Bayi di Musim Bunga

Kaligrafi Muhammad. Source: https://artikula.id/

Musim Bunga

HARI pada 571 M yang silam, lahir sang pembawa rahmat bagi alam semesta, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliau diutus untuk menggugah kesadaran umat manusia, mengusir kabut hitam (az-Zhulumat) peradaban jahiliyah mereka, dan mengajak hidup dalam naungan cahaya hidayah (an-Nur).

Dalam kalender Hijriyah, pada Rabu kemarin, selepas matahari tenggelam sampai Magrib di hari kamis, tepat hari itu jatuh tanggal 12 Rabiul Awwal. Pada tanggal itu baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan, bertepatan pada April 571 M.

Konon, Rabi’ berarti 'musim bunga'. Awwal, berarti 'yang pertama'. Jadi, Rabi’ul Awwal, sebagaimana lazim berlaku adalah bulan di mana bermulanya musim bunga bagi tanaman. Tiap Rabiul Awwal menjelang, di jazirah Arab buah-buahan mulai berbunga dan kemudian berbuah.

Bertepatan dengan Rabi’ul Awal saat beliau dilahirkan, berlangsung April dalam kalender Masehi. Anda pasti tahu, April adalah Spring, musim semi yang merupakan peralihan dari musim dingin kembali menuju musim panas. So, Anda juga pasti tahu pada bulan itu–April sampai Mei– bunga-bunga sedang mekar di wilayah-wilayah yang berlaku empat musim–Spring, Summer, Autumn, dan Winter. Cobalah misalnya, Anda ke Turki pada April tahun depan. Anda pasti menikmati ragam tulip yang sedang mekar memesona.

Momentum Cinta

Maka, sebagian kalangan merayakan momen Rabi’ul Awal ini dengan maulid sebagai bentuk cinta pada beliau. Momentum ini seperti harum bunga yang sedap. Dan, keharuman baginda Muhammad shallallahu alaihi wa sallam melalui syari’at Islam yang beliau sampaikan adalah keharuman yang harumnya bisa dihirup sampai ke negeri akhirat.

Ada banyak ragam ekspresi cinta kepada baginda Nabi. Asalkan ekspresi cinta itu tidak bertentangan dengan syari’at, boleh-boleh saja, bahkan menjadi keharusan, seperti bershalawat dan memperbanyaknya pada hari Jum’at.

Puncak dari ekspresi cinta Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah dengan beriman kepadanya, beriman kepada syari’atnya, dan menjadikan beliau sebagai jalan untuk sampai pada derajat cinta tertinggi, yakni cinta kepada Allah.

Cinta Separuh Hina

Akan tetapi, salah satu esensi penting dari bentuk kecintaan kepada beliau adalah menjaga kehormatan. Ini tidak kalah penting dari bershalawat, sekedar pengakuan cinta Nabi, dan merayakan kelahiran beliau. Karena itu, tidak patut orang yang gemar melantunkan shalawat dan menyanjung-nyanjungnya di hari maulid, tapi di saat bersamaan merendahkan kehormatan beliau. Cela n'a aucun sens.

Karena itu, akal sehat siapa pun akan melawan bila ada orang yang mengatakan masa kecil Nabi itu ‘rembes’ –tidak terurus dengan baik– karena sempat hidup dalam asuhan kakek, Abdul Muthalib. Lebih tak elok lagi menyamakan masa kecil Nabi mulia ini dengan masa kecil anak-anak kampung nusantara yang nakal. Seandainya di negeri Arab ada pohon jambu, katanya, Nabi kecil juga ikutan nyuri jambu.

Ini apa?

Katanya sekadar guyon penyegar. Canda pelipur bosan yang monoton. Namun, pantaskah peri hidup Sang Nabi dijadikan bahan guyonan dan candaan tidak bermutu yang sekelas kaleng-kaleng?

Sekali lagi, patutkah orang yang gemar melantunkan shalawat dan menyanjung-nyanjungnya di hari maulid, tapi di saat bersamaan merendahkan kehormatan beliau sedemikian itu. Ini namanya cinta separuh hina.

Kasih Sayang Kakek

Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memilih sendiri dan mempersiapkan dirinya menjadi rasul. Tuhan lah yang mempersiapkan, memilih, dan menjadikannya terhormat sejak sebelum beliau lahir sebagai rasul. Adapun tuduhan yang merendahkan beliau, itu lain soal, itu urusan manusia degil.

Karena kehormatan yang absolut yang dilihat tanda-tandanya oleh sang kakek, dinamailah beliau “Muhammad”. Artinya “yang terpuji di langit dan di bumi” meskipun nama itu asing, alias tidak lazim di sekitar penduduk Makkah waktu itu.

Maka, amat sayanglah Abdul Muthalib pada sang cucu. Sang kakek hanya mau makan dan tidur bila berdampingan dengan Muhammad kecil. Kepada Ummu Ayman, budak peninggalan ayah bunda Nabi yang kemudian dimerdekakan dan sempat merawat beliau setelah Aminah wafat, Sang Kakek pernah berpesan, “Wahai Barakah! Janganlah engkau lalai menjaga anakku. Karena sesungguhnya, para Ahli kitab memperkirakan bahwa anakku akan menjadi Nabi umat ini”. Kelak, Nabi menyanjung Barakah atau Ummu Ayman sebagai perempuan ahli surga. Nabi bahkan menyebutnya sebagai ibu. “Ummu Ayman ummii ba’da ummii”, Ummu Ayman adalah ibuku sesudah ibuku, begitu kata beliau.

Abdul Muthalib bukan orang biasa. Dia orang terhormat yang amat disegani di kalangan Quraisy. Di Masjidil Haram, di dekat Ka’bah, Abdul Muthalib punya tempat istimewa, hamparan dari permadani tempat Abdul Muthalib duduk, menerima tamu, dan bercengkrama dengan anak-anak serta kerabatnya. Sebagai penghormatan kepada Abdul Muthalib, tidak ada satu pun dari mereka, termasuk anak-anak Abdul Muthalib yang berani menginjak atau duduk di sisinya di atas hamparan itu.

Satu kali, di saat Abdul Muthalib sedang berbincang kepada anak-anaknya yang meminta nasihat, Muhammad kecil datang menghampiri. Beliau ingin bergabung bersama sang kakek duduk di sisinya. Namun, sebelum beliau menginjak hamparan, anak-anak Abdul Muthalib menyambar tangan beliau, mencegahnya dari menginjak hamparan itu. Akan tetapi, bagaimana respons Abdul Muthalib. ”Da’au ibni innahu liya’tiina milkan”. Biarkan anakku ini. Sesungguhnya dia akan dianugerahi kemuliaan, kata sang kakek.

Rupanya, sedemikian besar cinta Sang kakek kepada Muhammad sejak beliau kecil. Lalu, dari mana asal-usul cerita bahwa nabi itu rembes saat diasuh Abdul Muthalib?

Manusia Terbaik

Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah manusia terbaik. Pada riwayat Imam Ahmad, beliau menyebut bahwa Allah menciptakan makhluk (manusia), kemudian menjadikan beliau dalam sebaik-baik ciptaan-Nya. Allah menjadikan beberapa kabilah, lalu menjadikan beliau dari kabilah terbaik. Allah menjadikan mereka beberapa rumah, dan menjadikan beliau dari dalam rumah terbaik dan paling baik jiwanya.

Dalam riwayat Imam Muslim, beliau menegaskan bahwa Allah telah memilih Kinanah dari anak Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, kemudian memilih Hasyim dari Quraisy, dan memilih beliau dari Bani Hasyim.

Memang, beliau lahir dari tengah-tengah kaum yang suka berzina, suka mabuk, suka mencuri, merampok dan menyamun, suka mengubur bayi perempuan hidup-hidup, serta kebiasan lain-lain dari perilaku jahiliyah yang rendah. Akan tetapi, Allah memelihara jiwa beliau hingga tidak pernah bersentuhan dengan tradisi jahiliyah, tidak pula jiwa beliau dipengaruhi sekecil apa pun pengaruh jahiliyah itu. Tidak pula beliau pernah melakukan dosa sebab bersujud kepada berhala seperti yang dilakukan kaumnya kepada Laat, Manaat, Uzza, dan Hubal.

Bersih dari Pengaruh Setan

Ada kisah dada beliau dibelah Jibril. Kisah ini terjadi saat beliau berada di bawah pengasuhan perempuan dari Bani Sa’d bin Bakr bernama Halimah, sekira usia beliau 4 atau 5 tahun. Peristiwa ini direkam pada riwayat Imam Muslim. Pada riwayat itu, Jibril mengeluarkan suatu gumpalan dari dalam hati beliu seraya berkata “Hadza hazzhus syaithaani minka”. Ini adalah bagian setan yang ada padamu. Kemudian Jibril mencuci gumpalan itu dengan air zam-zam dari bejana emas, lalu mengembalikan bagian itu ke dalam dada Nabi seperti semula.

Dari riwayat ini, Muhammad kecil dari sejak usia 4 atau 5 tahun, sudah lepas jiwanya dari pengaruh setan yang dapat mendorongnya kepada perbuatan dosa (ishmah) dan tercela. Lalu, dari embusan angin apa pengandaian dibuat bila waktu itu di negeri Arab ada pohon jambu, Nabi kecil juga ikutan nyuri jambu bersama anak-anak seusianya yang umumnya bandel?

Allahul musta’an.
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.


Depok, 14 Rabiul Awwal 1445 H

Three Cycles of Certainty




Peserta Kuliah Manajemen Kematian Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok berpose dengan narasumber. Foto credit, Mas Mono.

BISA jadi, teori kecerdasan ganda Howard Gardner dikagumi dalam kesadaran hidup. Gardner telah mengidentifikasi delapan kecerdasan: linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik. Gardner juga mempertimbangkan dua kecerdasan tambahan, eksistensial dan pedagogis.

Teori Gardner banyak dibincangkan dan dipasangkan dalam teori belajar. Teori ini dianggap akademisi dan praktisi pendidikan sangat relevan dengan asumsi bahwa setiap peserta didik memiliki potensi kecerdasan berbeda tiap individu. Kecerdasan-kecerdasan di atas –sering disebut dengan multiple intelligences– di bangku sekolah dipandang penting untuk mengembangkan kecakapan hidup setiap peserta didik. Aplikasi dari teori ini berupa rancangan proses pembelajaran yang bisa menjangkau pengembangan kecerdasan paling dominan yang dimiliki peserta didik di antara delapan kecerdasan di atas.

Akan tetapi, tulisan ini tidak membicarakan teori Gardner yang bersifat profan. Tulisan ini membicarakan sisi teoretis dan praksis Mas Mono yang bersifat transenden sebab ia menawarkan kecerdasan pada kesadaran mati kepada banyak orang yang memiliki kesadaran hidup. Saya menyebut teori Mas Mono dengan “Three Cycles of Certainty” atau Tiga Siklus Kepastian; hidup, mati, dan jenazah.

Mas Mono membuka kesadaran (mindset) banyak kalangan muslim bahwa mengurus jenazah bukanlah perkara yang menakutkan, melainkan amalan menyenangkan. Sebegitu menyenangkannya, Mas Mono mengubah persepsi dari enggan menjadi semua ingin memuliakan jenazah.

Ini di luar dari kelaziman, di mana kebanyakan orang akan merasa ngeri jika sudah berhadapan dengan urusan jenazah, urusan memuliakan kematian. Memang, begitulah tabiat manusia umumnya yang menyukai kehidupan dan ingin lari menghindar dari kematian.

Mas Mono juga membalikkan teori dan kebiasaan di masyarakat di mana mereka selalu menyerahkan urusan memandikan dan mengkafani jenazah sebagai tugas Amil atau Modin. Masyarakat memahami kewajiban kifayah itu bila sudah ditangani Amil, gugurlah sudah kewajiban mereka hanya dengan berpangku tangan. Sedangkan Mas Mono menyadarkan bahwa setiap muslim adalah “Amil” bagi jenazah saudaranya. Pemahaman kifayah demikian itu lebih proprosional dalam pandangannya.

Teori Mas Mono, bahwa setiap muslim adalah “Amil” bagi jenazah saudaranya sebagai pemahaman kifayah yang lebih benar dan lebih bisa diterima. Sebab boleh jadi, akan datang masanya orang satu kampung atau satu komplek akan menjadi tergagap-gagap bila yang meninggal adalah sang Amil, sedangkan sang Amil tidak bisa memandikan dan mengkafani jenazahnya sendiri sebagaimana orang sekampung atau sekomplek itu tak satu pun yang cakap mengurus orang mati.

Teori Mas Mono ini bahkan lebih masuk akal. Mari pikirkan dengan jernih. Bila orang satu kampung atau satu komplek setiap individunya memiliki kecakapan memuliakan jenazah sesuai tuntunan syari’at, maka setiap mereka akan merasakan ketenangan menjalani hidup menunggu mati. Mereka yakin pada saat dia mati nanti, orang akan berebutan memuliakan jenazahnya, bukan berebut menghindar karena persoalan kecakapan tadi. Bukankah begitu?

Mas Mono dengan KPJ (Komunitas Peduli Jenazah)-nya aktif mengedukasi komunitas dakwah, ustaz, Amil, dan masyarakat muslim dari berbagai kalangan dan profesi melalui Institut Manajemen Kematian, salah satu sayap dakwah Masjid Raya Pondok Indah. Sebagai Direktur KPJ, Mas Mono sudah menggelar Kuliah Manajemen Kematian dengan ribuan peserta di Masjid Raya Pondok Indah dan di berbagai tempat. Karena teoretis dan praksisnya ini, Mas Mono mendapat gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) Bidang Management Sciences dari Universal Institute of Professional Management-UIPM International, Kuala Lumpur, Malaysia pada 10 November 2022.|


PUKUL 10.39 hari ini, Ahad 17 September, saya baru sempat membuka WA. Pukul 08.42 sudah ada foto dan pesan masuk. “Ust salam dr Ust Rusmono.. Assalamualaikum wr wb. Lg mengisi acara di tempat kami”. Begitu isi pesannya. Yang mengirim kolega saya di Madrasah Pembangunan Jakarta, Ustaz Momon Mujiburrahman.

Saya timbang-timbang, saya putuskan meluncur ke Masjid Ashshirathal Mustaqim, Komplek Griya Sasmita, Serua, Depok, tempat acara digelar. Biarlah hanya sebentar asalkan bisa bertemu mengobati kangen dengan teman seangkatan waktu kuliah di UIN 30 tahun lalu dan dapat ilmu “Three Cycles of Certainty” yang dibawakannya di penghujung acara. Ketemu juga dengan Ustaz Mardi, sahibul masjid dan yang membawakan acara. 

Silaturrahim yang sungguh berkesan, terutama soal kopi itu. Afwan ya, Ustaz Mardi. 

Mas Mono seperti tidak berubah, masih tetap muda seperti zaman kuliah. Bicaranya lugas, apa adanya, dan tidak pernah lepas senyum saat bicara. Ia tipe orang bahagia lahir batin. Bisa jadi Mas Mono tetap muda dan bahagia karena tak henti menginspirasi banyak orang.

Mas Mono terus menginspirasi banyak muslim menjadi cerdas, secerdas menurut kriteria baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshar mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?” ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah).

Dari Mas Mono banyak orang belajar, bahwa setiap orang boleh cerdas seperti teori kecerdasan Gardner. Akan tetapi, dalam pandangan hidup muslim, kecerdasan itu tidak terlalu banyak berarti bila melupakan kecerdasan seperti pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Imam Ibnu Majah di atas. Hal inilah yang di-highlight Mas Mono di masjid Komplek Griya Sasmita hari ini.

Allahul musta’an.|