Pendidikan Islam Finlandia dan Lawrence Kohlberg

Tangkapan layar suasana Ngaji Pekanan Tematik Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok #143. Tangkapan layar milik kumta.id

NGAJI Pekanan Tematik Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok malam ini seri ke-143. Narasumbernya “Orang Korea”; Ustaz Irfanuddin R,Lc., M.PD.I. Tema yang diangkat “Kaidah Dasar Pendidikan Islam”. Materinya sangat substansial. Saya ingin mencuplik bagian luarnya saja, yang ringan-ringan, yang tipis-tipis.

Iman, adab, dan ilmu menjadi titik berangkat bahasan Ustaz Irfan. It's exactly. Ketiganya itu core values pendidikan Islam. Core values ini warna yang membedakan pendidikan Islam dengan pendidikan sekular. Poin ini teramat penting. Ia mendesak untuk terus dibincangkan para pendidik muslim. Pangkalnya cuma satu, yaitu bahwa iman, adab, dan ilmu selalu berhadapan dengan sekularisme yang menggerus iman dan adab.

Ada poin yang cukup menohok dari uraian narasumber, soal muatan tahfizh. Boleh jadi, poin ini menjadi trend pendidikan di beberapa lembaga pendidikan Islam. Memang ia bukan sesuatu yang keliru. Trend ini baik. Akan tetapi, bila trend muatan tahfizh itu hanya fenomena latah atau sekadar komoditas pasar yang patut dijual, sedang ramai, dan lepas dari substansi dari Al-Qur’an itu sendiri, ini perlu ditimbang kembali.

Menghafal Al-Qur'an itu penting, sebab dahulu Al-Qur'an terpelihara otentisitasnya dari hafalan dan catatan para sahabat, tabi’in, tabi'it tabi'in hingga zaman akhir kita sekarang. Akan tetapi, berakhlak sesuai Al-Quran jauh lebih penting. Tentu jauh lebih penting lagi hafal Al-Qur’an dan adabnya Qur’ani. Pendidikan Islam perlu fokus di sini. Sekali lagi, hafalan itu penting pada porsinya yang proporsional.

Dunia keilmuan Islam sangat menjunjung tinggi adab, akhlak, atau moralitas. Dalam tradisi periwayatan hadits misalnya, seseorang yang didapati bermoral jahat tidak akan dipercaya periwayatannya. Ini sangat berbeda dengan tradisi keilmuan Barat yang sekular. Ilmuan besar Barat yang menjadi rujukan keilmuan dunia internasional saat ini seperti Rousseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Marx, Bertrand Russel, atau Jean-Paul Sartre itu sudah menjadi rahasia umum sebagai pribadi-pribadi bermoral bejat. Dan, itu tidak masalah dalam tradisi Barat.

Dalam bukunya “Intellectuals” yang dikutip Adian Husaini, Paul Johnson menyebut Rousseau sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting man). Saat berusia 15 tahun, pada 1728, Rousseau rela menukar agamanya menjadi Katolik agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise- Louise de Warens. Ernest Hemingway, ilmuan jenius, tidak punya agama yang jelas meskipun kedua orangtuanya penganut Kristen yang taat. Hadley, istri pertamanya menyatakan hanya melihat Hemingway sembahyang dua kali, yaitu saat perkawinan dan saat pembaptisan anaknya. Untuk menyenangkan Pauline, istri keduanya, Hemingway berganti agama menjadi penganut Katolik Roma. Kata Johnson, Hemingway bukan saja tidak percaya Tuhan, bahkan menganggap “organized religion” sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. 

Bisakah perilaku demikian diterima pada pribadi seorang ulama dalam tradisi keilmuan Islam?

Saya pernah mengikuti seminar tentang pendidikan di Finlandia. Semua tahu, pendidikan Finlandia dipandang sebagai pendidikan paling baik saat ini. Finlandia menjadi model dan kiblat dunia pendidikan yang dibincangkan para guru sampai ke kedai-kedai kopi. Namun, alangkah saya terkejut saat narasumber mengisahkan sisi moralitas guru dan orang Finlandia.

Di sekolah-sekolah Finlandia, selalu ada ruang khusus yang diperuntukkan bagi guru yang sedang mabuk karena alkohol. Di ruang itu, guru yang masih teler bebas mengekspresikan kemabukannya yang bersifat kasar, brutal, atau perilaku khas orang mabuk. Selama guru itu masih berada di bawah pengaruh alkohol, dia tidak boleh masuk kelas untuk mengajar. Ia baru diizinkan masuk kelas untuk mengajar bila sudah benar-benar bebas dari pengaruh alkohol.

Dalam tradisi pendidikan Islam, guru macam apa yang begini? Apa bisa jadi panutan bagi peserta didiknya sebagaimana fungsi seorang murabbi dalam pendidikan Islam?

Ini Finlandia yang sangat paradoks sebagai negara pendidikan terbaik seperti yang diceritakan Munif Chatib, sang narasumber seminar yang saya sebut tadi. Bila musim akan berganti Polar Night–keadaan ketika matahari tidak muncul atau tidak terbit yang berlangsung selama beberapa hari– banyak orang sesama –saudara, kolega, teman, atau tetangga– berpelukan sambil berkata, “Semoga kita masih bisa berjumpa pada musim berikutnya.”

Mengapa demikian? Itu karena ada orang Finlandia yang stress menjalani hidup pada fase Polar Night. Sebagaimana kita ketahui, Finlandia adalah negara dengan malam terpanjang di dunia dengan durasi hingga 200 hari di kota Kuusamo, 2 bulan di Finlandia Utara, dan yang tersingkat hanya sehari di wilayah garis Lingkar Arktik. Dalam bahasa Finlandia malam panjang atau fenomena Polar Night ini lebih dikenal dengan nama “Kaamos”, yaitu fenomena malam kutub yang biasa terjadi pada saat musim dingin.

Hidup pada fase “Kaamos” mengganggu psikis tidak sedikit orang Finlandia. Banyak di antara mereka mengakhiri hidupnya dengan cara menabrakan diri pada kereta yang sedang melaju cepat yang melintasi stasiun-stasiun seperti Santa Claus Express, Allegro Train, VR Finnish Rail, Suonenjoen Rautatieasema, Hämeenlinnan Rautatieasema, atau Louhela Railway Station.

Kita boleh bertanya, mengapa sistem pendidikan Finlandia yang katanya terbaik itu menghasilkan banyak orang putus asa mengakhiri hidup dengan cara itu? Di mana hasil kedewasaan sebagai tujuan pendidikan yang diperkenalkan Barat selama ini?

Maka, orang Finlandia yang saling mengenal satu sama lain kembali berpelukan saat fase “Kaamos” berakhir. Mereka bahagia bisa bertemu kembali dalam keadaan masih hidup dan bersyukur bisa melewati masa-masa berat “Kaamos”.

Bila cerita Munif Chatib ini benar, maka, boleh jadi secara fisik, pendidikan Finlandia yang terbaik. Akan tetapi dari sisi kedewasaan bagaimana menyikapi fenomena alam secara kejiwaan, jauh panggang dari api.

Jadi, masih kesemsem dengan pendidikan Finlandia?

Satu lagi hal penting yang disinggung Ustaz Irfan, yaitu soal konsep pendidikan Barat yang kerap diterima tanpa kritik. Secara tidak sengaja, kadang para pendidik muslim membebek teori-teori pendidikan Barat sekular. Seperti soal larangan menggunakan instruksi “jangan” dalam interaksi pendidikan. Seolah kata “jangan” tak ubahnya barang haram yang tidak boleh disentuh. Padahal Al-Quran sebagai landasan pendidikan Islam kerap menggunakan kata “jangan” dalam konteks mendidik umat menuju kedewasaan berpikir dan bersikap.

Beberapa tahun terakhir, dunia sekolah kita dijejali oleh apa yang dikenal dengan konsep Pendidikan Karakter. Perumusnya seorang keturunan Yahudi Amerika; Lawrence Kohlberg, Profesor dalam bidang psikologi sosial di Universitas Chicago dan pakar pendidikan di zamannya. 

Soal karakter ini lebih substansial daripada sekadar larangan kata "jangan". Akan tetapi, lagi-lagi, ini  konsep pendidikan Barat sekular. Tipologi Pendidikan Karakter ala Barat itu “bebas nilai”. Substansinya, Pendidikan Karakter di Barat itu hanya membantu siswa menemukan nilainya sendiri. Mereka bebas punya nilai yang berbeda-beda sebab tidak ada norma moral yang dipegang sebagai acuan kecuali norma kebebasan.

Tidak banyak orang tahu, di penghujung hidupnya, Kohlberg jatuh sakit. Penyakitnya berhasil didiagnosa dokter pada Mei tahun 1973. Kohlberg kemudian harus menerima suatu kondisi, dimana rasa sakit, ketidakberdayaan, hingga pada tahap depresi melanda kehidupannya selama 16 tahun sebab penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Senin, 19 Januari 1987, Kohlberg meminta cuti satu hari dari Rumah Sakit Massachusetts tempat ia dirawat. Kohlberg menghilang. Malang nian nasib Kohlberg si pencetus Pendidikan Karakter ini. Polisi hanya menemukan mobil Kohlberg terparkir di perumahan Jalan Winthrop pada 21 Januari 1987. Kohlberg berhasil ditemukan dalam keadaan sudah tidak bernyawa pada April 1987. Tepat pukul 12:30 siang, seorang polisi negara bagian menemukan jenazah Kohlberg mengapung sekitar 1.000 meter ke arah selatan pantai.

Dari hasil pemeriksaan medis, disimpulkan bahwa tenggelam adalah penyebab kematian seorang Kohlberg. Diduga, Kohlberg menenggelamkan tubuhnya ke dalam samudera bersama virus yang telah menggerogoti tubuhnya dalam waktu sekian lama. 

Sampai saat ini, kematian Kohlberg terus dirayakan oleh beberapa kalangan di Amerika. Mereka menilai Kohlberg telah mengambil pilihan hidup yang tepat bagi dirinya. Ya, persis seperti doktrin Pendidikan Karakter yang dianutnya yang “bebas nilai”, seperti kasus orang Finlandia yang bebas menabrakan dirinya pada kereta karena depresi melawan musim. 

Begitulah. So, Ngaji Pekanan Tematik Korps Mubaligh Muhammadiyah Kota Depok malam ini mencerahkan.[]

Depok, 24 September 2024, menjelang tidur.
Have a nice rest.

Senja di Stasiun Gambir

Sebelum berpisah. Foto credit, Abdul.
Mas, lebih baik, kita yang menunggu.
Segera kami berangkat setelah Asar. Putri kecil kami; Miray Hagia Sophia kami bawa serta. Saya ingin mengenalkannya pada nilai persahabatan meskipun Miray belum mengerti apa-apa selain kegembiraannya naik kereta.

Kami bersyukur, 17.10 WIB kami sampai di Gambir. Betul kata istri saya, lebih baik kami yang menunggu. Maka, Ahad sore itu, bertiga menghabiskan senja sampai kabar sahabat saya sudah berada di ruang tunggu kedatangan.|

Helen Keller (1880-1968) menyebut persahabatan itu seperti cahaya. Berjalan dengan seorang sahabat di kegelapan lebih baik daripada berjalan sendirian dalam terang,“Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light," begitu kata penulis, aktivis politik, dan dosen Amerika yang gigih mengumpulkan dana untuk orang-orang buta dan tuli ini.

Orang banyak pasti akan lebih memahami setelah membaca kisah hidup Helen Keller tentang apa yang dimaksudnya dengan cahaya dan persahabatan di atas. Pemenang dari Honorary University Degrees Women's Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, dan The Lions Humanitarian Award memang sosok yang membutuhkan cahaya dan suara setelah mengalami buta dan tuli setelah penyakit menderanya di usia 19 bulan.

The Miracle Worker, film yang diangkat dari kisah Hellen Keller dan gurunya Annie Sullivan yang setengah buta mendapat dua piala Oscar. Saya menduga, Sullivan lah guru sekaligus sahabat Hellen Keller yang disebutnya sebagai “Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light" itu.

The Miracle Worker seperti mengajarkan kehidupan lewat film tentang arti seorang guru dan seorang sahabat. Anne Sullivan adalah guru dan sahabat yang menggerakkan, sosok yang menjadikan gadis buta dan tuli menemukan kehidupannya.

Membayangkan daya gerak dari seorang guru dan sahabat seperti Anne Sullivan itu mencengangkan. Di bawah asuhannya, Keller menjadi penulis dari total 12 buku dan beberapa artikel.

Pada usia 11 tahun, di bawah sentuhan Anne Sullivan, Keller menulis bukunya yang pertama; The King Frost. Pada usia 22, Keller menerbitkan autobiografinya, The Story of My Life. Pada usia 27, Keller menulis The World I Live In yang memberikan pembaca wawasan bagaimana perasaannya tentang dunia. Out of the Dark, serangkaian esai tentang sosialisme, diterbitkan Keller di usianya yang ke-37. Menginjak usia yang ke-51, Keller menerbitkan Autobiografi spiritualnya, My Religion. Autobiografi Keler ini diterbitkan kembali sebagai Light in My Darkness.|

Persahabatan yang baik itu tidak lekang oleh waktu, tidak lapuk oleh usia. Ada juga yang berkata, bahwa persahabatan itu mahal, semahal ketulusan budi yang tidak dijual seperti permata di toko-toko berlian. Tentu, persahabatan yang demikian ini persahabatan yang genuine.

Persahabatan genuine itu menggerakkan. Ia menggerakkan kaki untuk melangkah mendekat, menggerakkan lidah untuk berucap yang mengikat, dan menggerakkan pikiran untuk sekadar mengenang masa lalu. Bahkan, persahabatan mampu menggerakkan hati untuk melabuhkan doa-doa kebaikan sebab ia terpisah jarak ruang dan waktu.|

Setiap sahabat akan merasa bahwa usia masing-masing sudah merambat naik, terus naik mendekati uzur. Saya, Kang Sahidup, dan Mas Amron menyadarinya kemarin di meja makan di stasiun Gambir. Kami bertiga sudah merasa tua. 

Tapi, ada yang tidak berubah sejak 31 tahun yang lalu. Senyum Kang Sahidup masih seperti dulu. Matanya menyipit bila tertawa kecil. Wajah Mas Amron masih seperti dulu juga. Ada bias cahaya seperti "nur" yang menempel di kulitnya. Kemarin, saya lihat cahaya wajah Mas Amron makin merona saja. Ini pertanda istrinya pandai merawat suami.

Saya percaya, sahabat-sahabat kami yang lain –karena keterbatasan ruang dan waktu tidak bisa bergabung– mesti merasakan hal yang sama. Maka, alangkah indahnya persahabatan itu terpelihara di saat usia kami semua merambat naik mendekati usia ideal rata-rata umat Nabi Muhammad SAW di angka 60-an.

Persahabatan saya dengan Kang Sahidup dan semuanya yang dahulu bersama di bangku kuliah diploma memang tidak sehebat persahabat Helen Keller dan Anne Sullivan yang fana. Tapi, ketulusan dan kehangatan persahabatan kami tetap bermakna di dunia yang fana sampai ke akhirat yang baqa’.|

Bila batu-batu saja bertasbih memuji Allah, dahan dan pohon juga bertasbih, bahkan ikan-ikan di lautan juga bertasbih mengiringi kebaikan setiap orang-orang yang beriman. Maka, saya percaya semesta pun bertasbih untuk kebaikan sahabat saya yang akan menjalani operasi pada Selasa, 10 September 2024 esok.

Seperti kopi, kita menginginkan rasa yang lebih kental dan lebih kuat untuk menghangatkan tubuh saat cuaca dingin. Begitu juga persahabatan, ia lebih terasa kental dan kuat di saat sahabat kita membutuhkan selimut untuk memulihkan kesehatannya.

Ya Allah, mudahkanlah. Biarkan takdir-Mu selalu membuat kami tersenyum bahagia bersama. Aamiin.|

Senin, 09 September 2024

Azan Misa dan Kaum Liberal

Ilustrasi Paus Fransiskus dan soal Azan Magrib. Sumber ilustrasi VIVA.co.id 

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika telah mengeluarkan surat permohonan terkait peniadaaan siaran Azan Magrib saat Misa bersama Paus Fransiskus.
_____________

Aku memikirkan Hagia Sophia, dan aku sangat sedih.
Siaran azan di televisi diganti dengan running text untuk menghormati Misa Paus di Indonesia hari-hari ini, ini penerapan paham liberal sekuler level paling rendah. Ini belum apa-apa, baru level warming up. Mungkin, Anda bergidik bila sempat mengikuti sekularisasi azan di Turki. Ini sekularisasi azan paling ekstrem sepanjang sejarah kaum muslimin di dunia.

Azan dan Warisan Fetih Sultan Mehmet

Konstantinopel memang unik. Dari wajahnya yang Kristen Timur menjadi Istanbul yang berwajah Islam di bawah Utsmani, lalu berwajah sekuler di tangan Mustafa Kamâl Atatürk, dan kembali mendekati Islami di tangan Adnan Menderes dan Recep Tayyip Erdoğan. Pada ketiga masa ini, azan menjadi begitu ikonik.

Pada pertengahan abad ke-15, Konstantinopel dan seluruh Kekaisaran Byzantium jatuh ke tangan Turki Utsmani. Hari bersejarah itu terjadi pada Selasa, 29 Mei 1453 M setelah 53 hari pengepungan. Bagi umat Islam, peristiwa ini menjadi pembuktian nubuwwah. Sebab, 800 tahun sebelumnya, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan; “Sesungguhnya Konstantinopel itu pasti akan dibuka (dibebaskan). Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya," (HR Bukhari).

Nubuwwah itu terbukti di tangan pemuda 21 tahun kelahiran 30 Maret 1432, di Edirne, Turki. Mehmet adalah sultan Utsmani yang ketujuh, berkuasa pada 1444-1446 dan 1451-1481, putra dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun. Hagia Sophia dibeli dan diubah menjadi Ayasofya Camii atau Masjid Raya Ayasofya oleh Fetih Sultan Mehmet menggenapi nubuwwah itu.

Tiga hari setelah penaklukkan, pada Jum’at 1 Juni 1453, azan berkumandang di atas langit Konstantinopel dari dalam Hagia Sophia yang megah. Itulah kumandang azan untuk shalat Jum’at kali pertama di bekas wilayah kekaisaran Byzantium.

Sebelum dimuliakan menjadi masjid, sepanjang antara 360-1453 M, Hagia Sophia –Magna Ecclesia, Gereja Besar– adalah Gereja Kalsedon, Gereja Katolik, dan Gereja Ortodoks. Pada era Byzantium, Gereja St. Sophia atau The Great Church ini, merupakan gereja terbesar di Konstantinopel, sekaligus pusat bagi keorganisasian gereja Ortodoks. Maka, saat mendengar Konstantinopel jatuh dan Hagia Sophia jadi “mualaf”, Eropa dan Vatikan meradang seperti pesakitan. Mereka tidak percaya.

Sejak itu, selama 481 tahun setelah penaklukan, kaum muslimin menikmati Hagia Sophia sebagai masjid, pusat ilmu dan peradaban, bahkan sebagai pusat pemerintahan Islam; Turki Utsmani. Tentu menikmati pula lantunan merdu azan muazin-muazin Turki.

Azan dan Nyawa Adnan Menderes

Akan tetapi, azan di Turki redup dan akhirnya hilang sejak khilafah Utsmani ditumbangkan kelompok sekuler liberal pada 1922. Turki menjadi Republik di tangan Mustafa Kamâl Atatürk (19 Mei 1881 – 10 November 1938). Bapak Turki Modern itu menjauhkan Islam dari kehidupan bangsa Turki sebagai konsekuensi sekularisme yang dianutnya. Maka, azan dan beberapa elemen syari’at Islam diberangus.

Pada 1932, sekularisasi azan diterapkan Atatürk. Orisinalitas azan yang berbahasa Arab diganti dengan bahasa Turki. 30 Januari 1932, di masjid Fatih, Istanbul, azan Turki mulai diterapkan. Hafiz Rifat Bey menjadi muazin pertama yang mengumandangkannya selama 18 tahun. Setahun kemudian, pada 1933 M, melantunkan azan dalam bahasa Arab sudah dimasukan dalam kategori pelanggaran hukum, dikategorikan sebagai kejahatan oleh pemerintah sekuler Turki.

Bukan hanya azan, bahkan, hampir saja, bacaan shalat pun hendak dibahasaturkikan oleh Atatürk. Masjid saja hendak diganti nama menjadi “Gereja Islam” modern. Inilah bentuk ekstrem sekularisme, pluralisme, dan liberalisme dalam kehidupan muslim Turki.

Azan kembali dipulihkan sampai datang Adnan Artekin Menderes, Perdana Menteri Turki periode 1950-1960. Pria Turki kelahiran tahun 1899 di Turki ini, pada masa mudanya aktif berpolitik dan bergabung dengan Republican People’s Party– dalam bahasa Turki: Cumhuriyet Halk Partisi (CHP)– yang didirikan oleh Atatürk.

Pada 1945, Menderes keluar dari partai CHP dan mendirikan Democrat Party (DP). Di sinilah Menderes mulai berjuang mengembalikan Turki Modern pada tradisi Islam yang sudah tercerabut dari akar sejarah bangsa Turki.

Menderes seperti penganut sekularisme liberalisme yang bertobat. Partainya mengusung visi Islami. Ia ingin mengembalikan azan ke dalam bahasa Arab, mengizinkan orang Turki melaksanakan ibadah haji, mendirikan sekolah untuk mengajarkan bahasa Arab, mencabut intervensi pemerintah atas pakaian wanita, dan memberikan kebebasan kepada penganut agama untuk melaksanakan keyakinan masing-masing.

Pada 1950, Menderes bersama partainya mengikuti Pemilu. Hasil pemilu mengguncang Turki. Partai Menderes merebut 318 kursi di parlemen sedangkan partai CHP Atatürk hanya mendapat 32 kursi saja. Menderes menjadi Perdana Menteri. Celal Bayar, ketua partai CP menjadi Presiden.

Setelah Pemerintahan dibentuk, Menderes mulai merealisasikan janji-janjinya. Azan kembali dikumandangkan dengan bahasa Arab di menara-menara masjid. Rakyat Turki diperbolehkan lagi melaksanakan ibadah haji setelah bertahun-tahun dilarang pemerintahan Atatürk.

Pada 1954 Menderes bertempur kembali dalam pemilu. Partainya menang telak dengan kursi lebih banyak dari pemilu sebelumnya. Dengan kemenangan mutlak ini, Menderes mulai membangun sekolah-sekolah untuk mengajarkan bahasa Arab, merenovasi 10 ribu masjid di seluruh Turki, membuka lebih dari ribuan madrasah yang sebelumnya ditutup. Menderes juga memperbaiki kembali hubungan dengan negara-negara Arab dan berani mengusir Duta Besar Israel dari Turki pada 1956.

Barat dan Israel berang. Dua entitas yang telah berjasa membantu Atatürk menumbangkan khilafah Utsmani dan menjadikan Turki negara sekuler serta menikmati hasil-hasilnya diganggu Menderes. Konspirasi militer Turki, CHP, dan Barat dibangun untuk mengkudeta pemerintahan Menderes.

Partai CHP dan sayap militer loyalis Atatürk memulainya dengan melakukan berbagai kekacauan. Puncaknya, pada Mei 1960, pimpinan militer Turki Jend. Cemal Gursel mengumumkan kudeta atas pemerintahan Adnan Menderes. Partai Demokrasi Menderes dibekukan. Menderes ditangkap dengan tuduhan melakukan kejahatan dan mengkhianati ajaran Atatürk atau Kemalisme. Sumber dakwaan atas Menderes karena ia mengembalikan azan ke dalam bahasa Arab, berusaha mengubah Turki yang sekuler menjadi negara Islam, dan berusaha untuk mengembalikan sistem khilafah.

Pada 17 September 1961 Adnan Menderes dieksekusi di tiang gantungan. Menjelang digantung, Menderes berujar, ”Saya akan mati, dan saya berharap semoga rakyat dan negara ini selalu bahagia.” Demikianlah kalimat penutup hidup Menderes. Sejarah Turki menjadi saksi seakan kehadiran Menderes menjadi Perdana Menteri hanya untuk mengembalikan muruah azan pada derajatnya yang agung.

Dari Museum Kembali ke Masjid

Atatürk telah mengkhianati Fetih Sultan Mehmet. Atatürk tak ubahnya Pasukan Salib IV yang di bawah titah suci Paus di Roma menista Hagia Sophia dengan menjarahnya, mengotori altarnya dengan pesta dan mabuk-mabukan, lalu menjadikannya sebagai kandang kuda dan kandang babi saat menduduki Konstantinopel pada 1204. Kota ini baru bisa diselamatkan dari invasi Tentara Salib pada 1261 M.

249 tahun kemudian, pada tahun penaklukkan yang sudah disinggung, Fetih Sultan Mehmet memuliakan Hagia Sophia untuk kali pertama menjadi masjid. Begitu tiba, Sang Pembebas bersujud ke arah kiblat di dekat Hagia Sophia. Sang Sultan menaburkan tanah ke atas kepalanya sebagai simbol membunuh kesombongannya. Lalu, Fetih mempermaklumkan Hagia Sophia sebagai masjid dalam kuasa pribadinya. Tidak boleh seorang pun mengusik permakluman itu.

Tapi rupanya, Atatürk bukan hanya mengkhianati Fetih dan azan di Hagia Sophia. Pada 1934, Atatürk menurunkan derajat Hagia Sophia dari masjid menjadi museum. Hagia Sophia diceraikan dari spirit Islam atas tuntutan Barat dan kaum sekuler pembenci syari’at.

Atatürk dengan tatapan mata elangnya yang keras itu menjadi presiden pengecut. Bapak Turki Modern ini bagai kerbau dicucuk hidung oleh tali kekang Barat. Ia dengan sukarela memenuhi permintaan pendiri Institut Bizantium Amerika, Thomas Whittemore, sahabat dekat Atatürk yang meminta agar Hagia Sophia dijadikan museum.

“Santa Sophia masih berupa masjid di hari saya berbincang dengannya –Atatürk. Keesokan paginya, ketika saya mendatangi masjid itu, ada sebuah tulisan di pintunya yang ditulis sendiri oleh Atatürk. Di sana tertulis, “Museum ini ditutup dalam rangka perbaikan (renovasi),” ungkap Thomas Whittemore. 

Sejak saat itu, shalat menjadi sesuatu yang terlarang di Hagia Sophia. Hilang pula kumandang azan dari menaranya. Sempurna. Atatürk telah mengkhianati azan, Hagia Sophia, dan Fetih Sultan Mehmet.

Erdoğan dan Spirit Utsmani

Erdoğan, saat ia menjadi wali kota Istanbul pada 1994 pernah berjanji, “Kami akan mengembalikan wajah Islam ke Istanbul dan Aya Sofia akan kembali menjadi masjid bagi kaum muslimin.” Demikian janji Erdoğan saat ia diwawancarai Majalah Al Mujtama’, Kuwait.

Pelan-pelan janji itu dilaksanakan Erdoğan. Pada 2006, pemerintah mengalokasikan satu ruangan khusus di kompleks Hagia Sophia untuk beribadah bagi staf museum. Langkah ini seperti langkah kecil yang kelak menjadi gelombang besar.

Pada 2013, babak baru untuk mengambalikan muru'ah sejarah penaklukkan 1453 dimulai para politisi secara terbuka dan terang benderang. Sejumlah politisi Turki dari partai pendukung pemerintah yang dianggap sebagai representasi sayap Islamis terang-terangan meminta agar Hagia Sophia dikembalikan sebagai masjid. 

Pada 2016, untuk pertama kalinya, azan dikumandangkan lagi di atas menara setelah 82 tahun raib meninggalkan kemegahan Hagia Sophia. Kemudian, pada November 2016, giliran Asosiasi Perlindungan Monumen dan Lingkungan Bersejarah, sebuah organisasi non-pemerintah mengajukan gugatan agar Hagia Sophia diubah kembali menjadi masjid. Namun, gugatan itu ditolak oleh pengadilan.

Puncaknya, pada 10 Juli 2020, Hagia Sophia benar-benar kembali menjadi masjid. Muazin mengumandangkan lagi azan berbahasa Arab dari atas menaranya. Rantai sekularisme yang membelenggu Hagia Sophia menjadi museum telah putus. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan seperti mengembalikan spirit Mehmet, spirit Utsmani setelah hampir 86 tahun Hagia Sophia menjadi museum. Sekali lagi, Israel, Barat, dan Paus meradang.

Sakit Hati Barat dan Sekularis Turki

Pada perayaan 567 tahun penaklukan Konstantinopel dan pembacaan surah Al-Fath di Hagia Sophia, Jum'at 29 Mei 2020 Yunani mengecam acara tersebut. “Ini bukan hanya urusan orang-orang Yunani dan Kristen secara umum. Ini terkait penghinaan warisan kebudayaan dunia,” ucap Stelios Petsas, Jubir Pemerintah Yunani.

Kyriakos Mitsotakis, Perdana Menteri Yunani juga berang. Katanya, “Yunani mengecam keputusan Turki untuk mengonversi Hagia Sophia menjadi masjid. Keputusan ini telah menghina mereka yang telah mengakui monumen ini sebagai situs warisan dunia,” ujarnya.

Lina Mendoni, Menteri Kebudayaan Yunani bahkan menilai langkah nasionalisme Erdogan membuat Turki mundur 6 abad ke belakang.

Vladimir Dzhabarov, Wakil Kepala Utusan Parlemen Rusia menilai, menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid tidak berpengaruh apa-apa bagi negara-negara muslim. Bahkan katanya, hal itu hanya akan membuat negara-negara muslim bertikai.

Josep Borrel, perwakilan Uni Eropa menyesalkan keputusan Dewan Negara Turki itu. Keputusan Presiden Erdogan yang menempatkan Hagia Sophia di bawah Direktorat Urusan Keagamaan sebagai keputusan yang sangat disesalkan di era modern.

Kekecewaan jelas-jelas dilontarkan Morgan Ortagus, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS. “Kami kecewa atas keputusan yang diambil pemerintah Turki terkait perubahan status Hagia Sophia.”

Sementara UNESCO, meminta kepada otoritas Turki untuk membuka dialog secepatnya untuk menghindari mundurnya nilai universal dari warisan yang berharga yang kelestariannya akan direview oleh Komite Warisan Dunia pada sesi selanjutnya.

Dari kalangan Turki sendiri, pengubahan status Hagia Sophia sempat tidak disetujui dari politisi pihak oposisi; CHP, partai yang didirikan Atatürk. Ibrahim Koboglu, politisi CHP membuat statement penolakan. “Istana Topkapi harus tetap dilestarikan sebagai museum, Hagia Sophia harus tetap dilestarikan sebagai museum, bahkan (masjid) Sultan Ahmet juga seharusnya dijadikan museum, karena itu semua merupakan warisan umum umat manusia saat ini.”

Penyesalan Paus

Selain kaum sekularis, komunitas Kristen memang yang paling meradang saat Hagia Sophia akan dikembalikan menjadi masjid dan azan berkumandang lagi di sana. Beberapa pemimpin Kristen, seperti Uskup Hilarion, yang mengepalai departemen Gereja Ortodoks Rusia untuk hubungan gereja eksternal, menggambarkannya sebagai "pukulan bagi Kekristenan global". Kepala Gereja Ortodoks Athena dan seluruh Yunani, Uskup Agung Ieronymos, mengecam apa yang ia gambarkan sebagai "instrumentalisasi agama untuk tujuan partisan atau geopolitik".

Otoritas Gereja Rusia, Vladimir Legoide, Juru Bicara Gereja Orthodoks Rusia terang-terangan membawa komunitas Kristen sebagai bentuk kekecewaan saat putusan pengadilan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid. Ia merasa, keprihatinan dari jutaan umat Kristen tidak didengar. Keputusan pengadilan ini menunjukkan bahwa seruan untuk memberikan perhatian yang serius untuk urusan ini menurutnya telah diabaikan.

Dewan Gereja Dunia, yang mewakili 350 gereja Kristen, mengatakan telah menulis surat kepada Erdoğan untuk mengungkapkan "kesedihan dan kecemasan" mereka.

Demikian juga Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus. Pemimpin Vatikan –kini tengah berada di Indonesia sejak 3 sampai 6 September 2024– menyatakan kerisauannya terkait keputusan Turki mengubah museum Hagia Sophia menjadi masjid. Kerisauan Paus Francis ini disampaikan menjelang akhir khotbah tengah hari di Lapangan Santo Petrus, Minggu 12 Juli 2020.

“Aku memikirkan Hagia Sophia, dan aku sangat sedih." Begitu ungkap sang Paus.

Hari ini, Paus Fransiskus masih di Indonesia. Boleh jadi, siaran azan Magrib di televisi hari ini yang diganti dengan running text saat Misa yang dipimpin Paus lahir dari bisikan penganut liberalis sekuler atas dalih toleransi salah kaprah. 

Namun, keganjilan ini bukan hal yang mengejutkan. Bukankah pernah ada penganut liberal mengasosiasikan lantunan azan dengan gonggongan anjing? Bukankah yang membela puisinya Sukmawati yang bersyair: “Suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok, Lebih merdu dari alunan azanmu” adalah dosen liberal yang pernah ditelanjangi pendemo hingga tinggal sempaknya saja yang menempel? 

Jadi, orang yang paling sering menodai agama itu terang benderang pelakunya. Siapa lagi kalau bukan liberalis! Liberalis itu cemen. Azan saja dimusuhi. Bah!

Ciputat, 05 September 2024.
Menjelang mulih.