.id/detail/kain-ihram-anak-kampung





Penulis : Abdul Mutaqin

ISBN : 9786021695197

Cover : Soft Cover

Halaman : 376 Halaman

Berat : 500 gr

Ukuran : 13.5 x 20.5 cm


Rahadian Muhajir Yastriba, seorang anak kampung yang miskin. Meski begitu, kemiskinan tak menjadi penghalang bagi Rahadian untuk mewujudkan mimpi terbesarnya, menjadi tamu Allah di Baitullah. Lewat perantara Pak Guru Mahfudz, guru agama di sekolahnya, Rahadian mengenal setiap jengkal Baitullah melengkapi gambaran dalam impiannya. Begitu lihainya beliau menceritakan detai perjalanan yang dilakukan oleh jamaah haji dan umrah, hingga seolah-olah Rahadian bisa merasakan harumnya tanah haram, nikmatnya kalimat talbiyah, indahnya tawaf juga lezatnya air Zamzam.

Demi mewujudkan cita-citanya itu, Rahadian harus bersabar menghadapi olok-olok dan caci maki dari keempat temannya, Tatan, Sulong, Ghaafir, dan Ginanjar, juga orangtua mereka. Rupanya kekayaan yang mereka miliki saait itu telah menutup mata hati mereka sehingga dengan mudahnya memandang rendah orang lain. Tidak hanya kemiskinan Rahadian yang tak bosan-bosannya dicerca, namun impiannya juga berusaha dikoyak oleh Sulong dan ketiga temannya. Tapi Rahadian bergeming, tetap teguh menggenggam impiannya. Baginya tidak ada yang tidak mungkin selama dia berusaha dan yakin, yakin akan rahmat dan kuasa Allah.

Roda kehidupan berputar, Allah selalu bersama orang-orang yang berserah diri kepadaNya. Dua puluh delapan tahun kemudian, Rahadian bertemu kembali dengan ketiga temannya di masa lalu, Sulong, Ghaafir dan Ginanjar secara terpisah. Akankah Rahadian memaafkan kesalahan mereka di masa lalu? Peristiwa apa saja yang terjadi setelah pertemuan Rahadian dengan ketiga temannya itu? Bisakah tali persahabatan mengikat kembali Rahadian dengan ketiga temanya itu dalam indahnya ukhuwah Islam? Berhasilkah Rahadian membuktikan bahwa semua perkataan temannya itu tidak benar?

Novel tentang perjuangan meraih impian, kesabaran, keteguhan dan integritas. Mengharukan!



Depok, 10 Desember 2024

Pak Tris di Mataku

Aku, Mbak Anisa, Irwan Kelana, Sutrisno Muslimin, dan Rahma sebelum acara peluncuran dan bedah buku Sutrisno Muslimin Sang Inovator Pendidikan, Dakwah, dan Politik di auditorium Ki Hajar Dewantara SMP Bakti Mulya (BM) 400 Jakarta, Senin (10/4/23). Foto koleksi penulis.

Tumbuh dari bawah, matang karena pengalaman. Buku ini merekam jejak seorang pendidik yang selalu haus ilmu dan kaya kreasi. Daya dorong itu yang ingin kita pelajari dari buku ini.
_Rocky Gerung, Filsuf dan Akademisi.

TIDAK ada Orang Sentiong, bahkan sekampung kelahirannya yang menyangka, Sutrisno Muslimin–Orang Sentiong memanggilnya “Tris”–menjadi sosok ’berkilau’ dengan legacy miliknya saat ini. Kecuali ibundanya; Sopiah. Sopiah pernah membisikkan nalurinya lewat mimpi Sutrisno, bahwa kelak “Emak ngeliet elu, naik tinggii sekali. Sampe emak ‘nggak bisa liat lu lagi.” Sopiah mengatakan itu dengan segenap jiwanya yang tegar.

Siapa itu Sopiah, aku sangat mengenalnya. Bagaimana karakternya, aku juga mengenalnya meskipun pengenalanku pada Sopiah tidak sefasih Sutrisno mengenal perempuan tangguh itu. Ini pun bukan suatu kebetulan. Aku dekat dengan aksara, sedekat aku pada Sopaih dan Sutrisno Muslimin. Meskipun bukan penulis besar, aku tidak asing dengan dunia literasi, dengan dunia perbukuan. Boleh jadi karena alasan ini, jemariku diberi rangsangan buat menuliskan kisahnya, kisah Sutrisno Muslimin sebatas yang aku kenal. 

Sepanjang halaman pertama buku ini aku tulis sampai halaman terakhirnya kububuhi tanda titik, kesan pada laki-laki ini mengantarku pada tegalan, sawah, rumput, dan kegembiraan anak-anak kampung seperti kami gembira saat berebut layangan putus. Aku gagal mengalihkannya pada yang lain, apalagi pada sosok Sutrisno Muslimin yang sekarang. Meskipun kisah kesuksesan Sutrisno Muslimin sudah kuserap melalui wawancara, melalui berita yang aku baca, juga mempelajari draft buku tentang dia yang hampir naik cetak, tetap saja ingatanku kembali ke tegalan, sawah, rumput, dan berebut layangan putus. 

Di mataku, di sanalah lokus hidup Sutrisno Muslimin kecil banyak dihabiskan. Dan aku membersamainya dalam satu dua kesempatan kami mengejar layang-layang itu. Bagiku, pengalaman di tegalan, sawah, rumput, dan berebut layangan putus bersama Sutrisno Muslimin itu autentik, seperti emas 24 karat. Justru, dari lokus-lokus itulah kilau wajah Sutrisno Muslimin hari ini punya sisi autentisitasnya yang genuine.

Aku tidak akan mengulang apa yang aku tulis pada "Sutrisno Muslimin Sang Inovator Pendidikan, Dakwah, dan Politik" di sini. Buka saja, dan bacalah halaman demi halaman buku itu untuk menyelami kisahnya. Aku tidak juga bermaksud membanggakan buku ini, tidak juga membanggakan Sutrisno Muslimin. Aku hanya bahagia karena aku pernah melewati masa kecil bersama Sutrisno Muslimin dan menyaksikan dirinya menjadi seperti yang sekarang.

Bila Anda seorang pendidik dan pemegang otoritas lembaga pendidikan, buku ini sharing keberhasilan pengalaman bagaimana tangan Sutrisno Muslimin menyentuh lembaga pendidikan dan menempatkannya pada level tertentu. Bila Anda adalah siswa atau mahasiswa dengan keterbatasan ekonomi sehingga mimpi pun Anda tidak berani, buku ini akan mengubah persepsi Anda bahwa keterbatasan ekonomi bisa menjadi kekuatan meraih mimpi. Bila Anda seorang ayah atau ibu, buku ini menempatkan citra seorang ayah dan ibu mengantar asa dan doa untuk keberhasilan anaknya.

Buku berdurasi 400-an halaman ini aku selesaikan dalam tiga bulan (Februari-Maret-April 2022). Tiga bulan itu terbilang cepat untuk durasi buku setebal ini. Memang, proses pematangan naskah di tangan Tim yang menerbitkan memakan waktu cukup lama. Irwan Kelana, Mbak Anisa, Rahma, dan Irul Tim yang cukup intens berkomunikasi denganku hingga buku ini diluncurkan. Tengkyu semua. Kepada Buku Republika yang menerbitkan buku ini, tentu menoreh kesan tersendiri bagiku.

Sutrisno Muslimin Sang Inovator Pendidikan, Dakwah, Dan Politik. Tangkapan layar dari Ibrahim Aji, https://www.youtube.com/@IbrahimAjiOk

Semoga menginspirasi.

Ciputat, 09 Desember 2024.

Orang Depok Logat Minang

Itiak lado Ijo Ngarai Sianok. Nikmatnya awet. Foto koleksi pribadi.

Dalam hati aku berkata, kebanyakan kita jatuh pada kesalahan karena sedikit tahu, tapi bicara banyak seolah menjangkau semua hal.

Masih diberi kesempatan menikmati sarapan itu rezeki di akhir bulan yang patut disyukuri saat dompet sudah hampir tiris. Harga sarapannya sih standar, sekira 13 ribu-an dengan menu soto Madura. Bila minta tambahan ceker atau tulangan, sedikit lebih mahal dua sampai tiga ribu rupiah bergantung sebanyak tambahan yang diminta.

Kuah soto mengepul uapnya. Aroma rempah merebak, menusuk hidung membangkitkan selera, khas sekali. Saat soto diaduk, seluruh udara seakan beraroma soto, beraroma gurih.

Perasan jeruk nipis, sedikit kecap, juga sambal, cita rasa sotonya tambah kuat. Berpadulah di atas mangkuk rasa gurih, asam, manis, dan pedas. Sarapan jadi bergairah, terasa istimewa.

Tentu, bila uang masih cukup, kerupuk menjadi penyerta sarapan makin sedap. Tekstur kerupuk yang renyah dan gurih cocok di segala hidangan. Apalagi dengan soto, hmmm. Nikmat Allah yang mana lagi yang tidak membahagiakan?

Bila sarapan pada Jum'at pagi minggu lalu itu dinikmati bersama sahabat karib, pastilah bertambah hangat. Namun tak apa, kekariban itu fleksibel sesuai arah angin berembus. Kadang dia lentur seperti karet, kadang ada masanya dia harus kaku seperti batang tusuk sate.|


Seorang laki-laki —barangkali usianya sepuluh atau dua belas tahun di atasku— menyapa sambil menunggu pesanannya dihidangkan. Wajahnya ganteng, putih. Sorot matanya tampak bersahabat. Senyumnya mengembang.

Aku merespons, balik menyapa seramah yang aku punya. Begitulah aku diajarkan orang tua untuk membalas sapaan orang sepadan dengan sapaannya. Bila dirasa perlu, balaslah dengan keramahan lebih dari yang diterima.

Sejenak, kami asyik berbincang. Kadang bertatap saat saling merespons. Entahlah, keakraban mengalir begitu saja seperti serbuk sari dipertemukan pada putik bunga oleh angin dalam anemogami.

Hingga aku agak surprise saat laki-laki ini menyebutku sebagai orang Minang. Oh, tidak.

“Saya Depok asli, Pak.”
“Betawi Depok. Tapi, logat bicaranya khas Minang.”
“O, gitu?”
“Ya. Saya puluhan tahun di Sijunjung mengurus transmigrasi,” katanya yang mengaku sangat paham logat Minang.
“Maaf, Bapak orang Minang?” tanyaku membalas.
“Bukan. Saya asli Bandung.”

Lah.|

Minang mengalihkan obrolanku pada ingatan sosok Bunda—semoga Bunda selalu melimpah berkah di Kuranji. Pada Desember tujuh tahun lalu, Bunda memberiku ruang menikmati secuil dari keelokan Sumatera Barat. Dengan bentang alamnya yang rimbun, pantainya yang indah, kulinernya yang bikin nagih, tentu keramahan Bunda dan keluarganya yang membekas sampai ke dasar hati. Pantaslah Bunda berkata, “seminggu bukan waktu yang cukup untuk menikmati keelokan Sumatera Barat, Abdul.”

Biarlah, meminjam kaidah ushul: maa laa yudroku kulluh laa yutroku kulluh. Andaikan tidak menjangkau semua, jangan tinggalkan semua dalam seminggu. Maka dalam seminggu itu, Bunda dan keluarga mengajakku menjangkau keelokan Bukittinggi: Mandeh, Ombilin, Danau Singkarak, Danau Maninjau, tentu Teh Talua-nya yang sedap, Museum Buya Hamka, Rumah Gadang, Kelok Sembilan, Lembah Harau, Rumah Gadang, Jam Gadang, dan Itiak Lado Ijo Ngarai Sianok yang mengundang keringat. Ah, sedapnya masakan Itiak itu menyisakan liur yang selalu terbit saat ia diingat-ingat lagi.

Apakah logat bicaraku menjadi agak Minang terpengaruh hanya dalam hitungan waktu tujuh hari?

Terpengaruh atau tidak itu tidak penting, tapi sejujurnya aku sangat menikmati saat berbincang dengan Bunda dengan logat Minangnya yang kental saat kami sarapan atau di waktu-waktu senggang kami berbincang di ruang tengah. Bahkan aku sudah kadung mempersonifikasikan dialog karakter Amak dalam novelku “Pengantin Fort van der Capellen" itu adalah Bunda. Itu cara paling tepat menuntunku menyelesaikan cerita asmara Urang Rantai dalam novel “Pengantin …." Nah, sebenarnya pengaruh logat Minang padaku mungkin lebih kuat terbaca pada novel ini.|

Sisa sarapanku tinggal satu dua suapan saja. Kuah soto pun sudah tinggal suam-suam kuku rasanya. Tapi, obrolan kami makin panas, naik levelnya saat laki-laki ini mengaku sebagai penyuka sejarah, sedangkan sebelumnya aku mengaku guru Sejarah Kebudayaan Islam di madrasah saat mengenalkan profesiku.

“Saya tidak paham dengan fenomena Khawarij. Empat khalifah, tiga wafat karena terbunuh,” katanya.

Deg! Wah, ribet ini.

Jadilah di penghujung sarapan soto Madura pagi itu kental dengan nuansa Sejarah Islam. Kami berbincang seputar konflik di akhir kekhalifahan Sayyidina Utsman bin Affan radhiyallahu anhu sampai akhir kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu meskipun hanya potongan-potongan major konflik itu dibincangkan. Tampak laki-laki itu kurang puas dengan jawaban-jawabanku.

Aku menangkap, dia cukup menguasai topik yang kami bincangkan, berbanding lurus dengan pengakuannya sebagai penyuka sejarah. Atau jangan-jangan, dia itu “Guru Besar Sejarah Islam” yang menyamar, mengaku-ngaku sebagai bekas pegawai yang mengurus urusan transmigrasi di Sijunjung. Ah, biarlah.

Aku menutup perbincangan dengan statemen bahwa kita tidak akan bisa sepenuhnya memahami konflik yang melibatkan para sahabat mulia itu lalu menyatakan bahwa mereka telah berbuat keliru. Sekali-kali tidak bisa.

“Terlalu sedikit latar belakang terjadinya konflik itu yang kita ketahui hanya dari informasi buku sejarah yang kita baca. Kita tidak hadir saat konflk itu pecah. Sementara, situasi dan peristiwa yang banyak dan tidak tertulis di baliknya boleh jadi menjadikan kita keliru dalam mengambil sebuah kesimpulan tentang mereka,” kataku.

Dalam hati aku berkata, kebanyakan kita jatuh pada kesalahan karena sedikit tahu, tapi bicara banyak seolah menjangkau semua hal.

Konflik yang melibatkan para sahabat mulia yang terjadi pada masa itu adalah fakta. Akan tetapi, larangan mencela para sahabat bukan sekadar fakta, melainkan adab kepada generasi terbaik itu yang diajarkan baginda Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Aku tatap wajah laki-laki itu. Aku lempar senyum, berusaha agar tetap meninggalkan kesan hangat di akhir perbincangan. Dia membalasnya sambil mengangguk.|

Depok, Ahad 08 Desember 2024.
Akhir pekan yang basah, sibuk, dan teringat Bunda tiap Desember hadir dengan guyuran hujan.

Persahabatan dan Tragedi Moral Rousseau



Persahabatan. Ilustrasi dari : https://darussalam.id/

Meskipun begitu, Rousseau tetap dipuji sebagai tokoh besar. Begitulah nilai yang berlaku di Barat di mana kesesuaian ilmu dan akhlak pada diri seseorang bukan hal yang terlalu penting untuk dibincangkan dan dipersoalkan.

***

Teringat lagi pada satu peristiwa kecelakaan. Ditolong oleh orang yang sangat aku kenal. Waktu itu hari Sabtu, hari pengambilan raport pada pukul 08.00 pagi. Namun, ada Wali Murid minta bertemu lebih pagi dari jadwal karena ada keperluan lain. Qadarullah, karena kecelakaan itu agenda bertemua Wali Murid di sekolah dibatalkan.

Bersyukur sekali saat kecelakaan itu terjadi ditolong orang yang sangat aku kenal. Hanya saja dia yang menolong, sama sekali belum “ngeh” siapa orang yang sedang ditolongnya. Barulah setelah beberapa saat saling menatap dan aku menyapanya, dia kaget, lalu berseru sambil menyebut namaku.

“Ya Allah!“ pekiknya kemudian.

Dulu, kami satu almamater. Sama-sama punya minat pada seni tilawah. Hanya beda kelas saja. Juga beda dalam supel. Dia pandai membaur dengan siapa saja teman seangkatan, sedang orang yang ditolongnya ini agak kurang pandai.

Sejak lulus pada 1991, nyaris tidak pernah bertemu. Mungkin ada sekali dua kali pertemuan itu. Hanya saja terlupakan di mana ia berlangsung karena tertimbun kesibukan yang susul menyusul. Tapi, kebaikannya pada saat kecelakaan itu tidak bisa dilupakan. Bagaimana mungkin melupakan kebaikan orang pada diri kita apalagi kebaikan dari sahabat karib?

Rousseau pernah berkata dan dikutip banyak orang. “What wisdom can you find that is greater than kindness?” Kebijaksanaan apa yang dapat Anda temukan yang lebih besar daripada kebaikan? Demikian bila kata-kata Rousseau itu diterjemahkan soal kebijaksanaan dan kebaikan.|


Boleh jadi banyak orang mengenal bahwa Jean Jacques Rousseau (1712 - 1778) adalah seorang filsuf, penulis, dan komposer asal Republik Geneva (Swiss modern). Namun, boleh jadi belum banyak yang tahu bahwa Rousseau punya catatan kelam soal moral.

Dalam buku “Intellectuals”, Paul Johnson —dikutip Adian Husaini dalam “Wajah peradaban Barat” —menyebut Rousseau sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting man). Saat berusia 15 tahun, pada 1728, Rousseau rela menukar agamanya menjadi Katolik agar dapat menjadi peliharaan Madame Françoise-Louise de Warens.

Meskipun begitu, Rousseau tetap dipuji sebagai tokoh besar. Begitulah nilai yang berlaku di Barat di mana kesesuaian ilmu dan akhlak pada diri seseorang bukan hal yang terlalu penting untuk dibincangkan dan dipersoalkan.

Boleh juga disinggung sedikit siapa Françoise-Louise de Warens itu. Pada laman en.wikipedia.org, Françoise-Louise de Warens digambarkan sebagai dermawan dan kekasih dari Jean-Jacques Rousseau (mistress of Jean-Jacques Rousseau). Meskipun awalnya Warens adalah seorang guru bagi Rousseau, mereka terlibat secara seksual setelah secara terbuka Warens memperkenalkan Rousseau pada urusan cinta dan "keintiman".

Warens penganut Protestan. Pada 1726 ia memilih menjadi seorang Katolik Roma demi uang pensiun gereja. Uang pensiun itu dimanfaatkan untuk meningkatkan penyebaran Katolik Roma di sekitar Jenewa yang saat itu merupakan benteng Protestan. Sementara, Rousseau memilih menjadi Katolik untuk berkhidmat sebagai “Madam's pet man”-nya Françoise-Louise de Warens.|


Boleh jadi, ungkapan “What wisdom can you find that is greater than kindness?” terdengar kontradiktif sebab quote itu diucapkan seorang Rousseau. Akan tetapi, sulit untuk menyangkal bahwa kebaikan memang kebijaksanaan yang paling besar. Bagaimana mengukurnya?

Sederhana, putarlah memori di mana Anda pernah merasakan kebaikan orang. Adakah kebijaksanaan yang lebih besar dari nilai sebuah kebaikan yang Anda rasakan saat itu?|


Senin sore kemarin, masuk pesan WA mengabarkan ada teman sedang sakit. Terkejut juga membaca kabar soal sakitnya. Seberat itukah? Saat itu juga, ingatan pada kecelakaan sepuluh tahun lalu seperti suara bisikan di bibir telinga.

Gerimis masih belum reda. Rinai-rinai hujan yang diameternya hanya sepanjang 0.5 mm itu, tak urung pula membasahi tanah. Barangkali, tanah pun merasa nyaman dimanjakan rinai senyaman kita merasakan usapan pada punggung di kala lelah.

Angin menjelang Isya berembus mengiring titisan rinai. Rasanya ingin menarik selimut dan berkemul saja karena dingin dan titisan itu mengundang kantuk. Tapi, bayangan dia yang tergolek tidak bisa menunda untuk menjenguknya.

Maka, selepas menunaikan urusan umat, kebahagiaan pada sepuluh tahun yang lalu itu berulang saat kami bertemu meskipun malam sudah mulai larut. Dia yang terbaring dan aku duduk sama-sama merasakan bahwa persahabatan dan kebaikan itu melegakan meskipun rasanya dunia ini semakin sempit. Mungkin ada benarnya ucapan Maria Shriver: “When the world is so complicated, the simple gift of friendship is within all of our hands,” bahwa, “Ketika dunia begitu rumit, hadiah sederhana berupa persahabatan ada di tangan kita semua.”

Lekas pulih ya, Bang Ustaz sahabat saya. Biar bisa "goes" lagi. Selamat menikmati Biografi Sang Inovator, seniormu saat di Tsanawiyah dahulu. Siapa tahu jadi motivasi mempercepat kepulihanmu, harapanku dan semua sahabatmu. Aamiin.

Ciputat, Rabu, 04 November 2024.