Surat Perpisahan

Allahuyarham Abdul Latief Rahmani

Meskipun kamu tidak membaca surat perpisahan ini, semoga doa-doa ayah sampai kepadamu. 
Kamu panggil aku dan istriku “ayah” dan “bunda”. Tidak mengapa, Nak. Ayah senang. Begitu juga Bunda. Sungguh kami akan merindukan lagi dipanggil demikian. Tapi, rindu tinggallah rindu, sebab suaramu tak akan lagi menyapa kami. Ada sekat yang memisah kita, antara barzakhmu yang tenang setenang telaga bening, dengan dunia kami yang hiruk pikuk dan bising.

24 tahun silam, kamu lahir di lantai semen rumah kakek dan nenekmu. Rumah sederhana keluarga kita, tempat ayah merasakan manis dan pahit bersama empat saudara kandung ayah dibesarkan. Begitu banyaknya, ayah tak bisa menghitung, apakah manisnya yang sedikit, ataukah pahitnya yang banyak. Tapi itu tidak penting. Sebab, seberapa banyak dan sedikitnya pahit dan manisnya kehidupan kami, selalu ada yang bisa kami banggakan.

Bolehlah sedikit kamu tahu, orang bebas menilai kita orang tak berpunya, tapi ayah dan mamakmu, serta om dan bibimu merasa berkecukupan dengan nasihat, pengajaran, dan bimbingan kakek di bawah atap genting rumah ini. Sesekali di suatu pagi, ayah, mamakmu, om, dan bibimu mendapati tak punya sesuatu untuk mengganjal perut, tapi kami semua kenyang dengan pengajaran hidup.

Tiap waktu kakek begitu cerewet soal ibadah, soal mengaji, soal kita harus jujur dalam ketidakmampuan, jangan silau dengan dunia, ah, banyak lagi. Bila pesan kakekmu disimpulkan, “kita boleh tak punya apa-apa di sini, asalkan kita punya segalanya saat pulang nanti” Begitu kira-kira.

Mungkin pesan di atas begitu abstrak bagimu, tapi bagi ayah, mamakmu, om, dan bibimu, pesan itu sangat konkret bagai siang, seterang kuburmu sekarang –Insya Allah. Perkara inilah yang ayah sebut sesuatu yang membanggakan itu.

Ayah masih memegang teguh pesan-pesan di atas. Karena itu, ayah tak rendah diri dapat dunia yang sedikit, sebab sedikit atau banyak cuma dari sudut pandang berbeda tiap orang. Juga tidak silau dengan banyaknya rezeki orang sebab rezeki orang tidak akan jadi milik kita. Lagi pula, rezeki tak akan tertukar sebab sudah ada alamatnya masing-masing.

Nak, kamu tahu. Waktu ayah kecil, kakek selalu wanti-wanti dilarang meminjam sepeda teman meskipun keinginan meminjam itu kuat sekali. Ya, sekadar penasaran bagaimana sih rasanya mengayuh sepeda bagus. Tapi, apa kata kakek, “nanti kalau sepeda orang rusak, beli tidak bisa, buat gantiin bisa.”

Saat itu juga hati ayah surut. Ayah mengerti bahwa kita tidak bisa berbahagia menebeng pada harta benda milik orang sebaik apa pun orang itu. Sebaliknya ayah juga mengerti, bahwa kita tidak bisa membenci kebakhilan orang hanya karena kita tidak diberi kesempatan turut merasakan fasilitas hidup mereka.

Ini pesan mendidik. Mendidik apa? Mendidik kita anak-anak keturunan kakek untuk merasa puas dengan keadaan kita. Pesan supaya jangan tergiur pada kepemilikan orang lain. Juga pesan terselubung bahwa menahan sabar sampai kita mampu sendiri itu lebih baik daripada memaksakan diri. Pesan yang paling menghujam tentu “jangan hubbud dunya” jangan cinta dunia berlebihan. Cinta dunia sekadarnya saja, cinta akhirat yang harus sepenuh jiwa.

Sejujurnya, ayah belum bisa sepenuhnya menjalankan pesan ini. Boleh jadi juga mamakmu, om, dan bibimu. Akan tetapi, kami semua masih setia memegang pesan itu meskipun tidak sempurna seperti kehendak kakek.

Rasanya waktu begitu cepat bergulir, ya. Baru kemarin ayah menggendong, lalu menyaksikan dari pintu rumah ayah tumbuh kembangmu menjadi remaja. Tiba-tiba kamu sudah menjadi anak laki-laki dewasa mandiri. Lompatan nasibmu juga lebih panjang dari penghidupan ayah bila diukur saat ayah seusiamu dulu yang masih sedepa. Saat itulah rasanya, Allah sudah mengganti rasa pahit kehidupan mamakmu dan kakek nenekmu. Betapa bahagia ayah, bunda, om dan bibi-bibimu.

Kemarin saat kamu terbaring membeku di bangsal rumah sakit, mamakmu bercerita sambil sesenggukan. Ayah amat terkejut, senang, dan haru mendengarnya. Rupanya kamu sudah berencana menikah tahun depan saat genap usiamu 25 nanti di bulan April, bulan kelahiran ayah juga. Coba, siapa yang tidak bahagia mendengarnya? Apalagi gadis yang kamu pilih orang yang baik dan sopan. Tampaknya juga dia memahami keadaan keluarga kita. Tentu, bertambah senang kami semua. Hanya saja setelah mendengar kabar ini, tenggorokan terasa tercekat, seperti rasa hendak menelan sekam.

Entahlah, masa lalu seperti hidup lagi di benak ayah. Bermula dari om, kakek, dan ibu Mega menjemput mamakmu dari Rangkasbitung. Ayah tidak ikut waktu itu. Itulah lembaran yang menuliskan cerita bahwa orang-orang yang menjemput mamakmu itu begitu ingin agar janin yang dikandung mamakmu mendapat layanan yang pantas sesuai kepantasan yang keluarga kita punya. Janin itu adalah kamu, Nak.

Ayah hanya terperangah setelah mendapati keadaan mamakmu sampai di rumah. Beruntung sekali ada om, kakek, dan ibu Mega yang menjemput. Terbersit pula pikiran apakah langkah menjemput mamakmu kala itu salah atau benar. Namun di ujung kehidupanmu, ayah berharap bila itu adalah kesalahan, itu kesalahan yang membawa bahagia di belakang hari. Bila itu keputusan yang tepat, semoga keberkahan tidak akan putus sampai dunia memisahkan kita semua.

Sekarang, mamakmu dan suaminya, kakek-nenekmu, ayah dan bunda, om dan tante, Ibu Mega, serta bibimu tidak ada daya melawan takdir usiamu yang sudah sampai. Kamu berpulang tutup usia pada hari mulia, Jum’at 18 Safar 1446 H, 23 Agustus 2024 tiga hari yang lewat.

Di belakang ayah ada adik-adik dan sepupu-sepupumu yang juga sangat berduka. Demikian juga sanak kerabat, kolega dan sahabat, dan siapa saja yang mengenalmu yang tahu kamu berpulang.

Ayah dan om yang turut mendampingi di samping mamak dan suaminya saat napas terakhirmu berembus, tak kuasa menahan air mata duka. Bagaimana tidak, kamu anak yang penurut, tak banyak polah, dan sayang pada keluargamu meninggalkan kami semua di usiamu yang masih sangat muda. Tapi, begitulah ketetapan-Nya, di mana umur tidak bisa dimundurkan barang sesaat meskipun kita menginginkannya atau dimajukan bila ajal sudah sampai meskipun kita keras menolaknya.

Maafkan ayah yang cerewet mengingatkanmu agar jangan tinggalkan shalat meski sambil berbaring. Itulah sebesar-besar sayang ayah padamu. Bila ada satu dua waktu yang terlewat karena sakitmu begitu keras, setiap waktu ayah sampaikan permintaan maaf dan ampunan untukmu pada Dia Yang Maha Pengampun.

Selamat jalan, Nak. Semoga lapang kuburmu. Bahagia di sana tanpa rasa sakit yang kau perjuangkan selama tiga bulan untuk sembuh. Melawan tumor memang tidak seringan seperti mengatasi demam. Sekarang, Allah telah menyempurnakan kesembuhanmu. 

Kami yang kamu tinggalkan berusaha ikhlas, sabar, dan rida di saat kehilangan. Semoga Allah rida padamu dan kamu rida pada Rabbmu. Aamiin.

Ciputat, 26 Agustus 2024.

Muhammadiyah Dalam Buku Yudian Wahyudi

Buku Gerakan Wahabi Di Indonesia. Sumber gambar : Wira Bachrun dalam https://www.facebook.com/


“Penjual” Wahabi

Yudian Wahyudi banyak dibincangkan lagi sebab kasus jilbab Paskibraka 17 Agustus 2024 kemarin. Tulisan ini bukan untuk mengangkat lagi soal jilbab Paskibraka. Tapi soal lain. 

Rupanya, Yudian Wahyudi sempat jualan Wahabi selain "ngusilin" jilbab, cadar, dan agama yang ditudingnya musuh Pancasila. Jualan Wahabinya ini bisa dibaca pada Bukunya berjudul “Gerakan Wahabi Di Indonesia (Dialog dan Kritik)”.

Memang, dalam buku itu Yudian tidak sendirian. Ini buku keroyokan di mana Yudian berperan sebagai editor dan pemrakarsa penelitian. Kontributornya ada Agus Moh Najib, M.Ag., DR. Hamidah, M.A, Mansur, M.Ag, Khairul Anam, M.SI, Syaifudin Zuhri, M.A, dan Kasinyo Harto.

Sewaktu melamar untuk menjadi dosen di Tuft University Massachuset, Yudian mengaku mempresentasikan karya ilmiah berjudul "The Waves of Wahhabism in Indonesia" di hadapan dewan penguji. Artinya, jualan Wahabi Yudian sampai jauh, sampai ke Amerika, 25. 697 km dari Jakarta untuk jualan Wahabi.

Dalam bukunya “Gerakan Wahabi Di Indonesia (Dialog dan Kritik)” yang terbit pada 2009 ini, Yudian menyebut bahwa gerakan Wahabi di Indonesia diwakili oleh: Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad (hlm. 234-235). Sedangkan Muhammadiyah dicapnya sebagai Wahabi karena Muhammadiyah tidak tahlil dan tidak Barzanji (hlm. 84-125).

Tesis dan asumsi Yudian dan Tim-nya menggelikan. Katanya, Wahabisme itu ancaman bagi NKRI. Wahabi “dinyanyikan” seolah-olah ia negara api yang berpotensi menghanguskan negara dan bangsa ini. Berarti, Muhammadiyah ancaman NKRI dong? Alasannya karena Muhammadiyah tidak tahlil dan tidak Barzanji. Sesimpel itu?

Muhammadiyah memang tidak membaca tahlil, dalam arti melakukan ritual “tahlilan” dan "Barzanjenan". Akan tetapi, sejak kapan Muhammadiyah mengancam NKRI? Kok, kesannya tidak tahlilan dan tidak Barzanjenan seolah perbuatan makar?

Pengalaman Haji Fahcrodin dan Haji Syuja’

Dituduh Wahabi, Muhammadiyah sih woles saja. Jauh sebelumnya, Muhammadiyah memang sudah dicap Wahabi. Jadi sudah kebal. Yudian hanya memutar ulang kaset lama saja. Kaset lama itu biasanya pitanya gampang kusut. Bila diputar, suara biduannya "mberekbek".

Pada 1921, Haji Fachrodin mendapat tugas dari Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah untuk menyelidiki kondisi perjalanan jamaah haji dari tanah air. Di Makkah, utusan Muhammadiyah ini dibawa menghadap Syarif Husein, penguasa Makkah saat itu. Buat apa? Buat ditanya-tanya untuk mencocokkan tuduhan bahwa Muhammadiyah adalah Wahabi.

Selama di Makkah ini, tahulah Haji Fachrodin bahwa Muhammadiyah sudah dituduh sebagai gerakan Wahabi dari tanah Jawa oleh kiai-kiai nusantara yang sudah lama mukim di Makkah dan menjadi pembantu Syarif Husein. Dan, sebagai jurnalis, Haji Fachrodin tidak melewatkan pengalaman uniknya ini. Ia merekam perjalanan dan pengalamannya selama di Makkah dalam catatan “Verslag Saja Selama Bepergian ke Mekkah.”

Setahun kemudian pada 1922, giliran Haji Syuja’ mendapati hal yang sama. Selain diutus untuk urusan haji oleh KH Ahmad Dahlan, Haji Syuja’ mengemban misi memberi penjelasan kepada para ulama di tanah suci tentang gerakan Muhammadiyah.

Selama di Makkah, Haji Syuja’ tinggal di rumah KH Muh. Baqir ibnu Noor, keponakan KH Ahmad Dahlan yang telah lama menetap di Makkah. Saat itulah datang KH Abdul Muhid menemui Haji Syuja’ di rumah Kiai Baqir.

KH Abdul Muhid ini kiai kelahiran Sidoarjo, bermazhab Syafi’i, dan telah sepuluh tahun menetap di kampung Syamiyyah. Kiai ini salah satu dari pembantu Syarif Husein. Kedatangannya menemui Haji Syuja’ rupanya bermaksud menyelidik paham keagamaan Muhammadiyah, apakah sejalan dengan paham Wahabi atau tidak. Sebab dalam pandangannya, Muhammadiyah telah keluar dari mazhab yang empat (al-madzahib al-arba’ah).

Sadarlah Haji Syuja’ bahwa KH Abdul Muhid itu bagian dari mata-mata pemerintah Makkah yang sedang menyelisik lagi soal Muhammadiyah. Lalu, Haji Syuja’ menyodorkan Statuten (Anggaran Dasar) Muhammadiyah untuk menjelaskan hakikat Muhammadiyah.

Tuduhan Di Arena Konggres

Pada 31 Oktober hingga 2 November 1922, digelar Konggres Al-Islam Hindia pertama. Konggres diselenggarakan di Cirebon. Bagi Haji Fachrodin, Konggres ini menjadi ajang pembelaannya kepada KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.

Pada Konggres ini, lagi, Muhammadiyah dituduh sebagai Wahabi. Tuduhan itu datang dari KH Asnawi, salah satu tokoh ulama tradisional yang hadir berdua bersama KH Abdul Wahab Chasbullah mewakili Taswirul Afkar dari Surabaya.

KH Asnawi menuding nama Dahlan sebagai tokoh sesat sebagaimana yang katanya termaktub dalam kitab karangan Kyai Bisri Solo. Selain menuduh pendiri Muhammadiyah sebagai ulama sesat, KH Asnawi juga menuduh Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi yang pada saat itu tengah tumbuh di tanah suci.

Haji Fachrodin yang menjadi utusan Muhammadiyah menyangkal tuduhan-tuduhan itu dengan bukti-bukti yang tidak terbantahkan. Tokoh Muhammadiyah ini menyodorkan kitab karangan Kiai Bisri Solo ke hadapan KH Asnawi, kitab yang disebut KH Asnawi menjadi dasar tuduhan sesat kepada KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Dimintalah kiai dari Kudus ini menunjukkan pada bab apa dan halaman berapa tuduhan itu bisa ditemukan dalam kitab itu.

Blas! KH Asnawi tidak dapat menunjukkan bab dan halaman yang menjelaskan kesesatan KH Ahmad Dahlan dan ke-Wahabi-an Muhammadiyah. Selanjutnya, Haji Fachrodin mengambil kesempatan itu untuk menjelaskan kepada peserta vergadering (rapat) bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada pendiri Muhammadiyah itu adalah omong kosong belaka.

Saudara kandung Haji Syuja’ ini merekam pembelaannya dalam laporan yang dimuat dengan judul “Verslag Oetoesan ke Cirebon Perloe Mengoendjoengi al-Islam Congres” oleh Soewara Moehammadijah no. 12/Th. ke-3/1922.

Wahabi Dekat dengan Yahudi

Bila Muhammadiyah dituduh Wahabi, Wahabi dituduh sebagai anak kandung Yahudi. Berarti, bila kacamata Yudian Wahyudi dipakai untuk menyelisik genealogi Muhammadiyah, kesimpulannya Muhammadiyah itu cicit Yahudi. Kan, begitu relasinya.

Isenglah jemari ini mengetik keyword “Wahabi Yahudi” di YouTube. Serta merta, video ceramah yang menyebut demikian lumayan banyak. Ya, sudahlah, benar tidaknya itu urusan yang menuduh dan yang dituduh.

E tapi, media memberi tahu bahwa yang menjalin hubungan dengan Yahudi bukan Wahabi. Siapa-siapa yang menyambangi dan menjabat erat tangan Zionis di saat rakyat Palestina dibantai adalah mereka yang kerap membaca tahlil dan Barzanji. Ini yang salah pasti media, ni. Pasti si media!

Rekam Jejak

Simon Wiesenthal Center, LSM internasional yang didirikan untuk melindungi umat dan kepentingan Yahudi di seluruh dunia pernah memberi medali penghargaan kepada Gus Dur, Medal Of ValorHaaretz, media berbasis Israel sempat menggambarkan kehebatan Gus Dur dengan mengatakan, "Teman Israel di Dunia Islam". Gus Dur jelas bukan Wahabi.

Pada 2018, Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya juga pergi ke negeri Zionis bersalaman dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Kedatangan Gus Yahya menurut pengakuannya memenuhi undangan menjadi pembicara di The David Amar Worldwide North Africa Jewish Heritage Center untuk membela kepentingan Palestina.

Kehadiran Gus Yahya ini konon difasilitasi American Jewish Committee (AJC), organisasi advokasi Yahudi tertua, dekan organisasi Yahudi Amerika. Gus Yahya juga jelas bukan Wahabi.

Bulan kemarin Zainul Maarif, Munawir Aziz, Sukron Makmun, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania kader dari sayap-sayap organisasi Gus Yahya juga berkunjung ke Israel bertemu Presiden Israel Isaac Herzog pada pada 3 Juli kemarin. Keberangkatan mereka, konon juga difasilitasi AJC.

Di saat yang bersamaan kunjungan Zainul dan sedulurnya, Israel masih gencar melancarkan genosida yang membunuhi ribuan penduduk Gaza, Palestina. Jelas, kelima orang ini bukan Wahabi. Pastilah juga rajin tahlil dan membaca Barzanji.

Jadi, kan menggelikan. Sebenarnya, siapa sih yang dekat dengan Yahudi itu?

Musuh Wahabi

Wahabi memang dilabeli banyak stigma. Satu waktu disebut kelompok radikal, lain waktu fundamentalis, berikutnya kelompok garis keras. Intinya sama, Wahabi itu musuh bagi pihak yang tersinggung dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab.

Tidak dipungkiri, salah satu alasan mengapa Wahabi disebut garis keras karena Wahabi “mengganggu” kepentingan pemuja kuburan, pengamal khurafat, pengagum tahayul, dan pelaku bid’ah. Ini salah satu faktor saja. Wahabi memang keras dalam urusan ini.

Lalu, siapa musuh Wahabi sebenarnya? 

Buya HAMKA menyebut, musuh Wahabi ada yang datang dari dalam kalangan Islam sendiri, yakni Kerajaan Turki, Kerajaan Syarif di Makkah, dan Kerajaan Mesir bila dilihat pada kurun awal abad 20. Kok bisa begitu? Ya, bisa saja.

Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir dalam bukunya "Wahabi Dan Imperialisme" menyebut kolonialisme termasuk musuh Wahabi. Para penjajah memanfaatkan isu Wahabi untuk melemahkan kaum muslimin dengan menanamkan kebencian kepada dakwah tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka, tidak heranlah kita bila Kolonialis Inggris menggulirkan isu Wahabi di India, Perancis menggulirkan isu Wahabi di Afrika Utara, dan Italia mengipaskan tuduhan Wahabi di Libya.

Di Indonesia juga demikian. Belanda menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Paderi sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Isu ini digunakan tidak lain untuk membendung pengaruh Wahabi yang mengobarkan jihad melawan imperialisme di masing-masing negeri Islam. Demikian analisis Asy-Syuwai’ir. 

Lalu, yang paling empuk tentu Saudi. Saudi dituding sebagai negeri Wahabi. Sebenarnya ini dendam sejarah, sebab Syarif Husein yang benci Wahabi turun takhta ditumbangkan Ibnu Saud –buyut moyang raja Saudi Arabia yang sekarang– pada 1924. Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab memang diberi ruang gerak oleh Ibnu Saud. Jadilah Saudi ikut-ikutan dibenci banyak orang karena Wahabi, Wahabi itu antek Yahudi, dan seterusnya. 

Akan tetapi, wkwkwkwkwkwk. Giliran ibadah haji atau umrah, orang yang getol mencela dan menyudutkan Wahabi pun, datangnya ke Saudi juga.

Ah, itu tidak penting. Yang penting Muhammadiyah itu Wahabi. Titik! Begitulah buku Yudian Wahyudi berbicara.

Depok, 18 Agustus 2024.
Tulisan iseng Malam Senin usai ngaji bareng PRM Pulo.

Berisik Soal Jilbab Paskibraka

Ilustrasi Paskibraka. Sumber gambar : https://id.pinterest.com/

Dalam konteks ini, anggapan bahwa Al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada Al-Qur’an (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” –psudo sacra. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.
Yudian Wahyudi dan Kontroversi
BPIP, atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dikepalai Yudian Wahyudi. Ingat Yudian Wahyudi, ingat polemik sebuah disertasi doktor di UIN Sunan Kalijaga tentang konsep "Milk al-Yamin". "Milk al-Yamin" adalah konsep keabsahan hubungan seksual non-marital atau di luar pernikahan yang digagas Syahrur.

Dewan penguji meluluskan disertasi yang ditulis Abdul Aziz ini dengan nilai sangat memuaskan. Namun, bukan berarti serta merta sepakat konsep "Milk Al-Yamin" bisa diterapkan di Indonesia. Oleh Yudian Wahyudi, konsep ini dianggap tidak cocok diterapkan di Indonesia, khususnya Umat Islam atau bangsa Indonesia secara keseluruhan. Terus, di luar Umat Islam Indonesia cocok begitu?

Sewaktu masih menjabat Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta –selain soal disertasi Abdul Aziz– pada medio 2018, Yudian Wahyudi pernah membuat kebijakan melarang penggunaan cadar bagi mahasiswinya di kampus. Sepertinya, mahasiswi bercadar di UIN Sunan Kalijaga di mata Yudian Wahyudi dikategorikan mahasiswi yang butuh penanganan khusus. Rektor UIN ini telah membentuk tim konseling atau pendampingan bagi mahasiswi bercadar dalam tujuh tahapan untuk mengawal aturan yang dikeluarkannya.

Dalam catatan media, BPIP di tangan Yudian Wahyudi pun sering membuat kontroversi. Sasarannya, lagi-lagi menusuk jantung keyakinan. Entah sampai kapan lembaga ini digunakan untuk memainkan isu-isu sensitif, terutama keyakinan umat Islam atas nama Pancasila.

Pada Februari 2020, Yudian Wahyudi menyampaikan pernyataan tendensius. Ia mengatakan ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pernyataannya, “musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan” menuai kontroversi karena dianggap membenturkan agama dengan Pancasila dengan mengambil kasus paham Islam minoritas.

Pada momen memperingati Hari Santri Nasional 2021, BPIP kembali berulah. Lembaga ini mengadakan lomba penulisan artikel dengan mengangkat dua tema yakni 'Hormat Bendera Menurut Hukum Islam' dan 'Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam' dengan dalih pentingnya nilai-nilai keagamaan dalam menyikapi cinta tanah air.

Lomba ini memicu polemik dari berbagai kalangan. Buya Anwar Abbas gusar. Dengan kritik keras khasnya, Buya menilai lembaga pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tidak memiliki kepekaan sosial di tengah pandemi Covid-19. Buya menyarankan agar BPIP dibubarkan saja.

Kali ini, jilbab Paskibraka jadi sasaran mainan isu BPIP. Anggota Paskibraka HUT ke-79 RI diminta melepas jilbab. Tak pelak, kebijakan ini memancing reaksi. BIP banjir kritik. Muhammadiyah bersuara. Aisyiyah bersuara. MUI dan berbagai Ormas juga bersuara keras. Dalih BPIP menggelikan, katanya pelepasan jilbab itu demi keseragaman.

Jilbab Dalam Pusaran Liberalisme
Dalam sejarah, aturan yang melarang mengenakan jilbab tidak lepas dari ideologi liberal alias paham kebebasan. Aneh memang. Liberal, tapi melarang kebebasan orang berjilbab. Pada kasus Turki menjadi negara sekuler misalnya, menggambarkan kasus ini sangat vulgar. Turki pada masa khilafah Utsmani, laki-laki muslim mengenakan Fez atau topi Turbus. Para muslimahnya mengenakan jilbab dan cadar. Namun, kebebasan berpakaian keagamaan itu berubah saat Atatürk yang nasionalis sekuler berkuasa pada rentang 29 Oktober 1923 hingga 10 November 1938.

Pada 3 Desember 1924, politisi dari Cumhuriyet Halk Partisi (Partai rakyat Republik) ini melarang perempuan Turki mengenakan jilbab dan cadar. Atatürk secara terang-terangan menyerang cara berpakaian perempuan Turki. Dalam setiap pidatonya, Atatürk secara terbuka menganjurkan agar para perempuan Turki mengenakan rok mini dan pakaian ala Barat. Rok mini dan pakaian ala Barat ini dipandangnya sebagai suatu keharusan. Bagi Atatürk, bangsa Turki modern tidak hanya harus berpikir rasional seperti orang Barat, tetapi juga harus meniru tatacara berperilaku dan berpakaian persis seperti orang Barat berperilaku dan berpakaian.

Keluarlah Undang-Undang yang melarang berpakaian agama oleh orang yang tidak memiliki jabatan agama. Undang-undang ini juga mewajibkan semua pegawai negeri sipil mengenakan pakaian stelan ala Barat. Lebih tegas lagi, Undang-undang yang dikeluarkan pada November 1925, di mana laki-laki Turki diwajibkan memakai topi dan pemakaian Fez atau Turbus dinyatakan sebagai sebuah kejahatan.

Virus Atatürk
Pasca reformasi di Indonesia, pada 2001 muncul kelompok liberal JIL (Jaringan Islam Liberal). Para pengasong JIL seperti terjangkit virus Atatürk yang getol sekali menawarkan liberalisme pemikiran, termasuk pemikiran sekuler yang menyentuh ranah agama.

Di antara produk pemikiran JIL dalam konteks jilbab, jilbab dipandang bukan syariat. Ia hanya budaya Arab. Maka, jilbab pun tidak wajib dikenakan muslimah. Ada lah, saya dengar dari kawan alumnus UIN Jakarta yang pernah sekelas dengan pentolan JIL ini di kampus. Di Jakarta jilbabnya dibuka. Pas pulang ke kampung bertemu orang tuanya yang kiai, jilbabnya dipasang lagi. Ini pentolan JIL, tapi liberalnya setengah hati. ’Gak liberal kaaffah.

Memang, terdapat ikhtilaf soal hukum jilbab ini. Itu soal lain. Melarang mengenakan jilbab itu soal yang lain pula. Siapa pun perempuan yang memegang pendapat jilbab bukan wajib seperti pendapat pangasong JIL, terserah. Mau lepas pasang seperti pentolan JIL itu, juga silakan. Itu sebuah pilihan. Tanggung jawab, urusan pribadi masing-masing.

Akan tetapi, melarang perempuan mengenakan jilbab, atau memerintahkan perempuan itu melepaskan jilbabnya, ini merenggut kebebasan berkeyakinan. Bagi bangsa kita, tindakan ini jelas bertentangan dengan Pancasila yang berdasar Ketuhanan serta prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Apabila dalih pelarangan itu adalah keseragaman, Bhinneka Tunggal Ika-nya di mana? Penyeragaman dengan berdalih semangat Bhinneka Tunggal Ika, pun keliru. Kebhinekaan menjamin keragaman, bukan? Maka, bila dalam satu komunitas ada yang berjilbab, ada yang tidak, itulah keragaman sebagai ekspresi keyakinan masing-masing.

Ada Sumanto di Paskibraka
Membaca postingan Sumanto Al-Qurtuby, kok seolah pengaruh paham liberal dalam kasus jilbab Paskibraka 2024 ini boleh dibilang tidak terlalu samar. Ya, karena salah satu alasannya ada kehadiran Sumanto Al-Qurtuby di sana. Dalam jagat liberalisme, siapa yang tidak kenal orang ini?

Pada laman Facebooknya tertanggal 15 Juli, liberalis dan penulis buku “Lubang Hitam Agama” ini menulis status: “Rasa capek belum hilang habis acara workshop dan diskusi maraton di Jogja langsung diminta BPIP untuk “menggemblung” eh “menggembleng” adik-adik Paskibraka, yang akan bertugas 17 Agustus nanti, di Cibubur, Jawa Barat. Urip kuwi jebule mung mampir ndobos.”

Rasanya, bila Sumanto “menggemblung” eh “menggembleng” soal teknik formasi baris-berbaris 68 anggota anggota Paskibraka Kelompok 17, Kelompok 8, dan Kelompok 45, kurang bisa meyakinkan publik. Apa orang yang mendaku antropolog ini mahir melatih formasi baris berbaris 17-8-45? Rasanya tidak. Lebih meyakinkan apabila Sumanto punya peran “menggemblung” eh “menggembleng” dari sisi ideologi.

Pemikiran Sumanto ini banyak dibincangkan rusaknya di kalangan kontra liberalisme. Bukunya Lubang Hitam Agama sarat dengan pemikiran liberal yang “menggemblungkan” kewarasan pemikiran. Kata Sumanto dalam buku itu; “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” 

Entah, surga yang mana yang dimaksud Sumanto ini.

Pemikiran Sumanto yang lebih “menggemblungkan” saat terang-terangan menyerang Al-Qur’an. Ia menganggap Al-Qur’an hasil konspirasi jahat antara Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan para penulis dan Al-Quran dianggap sebagai barang rongsokan yang sudah usang. Lebih “menggemblungkan” lagi, Sumanto mengarang bebas dengan narasi, “Dalam konteks ini, anggapan bahwa Al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada Al-Qur’an (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” –psudo sacra. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.”

Seperti saya, boleh jadi Anda melongo membaca buah pikir Sumanto pada tulisannya yang lain. Misalnya soal seks bebas. Tulisannya berjudul ”Agama, Seks, dan Moral” yang dimuat dalam sebuah buku berjudul Jihad Melawan Ekstrimis Agama, Membangkitkan Islam Progresif (terbit pertama Oktober 2009) bisa-bisa membuat kening berkerut sambil berujar “kesambet setan apa ini orang.”

Kata Sumanto, “Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan – seperti secara eksplisit tertuang dalam Al-Qur'an – telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli, apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek ”seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.

Katanya lagi, "Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin –seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi– itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya ”mengakomodasi” bukan ”mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena ”daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: ”Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”

Ini yang lebih "menggemblungkan", katanya, "Lalu, bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?"

Nah, orang dengan isi kepala seperti Sumanto ini diberi porsi untuk “menggemblung” eh “menggembleng” mental dan ideologi anggota anggota Paskibraka ini. Memang, belum tentu Sumanto yang meminta 18 anggota Paskibraka perempuan itu buat melepas jilbab mereka. Belum tentu, meskipun corak “gemblungannya” eh “gemblengannya” kuat diduga beraroma liberal seperti pemikirannya.

Akan tetapi, Paskibraka Aprilliya Putri Dwi Mahendra dari Maluku, Siti Janeeta Abdul Wahab dari Gorontalo, Zahra Aisyah Aplizya dari Sulawesi Tengah, Alysia Noreen Ramadhani dari kalimantan Tengah, Zahratushyta Dwi Artika dari Kalimantan Barat, Keynina Evelyn Candra dari DIY, Mutia Al Vanie dari Lampung, Amanda Aprillia dari Bengkulu, Kamilatun Nisa dari Riau, Rahma Azzahra dari Jambi, Maulia Permata Putri dari Sumatera Barat, Mutiara Wasilah dari Sulawesi Barat, Della Selfavia Azahra dari Kalimantan Selatan, Amna Kayla dari NTB, Indri Marwa Delvita Ahek dari Papua Barat, Sofia Sahla dari Jawa Barat, dan Dzawata Maghfura Z dari Aceh harus merasakan “gemblungnya” paham liberal yang menggusur jilbab mereka.

Efek Berisik di Medsos
Tekanan, kritik, dan efek berisik di Medsos efektif mempengaruhi sebuah kebijakan. Pengurus Pusat Purna Paskibraka Indonesia (PPI) termasuk yang paling keras mengkritik. Bahkan, Kesbangpol (Kesatuan Bangsa dan Politik) Aceh meminta menarik Paskibraka dari daerahnya. Hasilnya, BPIP tidak bergeming.

Boleh jadi, ada orang yang berpikir tidak sesimpel afektif atau tidak cara ini. Soal jilbab Paskibraka ini dipandangnya sebagai skenario kecil untuk melahirkan pahlawan. Sang pahlawan diyakini akan hadir di saat kegaduhan sudah memuncak. Siapa lagi kalau bukan sosok otoritatif. Ia berada pada barisan paling depan memihak para pengkritik dan turut meramaikan berisiknya Medsos. Ini soal lain, soal pikiran yang out of the box.

Siang ini, https://toraja.tribunnews.com/ merilis berita “Kontroversi soal Paskibraka Lepas Hijab, Kepala BPIP Minta Maaf”. Dalam beritanya, Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi diberitakan mengizinkan anggota Paskibraka mengenakan jilbab saat bertugas pada Upacara HUT Ke-79 RI di Ibu Kota Nusantara (IKN). Yudian juga mengungkapkan permintaan maaf atas keputusan sebelumnya yang melarang Paskibraka mengenakan jilbab selama pengukuhan dan upacara kenegaraan. Syukurlah.

Efek berisik di Medsos sebagai bagian dari peran citizen journalism kerap memang mujarab. Ia penting untuk mengontrol kebijakan, termasuk kebijakan negara yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kebebasan berekspresi yang bersumber dari ekspresi beragama dan berkeyakinan. Di sinilah pentingnya kekuatan kontrol dari citizen journalism ini. Maka boleh jadi, bila Medsos sunyi senyap dan semua orang tiarap, 18 Paskibraka itu benar-benar direnggut jilbabnya saat bertugas nanti.

Citizen journalism sebagai jurnalisme yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan merupakan jurnalis profesional, perlu pula mengedepankan etika jurnalistik. Menghindari komentar yang bernuansa provokatif di Medsos atas sebuah peristiwa menjadi nilai standar yang harus diperhatikan. Meskipun geram kepada Yudian Wahyudi sudah sampai ubun-ubun, tahanlah jemari dari mengetik pesan provokatif. Maka, teruslah berisik di Medsos dengan baik untuk melawan kezaliman.

Depok, dua hari menjelang 17 Agustus 2024.
Dituntaskan sepulang dari Fatmawati.