Orang Pintar Yang Tidak Pintar

Jimat. Ilustrasi milik https://www.lines.id/


Elu mah, dikerjain orang ini tong!
Hari-hari ini terasa amat berat dijalani dia yang sedang sakit. Bagaimana tidak, sakit memakan fisik dan psikisnya berganti-ganti. Dia hanya mengeluh, merasakan nyeri, disertai sabar seraya berharap segera sehat kembali, ingin agar penyakit itu segera enyah dan tidak kembali lagi. Pengobatan terus diupayakan, namun tanda-tanda kesembuhan seakan mendekat sangat lambat. 

Adalah manusiawi, bahwa tidak ada dari manusia yang ingin jatuh sakit. Baik ringan, apalagi sakit yang berat. Begitu juga dia. Akan tetapi, sakit itu sunnatullah seperti juga sehat adalah sunnatullah. Karena itu, hampir tidak ada orang di dunia ini yang kebal dari sakit. Tidak pula mustahil, bahwa orang bisa sehat lagi seperti sedia kala. Begitulah sunnatullah fil kaun berlaku.

Kadang, penyakit itu datangnya secepat angin. Ia menempel pada tubuh setiap orang tanpa orang itu menyadari sebelumnya. Tahu-tahu, kekuatan tubuhnya melemah perlahan, nafsu makannya berkurang, dan cahaya wajahnya meredup. Bila yang sakit itu orang yang beriman, dosa-dosa yang melekat pada dirinya juga sedang ditarik satu demi satu.

Bila sudah sampai waktunya Allah berkehendak menyembuhkan, maka kesembuhan itu pun datang secepat embusan angin. Kekuatan tubuh si sakit dikembalikan seperti semula. Begitu juga nafsu makannya kembali normal. Cahaya wajahnya berseri-seri lagi mengiringi kesembuhan. Hanya satu yang tidak dikembalikan Yang Maha Penyembuh kepada si sakit yaitu dosa-dosanya. Dosa-dosanya diangkat, tidak dikembalikan lagi, diganti pengampunan sebagai balasan dari kesabaran menjalani penyakit yang telah menyiksanya siang dan malam.

Sebagaimana riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu kelelahan, atau penyakit, atau khawatir, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” Jadi, betapa Allah sedang menyayangi penderita sakit meski penyakit itu ringan atau sangat berat ditanggung badan, lelah diratapi jiwa seperti tidak berkesudahan.

Hanya saja, kehadiran penyakit itu rentan. Ia rentan memancing keluh kesah, sedih, tangis sedu sedan, bahkan putus asa yang timbul tenggelam di antara usaha pengobatan. Bukan saja rentan bagi si penderita, melainkan rentan juga bagi keluarganya yang merawat. Dapatlah dibayangkan, bila saja tidak ada kesabaran sama sekali, akan begitu mudahnya si sakit atau keluarganya tergelincir sampai kemudian istighfar mengingatkan kembali bahwa ujian memang masih berlangsung.

Seringkali di penghujung istighfar, ada anak kalimat yang mengiringi, “Ya Rabb, kapan ujian ini akan berlalu. Jika memang Engkau belum berkehendak menyembuhkan, ringankanlah.” Itu karena begitu berat ujian sakit, sehingga apabila kesembuhan masih di ujung langit, berharap diringankan sudahlah cukup.

Salah satu obat yang meringankan dari ujian sakit itu adalah simpati atau perhatian. Ia hadir karena nurani. Nurani itu peka, mudah tersentuh bila mendapati penderitaan sedang ditanggung orang yang dikenal. Maka, teman, handai tolan, tetangga, apalagi dari kerabat dekat silih berganti memberi perhatian baik penghiburan atau sekadar saran. Tentu, semua itu sedikit banyak membahagiakan bagi penderita dan keluarga.

Hanya saja, dari semua perhatian, bila bentuknya adalah saran, adakalanya ia harus ditimbang. Berobat itu, kan layaknya mengonsumsi makanan. Ada makanan yang halal, mubah, makruh, dan haram. Begitu juga berobat, ada berobat yang diharamakan seperti yang dipesankan baginda Nabi SAW. Bukan sok bijak. Bukan. Karena memang, lain orang lain sikapnya. Lain pula keyakinannya. 

Saran untuk mendatangi orang pintar –sering disebut juga dengan “orang pinter”– misalnya, belum tentu pas pada semua orang. Seperti memberi hadiah baju, belum tentu sedeng dipakai pada orang yang diberi. Bajunya sedeng dipakai, tapi belum tentu juga model, warna dan coraknya sedeng di badan.

Bolehlah baju itu sedeng untuk diri sendiri, sebagaimana orang pintar itu sedeng dan cocok pada kita. Namun, bila dipikir sedikit saja, memberi perhatian dengan saran, hendaknya saran yang sehat dan rasional. Jangan karena merasa cocok dengan orang pintar, lalu cara itu dianggap cocok pula untuk diterapkan kepada keluarga si penderita sakit.

“Coba ke orang pinter. Yang namanya orang kerja …” begitu bunyi saran si A, si B, atau si C.

Boleh jadi, saran seperti ini diniatkan sebagai bentuk perhatian. Akan tetapi bagi orang tertentu, saran ini dirasa salah alamat, bikin “ilang feeling”. Alih-alih saran yang sehat yang didapat, malah menambah beban penyakit bila dituruti. Timbulah nelangsa, “Gua, kan bukan elu.”

Saran seperti itu mudah ditebak ke mana arahnya. Pertama, buka saja https://kbbi.lektur.id/. Ketik “Orang Pintar KBBI”. Dalam sekejap, kbbi.lektur.id sudah memberi informasi.

Kata lektur, orang pintar berasal dari kata dasar orang. Arti dari orang pintar dapat masuk ke dalam jenis kiasan sehingga penggunaan orang pintar dapat bukan dalam arti yang sebenarnya. Maka, orang pintar menurut KBBI itu;
1. Dukun;
2. Paranormal.

Nah!

Kedua, anak kalimat dari saran “Yang namanya orang kerja …” kuat sekali aroma buruk sangka di sana. Bila diteruskan, saran seperti itu bisa begini, “Yang namanya orang kerja, ada aja yang iri, ada aja yang nggak suka, ada aja yang pengen jatuhin kita.” Ya, apa ya? Nah, semua pertanyaan-pertanyaan itu, secara implisit oleh si penganjur bisa diselesaikan orang pintar, alias dukun, alias paranormal.

Maaf-maaf kata, salah satu karakter dukun atau paranormal itu “sok serba tahu”. Padahal kebanyakan yang dijual mereka hanya duga-duga, nebak-nebak, atau dalam bahasa orang kampung saya kali-kali bae. Duga-duga, nebak-nebak, dan kali-kali bae ini menjadi perangkat buat mendiagnosis penyakit, rezeki, jodoh, peruntungan, atau masa depan orang. Memang begitu cara kerja orang sok tahu itu.

Ini pengalaman. Pada 1995, saya mengalami muntah darah. Para tetangga yang menjenguk, rupa-rupa memberi saran. Pas pada kali ke sekian saya muntah darah, seorang tetua yang sedang menjenguk berkata, “Elu mah, dikerjain orang ini tong!”

Saat itu, sakit ini terasa bertambah-tambah. Sakit badan yang menakutkan, jiwa pun menjadi lebih sakit karena dihantui prasangka, “siapa yang ngerjain saya?” “Tetangga sendiri, apa teman kuliah?’ “Apa tujuannya?” “Saya salah apa sama dia?” Dan sederet pertanyaan-pertanyaan yang tidak berujung pangkal kecuali hanya memupuk kecurigaan sana-sini. Saking curiganya sampai merasa linglung  bertambah kalut. Jiwa dan raga sakit dua-duanya.

Sementara hasil diagnosis rumah sakit, pemeriksaan penyakit dalam, dan foto rontgen menunjukkan paru-paru sebelah kanan saya bocor. Sejak itu, jiwa mulai tenang. Obat untuk mengatasi kebocoran sudah bisa diresepkan. Selebihnya minum obat, sabar, dan banyak berdoa berharap sembuh. Sebab, hanya Allah yang punya hak memberi sembuh.

Butuh 15 hari rawat inap, tiga kantong darah transfusi, dan 24 botol cairan infus disuntikkan ke tubuh saya. Setelah itu, saya dinyatakan bisa pulang. Selebihnya menjalani rawat jalan dan enam bulan rutin minum obat. Setahun berikutnya, perlahan kesehatan semakin membaik. Alhamdulillah pulih.

Lalu, bagaimana soal yang katanya saya dikerjain orang? Ah, biar saja. Itu bukan urusan saya, sebab saya lebih sayang pada shalat dan ibadah saya. Buat apa shalat jumprit-jumprit, ngaji seminggu tiga kali, tapi masih percaya dukun. Sedangkan Nabi pernah mengingatkan dari jauh-jauh abad, “Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu hal, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim).

Hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah dan al-Hasan lebih serem lagi. “Barang siapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia mempercayai hasil ramalannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.” (HR. Ahmad).

Al-Kahanah atau perdukunan konsekuensinya syirik. Orang yang paham, syirik itu sebenarnya lebih ganas dari tumor yang menggerogoti kesehatan. Ia melalap habis amal salih seperti api yang memakan kayu bakar, hangus tak tersisa. Na’uzubillah.

Namun juga jangan salah. Berobat kepada dokter itu sifatnya ikhtiar dengan pendekatan medik. Kesembuhan tetap diserahkan kepada Yang Maha Penyembuh, seperti keyakinan setiap yang taat pada Allah, “wa idzaa maridhtu fahuwa yasyfiin”. Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku. Begitu kira-kira maknanya.

Maka, untukmu yang sedang terbaring sakit, bersabarlah, bertawakallah, dan berobatlah. Biarlah badanmu sakit, asalkan imanmu tidak jatuh pada perbuatan syirik. Jangan terpesona pesan ingin cepat sembuh dengan cara keliru. Semoga kesembuhan semakin mendekat.

Wallahu a’lam.

Depok, 27 Juli 2024.






Kurikulum yang Memerdekakan


Different types of learning styles. Foto credit  https://thethaiger.com/

Kemarin pagi, pada 4 Juli 2024, diberi kesempatan berbagi pengalaman pada Small Workshop Implementasi Kurikulum Merdeka. Acara yang semula dirancang berakhir pukul 12.00 WIB, baru usai pukul 14.30 WIB. Ini asik sekali.

Pada sesi pembuka, Kepala Madrasah (KAMAD) penyelenggara mengingatkan para guru peserta. Kata Pak KAMAD, “Guru yang berhenti belajar, sebaiknya berhenti mengajar”. Pesan singkat yang menghentak, menohok, dan tajam.

Pesan yang sama pernah saya dengar dari Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah 2006-2010 dan 2010-2015) saat memberikan wawasan pedagogik di Madrasah Pembangunan. Pesan sang Rektor dikutip menjadi quote, dibingkai, dan dipajang pada satu area dinding Madrasah Pembangunan. Tiap kali melintasi area tempat saya mengajar itu dan membaca quote-nya, aduh, rasanya gimanaa gitu.

Pak Bahruddin, Pengawas yang juga turut memberi pengantar workshop –bila saya tidak salah tangkap– ada menyinggung sedikit soal tantangan mendidik di masa kini. Pembelajaran hari ini kata Pak Bahruddin, berbeda dengan pembelajaran di masa lalu.

Pesan ini juga tidak kalah memukau bila saja direnungi dalam-dalam. Nyatanya memang begitu. Peserta didik sekarang berbeda sekali dengan guru-guru mereka yang hari ini mengajar mereka di kelas. Perbedaannya sepanjang “era kolonial” sampai era digital, “bayna al-samaa wa al-sumuur”, laksana jarak antara langit dan dasar bumi. 😂

Boleh jadi, Pak Pengawas pernah menyimak nasihat Socrates (hidup sekitar 470 SM–399 SM) kepada para orang tua. Kata Socrates “Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan di zaman mereka, bukan zamanmu”.

Imam al-Ghazali (1058-1111 M) juga pernah menyampaikan pesan senada. Bahkan, kata penulis Ihya Ulumiddin ini, belajar itu menjadi adab orang alim (guru) yang tidak boleh ia tinggalkan. Guru itu harus memelihara spirit “luzum al-ilm”, tidak berhenti menuntut ilmu.

Legacy Guru

Berbagi pengalaman bukan seperti berbagi sedikit roti. Sedikit pengalaman yang dibagi-bagi, maka ia menjadi banyak. Sejujurnya, pun masih sedikit yang saya tahu soal Implementasi Kurikulum Merdeka. Sempat ragu juga saat akhirnya bersedia berbagi dengan guru-guru Muhammadiyah yang militan itu. Biarlah sedikit pengalaman yang dibagikan asalkan penting dan berarti, sebab yang saya lakukan bukan sedang berbagi roti.

Berbekal sedikit, berarti saya datang tidak dengan have no experience soal Kurikulum Merdeka. Ada seminar, workshop yang saya simak, dan penerapannya dalam pembelajaran di kelas saya. Ada juga partner di Madrasah Pembangunan teman diskusi, curhat, dan ngobrol ringan soal “kegagapan” bagaimana harus menerjemahkan kurikulum ini di kelas. Karena itu, bolehlah saya sedikit optimis telah keluar dari frame “faaqidu al-sya’i laa yu’thih”, bahwa orang yang tidak punya sesuatu, tidak bisa memberi.

Harus diakui, banyak hal dari kurikulum ini yang belum tuntas di benak para guru. Soal titel “Guru Penggerak” saja, programnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia yang diperkenalkan pada 2020 sebagai program pendidikan kepemimpinan bagi guru, bersifat transformasi dan beririsan dengan Kurikulum Merdeka, seolah bikin cemburu. Ya, seakan ada garis demarkasi yang dipasang melintang memisah mereka yang Penggerak dan bukan Penggerak. Padahal esensinya bukan pada titel itu, tapi pada paradigma. Bahwa harus ada yang di depan, ini juga harus dipahami. 

Saya tidak berada pada maqom “Guru Penggerak”. Ini terlalu berat buat saya pikul. Akan tetapi, bukan pula penyandang “Guru Pendiam”, meskipun ada juga yang menyebut saya “Guru Penyendiri”. Ealah, biarlah itu tidak penting, itu soal persepsi saja.

Begini, asalkan setiap guru mengerti kapan ia harus bergerak, kapan memilih diam, dan menepi mengambil waktu menyendiri untuk sebuah legacy yang dinikmati manfaatnya bagi banyak orang, itu sudah cukup. Begitulah peradaban guru dibangun meskipun gerak tiap guru tidak sama intensitasnya.

Dengan kekuatan Kurikulum Merdeka, Michrophone bisa berdiri. Foto Credit Suprihatiningsih
Paradigma Belajar

Nah, kebanyakan kegagapan guru di sini, soal bagaimana mengelola pembelajaran berbasis Kurikulum Merdeka. Ini kegagapan rasional dan empirik merespons perubahan kurikulum. Sebaiknya, memang kegagapan ada di sini menurut saya, bukan pada perangkat.

Perangkat bisa menggunakan model yang disediakan pemerintah, dibuat lewat jalan pintas serupa ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi), atau perintah saja AI (Artificial Intelligence) untuk menyelesaikannya. Di era serba digital sekarang, jangan dianggurin lah, si AI ini. Kasihan dia bila diabaikan bertepuk sebelah tangan. Maka, jangan kehadirannya malah menjadi kemubaziran digital sebab tidak dimanfaatkan untuk edukasi. Bukankah si AI memang direkayasa untuk menjadi "Pembantu Digital"? 

Coba sesekali mengunjungi si Gemini AI misalnya. Baru halaman pertama saja, si Gemini sudah menawarkan layanan: “Halo. Ada yang bisa saya bantu?” Nah, tunggu apa lagi? Jadikan saja dia asisten pribadi. "Gauli" si AI ini dengan makruf.

Asalkan gurunya lebih cerdas memanfaatkan kecerdasan si AI-nya, tidak masalah. Jujur ya, peserta didik hari ini, jauh lebih canggih memanfaatkan teknologi ini daripada guru-gurunya. Ngaku aja lah, kita. Apalagi saya, lelaki Gen X yang terperangkap di zaman Baby Boomers. Otak dan tubuh saya harus tertatih-tatih merespons perubahan zaman Gen-Z yang serba cepat.  

Maka, kali pertama mendapat pesan apa yang harus saya sampaikan pada obrolan bareng guru Muhammadiyah itu, lebih baik saya fokuskan pada paradigma belajar, pada esensi kurikulum yang memerdekakan, bukan pada perangkat yang terkesan mekanis.

Fokus saja pada yang baju item. Foto Credit Suprihatiningsih

Paradigma Diferensiasi

Paradigma belajar hari ini berorientasi pada kesiapan, potensi, minat, dan kecerdasan peserta didik yang tidak sama. Simpelnya, kekuatan belajar tiap individu ada yang auditori, visual, kinestetik, dan pengalaman membaca dan menulis yang intens. Karena perbedaan kekuatan belajar ini memerlukan strategi, pendekatan, dan metode yang berbeda tiap individu, maka ia menuntut kesiapan sungguh-sungguh.

Problemnya, bagaimana mengelola perbedaan itu dalam proses pembelajaran di kelas agar menjangkau semua potensi peserta didik, alat bantu apa yang bisa dimaksimalkan, dan bagaimana pula model asesmennya. Ini lebih penting dari sekadar urusan kelengkapan administrasi.

Maka, proses asesmen awal amat ditekankan pada paradigma belajar sekarang. Efeknya panjang. Itu tadi, proses ini bukan saja langkah untuk memetakan di mana kekuatan belajar setiap peserta didik, melainkan untuk memutuskan strategi pembelajaran yang bagaimana yang akan digunakan dan asesmen model apa yang disajikan. Di sinilah letak pembelajaran berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka harus ada jejaknya.

Akan tetapi, soal perangkat bukan berarti tidak penting. Dia harus ada sebagai rekam jejak, tanda patuh pada aturan dan undang-undang, nilai kredit, dan nama baik institusi. Bila ini diabaikan, bisa ditegur birokrasi dua hari dua malam.

Suka atau tidak suka, guru juga harus tunduk pada institusi tempatnya mengajar. Dia harus buat RPP atau Modul Ajar di mana paradigma diferensiasi proses pembelajaran harus dibunyikan di sana. Bikin modul, e-modul, bahan ajar, banyak dah pokoknya. Pusing, kan? Apalagi saya.

Ya, sudah. Istirahat dulu sambil menyesap secangkir kopi. Yang penting, bahagia menjalani peran. Bila bahagia, tidak ada tantangan yang tidak bisa dijawab. Bukan begitu, Bu Fitriyanti penerus Al-Khawarizmi?😄


Foto di akhir sesi. Semoga tetap semringah menjawab perubahan paradigma mengajar. Foto Credit Suprihatiningsih.

Depok, 5 Juli 2027.

Hilf Al-Fudhul Catatan Untuk Peserta Baitul Arqam

"Ngaji Muhammadiyah" Program Kuliah Subuh PRM Ranting Pulo. Foto credit: Abdul Mutaqin

Pentingnya Identitas

Sebagai muslim, Islam menjadi identitas utama yang tidak tergantikan dengan ideologi apa pun. Maka, “inna ad-dina ‘indallah al-islaam” menjadi harga mati, yakni sebagai keyakinan yang akan dibawa sampai seorang muslim itu mati.

Dalam konteks hubungan sosial, manusia memerlukan identitas primordial yang diikat oleh nilai agama, kebangsaan, suku, ras, atau bahasa. Mereka memerlukan identitas itu untuk memudahkan komunikasi di antara mereka.

Bahkan ada identitas yang lahir dari sekedar hobi, seperti hobi memelihara burung. Ada Kediri Free Flight Community (FFC) misalnya. “Persyarikatan” ini hadir menjadi sarana bagi komunitas atau kumpulan para penghobi burung yang bisa terbang dan kembali pada pemiliknya.

Orang-orang Depok yang suka “memelihara” golok, konon juga punya komunitas, punya identitas, punya “persyarikatan”. Namanya Golok Depok. Untuk menguatkan identitas dan ideologi komunitas ini, Golok Depok merasa perlu menggelar seminar sejarah Golok Depok pada milad ke-2 mereka, Minggu 17 Maret 2019 silam.

Boleh jadi benar apa yang dikatakan ilmuwan muslim kelahiran Saragossa, Spanyol, Abu Bakar Muhammad Ibn Al-Sayigh atau populer dengan panggilan Ibnu Bajjah. Ibnu Bajjah menyebut manusia sebagai ”makhluk sosial”, makhluk yang senang berkumpul, senang “berpersyarikatan”.

Jadi, komunitas itu memang hal yang menyatu dalam kehidupan manusia, seperti fitrah bawaan sejak lahir. Manusia tidak mungkin “meniru” mitologi Tarzan, menyendiri hidup di hutan menjauh dari keramaian. Tarzan saja, pada akhirnya menyatu dalam komunitas hutan bersama monyet wa akhwatuha.

Organisasi Orang Quraisy

Bila sementara ada saudara muslim anti organisasi, yang berpendapat bahwa organisasi itu perkara bid’ah, bisa jadi benar secara semantik. Hanya saja perlu ditegaskan, bid’ahnya organisasi adalah perkara baru pada ranah sosial, ranah mu’amalat duniawiyah, bukan pada perkara ibadah mahdhah yang terlarang.

Tapi, kan bid’ah itu sesat. Betul. Tapi, bid’ah pada ranah sosial atau mu’amalat duniawiyah meskipun tersesat, insya Allah “tersesat ke jalan yang benar, ke jalan shiratal mustaqim”.

Dahulu, kira-kira pada 519 M, Muhammad SAW pernah menjadi anggota organisasi. Nama organisasinya Hilf al-Fudhul. Saat itu usia beliau baru sekira 19 atau 20 tahun. Artinya, Muhammad SAW belum diangkat menjadi nabi.

Hilf al-Fudhul dibentuk pemuka Quraisy karena ulah Ash bin Wail al-Sahmi. Dikisahkan, seorang laki-laki dari Zabid datang ke Makkah dengan membawa barang dagangan, lalu Ash bin Wail membelinya. Akan tetapi, Ash bin Wail menahan hak laki-laki itu. Laki-laki itu lalu meminta pembelaan kepada para sekutu dari Bani Abd al-Dar, Bani Makhzum, Bani Jumah, Bani Sahm, dan Bani 'Ady. Hanya saja mereka tidak mengindahkan permintaan laki-laki ini.

Laki-laki dari Zabid ini kemudian mendaki Jabal Abu Qubais. Di atas gunung ini, dengan suara keras ia meneriakkan syair-syair mengadukan kezaliman yang menimpanya. Zubair bin al-Mutalib yang mengetahui hal itu menghampiri laki-laki ini dan berkata: "Apakah hal ini akan dibiarkan?" Lalu, berkumpul orang-orang mengikat perjanjian. Setelah itu, mereka mendatangi Ash bin Wail dan mengambil paksa hak laki-laki Zabid itu darinya.

Dari peristiwa ini Hilf al-Fudhul dibentuk di rumah Abdullah bin Jud’an at-Taimy. Ia semacam perjanjian beberapa kabilah dari Bani Hasyim, Bani Al-Muthalib, Bani Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, Bani Zuhrah bin Kilab, dan Bani Taim bin Murrah pada 591 M.

Hilf al-Fudhul dan Keanggotaan Muhammad SAW

Cita-cita bersama dari Hilf al-Fudhul berupa kesepakatan untuk berdiri di samping tiap orang yang teraniaya di Makkah serta membelanya. Tiap orang yang berbuat zalim, kezalimannya harus dibalaskan.

Hilf al-Fudhul sendiri artinya ‘perjanjian yang disertai sumpah yang utama’. Nama ini diambil pemuka Quraisy untuk mengenang perserikatan atau persekutuan yang pernah dibentuk oleh tiga orang moyang mereka dari keturunan Jurhum yang masing-masing bernama Fadhal; Fadhal bin Fudhalah; Fadhal bin Wada’ah; dan Fadhal bin al-Harits. Mereka bertiga membentuk persekutuan atau persyarikatan bertujuan untuk membela dan menolong orang yang teraniaya. Hanya saja seiring waktu, persyarikatan itu dilupakan generasi sesudah mereka.

KH. Moenawar Chalil dalam bukunya “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ï·º", hal 78, Hilf al-Fudhul disebut sebagai organisasi. Tulis Kiai Chalil, “Perlu diuraikan lebih dahulu sebab timbulnya organisasi yang dinamakan Hilful Fudhul ini agar jelaslah mengapa organisasi ini timbul dalam lingkungan masyarakat Quraisy di Makkah pada masa itu.”

Setelah diangkat menjadi rasul, Muhammad SAW memberikan kesaksian. Dalam Thabaqat Ibn Sa’ad–saya kutip dari handout IQRO Foundation, Sydney, Australia– dari Jubair bin Muth’im berkata, Rasulullah ï·º bersabda, “Tidaklah unta merah lebih aku senangi daripada peristiwa Hilf al-Fudhul yang aku turut serta di rumah Ibnu Jud’an. Jika aku diajak lagi untuk melakukannya, maka akan aku penuhi.”

Dalam riwayat al-Baihaqi, Ibn Katsir, dan al-Qurtubi Rasulullah ï·º bersabda: “Aku menyaksikan peristiwa Hilf al-Fudhul di kediaman Ibnu Jud’an. Ini lebih aku sukai daripada mendapatkan unta merah. Jika aku diajak untuk seperti itu pada saat Islam telah ada, maka akan aku penuhi.”

Hilf al-Fudhul Abad 20

Boleh jadi, bukan sekadar terinspirasi QS. Ali Imran [3] : 103 dan 104 KH Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah, tapi beliau sudah khatam membaca soal Hilf al-Fudhul di atas. Kiai Dahlan melihat, kaum muslimin Kauman, dan umumnya muslim nusantara saat itu sedang teraniaya secara ekonomi, politik, agama, dan budaya yang harus ditolong.

Keterjajahan umat yang teramat parah tentu penjajahan budaya. Umat Islam mencampuradukkan praktik ibadah dengan tradisi agama yang sudah ada sebelumnya, terutama animisme. Sehingga animisme ditambah tahayul dan khurafat itulah yang dipandang sebagai ajaran Islam. Menurut catatan Haji Muhammad Syuja’, hanya shalat lima waktu dan puasa saja yang masih merupakan sifat agama Islam yang asli saat itu.

KH Dahlan dibantu murid-murid dan kolega-koleganya bergerak menolong. Pada 1911, saat rapat pembentukan di rumah KH Sangidu, digagaslah komunitas, persyarikatan, atau organisasi agar gerakan teratur rapi bernama "Muhammadiyah". Pengusul nama ”Muhammadiyah” juga tidak lain adalah KH Sangidu sendiri.

Menantu Protagonis

Kiai Sangidu itu siapa? Beliau adalah Kiai Haji Muhammad Sangidu atau Kanjeng Raden Penghulu Haji Muhammad Kamaluddiningrat,Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-13. Kiai Sangidu dilantik pada 1914 untuk menggantikan penghulu sebelumnya, K.R.P.H. Muhammad Khalil Kamaluddiningrat, mertua Kiai Sangidu yang wafat saat masih menjabat sebagai Penghulu.

Dalam catatan sejarah Muhammadiyah, mertua Kiai Sangidu inilah yang memerintahkan Langgar Kidul dirobohkan sebab arah kiblatnya tidak sama dengan masjid Gedhe Kauman sebagai ekses dari aksi anak-anak muda yang membuat garis putih saf-saf baru di masjid ini. Uniknya, 14 tahun setelah peristiwa perobohan Langgar Kidul itu, rapat pembentukan Muhammadiyah dilangsungkan di rumah menantunya.

Muhammadiyah bergerak menolong kaum mustadh’afin dengan teologi al-Maun-nya. Ia ibarat Hilf al-Fudhul abad 20. Bolehlah setipis ari kita berandai, bila Hilf al-Fudhul yang diapresiasi Muhammad SAW itu ‘sekufu’ dengan Muhammadiyah, maka Nabi terakhir ini mestinya tidak sungkan menjadi anggota Muhammadiyah.

Jadi, warga persyarikatan tidak perlu risau bila organisasi dianggap bid’ah oleh sekelompok orang. Teruslah kuatkan ideologi Muhammadiyah seperti mengikuti Baitul Arqam yang kerap diselenggarakan Persyarikatan.|

Depok, 3 Juli 2024.
Sambil menyesap kopi pagi menghabiskan libur