Muhammadiyah School Culture

 

Muhammadiyah Australia College. Sumber gambar: https://aisyiyah.or.id/.

Menulis merupakan bagian dari perhatian Rasulullah SAW dalam aspek pendidikan dan pengajaran. Kisah tawanan perang Badar yang diminta mengajarkan keterampilan menulis anak-anak Madinah sebagai tebusan diri mereka menjadi rujukan dalam konteks ini. Sejarawan seperti Ibnu Sa’d dalam “Thabaqat”-nya dan Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad juga menyebutkan fakta ini. “Ada beberapa tawanan pada hari Perang Badar yang tidak memiliki tebusan, maka Rasulullah SAW menjadikan tebusan mereka dengan mengajarkan anak-anak Anshar menulis.” Demikian teks terjemah dari riwayat Imam Ahmad.

Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa beliau tidak akan membebaskan para tawanan itu kecuali setelah mereka mengajarkan kaum Muslimin membaca dan menulis. Zaid bin Tsabit, penerjemah dan sekretaris Nabi SAW dikabarkan merupakan salah satu dari mereka yang belajar pada peristiwa ini.

Tragedi Dogma vs Ilmuan Barat

Kemajuan Eropa atau Barat hari ini dibanding peradaban Islam sebenarnya tidak autentik. Bangsa ini mengalami masa titik peradaban terendah karena perpecahan kekaisaran Romawi dan kemerosotan peradaban Greko-Romawi. Pada saat bersamaan, gereja dengan segala otoritasnya berhadap-hadapan dengan sains. Dogma gereja sampai pada titik nadir dengan mengharamkan filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani dan menganggap keduanya sebagai sihir. Kalangan agamawan pun mengkampanyekan perang terhadap sains dan filsafat.

Tampaklah sikap gereja yang sangat keras memusuhi ilmuwan. Nicolaus Copernicus mati merana dan Galileo Galilei mati di penjara karena pengadilan iman (inkuisisi) gereja Roma. Kedua ilmuan ini dimusuhi gereja karena pendapatnya bahwa bumi itu bulat dan bukan merupakan pusat tata surya. Atau yang dialami oleh Miguel Servetto —penemu peredaran darah menukil Abu al-Hasan Ali Ibnu an-Nafis. Servetto dianggap tukang sihir, melawan doktrin gereja, dan dibakar pada tahun 1553 M.

Dominasi gereja yang sangat kuat menjadikan pendidikan di Eropa di bawah tekanan agamawan. Saat itu sekolah-sekolah ditutup, merebaknya buta huruf, dan ditinggalkannya karya sastra klasik. Gereja benar-benar mengunci peluang akal untuk mengkaji dan meneliti.

Tragedi yang terjadi pada peradaban Barat Eropa ini tidak pernah dialami ilmuan pada peradaban Islam baik di timur yang diwakili Baghdad di bawah pemerintahan Daulah Bani Abbas, maupun di Barat yang diwakili Andalusia di bawah pemerintahan Daulah Bani Umayyah II.

Cahaya Dari Timur ke Barat

Pada saat mayoritas penduduk Eropa hidup dalam kegelapan dan buta huruf ini, hampir seluruh penduduk Baghdad dan Andalusia dapat membaca dan menulis. Di bawah kekuasaan Islam, Andalusia yang posisinya di Eropa terang benderang. Kardoba dijuluki mutiara dunia karena Andalusia pada masa itu mencapai tingkat peradaban yang sangat maju. Pada masa itulah, ilmu pengetahuan muslim dari Andalusia mengalir ke negara-negara Eropa Kristen melalui kelompok-kelompok pelajar Eropa yang pernah menuntut ilmu di Universitas Cordova, Malaga, Granada, Sevilla atau lembaga-lembaga ilmu pengetahuan lainnya di Andalusia.

Peran Andalusia sangat besar dalam mengantarkan Eropa memasuki periode baru masa kebangkitan. Wilayah di semenanjung Iberia ini menjadi salah satu jalur transmisi keilmuan Islam di Eropa di samping Sisilia, dan Perang Salib.

Ketertarikan Barat Eropa pada kemajuan peradaban Islam di Andalusia ditandai dengan lawatan para sarjana Barat ke negeri-negeri muslim. Bukan sekadar lawatan, mereka menimba ilmu kemudian menjiplak beberapa bentuk kegiatan keilmuan yang dilakukan di negara-negara Islam tersebut. Para mahasiswa mereka sengaja dikirim untuk belajar di Andalusia seperti Gerard dari Cremona Italia, Johannes Hispalensis dari Seville, Dominic Gundisalvi dari Toledo, Adelard dari Bath, Campanus dari Navarra, Albert dan Daniel dari Morey. Kaum terpelajar ini menerjemahkan buku-buku karya ilmuan Islam dan menjadi motor perubahan bagi kemajuan Barat Eropa.

Para penguasanya pun tidak ketinggalan. Kemegahan peradaban yang dimiliki Andalusia menjadi daya tarik tersendiri. Pada masa Abdurrahman III —Emir (912-929) dan Khalifah Kordoba (929-961)— pendirian Madina Azzahra yang memiliki 400 kamar dengan fasilitas pendukung seperti masjid, taman, danau, pabrik senjata dan perhiasan menjadi daya yang mengundang kekaguman Barat. Beberapa duta dari Italia dan Jerman datang berkunjung untuk menikmati keindahan dan kemegahan kota tersebut. Beberapa pemimpin Lyon, Nevar/Barcelona yang membutuhkan insinyur, arsitektur, ahli bedah, dan ahli musik tidak luput mendatangi Kordoba.

Sumbangsih Pendidikan Islam untuk Dunia

“Alangkah beruntung, wahai engkau yang hidup di Andalusia, dengan air, keteduhan, sungai-sungai, dan rimbun pepohonannya.Taman surgawi hanya ada di bumi pertiwimu dan sekiranya mungkin aku memilih, niscaya akan kupilih negerimu. Janganlah takut masuk neraka kelak, sebab siapa pun yang telah mengenal surga tak akan masuk jahanam.”

Kemegahan Andalusia di atas dilukiskan oleh Claude Addas begitu indahnya. Tentu pujian itu tidak semata-mata kekaguman bersifat fisik, tapi juga sebagai bentuk terima kasih atas upaya adopsi pola dan bentuk-bentuk pengajaran, kurikulum maupun lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam di Andalusia oleh Barat Eropa. Adopsi itu sangat kuat pada proses transmisi ilmu pengetahuan melalui Perancis dan Italia dengan berkembangnya universitas-universitas dan kajian keilmuan.

Pengiriman pelajar dan ilmuan Barat Eropa ke Andalusia, kunjungan para pejabatnya, serta adopsi peradaban keilmuan Islam ini mendorong gerakan renaissance dan aufklarung dunia Barat. Gerakan renaissance pertama kali berlangsung di wilayah Italia yang secara geografis berdampingan dengan Peradaban Islam di Andalusia. Sejak itu, peradaban Barat Eropa memegang kendali sain dan teknologi sampai hari ini. Sementara peradaban Islam kian tertinggal di belakang mereka.

Hari ini, ada fenomena pendidikan Islam seperti minder berhadapan dengan pendidikan Barat. Padahal pendidikan Islam memiliki dasar yang kuat yang berasal dari tradisi keilmuan bersanad sebagai distingsi tradisi keilmuan Islam yang autentik. Adakah tradisi keilmuan yang sangat selektif selain dari tradisi keilmuan Islam?

Harus digarisbawahi lagi, kemajuan Barat hari ini tidak lepas dari akar tradisi keilmuan Islam. Barat justru berkembang setelah belajar dari tradisi keilmuan Islam. Seperti telah dikemukakan di awal, fakta sejarah ini tidak bisa diingkari meskipun banyak kalangan menganggap kaum muslimin terlalu utopis bila fakta ini diungkap kembali.

Ilmuan Muslim

Era Abbas Abu al-Qasim bin Firnas ilmuwan di bidang fisika, kimia, mekanik, dan sastra yang meletakkan dasar-dasar pesawat terbang telah berlalu. Karena kreativitas bin Firnas ini, manusia bisa menikmati teknologi pesawat terbang, moda transportasi udara yang memangkas jarak tempuh dan jarak waktu dari satu titik benua menuju titik di benua yang lain.

Era Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas al-Zahrawi, dokter muslim yang menemukan alat-alat bedah dan catgut (benang bedah) juga sudah jauh pergi. Dunia pengobatan modern hari ini berhutang budi bagaimana menangani penyakit dengan teknik operasi bedah temuannya. Caesarean section bagi ibu hamil yang tidak bisa melahirkan secara normal hari ini tidak lain merupakan pengembangan dari jasa al-Zahrawi yang dipraktikkannya pada 1.011 tahun yang lalu.

Beberapa nama ilmuan Muslim lain seperti Ismail al-Jazari —bapak mekanik, penemu jam, dan robotik menjadi dasar pengembangan kendaraan bermesin dan alat-alat robotik penopang dunia industri. Berkata jasa al-Jazari, dunia mengalami revolusi industri. Dengan bantuan mesin, barang industri bisa diproduksi massal, memangkas ongkos, dan waktu produksi yang cepat.

Ibnu al-Haytham yang dikenang dunia sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar optik fisiologis yang menyangkut prinsip optik mata dan astronomi menjadi dasar pengembangan kamera, lensa optik, dan proyektor. Dunia sinematografi hari ini menjadi segmentasi yang banyak memanfaatkan karya Ibnu al-Haytham. Dan, sudah berabad masa al-Haytham ini meninggalkan dunia yang terus berubah.

Pertanyaan mendasar yang bisa kita ajukan pada zaman ini adalah, bagaimana pendidikan Islam dirancang untuk melahirkan polymate sekaliber mereka semua yang karya-karyanya menginspirasi dunia dan peradaban modern saat ini?

Distingsi Pendidikan Muhammadiyah Abad 21

Sejak awal, Muhammadiyah sudah mengembangakan sistem pendidikan yang memecahkan kebuntuan dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan agama yang terlalu bercorak ukhrawi yang mengharamkan mempelajari sain dan pendidikan umum yang sekuler yang menihilkan agama dipadukan pada sekolah-sekolah Muhammadiyah. Ini menjadi prototype distingsi kultur pendidikan Muhammadiyah yang membedakannya dari lembaga-lembaga pendidikan lainnya di Indonesia pada era kolonial.

Jadi, idealnya sekolah-sekolah Muhammadiyah itu kuat akar tradisi keilmuan Islamnya serta terbuka bagi pengembangan sain dan teknologi yang diperlukan untuk menopang peradaban maju hari ini. Maka, harapan menjadikan sekolah Muhammadiyah sebagai pusat keunggulan pendidikan di masa depan sudah memiliki pijakan yang kokoh dengan dua keyword tolok ukurnya yaitu nilai-nilai Islam dan menempatkan ilmu dalam kesatuan yang tidak dikotomis. Bila dihubungkan dengan keunggulan karakter peserta didik, maka value-nya adalah nilai-nilai Islam.

Secara sederhana, pendidikan Muhammadiyah hari ini perlu memperkuat distingsi integratif nilai-nilai Islam dan sain yang sejak semula sudah menjadi cita-cita pendidikan Muhammadiyah. Penguatan itu dengan cara mengadaptasi tantangan pendidikan kekinian pada sekolah, madrasah, dan pondok-pondok pesantrennya.

Warna 21st Century Skill harus semarak dalam proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah. Kemampuan ini harus hidup warna-warninya di ruang-ruang kelas pada setiap level sekolah, madrasah, dan pondok-pondok Muhammadiyah.

Apa saja kemampuan dari 21st Century Skill yang dimaksud?

Pertama Critical Thinking And Problem Solving Skill atau kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah telah dan akan selalu bersinggungan dengan masalah-masalah sosial. Teologi Al-Maun yang sangat populer itu lahir dari problem sosial yang dicarikan pemecahannya dalam berbagai aksi-aksi nyata membela kaum dhuafa. Maka semua lembaga pendidikannya harus sudah membekali kemampuan ini sejak dini.

Kedua, Communication Skill atau kecakapan berkomunikasi. Tentu, untuk memperkuat dakwah Muhammadiyah, lembaga pendidikannya perlu melatih kecakapan ini secara terstruktur, berjenjang, dan berkelanjutan. Bibit dai dan mubaligh Muhammadiyah sudah harus disemai dari lembaga-lembaga pendidikan secara lebih serius.

Ketiga, Creativity And Innovation Skills atau daya kreatif dan inovatif. Poin ketiga ini bisa dipadukan dengan poin keempat yaitu Collaboration Skills. Poin ketiga dan keempat ini sangat diperlukan untuk mendukung poin pertama dan kedua. Dunia dakwah hari ini sangat memerlukan daya kreatif dan inovasi untuk menjawab dakwah era disrupsi hari ini. Dakwah konvensional memang masih akan bertahan bagi kalangan tua dan komunitas Muhammadiyah di pedesaan, tapi untuk segmen dakwah anak muda dan perkotaan yang banyak bersinggungan dengan teknologi informasi, Creativity And Innovation Skills tidak bisa ditawar lagi.

Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah seharusnya sudah menerapkan teknologi dalam setiap proses pembelajaran di kelas. Tentu dasar pertimbangannya adalah menciptakan iklim belajar yang kreatif, inovatif, dan kolaboratif. Dengan memanfaatkan teknologi, ketiga kemampuan ini sangat mudah dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran berbasis Canva misalnya. Teknologi ini bisa dimanfaatkan untuk membangun Communication Skill dengan cara yang sangat kreatif, inovatif, dan kolaboratif seperti membuat poster Fatwa Tarjih tentang keharaman rokok, pemanfaat air secara bijak, atau fikih kebencanaan.

Literasi Menulis

Turunan dari Communication Skill yaitu writing skill tampaknya masih belum mendapatkan perhatian serius di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Writing skill belum banyak disentuh. Prestise keterampilan ini masih di bawah marching band, musik, panahan, menari, robotik, renang, dan lain-lain.

Writing skill atau bahkan Journalistik for Student masih belum banyak dilirik sekolah-sekolah Muhammadiyah sebagai ekstrakurikuler padahal ia sangat dekat dengan literasi yang menjadi denyut nadi kehidupan sekolah. Jadi, sebenarnya sesuatu yang paradoks bila sekolah tidak punya perhatian membekali skill ini kepada peserta didik.

Sekolah itu tidak akan pernah bisa lepas dari continuous promotion yang bisa dicover oleh writing skill yang baik. Maka, bisa dibayangkan apabila prestasi yang diraih ekstrakurikuler marching band, musik, panahan, menari, robotik, atau renang misalnya dikemas dalam bentuk media jurnalistik audio visual, infografis, dan berita. Writing skill sangat berperan di sini terutama untuk mengisi laman website sekolah sebagai pangkalan informasi digital era sekarang. Writing skill bisa menjadi alat bagi continuous promotion sekolah Muhammadiyah dari waktu ke waktu.

Muatan dari writing skill yang bisa bisa dikembangkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah mencakup tiga kompetensi yaitu; inform, support an argument with claims, dan engage and entertain. Inform lebih mengarah pada bagaimana melatih peserta didik kemampuan menulis berita sebagai jurnalis. Support an argument with claims melatih peserta didik keterampilan menulis esai, artikel, opini, feature, buku, atau karya ilmiah. Sedangkan engage and entertain diarahkan untuk mengembangkan daya imajinasi dalam bentuk karya fiksi semisal novel, cerpen, puisi, atau pantun. Tampaknya, engage and entertain juga berpeluang diarahkan pada kemampuan menulis komersial seperti untuk kebutuhan iklan atau copywriting.

Rasa-rasanya jargon “Berkemajuan” masih belum kental nuansa berkemajuannya pada lembaga pendidikan apabila sekolah-sekolah Muhammadiyah abai pada writing skill. Menjadikan sekolah Muhammadiyah sebagai pusat keunggulan rasa-rasanya perlu memberi perhatian pada bidang ini sebagai upaya menjawab 21st Century Skill bagi sekolah Muhammadiyah abad 21. Jadi, writing skill itu ibarat melanjutkan spirit Nabi SAW mencetak generasi literat semisal Zaid bin Tsabit, sang sektretais pencatat wahyu pada era kenabian.

Kata Muhbib Abdul Wahab dalam tulisannya  Advantages of the Muhammadiyah Education System“Muhammadiyah is committed to advancing the nation's civilization based on the literacy movement, namely the movement to educate, enlighten and advance the national community, so that it becomes a nation of faith, knowledge, charity and civilization.” Bahwa Muhammadiyah berkomitmen untuk memajukan peradaban bangsa berdasarkan gerakan literasi, yaitu gerakan untuk mendidik, mencerahkan, dan memajukan masyarakat nasional, sehingga menjadi bangsa yang beriman, berilmu, beramal, dan berperadaban.

Nir-Bullying

Satu hal yang perlu juga digarisbawahi dan diperhatikan adalah menghadirkan karakter rahmatan lil alamin di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah harus ramah, menjadi lembaga praktikum rahmatan lil alamin bagi peserta didik dan semua warga sekolah, dan bersih dari berbagai bentuk kekerasan.

Bullying di sekolah kerap menjadi sorotan. Perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan menyakiti atau merendahkan orang lain yang dianggap lebih lemah tidak boleh terjadi di sekolah-sekolah Muhammadiyah. There is no reason for bullying in Muhammadiyah schools.

Bullying bisa terjadi dalam bentuk bullying fisik, verbal, sosial, rasial, seksual, berbasis gender, dan yang perlu juga diperhatikan pada era digital ini adalah cyberbullying. Pada batas-batas tertentu, bullying bisa sampai pada tarap membahayakan fisik dan mengancam keselamatan jiwa. Maka ia harus menjadi perhatian serius dunia sekolah.

Bullying verbal kadang kurang mendapat perhatian memadai dari guru atau pimpinan sekolah. Bullying jenis ini paling sering terjadi di dunia sekolah mana pun sebab kadang dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Bila seorang anak mengadu selepas pulang dari sekolah dengan wajah masam, boleh jadi dia baru saja mengalami bullying atau perundungan jenis ini. Setelah diselisik, rupanya dia sudah tidak nyaman di sekolah sebab selalu dipanggil teman-teman sekelasnya dengan panggilan nama bapak atau ibunya. Ini sudah masuk kategori bullying verbal. 

Maka, di tengah tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks, sudah saatnya Muhammadiyah school culture disuburkan untuk menghadirkan sekolah Muhammadiyah sebagai pusat keunggulan pendidikan Islam dan Indonesia masa depan. Bila ada banyak sekolah Muhammadiyah belum sepenuhnya siap menghadirkan layanan pendidikan inklusi, minimal menjadi sekolah nir-bullying

Distingsi pendidikan Muhammadiyah perlu pula diperkuat dengan menghadirkan jawaban 21st Century Skill sebagai ciri sekolah berkemajuan.

Semoga.[]

Depok, 23 Oktober 2024.
Dari balik renungan kader biasa saja.

Hadiah dan Keharuman Bunga

  

Ilustrasi bingkisan cantik. Foto Credit: https://mediaindonesia.com/


حين حذق ابنه حماد سورة الحمد وهب المعلم خمسمائة درهم وفي رواية ألف درهم فقال المعلم : ما صنعت حتى انفذ الي هذا واحضره واعتذر له. فقال أبو حنيفة: يا هذا تستحقر ما علمت ولدي, والله لو كان معنا أكثر من ذلك لدفعناه تعظيما للقرآن.


Kalimat di atas kutipan dari Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaidi pada karyanya berjudul “Imamat al-Imam al-A’zham Abu Hanifah Radhiyallahu anhu fi al-Suluk wa al-Aqidah wa al-Hadits wa al-Fiqh”, hal. 168. Karena kutipan dari aslinya “gundul”, maka dibiarkan “gundul” alias tanpa harakat. Mau saya kasih “rambut”, belum mantap sebab masih suka keder mana mubtada muakhor, khabar muqaddam, fi’il, fail, naibul fail, maf’ul, hal, sifat maushuf, mudhaf mudhaf ilaih, dan serangkaian rumit kaidah ilmu nahwu.

Soal terjemah, ini lebih sederhana. Dengan mengintip kamus, selesai masalah. Maka, kira-kira begini arti kutipan di atas itu:

“Ketika putranya, Hammad, telah mahir membaca Surah Al-Fatihah, Abu Hanifah memberikan kepada pengajarnya 500 dirham –dalam riwayat lain disebutkan 1000 dirham. Guru itu kemudian berkata: "Apa yang telah saya lakukan sampai dia mengirimkan ini kepada saya? Saya perlu menghadirkan dan meminta penjelasannya." Lalu, Abu Hanifah berkata: "Wahai Tuan, apakah Anda meremehkan apa yang telah Anda ajarkan kepada anak saya? Demi Allah, jika kami memiliki lebih dari itu, kami akan memberikannya lebih banyak sebagai bentuk penghormatan terhadap Al-Qur'an."

Apa ini tidak salah? hanya anaknya baru bisa baca dan hafal Al-Fatihah, Imam Hanafi memberi pengajar anaknya itu hadiah 500 dirham? Bagaimana bila hafal juz 30 apalagi 30 juz?

500 dirham berapa nilainya bila dirupiahkan? Banyak itu. Bila kurang percaya, coba dihitung pelan-pelan.

Khalil Ahmad Al-Siharanfuri dalam Badzl Al-Majhud fi Hall Abi Dawud yang dikutip Nurul Irfan dalam Fiqih Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2019, hal. 192., menyebutkan bahwa pada masa Nabi SAW, harga mata uang dirham nilainya setara dengan 1/10 dinar. 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas murni.

Jadi, bila dihitung-hitung, 2 dirham itu sama dengan 2 x 0,425 gram emas= 0,85 gram. Andaikata 1 gram emas hari ini harganya 100.000, berarti 0,85 x 100.000 = 85.000. Lha, kalo 500 dirham dikalikan 85.000, berapa duit itu? Monggo hitung sendiri.

Lebih mencengangkan lagi pemberian Al Qadhi Abdullah bin Ghanim seperti yang diceritakan Ibnu Raqiq berikut ini:

عبد الله بن غانم القاضي كان له ابن، فجاء من عند معلمه فسأله عن سورته وحفظه، فقرأ عليه أم القرآن فأحسن في قراءته، فدفع إليه عشرين دينارا… [مواقف وأحوال – هكذا كان السلف ينفقون على تعلم أولادهم القرآن]

"Al-Qadhi Abdullah bin Ghanim mempunyai seorang anak laki-laki. Ketika anaknya pulang dari rumah gurunya, ia menanyakan apa yang barusan dipelajari dan dihafalkan dari Al-Qur’an. Maka anaknya menjawab dengan membacakan surah Al-Fatihah dengan bacaan yang bagus. Karena gembiranya, sang Qadhi mengirimkan hadiah untuk guru anaknya tersebut 20 dinar." (Lihat, http://almahajjafes.net/مواقف-وأحوال-هكذا-كان-السلف-ينفقون-على/ . Juga dalam https://www.souhnoun.com/الأولياء-و-الصالحون-في-تونس/عبد-الله-بن-غانم-القاضي/


Pengalaman Imam Abu Hanifah dan Al-Qadhi Abdullah bin Ghanim di atas apakah bisa dijadikan sandaran bolehnya orangtua memberi hadiah kepada guru yang mengajarkan anaknya sesuatu? Demikian juga, apakah dapat dijadikan argumentasi guru diperkenankan menerima hadiah pemberian orang tua murid?[]

Sebuah institusi pendidikan mengeluarkan kebijakan melarang Pendidik dan Tenaga Kependidikan menerima atau meminta hadiah dari orang tua peserta didik itu sah-sah saja. Apabila larangan itu dimaksudkan untuk membangun iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel, serta bermaksud untuk merawat integritas dalam proses pendidikan, rasa-rasanya kebijakan itu memang diperlukan.

Marwah pendidikan itu ada di tangan guru, orang tua dan masyarakat, dan institusi pendidikan. Maka, tanggung jawab membangun iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel ada di tangan ketiganya secara kolektif. Artinya, kesadaran bersama untuk membangun kultur pendidikan yang baik melalui kebijakan tertulis atau peraturan tidak bisa berjalan secara parsial.

Harus jujur diaku, tidak semua peraturan bisa langsung dipahami substansinya, apalagi diterima. Terlebih apabila peraturan tersebut menyangkut pembatasan atau bahkan pembatalan urusan yang menyenangkan seperti hadiah. Hadiah itu sering dimaknai sebagai rezeki “min haitsu la yahtasib”, atau “rezeki nomplok”.

Hadiah saat pembagian raport misalnya, atau saat kenaikan kelas dalam institusi sekolah itu termasuk rezeki “min haitsu la yahtasib” meskipun sudah bisa diprediksi. Sebenarnya secara psikologis, ini berdampak kepada jiwa selain guru wali kelas. Setuju atau tidak, begitulah adanya. Hanya saja, Pendidik itu etiketnya sering berjalan di depan mendahului ego. Maka, betapapun kontras ada di hadapannya ia bisa ditelan dalam diam.

Hadiah itu ibarat gula-gula, manis dan sedap rasanya. Menerima hadiah seperti mengemut gula. Karena itu, hampir tidak ada orang yang tidak suka apabila mendapat hadiah. Apalagi hukum asal hadiah dan saling memberi hadiah itu boleh. Dalam sebuah riwayat, saling memberi hadiah itu bisa memupuk sikap saling mengasihi.

Akan tetapi, meskipun hukum asal hadiah itu boleh, namun bila ia terkoneksi dengan jabatan, tugas pokok, dan institusi, boleh jadi itu tidak murni hadiah. Apalagi bila hadiah itu dikhawatirkan mengganggu pola interaksi yang bersih, prinsip transparansi, akuntabilitas, integritas lembaga, jabatan dan tugas pokok, reasoning pelarangan menerima atau meminta hadiah sebagai ucapan terima kasih bisa diterima.

Dahulu, Nabi SAW pernah menegur Ibn al-Lutbiyyah karena hadiah yang dia terima. Ibn al-Lutbiyyah ini pejabat yang mendapat tugas mengumpulkan zakat di Banu Sulaim. Ibnu al-Lutbiyyah datang kepada Nabi SAW melaporkan soal pendapatan pajak dan hadiah yang dia terima. Rupanya Nabi SAW tidak berkenan soal hadiah itu. "Kenapa Anda dulu tidak memilih untuk tetap tinggal di rumah ayah dan ibumu saja (tidak menjadi pejabat), lalu menunggu apakah Anda diberi hadiah atau tidak?" tegur Nabi SAW.

Lalu, di mana harus ditempatkan hadiah yang diterima Pendidik atau Tenaga Kependidikan dalam sebuah institusi? Rasanya, kasus Ibn al-Lutbiyyah lebih matching dipasangkan dari pada kaidah umum: “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai”.

Maka, boleh jadi keluhuran akhlak Imam Abu Hanifah dan Al-Qadhi bin Ghanim yang memberi hadiah kepada guru anaknya itu diberikan kepada guru privat, bukan guru yang sudah mendapatkan gaji resmi dari institusi seperti tempat guru itu mengajar. Tentu, hadiah seperti ini tidak terlalu perlu mempertimbangkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas sebab bersifat sangat personal.[]

Peraturan yang bersifat larangan, tentu punya konsekuensi-konsekuensi. Bila larangan itu tidak dipatuhi atau dilanggar, biasanya ada sanksi yang diterapkan semisal sanksi administratif. Maka, siapa pun yang menerima atau memberi hadiah sama-sama kena sanksi. Bila tidak ada sanksi, maka larangan itu menjadi kurang bermakna untuk apa dia dihadirkan.

Kemudian, bila tujuannya adalah ingin membangun iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel, serta merawat integritas dalam proses pendidikan, maka hal itu mencakup semua aktivitas. Artinya, pelarangan ini tidak hanya menyasar pada persoalan menerima atau memberi hadiah kepada wali kelas atau guru saja. Ini tidak komprehensif dan terlalu parsial.

Maka, uang “kerahiman” dari guru penerima sertifikasi atau dana hibah yang dihimpun koordinator ini bisa ditinjau kembali atau didiskusikan kembali. Demikian juga uang “kerahiman” yang dihimpun pada momen-momen tertentu seperti menjelang lebaran yang dipersembahkan kepada teman-teman yang menjadi garda terdepan sektor kebersihan sekolah sebagai tanda terima kasih.

Selama ini, pondasi bangunan alasan pemberian uang “kerahiman” itu adalah kompensasi atas tenaga membantu urusan administrasi guru atau wali kelas. Membantu dimintai tolong urusan fotocopy, jilid, bantu-bantu angkat raport wali kelas dari ruang guru ke ruang kelas, atau hal yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan pembelajaran.

Dengan diberlakukannya edaran larangan menerima hadiah atau tanda terima kasih, maka alasan-alasan di atas tidak bisa digunakan lagi sebagai dalil kebolehan menerima hadiah atau memberi hadiah. Lain hal bila ada kebijakan tertulis yang mengatur secara legal formal yang legalitasnya setara dengan aturan soal larangan menerima hadiah.

Buntut dari pelarangan dimaksud, suka atau tidak suka akan menyentuh soal uang “kerahiman” itu. Pertama, sama seperti Pendidik, Tenaga Kependidikan sudah mendapat gaji, tunjangan, gaji ke-13, asuransi, dan THR sesuai aturan kepegawaian dari institusi. Maka, pendapatan di luar pos-pos itu bisa dikategorikan sebagai hadiah.

Kedua, tugas dan fungsi Tenaga Kependidikan fokus pada penyediaan layanan administrasi Pendidik dalam urusan administrasi kepegawaian untuk menunjang proses pembelajaran. Jadi, Tupoksi mereka memang di sana tempatnya. Sementara Tupoksi guru merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran di kelas. Memang, Tupoksi Tenaga Kependidikan dan Pendidik saling terkoneksi, namun tidak sampai pada substitusi Tupoksi.

Ketiga, Tenaga Kependidikan serta elemen penunjang tugas dan fungsi setiap bagian sama kedudukannya, sama pula dalam perlakukan kompensasi atau penghasilan yang didapat selama bekerja sesuai aturan kepegawaiannya. Karena itu, alasan “kerahiman” tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam tata kelola kepegawaian.

Maka, yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah uang “kerahiman” itu termasuk hadiah atau bukan. Bila termasuk hadiah, maka sudah sepatutnya berlaku kebijakan larangan itu. Bila bukan, dimasukkan dalam kategori apa pemberian itu.[]

Iklim birokrasi pendidikan yang sehat tidak hanya berhenti pada soal larangan menerima dan memberi hadiah. Semua aktivitas yang melibatkan keuangan institusi pun harus dijamin kebersihan, transparansi, dan akuntabilitasnya. Misalnya kepanitiaan dalam sebuah event. Pintu masuk cukup lebar ada di sini untuk bisa diuji transparansi dan akuntabilitasnya.

Soal kepanitiaan dalam sebuah event, prinsip transparansi tampak kasat mata. Siapa dan jadi apa mudah sekali dibaca setelah SK atau Surat Tugas diterima. Apabila tidak ada indikasi ada person yang dipasang “selalu ada di mana-mana” dan person yang dikunci untuk “tidak ada di mana-mana”, ini sudah memenuhi prinsip keterbukaan dan keadilan. Maka, matrik atau grafik siapa yang terlalu sering dan terlalu kering dari akumulasi event dalam satu atau dua semester berjalan bisa dibuat dalam waktu sekali duduk.

Akan tetapi, menyangkut aspek keuangan, setiap event agak tertutup. Yang dimaksud aspek keuangan dalam konteks ini adalah peluang untuk menilai pembiayaan dan sumber keuangan secara keseluruhan sebuah event. Tidak semua persona panitia punya akses yang sama. Namun demikian, bila pengelolaan keuangan dijalankan dengan sistem atau aturan yang baku di mana setiap satu rupiah dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, maka itu transparan dan akuntabel.

Hanya saja, prinsip transparan dan akuntabel tidak berhenti di situ. Apakah distribusi keuangan kepanitiaan telah memenuhi prinsip keadilan atau belum. Memang perlu dada yang longgar menyoal isu ini selapang membaca tulisan ummi.leni.rahayu dalam akun Instagram-nya soal hadiah yang sudah di-like oleh 67. 240 orang itu.

Ambil contoh suatu event yang dilaksanakan di luar kota, memerlukan durasi dua sampai empat hari, dan harus meninggalkan keluarga serta kegiatan rutinnya di masyarakat. Bila kebijakan besar kecil distribusi honorarium panitia tidak cermat diperhatikan, misalnya selisih honorarium panitia yang umumnya wali kelas terlalu jauh nominalnya dengan honor guru yang posisinya hanya pendamping, ini bisa mengundang banyak spekulasi. Prinsip keadilan pun dipertanyakan.

Dasar argumennya sederhana. Pertama, semua event dalam konteks kegiatan itu dibiayai oleh peserta didik melalui uang kegiatan. Wali peserta didik membayar uang kegiatan itu dan tidak ada korelasinya dengan jabatan wali kelas, jabatan kepala , dan panitia pelaksana. Artinya, siapa pun yang dilibatkan dalam kepanitiaan satu event, dia berhak mendapat honorarium yang sama berkeadilan. Sebab, hakikatnya yang membayar honor panitia dan semua kegiatan itu itu uang peserta didik. Sekolah dan panitia hanya diberi mandat terbatas untuk mengelola keuangan itu.

Kedua, perbedaan besar kecilnya honorarium itu perkara wajar, asalkan bukan dikaitkan dengan jabatan wali kelas atau kepala . Mengapa? Karena kompensasi jabatan wali kelas atau kepala itu sudah ada mekanismenya sendiri, yaitu: tunjangan jabatan yang setiap bulan mereka nikmati, bukan pada gelaran event. Ada atau tidak ada event, mereka tetap menerima tunjangan setiap bulan sampai nanti jabatan itu selesai periodisasinya. Jadi, besar kecilnya honorarium rasanya lebih memenuhi rasa keadilan apabila didasarkan pada struktur kepanitiaan pada event tertentu.

Lagi pula, dalam setiap event, wali kelas akan selalu jadi panitia bergantung tingkat event tiap kelas di mana ia menjabat. Kepala sekolah bahkan selalu masuk dalam kepanitiaan hampir di seluruh tingkat. Pada event yang bersifat umum yang berlaku di semua tingkat atau pada event lintas unit atau yayasan, juga selalu ada di sana. Begitulah, privilege guru dengan tugas tambahan seperti di atas memang tidak sama dengan guru tanpa tugas tambahan apa pun. Di manapun, di setiap institusi pendidikan sekolah selalu begitu meskipun dengan kebijakan khas masing-masing.

Ketiga, selain perbedaan besaran honor karena posisi kepanitiaan, volume beban kerja juga harus menjadi dasar pertimbangan selisih honorarium. Untuk memenuhi prinsip keadilan tetes keringat, selisih ini sah. Adalah adil bila ada persona panitia yang beban tugasnya memikul 20,5 kg sound system lebih berhak menikmati selisih honor lebih besar volumenya dari yang hanya memangku bakul nasi yang seberat 2,5 kg. Jangan dibalik. Bila dibalik zalim namanya.

Setiap persona panitia juga harus fair. Bila dalam distribusi tugas kepanitiaan ada panitia yang dapat tugas memanggul 20,5 kg beban dan ada panitia dapat tugas memangku 2,5 kg beban, itu “takdir” buatan manusia. Semuanya harus legowo. Takdir pun selalu berjodoh mengikuti potensi sunnatullah, bahwa “Tuhan tidak akan memberi beban di luar batas kesanggupan manusia”. Boleh jadi yang diberi beban lebih berat karena badannya tinggi kekar dan kuat. Sementara yang bebannya ringan karena tubuhnya cungkring dan suka sesak napas.

Keempat, bila dalam event itu panitia mendapatkan fee dari pihak ketiga seperti hotel, tempat wisata, armada bus, atau restoran maka ia harus didistribusi kepada semua panitia. Boleh jadi besarannya bervariasi mengikuti pola posisi kepanitiaan dan panitia yang menangani pos-pos tersebut. Maka, di sini leadership itu diuji. Jangan cawe-cawe. Apabila dasar pertimbangan pengelolaan fee ini bertumpu jabatan struktural atau siapa punya koneksi dengan siapa, maka kecenderungannya komersialisasi. Bila sudah komersialisasi, maka yang terjadi “saya dan apa dan dapat berapa”. Ini tidak elok dipasangkan dengan semangat kolaboratif dan kebersamaan.

Event-event kepanitiaan seperti ini sebenarnya lebih krusial diperhatikan bila tujuannya untuk menciptakan iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel daripada sekadar persoalan hadiah kepada Pendidik. Event-event kepanitiaan lebih krusial karena agak senyap, tapi potensi transparansi dan akuntabilitasnya dalam pengelolaan keuangan tidak sebening kaca.[]

Sebagai guru yang pernah mengajar di sekolah sangat bersahaja, kebersamaan dalam arti yang sebenarnya kami nikmati setiap hari. Pada jam istirahat misalnya, sekolah hanya sanggup menyajikan bakwan jagung dan tahu goreng plus cabe rawit. Jumlahnya tidak kurang tidak lebih. Setiap guru hanya bisa menikmati satu keping bakwan dan satu kepal tahu. Cabe rawit boleh nambah sesuka yang dimau. Itulah kompensasi untuk “uang makan” kami, tidak seperti yang biasa dinikmati para guru yang mengajar di sekolah-sekolah berkelas.

Tidak ada privilege yang mencolok. Guru biasa, wali kelas, dan kepala sekolah sama-sama menjalankan fungsi pengajaran dan pendidikan. Tidak ada tunjangan jabatan, tidak ada THR, tidak ada asuransi, tidak pula gaji ke-3, tidak ada field trip. Semua fasilitas mahal itu seperti “makhluk asing” dalam dunia idealisme mengajar yang tulus. Kami tidak mengenalnya sama sekali.

Tiap kali asesmen suamtif berakhir –waktu itu istilahnya THB, Tes Hasil Belajar– kami dikumpulkan di ruang pengawas. Semua guru jadi panitia waktu itu. Ketuanya kepala sekolah, wakilnya bendahara sekolah dibantu seorang TU. Bendahara menyampaikan kabar bahwa ada sisa uang operasional THB. Kepala sekolah menyampaikan agar sisa uang dibagi rata saja.

Lalu, bendahara berkeliling mendistribusikan uang itu di atas meja kami lembar demi lembar sampai lembaran uang di tangannya habis. Bila sisa uang tidak cukup untuk didistribusi setiap meja untuk putaran berikutnya, maka uang itu disepakati diberikan kepada kepala sekolah dan bendahara. Bila rata-rata kami menerima 60 sampai 70 ribu rupiah, kami tahu, kepala sekolah dan bendahara masing-masing dapat 90 dan 85 ribu saja.

Betapa sederhananya prinsip keadilan diterjemahkan dengan cara demikian itu. Tapi, kami semua bahagia. Uang 60 sampai 70 ribu saat itu rasanya besar sekali di banding honor kami yang bervariasi dari angka 15 ribu dan yang tertinggi 50 ribu per bulan. Namun, jangan terlalu takjub, itu berlaku pada 1994, tiga puluh tahun yang lalu, saat kita para guru belum mengenal transaksi dengan GoPay.

Rasanya kami para guru amat beruntung. Satu sama lain saling menaruh hormat, terutama kepada guru-guru yang lebih dahulu mengabdi. Tidak pernah ada “api dalam sekam”, di luar tampak adem, di dalam yang membakar cemburu. Hampir tidak ada pemantik yang menciptakan api di sana.

Iklim sekolah yang bersih, transparan, akuntabel, dan integritas para pendidik begitu menonjol. Cara menyuburkannya pun dengan pupuk sederhana yaitu kebersahajaan dan dari kesyukuran sekeping bakwan jagung dan cabe rawit, bukan dengan bungkus-bungkus artifisial bermotif batik.[]

Setiap guru punya peran mengantarkan peserta didik menyelesaikan proses belajarnya di sekolah. Bila diibaratkan buah, pada tingkat bawah peserta didik yang datang masih hijau beranjak menguning. Di tengah, kuning itu meredup menjadi kemerahan. Nanti di atas, merahnya sempurna. Tandanya dia sudah matang.

Sampailah masa wisudah digelar, toga akan disematkan di kepala mereka dengan senyum semringah, itu hasil sentuhan tangan para guru dari semua tingkat yang dilalui mereka. Namun, siapa pendidik yang paling berjasa mengantarkan toga itu?

Secara simbolik, yang paling berjasa adalah mereka yang menerima sekuntum bunga, mereka yang hari itu menghirup keharuman bunga di antara riuh gemuruh tepuk tangan wisudawan dan tamu undangan.

Banyaklah yang tepekur. Menitik air matanya menyaksikan haru membuncah. Ada yang segera beranjak pulang. Dia tak sabar ingin segera menghirup keharuman bunga. Keharuman bunga itu rupanya tidak jauh dari pelataran rumah. Ia menyeruak dari rambut anak-anaknya yang belum keramas dari habis bermain layang-layang di tegalan. Harumnya memang tidak semewah aroma setangkai mawar yang didapat di forum wisuda, tapi bau rambut anak-anak biologisnya itu autentik. Keharumannya bukan artifisial dari simbol setangkai mawar.[]

Iklim birokrasi pendidikan yang bersih, transparan, dan akuntabel serta berintegritas memang selalu dirindukan para perindu.

Ciputat, 21 Oktober 2024.
Ruang Guru

Balada Kh*ng Gu*an Isi Rengginang

Khong Guan Rasa Rengginang. Ilustrasi dari https://www.merahputih.com/


PAK Mu’ti yang Sekum PP Muhammadiyah itu orangnya jenaka. Kadang kejenakaannya memaksa orang nyengir tapi sambil mikir serius. Seperti twitnya soal masjid dan rengginang misalnya. Saking dipikirin, boleh jadi malah bikin beberapa gelintir otak pengurus DKM Muhammadiyah “anget”.

“Masjid Muhammadiyah harus dikelola dengan baik agar tidak seperti kaleng Kh*ng Gu*an. Luarnya biskuit, dalamnya rengginang. Namanya Masjid Muhammadiyah, amaliah ibadah dan kegiatan bertentangan dengan Muhammadiyah.”https://x.com/abe_mukti

Meskipun bahasanya agak menggelikan karena jenaka, tapi cukup bikin malu. Geli, sebab mengundang tawa kecil seperti anak kecil tengah merasakan ketiaknya yang sedang digelitiki. Juga malu, sebab tidak jarang ada pengurus masjid Muhammadiyah mengabaikan masjidnya sendiri. Apa tidak malu pada kaleng Kh*ng Gu*an dan rengginang?

Sindiran Pak Mu’ti ini perlu diperhatikan, loh. Terlepas beliau serius atau sedang guyon. Tapi, rasa-rasanya beliau serius meski dibungkus guyonan serenyah rengginang. Maka, boleh jadi sebenarnya ini warning orang penting di PP Muhammadiyah yang juga Guru Besar di UIN Jakarta.

Masjidnya masjid Muhammadiyah, tapi, bila amaliah ibadah dan kegiatannya bertentangan dengan Muhammadiyah, ini insiden tidak berdarah. Pertanyaannya, kemana pengurus Muhammadiyahnya? Kemana saja Pengurus DKM-nya? Kemana saja jamaah Muhammadiyahnya? Apa mereka sudah jadi “rengginang” semua? Bila memang sudah jadi “rengginang” semua, maka tutup bukulah itu masjid Muhammadiyah.[]

MASJID meskipun dibangun oleh Muhammadiyah, itu milik umat. Maka, tidak boleh dia dibatasi untuk Muhammadiyah saja. Begitu kata sebagian kelompok. Betul, betul sekali. Tidak ada masjid Muhammadiyah ditutup untuk umat selain anggota Persyarikatan. Welcome. Ahlan wa sahlan. Bienvenue. Wilujeng sumping. Silakan ikut shalat, tidak perlu izin. Namun, bila dengan alasan masjid itu milik umat lalu berdiri mengambil “posisi imam” pada shalat-shalat maktubah, itu soal lain.

Silakan ikut kajian di masjid Muhammadiyah bila berminat karena ia milik umat. Warga Persyarikatan tidak akan menghalangi, boleh jadi itu akan jadi wasilah bagi siapa saja yang ingin memahami jam'iyyah yang sudah berusia 122 tahun ini. Tapi, bila datang untuk “merebut” mikrofon, itu soal lain.

It’s very clear![]

SETIAP orang tentu punya ciri khas dan akan mempertahankan ciri khasnya itu. Alasannya sangat sederhana, bahwa setiap pribadi ingin jadi dirinya sendiri, ingin menjadi pribadi yang autentik. Saya percaya, bila ada orang –teman akrab sekalipun– yang berusaha mengubah autentikasi dirinya supaya menjadi orang lain dia akan mikir berkali-kali. Gak mau lah tentunya. Biskuit dan rengginang saja punya ciri khas sendiri-sendiri bukan? Jadi, rengginang tetaplah rengginang meskipun rumahnya Kh*ng Gu*an.

Bila persona saja ingin punya ciri autentik, apalagi jam'iyyah seperti Muhammadiyah, tentu juga punya ciri khas dan akan dipertahankan ciri khasnya itu oleh anggotanya. Salah satu ciri, karakter, dan identitas Muhammadiyah tentu melekat pada AUM-AUM-nya, termasuk masjid. Maka, masjid Muhammadiyah pasti akan diwarnai dengan amaliyah Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan warga Muhammadiyah.

Orang boleh tidak setuju dengan cita-cita, karakter, amaliyah, dan misi dakwah pembaruan Muhammadiyah sebab berbeda dengan manhaj yang dianutnya. Itu sah dan dilindungi undang-undang. Akan tetapi bila sudah offside –menuduh Muhammadiyah sebagai dakwah hizbi, sama dengan Syi’ah, melahirkan bid’ah versi modern, dan memprovokasi orang untuk berIslam tanpa Ormas– ini sudah lain cerita. Ini namanya degig.

Degig masih boleh asalkan sopan. Degig yang sopan itu seperti mengkritik Muhammadiyah, tapi tetap shalat di masjid Muhammadiyah dan tidak bikin ulah. Namun, kalau sudah mulai berani menonjolkan manhaj di rumah orang lain, apalagi meminta atau memasang circle-nya naik mimbar memegang mikrofon baik sebagai khatib dan pengisi kajian dengan pemahaman yang tidak sejalan dengan garis Persyarikatan, ini bukan degig lagi. Ini over degig.

Sudahi saja kedegigan itu. Bagaimana caranya? Simpel saja. Yakini dan pegang teguh manhaj sendiri, tapi, jangan usik manhaj Muhammadiyah. Apalagi melakukan infiltrasi ke dalam tubuh Persyarikatan. Bila tidak ingin orang bereaksi, bangun amal usaha sendiri dan silakan berekspresi sebebas-bebasnya di sana.

Kalau begitu, Muhammadiyah anti kritik, dong? Bukan, ini bukan soal anti kritik, ini soal menjaga identitas. Apa ada orang yang berpegang pada pendapat bahwa musik itu haram, lalu ada tamu berkunjung membawa gitar ke rumahnya. Lalu, tamu itu seenaknya nyanyi-nyanyi genjrang-genjreng di dalam rumahnya? Itu tamu tidak punya adab. Si tuan rumah pasti marah, bila perlu diusir itu tamu jauh-jauh.[]

OBAT agar masjid Muhammadiyah tidak jadi seperti kaleng Kh*ng Gu*an seperti guyon Pak Mu’ti juga bukan perkara teramat berat seperti beratnya memanggul gunung. Pertama, warga Persyarikatan rajinlah memakmurkan masjid dengan shalat berjamaah bila tidak ada uzur syar’i. Terutama Pengurus DKM yang diberi amanah.

Jabatan yang dipegang sebagai Pengurus DKM bukan sekadar nama yang tertera pada kertas SK yang dibubuhi tanda tangan dan dicap stempel Persyarikatan. Ia akan diminta tanggung jawabnya di hadapan Allah kelak, terutama tanggung jawab memakmurkannya dengan menghadiri shalat jamaah. Bila pengurus DKM emoh shalat jamaah, lalu siapa yang akan memakmurkan? Rengginang? Ingat, rengginang tidak kena kewajiban memakmurkan masjid, tidak juga wajib mendirikan shalat.

Kedua, warga Muhammadiyah dan Pengurus DKM rajinlah mengikuti kajian yang diselenggarakan di masjid-masjid Muhammadiyah. Bila kajian di masjid Muhammadiyah sepi karena warga Persyarikatan tidak peduli, lalu siapa yang mengikuti? Orang lain mungkin saja hadir, tapi setelah shalat mereka pulang atau melanjutkan perjalanan karena sekadar mampir.

Tentu, tidak pula dinafikan adanya upaya infiltrasi itu. Upaya itu memang riil di beberapa AUM Muhammadiyah. Dan, ini bukan rahasia lagi. Apalagi bila sudah ada indikasi pengurus DKM malah pergi mengikuti kajian di tempat lain sementara di masjid tempat dia harus berkhidmat sedang ada pengajian Ranting. Apa mau diam saja?

Jadi, wajar bila ada masjid-masjid Muhammadiyah diibaratkan seperti kaleng Kh*ng Gu*an tapi isinya rengginang. Ini bukan sepenuhnya salah orang lain, ini salah warga Persyarikatan dan Pengurus DKM-nya yang tidak open pada masjidnya sendiri, pada pengajiannya sendiri.

Ketiga, segera laksanakan instruksi PP Muhammadiyah agar semua wakaf AUM termasuk masjid diubah sertifikatnya atas nama Muhammadiyah. Masjid-masjid Muhammadiyah yang masih berstatus di bawah kekuasaan wakaf nadzir segera di-update legalitasnya. Upaya ini penting untuk menutup celah pihak-pihak yang berusaha mengkudeta masjid sebab akan berhadapan dengan Muhammadiyah yang secara hukum sangat kuat dibanding kedudukan nadzir.

PRM bisa bekerja sama dengan Majelis Wakaf sebagai majelis yang berwenang mengurus masalah ini. Bila ada nadzir yang belum paham masalah ini, beri dia paham bahwa upaya ini untuk kemaslahatan yang lebih besar. Bila nadzir tetap keukeuh dan menjadi batu sandungan, berdoa saja, semoga segera mendapat hidayah.

Jadi, begitulah soal twit Pak Mu'ti. Ia ibarat Balada Rengginang di Kaleng Kh*ng Gu*an. Konon, hari ini ada berita Pak Mu'ti dipanggil untuk diberi amanah mengurus Kemendikdasmen. Pak Mu'ti jadi menteri. Entahlah, semoga bukan prank. Bila benar jadi menteri, apakah Pak Mu'ti tetap jenaka dan suka rengginang? 

Kita tunggu.

Ciputat, 14 Oktober 2024.
Dari Balik Catatan Kader.




Enjoy In The Second Life

Aku dan sahabat sedang meresapi qoute-nya Helen Keller: "Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light" di Kota Bambu Selatan, Slipi, Senin 07 Oktober 2024.

Hari yang ajaib. Tubuhmu “dimatikan sementara”. Kehidupanmu dikuasai fungsinya oleh alat-alat medik. Pisau bedah merobek. Jarum dan benang menjahit. Alat-alat warisan Abul Qasim az-Zahrawi 1.011 tahun yang lalu itu menjalankan fungsinya di meja bedah.

Dokter bekerja cermat. Semua dihitung dengan akurasi amat presisi. Sebab taruhannya hidup atau mati. Aku tidak bisa menebak ada di mana titik pasrahmu saat itu bersemayam. Mungkin sudah pada maqam syatahat-nya para sufi, di mana hidup dan mati sama-sama tiada beda, sebab keduanya mengantarmu pada gerbang kebahagiaan yang dicari-cari pemburu rida Tuhan. Begitulah kamu kemarin, saat ikhtiar perobatan berhenti di ruang operasi.

Hari yang sungguh-sungguh ajaib. Saat dokter berjuang mengatasi kebocoran jantung yang kamu derita, jantung dan paru-paru sintetis mengambil alih fungsinya. Alat-alat itu bekerja persis seperti kerja jantung memompa darah dan paru-paru memompa oksigen. Tuhan tahu, dokter-dokter itu bukan sedang menyaingi Diri-Nya dengan jantung dan paru-paru buatan yang dipasang di luar tubuhmu. Tuhan tahu, dokter-dokter itu hanya sedang menyempurnakan ikhtiar hambanya yang sabar. Tuhan tidak pula cemburu sebab mahakarya-Nya diambil alih.

Manusia wajib mencari kesembuhan dari setiap penyakit. Sedangkan Tuhan, tiadalah Dia menciptakan penyakit melainkan Dia menyandingkannya dengan obat peyembuh. Bila obat penyembuh itu adalah operasi, maka Tuhan mengizinkan. Aku percaya, kamu telah mengatasi semua tekanan dari bayang-bayang operasi teramat berat dan menakutkan. Bukan lagi soal rasa sakitnya, melainkan risiko paling fatal bila operasi mengalami kegagalan.

Mataku mengembun mendengar ceritamu. Segera kualihkan wajah, menyamping sambil menatap gerbang pintu yang terbuka. Angin semilir masuk dari celah itu. Ke sana lah wajahku kuhadapkan agar embusannya segera menyapu embun di mataku agar segera kering. Aku malu bila titik air mata itu memberitahumu dan menyangka bahwa aku sedih, sementara kamu begitu pasrah saat bercerita.

Tapi jangan salah paham, itu bukan air mata sedih sahabat, bukan. Itu air mata campuran partikel-partikel haru biru, bahagia merah merona, bersyukur seputih kapas, takjub yang menjingga, dan entah apalagi warna perasaan yang menggumpal mendapati keadaanmu sekarang. Kau tahu, bila air mataku itu disiram cahaya matahari pagi di pematang bawang di kampungmu yang hangat, kau akan melihat kilau seperti kristal menari-nari di wajahku.

Sebelumnya, ada bagian dari ceritamu yang membuat aku berpikir, pantas saja banyak orang menjadi kufur sebab alat-alat canggih hari ini bisa mengambil alih fungsi hidup sehingga mereka mengingkari adanya Tuhan. Orang-orang itu menihilkan kuasa di atas segala kuasa karena meyakini kehidupan itu berjalan alami tanpa campur tangan siapa pun termasuk Tuhan. Bahkan Friedrich Nietzsche menyebut “Gott ist tot” atau “Tuhan telah mati”. Si filsuf Jerman ini terlalu durhaka. Bila durhaka Fir’aun baru sampai merampas posisi Tuhan dengan mengaku sebagai “ana rabbakum al-a'la”, Nietzsche bahkan berani terang-terangan “membunuh tuhan”.

Namun bagi kita, Allah adalah Tuhan Yang Maha Hidup. Dia pula yang pantas menyandang sebagai Yang Maha Menyembuhkan. Karena Allah lah kita menyimpan harapan yang tidak pernah kering untuk sebuah kesembuhan. Maka saat kesembuhan itu menghampiri, lupalah kita pada kesombongan manusiawi sambil berujar, “wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin”. Namun, masih pula kita menyisakan terima kasih pada manusia yang membantu ikhtiar kesembuhan itu.

“Selamat, Pak. Operasi jantung Bapak sukses.” Itulah kalimat pertama yang kamu dengar dari petugas medik di saat pandangan matamu masih kabur karena efek anestesi operasi besar. Saya percaya, andaikan kamu bisa menangis saat itu, pastilah pecah tangis bahagiamu memenuhi langit-langit bangsal perawatan. Aku saja yang mendengarnya, menghangat mataku beberapa detik.

Itulah hari di mana kehidupan kedua diberikan Allah padamu. Ya, Tuhan kita ini Maha Sayang, sayang sekali. Kamu sudah “mati” berjam-jam. Namun, Allah mengembalikan ruhmu untuk melanjutkan hidup. Buhul-buhul yang mengikat tubuhmu hingga terbaring kaku di meja operasi lepas satu persatu.

Sahabat, nikmatilah kehidupan keduamu. Kamu yang rendah hati di hadapanku berkata, “Kalau bukan juga karena doa-doa teman-teman semua, aku tidak tahu bagaimana bisa melewati semua ini. Terima kasih.” Dan hatiku meleleh. Lalu, saat bekas sayatan di dadamu itu kau perlihatkan padaku, aku memejam. Aku tidak sanggup dan tidak ingin berlama-lama melihat. Entah, aku tidak bisa menafsirkan perasaanmu saat kali pertama mendapati sayatan itu. Hatiku berubah sesenggukan.

Siang ini, hatiku meleleh lagi mendapati pukul 14.05 kau kirim gambar sudah di Cirebon. Sebentar lagi sampai di muka pintu rumah. Berbahagialah, ada ibu yang sudah menanti di sana. Enjoy your second life.

Ciputat, 09 Oktober 2024.
Dari Balik Manisnya Persahabatan.

Jurusan Dunia Akhirat




Simran dan Raj dalam Dilwale Dulhaniya Le Jayenge. Foto milik https://bollywood.id/


BOLEH jadi ini sebuah kelemahan. Bila sudah fokus pada tuts alfabetik, maka ke sana lah semua perhatian tertuju. Kadang segala panggilan menguap seperti asap seduhan kopi. Jangan pula ditanya pesan WhatsApp. Paling sekadar di toleh sebentar, dibalas sekadarnya, setelah itu forgeted. Ini tidak baik sebenarnya.

Kehilangan dua handphone dalam semalam dengan nomor kontak belum sempat dipindahkan ke Google Drive itu bikin nyesek. Bukan saja kehilangan gawainya, tapi juga jeroannya yang penting-penting termasuk nomor kontak darurat yang sewaktu-waktu sangat dibutuhkan.

Maka belakangan, banyak pesan Whatsapp tidak muncul nama kontak pengirim. Tapi karena sedang mengejar deadline, pesan yang masuk dibaca sejenak, dijawab alhamdulillah dan terima kasih. Seperti pesan undangan walimah seminggu yang lalu, namun abai memeriksa siapa pengirimnya dan kapan resepsi itu akan digelar.|

Malam Minggu kemarin saya izin keluar rumah. Bukan untuk nongkrong di kedai kopi. Rasanya, hangout bukan masanya lagi buat saya, seperti anak-anak muda yang jenuh lalu membunuh waktu sambil menyesap cairan hitam Coffea Arabica. Di samping soal usia yang sudah tidak lagi muda, “umur” di dompet juga tinggal beberapa tarikan napas saja.

Keluar malam Minggu kemarin itu untuk urusan literasi. Saya perlu menemui narasumber, sumber primer. Orang ini kunci pembuka jendela informasi bahan penulisan biografi seorang tokoh agama yang sedang saya persiapkan. Dari informasi awal, narasumber memegang banyak dokumen penting yang melibatkan tokoh yang akan saya angkat. Jadi, itu acara malam Mingguan saya kemarin.|

SELESAI jamaah Isya, perasaan begitu saja berbisik soal WhatsApp. Rasanya pernah ada pesan undangan digital resepsi kira-kira seminggu sebelumnya. Akan tetapi, detail waktu, tempat, dan resepsi siapa belum sempat dibaca. Ah, nanti saja dibuka saat sudah sampai di rumah narasumber.

Rupanya, malam itu tak berjodoh dengan narasumber. Di samping mencari-cari di mana letak persis rumahnya, tidak juga bertemu orang yang bisa ditanyai. Ya sudahlah, pulang saja untuk persiapan acara Subuh esok. Lagi pula, perlu telaah materi sirah yang akan dibahas.

Sebelum pulang baca WA dulu. Scroll ke bawah. Entah di mana undangan resepsi itu terselip. Pesan sudah kadung menumpuk. Urusan nilai anak-anak, urusan kajian, urusan sapa-menyapa mengingatkan jadwal, dan banyak lagi urusan tetek bengek yang enteng-enteng. Puyeng.

Aduh! Mengapa tidak memanfaatkan search engine? Padahal dengan kecerdasan buatan fitur mesin pencari itu pesan bisa ditemukan dalam hitungan detik. Ya, ketemu! Saya baca pelan. Ee, busheng?

Terhenyak. Ini acara resepsi pernikahan putri dari seorang teman sekelas sewaktu belajar di madrasah dulu. Ya salaam. Ampun, dah.|

TIGA puluh tiga tahun silam kami bertemu, sama-sama belajar di sekolah yang tumbuh di dekatnya pohon asem. Besar dan tua pula pohon asem itu. Jangan tanya rasa buahnya; asem banget, loh. Suer.

Naik kelas dua, ada jurusan IPS dan IPA. Tapi, moyang saya bilang, “Jangan ambil jurusan itu! Itu jurusan dunia doang. Ambil jurusan dunia akhirat saja.” Entah kebetulan, kami mengambil jurusan yang sama; Jurusan Agama, Jurusan Dunia Akhirat.

Begitulah umumnya moyang kita memandang hidup dengan kacamata sederhana, tapi menghujam. Takut sekali mereka bila generasinya cakap dalam urusan dunia, tapi agamanya belepotan. Padahal belum tentu begitu. Banyak kok, siswa bengal yang waktu sekolah jurusan agama, tapi kelakuan macam orang ‘gak kenal agama. Masa, sekolah di Aliyah, bawa bekel Mension Whiskey? Minumnya mojok di warung Bang Jaya. Kan, koplak. Ha ha ha ....

Tapi, banyak juga alumnus jurusan IPS atau IPA itu pada salih dan salihah. Satu dua dari mereka tidak kalah baiknya dalam urusan agama. Dalam urusan dunia, tidak sedikit dari mereka lebih berjaya. Jadi, sudahlah agamanya baik, penghidupannya juga mapan. Kan, asik. Ini calon mantu ideal.|

SAYA dan pengirim pesan WhatsApp ini duduk di kelas yang sama. Kami tidak terlalu dekat, jaga jarak juga tidak. Biasa saja. Ngobrol sesekali bila dirasa perlu. Paling-paling ngobrolin urusan pelajaran. Itu pun bisa dihitung jari.

Mau becandain, rasanya ngeri-ngeri karena tak pandai bergurau. Apalagi dia bukan tipe “pecicilan” yang lari-lari dan jingkrak-jingkrak mulai dari barisan depan sampai baris belakang pas jam kosong sambil nyolek-nyolek temen laki-laki. Haaa …. ‘gak kebayang.

Dia ini kalem, cool. Gadis seperti ini sukar ditebak. Meskipun ada isyarat arah angin bertiup, masih juga sukar diduga condong ke arah mana sebenarnya yang dituju. Tapi, se-cool-cool-nya dia, matanya yang jeli itu kadang bikin grogi bila dia menatap. “Aduh, gua salah apa ya diliatin?” Begitu satu dua kali membatin pas tidak sengaja bertemu mata. Padahal, itu tatapan mata biasa. Cuma rasa hati saya saja yang ke-ge-er-an.

Karena tidak terlalu confidence bila urusannya teman lawan jenis, keseringan mlipir lah saya ini. Maka satu waktu, saya hanya menghabiskan kesempatan untuk diri sendiri saja. Mungkin sebab alasan ini, tempo hari teman ini meledek saya “U… z angkuh”. Ha ha ha. Boleh jadi sejak masih sekolah dulu pun, diam-diam dia sudah meledek begitu. Jangan-jangan, bukan hanya dia menganggap diri ini angkuh, yang lain juga.😂

Although she likes to tease me for being arrogant, at least she is a good friend. Dan saya tetap menghargainya sebagai teman.

Di kelas, ada banyak teman dengan segala tingkah-polah dan kecerdasan yang beragam. Rokib (semoga Allah merahmatinya), adalah teman yang paling ngocol, pandai qasidah, dan suaranya enak di telinga. Rokib selalu bisa membawa suasana menjadi jenaka.

Ada juga Zuhairi, si penyuka lagu India. Bila tidak salah ingat, di kelas Zuhairi pernah menyanyikan “Jab Hum Jawan Honge” lagu dari soundtrack film Betaab, film era 80-an. Pede sekali dia bernyanyi. Gayanya macam artis Bollywood saja saat itu. Karena distingsi Zuhairi ini, saya tidak menampik, Zuhairi meninggalkan kesan cukup apik bagi saya meskipun kami tidak terbilang akrab.

Lagu “Jab Hum Jawan Honge” ditulis oleh Anand Bhaksi. Di tangan komposer R.D Bhurman, lagu yang dibawakan Lata Mangeshkar dan Shabbir Kumar ini enak banget, apalagi diputar bila sedang kasmaran. Gara-gara Zuhairi ini, saya jadi penasaran. Pas nonton layar tancep di kampung sebelah, eh ada diputar film ini. Sejak itu jadi kenal siapa itu Sunny Deol yang tampan dan Amrita Singh yang menawan, aktor pemeran Betaab.

Lokasi syuting film ini di Lembah Betaab (Betaab Valley). Letaknya sekitar 15 kilometer dari Pahalgam, Distrik Anantnag, Kashmir. Dulunya dikenal Hagan Valley atau Hagoon. Belakangan, nama Betaab Valley lebih populer karena kawasan ini digunakan sebagai lokasi syuting Betaab.

Hamparan padang rumput nan hijau serta pegunungan dengan salju di puncaknya sangat memukau Betaab Valley. Suara gemericik dari aliran sungai Lidder dengan air yang jernih dan pepohonan yang mengelilingi lembah bikin adem. Boleh jadi, jiwa Zuhairi lebih dulu menari-nari di Betaab Valley saat ia menyanyikan “Jab Hum Jawan Honge” waktu itu dengan penuh perasaan. Jadi, badan dan aksinya ada di kelas, jiwa anak ini ada di Kashmir.

Teman dengan “kecerdasan Indiahe” mirip Zuhairi kayak gini, sebenarnya bikin was-was saat hujan turun mencurah bumi. Apalagi saat hujan itu dia sedang duduk di bangku di taman dengan koyo cabe masih menempel di kening karena meriang. Wah, bakalan menghambur, bernyanyi, dan berjoget sambil meluk-meluk tiang lampu taman dia. Zuhairi tidak peduli dengan meriangnya lagi. Dia terus saja berhujan-hujan, bernyanyi dengan bahasa terdengar mirip“tumbar miri jahe” seolah dirinya adalah Raj Malhotra yang sedang berusaha memancing perhatian Simran Singh dalam lakon Dilwale Dulhania Le Jayenge.|

INI gimana? Masa, pakaian mau kondangan macam pakaian koboi begini. Mau pulang dulu, nanti terlalu malam. Mau datang esok hari, ah enggak, di samping sudah tidak ada menu spesial, nanti malah diledek lagi sebagai “U… z angkuh”. Datang saja lah.

Ini lagi-lagi soal persepsi yang sukar saya lupakan. Di benak saya, bila dapat undangan resepsi yang kepikir: pasti acaranya hari Minggu, meskipun undangan belum dibaca. Selalu begitu.

Memang, fakta resepsi “pasti acaranya hari Minggu” sering ada benarnya. Namun, pikiran “pasti acaranya hari Minggu” ini satu dua kali sesat menyesatkan. Satu waktu saya dapat undangan dari security madrasah tempat saya mengajar. Ya, itu, dikira acaranya hari Minggu, ‘gak taunya malah hari Rabu. Melesetnya hampir dua kilometer.|

AH, saya bersyukur, masih bisa hadir memenuhi undangan teman ini meski penampilan ala kadarnya. Senang sekali melihat dia bahagia bersama sang suami. Bahagia sudah punya menantu, bentar lagi menimang cucu. Semoga selalu bahagia sampai tua.

Senang juga masih sempat bertemu satu dua teman yang lain, sisa-sisa masa lalu di sekolah. Ada teman yang mengaku sudah punya cucu, yang mengaku kaget saya ini beda banget dari yang dulu, juga ketemu teman yang sempat menyelisik, “Ente ‘gak ada di grup alumni, ya?” Et dah, gua jawab apa, kata hati ingin mengelak.

Khairu al-ashab man yadulluka ‘ala al-khair. Teman yang baik itu adalah mereka yang menunjukan kamu pada kebaikan. Begitu kata pepatah Timur Tengah.“Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light,” begitu kata Helen Keller (1880-1968), penulis, aktivis politik, dan dosen Amerika yang gigih mengumpulkan dana untuk orang-orang buta dan tuli ini. Kata Keller, berjalan dengan seorang sahabat di kegelapan lebih baik daripada berjalan sendirian dalam terang. Demikianlah selalu saya berharap setiap kali berkumpul bersama teman dan sahabat.

Ustazah Ruaithoh teman yang baik. Dekat dengan pengajian. Banyak mencerahkan emak-emak di majelis taklim asuhannya. Semoga selalu melimpah berkah dalam rumah tangga bersama suami. Maafkan atas salah persepsi soal waktu resepsi kalian.

Untuk Bella dan suami, selamat menempuh hidup baru. Bella, berbaktilah pada suami di kala senang dan di kala susah, nanti kamu akan merasakan cinta sejati seorang lelaki. Untuk Dimas, lindungi dan sayangi istri sampai akhir hayat, nanti kamu akan merasakan manisnya bakti seorang perempuan. Barakallahu laka wa baraka alaikuma wajama’a bainakuma fii khair.

Ciputat, 08 Oktober 2024.
Dari Balik Jendela Ingatan

Misteri Paku Seorang Muazin

Ilustrasi muazin. 

Pengumandang azan Subuh itu telah pergi. Dia meninggalkan rekaman abadi. Bukan pada pita kaset, pada keping piringan hitam, atau pada perangkat digital. Bukan. Sebab dia tak pandai pada media-media profan itu.

Suaranya yang yang khas sudah terekam dalam media buatan Tuhan. Menempel dalam memori setiap orang sekitar masjid Al-Huda, masjid Muhammadiyah yang megah di kampung kami. Apakah itu memori orang Muhammadiyah, memori orang Aswaja, bukan memori orang Muhammadiyah atau bukan pula orang Aswaja semua merekamnya.

Ayo! Kita bertaruh. Suara azannya itu bahkan terekam melekat pada memori orang Muhammadiyah atau orang Aswaja yang lupa sembahyang, lupa jalan ke masjid, atau lupa pada Tuhan seru sekalian alam. Semua merekamnya. Sebab rumah-rumah mereka yang pelupa itu hanya sejengkal saja berdiri di samping teritikan masjid, tetangga masjid, atau bahkan pengurus masjid atau musala.

Jadi, andaikata satu waktu pada tengah malam Tuhan berkehendak mengutus makhluk gaib untuk menirukan azannya sang muazin ini dari menara Masjid Al-Huda dengan suara yang persis sama, pastilah, baik yang ingat sembahyang atau yang lupa sembahyang akan bangun terperanjat lalu bergumam, “Itu azannya Bang Nasri!”[]

Muazin itu penyeru paling sabar, mengalahkan kesabaran orang yang paling sabar di kolong langit sekalipun. 
Tidak ada muazin yang mengadu kepada Allah karena kecewa panggilannya diabaikan. Dia tidak pernah ngomel-ngomel meskipun panggilan azannya diabaikan orang sekampung. Diabaikan orang se-Indonesia pun, dia tidak sakit hati. Bilal bin Rabah, atau Abdullah bin Ummi Maktum muazin kesayangan Nabi saja tidak pernah berdoa mengangkat tangan meminta, “Ya Allah, bikin saja orang yang mengabaikan azanku pada budeg semua!” karena sakit hati sebab seruannya tidak digubris.

Memang, apa hak muazin mesti sakit hati? Tuhan pemilik seruan azan itu saja tidak sakit hati kepada para pendosa yang dosanya sudah sundul ke langit. Mengapa? Karena muazin hanya penyambung lidah. Hakikatnya, Allah Yang Maha Besar lah yang sedang memanggil manusia, bukan sang muazin. 

Akan tetapi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menaruh keinginan buat membakar rumah orang-orang munafik yang mengacuhkan shalat berjamaah di masjid. ”Sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan muazin agar didirikan (iqamah) shalat, lalu aku perintahkan seseorang untuk memimpin shalat (berjamaah), kemudian aku mengambil bara api dan membakar (rumah) orang yang tidak keluar melaksanakan shalat berjamaah di masjid (tanpa alasan yang benar).” Demikian gambaran keinginan itu yang direkam oleh perawi hadits paling otoritatif; Imam Bukhari dan Imam Muslim.[]

Percayalah, manusia yang semasa hidupnya mengacuhkan azan, akan datang masanya dia merindukan azan melebihi rindunya kekasih ingin bertemu pujaan hatinya. Kapan? Nanti saat jasadnya akan disembahyangkan, saat kesempatan untuk memenuhi panggilan apa pun sudah diblokir.

Boleh jadi kita semua belum menyadari, bahwa azan tidak diizinkan dikumandangkan meskipun untuk panggilan shalat jenazah orang salih, tidak juga untuk mayat para bajingan. Azan seperti diblokir bagi sembahyang untuk semua orang yang sudah mati. Jadi, jangankan untuk shalatnya, untuk mendengarkan azannya saja kesempatan itu sudah ditutup.

Itulah mengapa ada banyak orang minta tangguh barang sedetik saat malaikat maut datang menjemput. Dia merengek-rengek memohon agar jangan dulu dicabut nyawanya karena dia ingin sedekah dulu, ingin jadi orang salih dulu. Boleh jadi juga karena dia ingin telinganya mendengar gema azan untuk kali yang terakhir.[]

Hampir sepuluh atau lima belas tahun Bang Nasri merekam azannya di udara. Dilantunkan panggilan itu berulang-ulang menembus langit. Kalimatnya sama, iramanya sama, durasi waktunya juga sama.

Dia jarang mengeluh, kecuali keluhan atas sakit kakinya yang sewaktu-waktu kambuh. Berjalannya jadi sudah tidak gesit lagi. Langkahnya limbung ke kiri dan ke kanan saat melangkah hendak menunaikan tugasnya di masjid. Sebagai “penyambung seruan Tuhan” dia jalani peran ini sampai akhir hayat. Azan Subuh pada Jumat 27 September 2024 menjadi azan Subuh terakhirnya berkumandang.

Kepada saya, seorang kerabat Bang Nasri bercerita. Beberapa waktu kemarin Bang Nasri ingin menyerahkan kunci masjid. Saya paham, boleh jadi karena kondisi fisik semakin payah dia tahan. Bukan mustahil karena khawatir kinerjanya terus menurun dan tugas-tugasnya sebagai marbot banyak terbengkalai.

Namun, takdir seperti tidak menginginkan kunci itu diserahkan. Malah kewafatannya pada Sabtu 28 September 2024 yang meluluskan niatnya itu semasa hidup. Itu penyerahan kunci yang tidak bisa ditolak dan tidak bisa ditarik kembali.

Sebelum meninggalkan masjidnya, Bang Nasri dua kali kehilangan paku. Paku itu cantolan, tempat biasa Bang Nasri menggantung kain atau celana di balik pintu di lorong sekira dua setengah meter dari kamar kecil. Itu kebiasaannya mengurangi ribet bolak-balik membawa kain tiap kali ke masjid. Tidak ada yang tahu, ke mana perginya paku itu. Boleh jadi paku itu sengaja pergi mendahului Bang Nasri seakan tahu tuannya sebentar lagi akan meninggalkannya.[]

Nasarudin bin Amit, muazin Masjid Jami Al-Huda Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pulo semasa hidup. Foto milik keluarg.a

Selamat jalan, Bang Nasri. Banyak orang akan merindukan azanmu. Banyak pula emak-emak tetangga Abang yang akan merindukan suaramu saat membangunkan mereka menjelang masak sahur setiap Ramadhan.

Di bulan Ramadhan, umumnya emak-emak itu bukan takut kepada para suami Bang, tapi, takut kesiangan! Sebab kalau mereka kesiangan, suaminya bisa marah, THR bisa diblokir. Karena itu, berapa banyak emak-emak terselamatkan dari marahnya suami mereka karena Abang rajin sekali membangunkan mereka. Sekarang, Abang telah pergi, pergi meninggalkan emak-emak juru masak paling andal di rumah tangga mereka masing-masing. Ramadhan esok, entah berapa banyak emak-emak yang kesiangan.

Bang, maafkan bila ada kata dan perilaku yang menggores di hati Abang semasa kita hidup dan bergaul. Mohon jangan adukan hal itu kepada Allah, tapi sampaikan kepada-Nya bahwa Abang telah memaafkan kami semua.

Sekali lagi selamat jalan. Semoga lapang kuburmu.

Ciputat, 01 Oktober 2024.
Dari meja kelas P5RA 8C Madrasah Pembangunan Jakarta.