Menunggu Kehidupan

Berangkat sekolah melintasi sawah. Foto milik Nickie Woopdroof, https://nickiewoodruff.blogspot.com/

Hari ini, Rabu 26 Juni 2024, dua orang yang saya kenal dipanggil Allah. Tadi pagi, pukul 07.07 WIB, khadim Masjid Andalusia, Bapak Salman Abdurrahman kabar kewafatannya saya terima. “Pak Maman” –begitu biasa ia dipanggil warga Madrasah Pembangunan tempat saya mengajar– tutup usia.

Pak Maman itu di antara sedikit orang. Ada banyak orang yang masih hidup, tapi lari menjauh dari masjid. Sementara ia, separuh tarikan napasnya dihabiskan untuk memakmurkan masjid meninggalkan legacy mulia. Betapa bahagianya Pak Maman. Ia datang menghadap Allah setelah mengurus rumah tempat orang-orang bersujud pada-Nya.

Selamat jalan Pak Maman. Ya Allah, ampunilah ia, sayangilah ia, dan maafkanlah ia. Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu.|


Tujuh jam setelah kabar Pak Maman, Mardina juga berpulang hari ini. Mardina teman sekelas saya waktu SD. Mendapati kabar kewafatannya, melempar saya pada masa kecil, masa-masa mengenakan seragam Elementary School.

Mardina satu di antara teman sekelas yang pandai Matematika. Ia, meski sedikit agak judes, namun bila tersenyum lebar sekali. Gelak tawanya juga nyaring. Perawakannya sedikit gemuk, rambutnya keriting kriwil, dan wajahnya bulat. Senyum dan tawa Mardina seakan menghapus kesan judes itu, hilang tak berbekas.

Hari ini, Mardina seperti memutar video masa-masa saya SD. Di pelupuk mata, seketika tampak iringan meniti galengan sawah dan empang. Melintasi kobak Haji Goming yang jernih, teduh, dan sedikit seram tiap berangkat dan pulang sekolah.

Iring-iringan itu berjalan berundak. Mereka yang saya ingat adalah Muhammad Insaf, Husnul Khatimah, Mujahidin, Muhammad Anwar Muttaqin, Iman Istamar, dan saya sendiri. Sekali waktu, teman sekelas dari ujung paling selatan kampung bergabung dengan kami yang di utara berangkat bersama di suatu pagi dan siang. Mereka Gugut Kuntari, Moh. Yamin, dan Maspupah.

Ini kenangan antara tahun 1979 sampai kami lulus pada 1985 dari SD Muhammadiyah Rawadenok, murid-murid KH. M Syamsuddin, Pak Rauf, Bu Habibah, dan guru-guru kami yang lain. Masa-masa di mana kami sudah dibiasakan bangun malam, kuliah Subuh setiap Ahad pagi, dan menyanyikan "Sang Surya".

Di antara kami semua; saya, Mardina, Husnul, dan Gugut memilih jalur pendidikan. Mardina, Husnul, dan Gugut jadi guru SD. Belakangan, Gugut pindah ke jalur birokrasi, mengikuti jenjang kariernya sebagai PNS. Teman-teman yang lain memilih jalurnya masing-masing, jalur yang membuat mereka bahagia, sebahagia kami menjalani profesi guru.

Hari ini, Mardina telah purna. Ia pulang ke haribaan Allah dengan membawa legacy sebagai guru dan aktivis Aisyiyah. Ia aktif mengikuti tabligh-tabligh dan rapat-rapat persyarikatan di samping mengajar. Usia Mardina dihabiskan di sekolah dan mengurus Aisyiyah.

Selamat jalan, Din. Bahagialah di sana, tanpa sakit yang kau derita lagi. Kami yang tersisa tengah menunggu giliran. Ya Allah, ampunilah ia, sayangilah ia, dan maafkanlah ia. Allahummaghfir laha warhamha wa ‘aafiha wa’fu ‘anha.|

Entah siapa yang mengatakan kalimat ini: Nahnu lasna ahya'a nantazir al mawt wa annama amwatun nantaziru al-hayaa. Hidup kita ini bukan untuk menunggu kematian, tapi, mati untuk menunggu kehidupan, begitu kira-kira arti bebasnya.

Boleh jadi, sependek pemahaman saya, bahwa kehidupan sesungguhnya baru dialami manusia setelah ia mati. Sebab, sesudah mati, manusia akan masuk fase kehidupan yang disebut “la nihayata laha”, “unending”, tidak ada kesudahannya.

Alangkah bahagianya, bila sesudah mati, manusia menikmati kebahagiaan yang tiada akhir. Alangkah buruknya bila manusia malah mendapati kesengsaraan hidup yang tiada akhir sesudah kematiannya.

Ada riwayat dari Imam Muslim, kelak ada manusia yang mati membawa segudang pahala. Akan tetapi, pahalanya itu tak bisa menolongnya sebab kezaliman yang ia lakukan sewaktu hidup di dunia. Dialah orang yang muflis, orang yang bangkrut.

Si muflis itu, bila pahalanya sudah habis tak tersisa untuk menebus kezalimannya, dosa-dosa orang-orang yang dia zalimi berpindah ke pundaknya untuk dia tanggung. Apa lacur, sebenarnya sebelah kakinya sudah di depan pintu surga, tapi karena kezalimannya, ia malah dilempar ke neraka.

Kezalimannya itu boleh jadi sepele, tidak seberat yang disebut dalam riwayat Imam Muslim. Akan tetapi, yang sepele itu telah membuat orang tersiksa, tak bisa tidur, tak enak makan, dan tak sedap menyesap air bening. Bila yang sepele itu tidak tuntas di dunia, maka ia akan berlanjut sampai di akhirat. Na’udzu billah.

Ya Allah, selamatkan kami dari kebangkrutan di akhirat.

Depok, 26 Juni 2024.


Aku Bukan Pengidap Post Power Syndrome

Ilustrasi memasuki masa pensiun yang bahagia. Foto Credit, https://www.ayobandung.com

Berjalan dengan seorang sahabat di kegelapan lebih baik daripada berjalan sendirian dalam terang. 
Sedih. Begitulah hari ini ditinggalkan kolega yang memasuki masa pensiun dan resign karena ada tugas baru. Ini sedih yang manusiawi.

Beberapa hari sebelumnya, aura kesedihan sudah merebak. Ucapan selamat memasuki masa purna bakti untuk Bu Eha memenuhi halaman grup WA bagi kolega yang pensiun hari-hari terakhir ini.

Jemari saya sudah bergerak mengetik. Ingin ikut menyampaikan simpati “barakallah” atas kepensiunan kolega ini. Tapi urung, hati seperti tidak rela kolega ini pensiun. Maka, saya tidak ikutan menyampaikan “barakallah”, sebab merasa ia tidak tergantikan dan akan saya biarkan Bu Eha ada di hati saya sebagai kolega.

Namun, dalam nomenklatur kepegawaian, masa pensiun itu seperti “takdir mubram”, takdir yang tidak bisa diubah. Setiap pegawai pasti akan memasuki masa itu, baik baik pensiun dini maupun pensiun “dini hari”.

Saya percaya, Bu Eha bahagia memasuki masa pensiun ini, meskipun ia berat meninggalkan madrasah. Saya tahu, rasa berat itu karena Bu Eha sangat menyintai madrasah ini, anak-anak, dan guru-gurunya. Bu Eha juga punya dedikasi sebagai guru Biologi, punya kapasitas leadership yang kuat saat menjadi Wakakur dan Kepala Madrasah, dan friendly dengan sesama guru dan karyawan. Pribadi serupa ini, memiliki jiwa yang sehat. Apalagi, secara kasat mata, religiusitas Bu Eha juga sangat menonjol.

Memang, ada banyak orang yang memasuki masa pensiun mendadak mengidap post power syndrome. Apalagi bila dahulu pernah menjadi pejabat. Orang dengan gangguan ini masih membayangkan pencapaiannya pada masa lalu dan membandingkannya dengan masa kini. Lalu, rasa percaya dirinya menurun hingga depresi.

Akan tetapi, post power syndrome lebih sering menimpa mereka yang tidak memiliki pasangan hidup atau hidup seorang diri, tidak memiliki aktivitas atau kesibukan lain, tertekan secara finansial, dan memiliki masalah-masalah lain. Boleh jadi, kondisi-kondisi di atas mendorong orang itu “Tidak ingin pensiun” yang semakin menambah tekanan post power syndrome-nya.

Boleh jadi, kolega-kolega Bu Eha lah yang harus belajar dari guru Biologi ini. Bukan belajar bagaimana cara tersenyum Bu Eha yang selalu mengesankan, ini gak bisa ditiru persis karena ia bawaan orok. Tapi, belajar bagaimana saat memasuki masa pensiun dengan bahagia seperti Bu Eha sambil berkata; Aku bukan pengidap post power syndrome!

Pak Misro, guru Akidah Akhlak juga memasuki masa pensiun. Kolega sesama Konsorsium Agama ini termasuk guru senior di Konsorsium Agama. Ada lebih kurang 17 tahun bergaul bersama Pak Misro. Sebagai yang junior, saya banyak belajar, terutama belajar kesabaran. 

Pak Misro pernah mengajar Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), subjek yang saya ampu di Madrasah Pembangunan. Pak Misro sempat sharing saat kali pertama saya menginjakkan kaki di Madrasah Pembangunan mengenai pelajaran yang dianggap pelajaran paling susah di antara rumpun pelajaran agama. Dari Pak Misro saya jadi tahu, mengajar SKI tidak semudah yang dibayangkan, tidak segembira mengajak peserta didik main games atau membaca komik kesukaan mereka.

Ahamdulillah, dari sharing ini, mental untuk mengajar SKI naik sedikit. Hal terpenting, tentu mendorong untuk terus belajar.

Aduh, tapi saya tidak menyangka kolega yang saya yang satu ini, Bu Fairus Qamila. Saya baru tahu hari ini ia resign. Rupanya, gadis Aceh ini juga akan melangkah pergi meninggalkan madrasah. Tentu dengan alasan yang berbeda, sebagai peserta beasiswa LPDP yang tidak mengizinkannya mengajar sambil menikmati beasiswanya. “Kejam” sekali LPDP ini telah memisahkan saya dengan Bu Fairuz. Aiih …

Pilihan Bu Fairus sudah benar. Andaikan saya yang berada pada posisinya, akan saya ambil pula beasiswa itu. Tentu, untuk lolos menjadi penerima beasiswa LPDP itu tidak gampang. Berat syaratnya. Maka, bila Bu Fairuz meninggalkan saya, eh meninggalkan madrasah maksudnya, maka itu pilihan rasional.

Maka, yang tersisa adalah mendoakan. Kepada Bu Eha, Pak Misro, dan Bu Fairus terima kasih sudah memberikan banyak hal buat madrasah. Jangan pikirkan saya ya, Bu Fairus karena saya sudah ada yang mengurus yaitu istri dan anak-anak saya. Hahahahah.

Bu Eha, Pak Misro, Bu Fairus, kata Hellen Keller, “Walking with a friend in the dark is better than walking alone in the light." 

Bahagia terus ya, Bu Eha, Pak Misro, dan Bu Fairus agar tetap menjadi terang buat kami kolega-kolegamu. Dan, selamat datang bagi guru-guru terbaik yang baru bergabung dengan Madrasah Pembangunan hari ini.

Kamis, Ruang Pleno 10 Juni 2024.