SALAM DARI HARAMAIN


Lautan Manusia di Padang Arafah. Foto Credit: https://www.dakwatuna.com/

AKU masih dikenang. Kabar kenangan dari Haramain ini aku terima pada Rabu, 12 Juli 2023 kemarin. Yang mengenang bukan sosok biasa. Beliau dosenku di UIN (waktu itu masih IAIN) Jakarta, pengampu Mata Kuliah Ulumul Hadits. Namanya Drs. Abdul Haris, M.Ag. Eh, rupanya, istriku juga mengambil kuliah Ulumul Hadits dari beliau juga. Ya Allah, rasa hati senang tak terkira. 

Transmisi kenangan itu dari sahabatku, Ustaz Anton Rukmana. Ya, hari-hari ini, keduanya masih berkumpul di tempat paling mulia di muka bumi, di tanah kelahiran baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Di sana, di Haramain, Makkah al-Mukarramah sebelum mereka bertolak ke Madinah al-Munawwarah. Mendapat kabar dan salam ini, seketika, ingatanku terlempar ke masa kuliah dulu, pada mata kuliah yang diampu Pak Haris--begitu aku memanggil beliau waktu kuliah. Di tempat mulia inilah aku dibincangkan dan dipuji. Aiiih, ini pasti karena Ustaz Anton yang memulai mengulik-ngulik beliau.

Oh, iya, sedikit aku deskripsikan dosen ramah ini. Senyumnya selalu mengembang, suaranya lembut, dan perawakannya tidak tinggi juga tidak terlalu pendek. Entah, apakah hari ini perawakan beliau masih seperti itu. Sebab, perawakanku saja sewaktu masih jadi mahasiswanya sangat cungkring, sekarang sudah menjadi ‘pembesar’ alias "pemuda berbadan besar". Keh, keh, keh ….

Lepas dari itu semua, bagiku, Pak Haris bukan sekadar telah menyampaikan transmisi keilmuan sebagai seorang dosen, melainkan menyambungkan transmisi jalur-jalur hadits yang njlimet itu di benakku. Tema hadits menjadi sangat menantang dan membikin penasaran dari tugas men-takhrij hadits, tugas wajib mata kuliah yang beliau ampu. Nah, dari takhrij hadits ini pula, aku bisa merasakan kemewahan sekaligus kerumitan legacy para ilmuan dalam disiplin ilmu hadits yang amat berharga.

Sebelum dicerahkan Pak Haris soal takhrij hadits, dari bacaan atau mendengar ustaz saat ceramah, aku begitu ringan meniru ucapan menyebut kualitas sebuah hadits sebagai "sahih", "hasan", atau "dhaif". Namun, aku belum tahu betapa kompleksnya proses di balik kriteria-kriteria itu disematkan kepada sebuah hadits. Ya salam, ternyata tidak semudah sekadar menyebut "sahih", "hasan", atau "dhaif", Ferguso!

***

BOLEHLAH sedikit aku kasih tahu hasil dari pergulatan men-takhrij hadits ini. Jadi, ia adalah proses menemukan atau mengeluarkan matan dan sanad hadits secara lengkap dari sumber-sumbernya yang primer. Nah, dari men-takhrij ini, nanti akan bisa diketahui kualitas suatu hadits, baik secara langsung karena sudah disebutkan oleh kolektornya maupun melalui penelitian selanjutnya.

Ya, misi utama men-takhirj adalah menunjukkan asal suatu hadits di dalam sumber aslinya, siapa saja yang meriwayatkan hadits tersebut beserta sanad-nya, lalu menjelaskan status hadits tersebut bila memang dibutuhkan.

Problemnya, dasar penguasaan turats-ku tidak terlalu mengakar. Maka, menemukan atau mengeluarkan matan dan sanad hadits secara lengkap dari sumber-sumbernya yang primer, bagiku ini upaya “berdarah-darah”. Aku berpikir, tugas ini berat, ini sangat serius. Besar kemungkinan, untuk tugas ini aku tidak dapat nilai maksimal.

Ah, biarlah. Sanggup menyelesaikan proses men-takhrij, ini sudah menjadi pengalaman yang amat berharga. Dan, ini jauh lebih penting dari sekadar nilai akademik. Bukan begitu, Ferguso?

Sewaktu pembagian tugas, kira-kira menjelang Zuhur, dapatlah aku sepotong matan hadits yang harus aku takhrij dari Pak Haris; “Kullu mauludin”. Dan, badan mulai limbung, mata kunang-kunang, keringat dingin serasa mengembun. Rupanya, aku belum sarapan sejak pagi hari itu. Haaa, maklum ongkos kuliah pas-pasan.

***


Pak Haris dan Ustaz Anton, selfi. Foto Credit: Ustaz Anton.

ADA hal yang membuatku terhenyak saat menggarap tugas ini. Pak Haris meminta mahasiswanya merujuk salah satu sumber pokok dari beberapa kitab rujukan untuk menyelesaikan tugas takhrij, yakni Al-Mu’jam Al-Mufahras Li-Alfadz Al-Hadits Al-Nabawi.

Semula, aku menduga kitab ini susunan ilmuan muslim semisal Tahdzib al-Tahdzib karya Syihab al-Din Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani atau Tahdzib al-Kamal fi Asma' al-Rijal karya Jamaluddin Abu Al Hajjaj Yusuf al-Mizzi yang juga harus aku rujuk. Nyatanya bukan. Al-Mu’jam yang ini terbitan Maktabah Brill, Leiden. Penulisnya Arent Jan Wensinck, orang Belanda. Ini karya orientalis, Ferguso!

Ya, terhenyaklah aku. Bukan soal pada keseriusan Wensinck yang orientalis itu telah menyusun Konkordansi Indeks Kosa Kata Alfabetis dari hadits-hadits yang terdapat dalam Kutub al-Sittah, Musnad al-Darimi, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Muwaththa’-nya Imam Malik. Akan tetapi, karena Wensinck juga adalah murid Christiaan Snouck Hurgronje, Penasihat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda waktu nusantara masih menjadi wilayah kolonial ‘Orang Londo’ itu. Aku sedikit tahulah kelakuan Hurgronje. Dialah orang yang bertanggung jawab akhirnya Aceh bisa dijajah Belanda dan dikuasai. 

Belakangan, aku mafhum, orientalis memang punya kepentingan atas Studi Islam dan Dunia Ketimuran, terlepas dari apa motivasi mereka meneliti. Namun soal Al-Mu’jam, rasanya bolehlah sekadar aku berucap "Dank je" pada Wensinck.

***


Ustaz Anton Rukmana mendampingi Syaikh Hamid menjadi penerjemah pada sesi kajian rutin bakda shalat Jamaah di Mahbas Jin. Foto Credit: Drs. Abdul Haris, MA.g.

RELASI aku dengan Pak Haris bertambah panjang karena tersambungkan dengan sahabatku Ustaz Anton. Ustaz Anton bahkan telah menyuburkan lagi kesadaran ilmiah akan warisan ilmu yang pernah aku deras dari beliau. Aku sungguh-sungguh bersyukur telah terhubung dengan orang-orang alim, salih, masih mengenalku serta sudi menjawab salam dan mendoakanku dari Haramain. Padahal kami sudah lost contact lebih dari 23 tahun. Nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan?

Kabar angin dari beranda akun Facebook Ustaz Anton, hari-hari ini, Pak Haris dan Ustaz Anton masih berada di Mahbas Jin. Mahbas Jin merupakan salah satu kawasan hotel tempat jamaah haji Indonesia bermukim selama di Makkah pada musim haji tahun ini selain kawasan Jarwal, Raudlah, Misfalah, dan Syisyah.

Alhamdulillah, ada yang tidak kalah spesial kabar dari sahabatku Ustaz Anton. Ia sempat menjadi penerjemah dadakan untuk Syaikh Hamid memenuhi permintaan Syaikh agar ada dari jamaah Indonesia menerjemahkan kuliahnya, semacam kajian rutin setelah shalat berjamaah di sebuah masjid di kawasan Mahbas Jin. Dan, Pak Haris dengan ketawaduannya, mengambil gambar Ustaz Anton saat mendampingi Syaikh. 

Masya Allah! Sungguh, semoga kabar dari Haramain ini memendar darinya cahaya keberkahan buatku juga. Juziitum kulla khair, para guru.

Di sela kepenatan mengoreksi tugas mahasiswa PPG UIN Jakarta, Depok, 16 Juli 2023.

2920 HARI



Ilustrasi Perempuan Berhijab. Foro Credit https://www.islampos.com/

TIGA hari lalu, saya dan istri begitu bahagia. Kabar tentang Vera membuat kami berdua semringah. Bagaimana kami tidak bahagia, Vera sudah sah menjadi seorang ibu.

Vera sahabat istri saya, guru dari putra saya yang istimewa; Qurban Bayram Jaziila. Vera amat telaten mendampingi putra kami ini dengan segala keunikan Jaziila. Sewaktu duduk di kelas dua, sepatu melayang. Lain waktu, Vera dan Jaziila seperti rebutan tas, saling tarik. Pasalnya, Jaziila ngambek, dia tidak suka diberi PR dari Wali Kelasnya itu.

17 Juli esok, Jaziila sudah masuk SMA. Dia sudah berubah banyak. Dan, Vera diakuinya sebagai guru favorit saat ia kenang sekarang. Hanya saja, malam ini, raut wajah Jaziila tidak sesemringah seperti dia mengenang kelakuannya pada Vera semasa di SD dulu.

***

TIGA hari berlalu kemarin, saya dan istri bergegas akan menjenguk Vera. Kami ingin merasakan aura bahagia bersama, juga bersama suaminya. Maka, meskipun sedikit capek karena aktivitas sejak pagi cukup padat, selepas shalat Maghrib, kami meluncur, tak sabar ingin menyambut bayi Vera, penghuni baru muka bumi entah yang ke berapa dari cacah penduduk dunia hari ini.

Bisa jadi, bayi Vera menggenapi angka seratus sampai tiga ratusan ribu dari total kelahiran 371,504 bayi dalam sehari di seluruh dunia. Sebagai catatan, angka perkiraan UNICEF di atas berlaku pada 1 Januari 2021. Maka, tak heran, dari data real time situs World Population Review mengungkapkan, jumlah penduduk dunia pada 4 Juni 2023 saja telah mencapai 8.039.642.225 jiwa. Tentu, angka di atas sudah berubah pada hari ini, di 11 Juli 2023.

***

DELAPAN tahun penantian, boleh jadi waktu yang teramat panjang bagi Vera. Akan tetapi, Allah balas kesabaran perempuan ini dengan hadiah bak intan permata. Ya, buah hati yang dinanti-nanti guru kelas 5 SD Muhammadiyah Meruyung ini sudah "brojol" dari rahimnya. Sayang, saat kami sampai di rumahnya menjenguk, Vera masih di rumah sakit. Kami tak sempat bertemu, juga belum berjodoh melihat bayi laki-lakinya yang mungil.

Saya terheran-heran mendengar penuturan ayah Vera yang kami temui di masjid selepas shalat Isya. Kata ayahnya, Vera baru menyadari sedang mengandung di saat kandungannya sudah berusia tiga bulan. Masya Allah, padahal bila menangkap jiwa cerita istri saya, betapa Vera menginginkan kehamilan sampai pada batas mimpinya, seperti “kasih yang tak sampai”. Hanya kesabaran, ikhtiar, dukungan sahabat, saudara, dan karib kerabat yang menguatkan Vera bahwa harapan untuk punya momongan terasa sangat dekat. Benarlah harapan itu nyata adanya pada minggu pertama di bulan Juli tahun ini, di saat vera menikmati libur menjelang tahun ajaran baru.

Delapan tahun seperti tidak berarti lamanya masa yang dihabiskan Vera. Lelahnya terbayar, kesabarannya berbuah, dan penantiannya berakhir. Pastilah, dalam dekapannya di hari-hari kemarin bayi mungilnya tertidur pulas, ASI-nya mengenyangkan lapar dan dahaga dalam bahasa tangis bayi yang merdu, degup jantung mereka pun menyatu dalam belaian dan buaian Vera yang tertunda sekian lama. Ah, saya membayangkan, betapa indah dan berwarna hidup Vera kelak sebab dia sudah sempurna menjadi seorang ibu.

***

MATA saya terasa panas. Air mata istri saya jatuh. Rasanya, cita rasa dunia berubah begitu amat singkat. Vera yang dalam tiga hari kemarin kami bicarakan dalam irama bahagia penuh syukur, petang tadi berubah menjadi sedih, sepilu jiwa yang rapuh ditinggal pergi. Kabar duka kami terima, Vera berpulang. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji'un.

Dalam batas waktu, juga dalam batas logika pendek manusia, bisa jadi Vera dianggap begitu singkat menikmati kehadiran buah hatinya setelah menghabiskan masa penantian yang panjang. Vera yang menunggu lebih dari 2920 hari lamanya, setelah mendapatkan semua harapan, Vera harus berpisah, menjemput maut meninggalkan bayinya yang masih merah.

Akan tetapi, dalam prasangka baik yang tulus, saya pribadi percaya, Vera wafat di saat ia mengecap kebahagiaan yang teramat sulit ia gambarkan tanpa jeda. Sekali lagi saya percaya, sembilan hari bagi Vera kemarin, merupakan hari-hari paling indah, paling bahagia, dan paling bermakna sampai Vera datang menghadap Rabb-nya dengan perasaan rida.

Selamat jalan Vera Permatasari. Mengingatmu sekarang, menyadarkan kami bahwa cepat atau lambat, akan tiba waktunya kami menyusul. Kesan atasmu tidak akan terhapus hanya karena kamu mendahului kami berpulang. Terima kasih telah mendampingi Jaziila dengan sabar. Nikmatilah pahala pengabdianmu sebagai guru Jaziila, juga pahala sebagai guru dari murid-muridmu yang lain yang terus mengalir. Tenanglah jiwamu, sebab di sini, ada banyak tangan yang menjaga, merawat, dan menyayangi bayimu seperti tangan ibunya sendiri. 

Semoga Allah membahagiakanmu lebih dari kebahagiaan yang kau terima menjelang akhir hayatmu. “Ya Allah, ampunilah dia, belas kasihanilah dia, sejahterakan, serta maafkanlah kesalahannya."

Aamiin.

Depok, 11 Juli 2023. Menjelang tidur di atas tikar kenangan.

DUA KOVER SATU KELAS

Kover final Antologi Puisi "Ketika Jakarta Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara". Foto Credit, Mas Wahyu Topeng

DALAM seminggu ini, tiga informasi menyapa amat menggembirakan saya. Pertama, kover antologi puisi dari KLB ( Komunitas Literasi Betawi) 4 sudah menampakkan diri. Rasanya gimana gitu. Di sana, ada satu karya puisi saya yang lolos kurasi. Ini kejutan. Saya seperti masuk "dunia lain", dunia puisi.

Sejujurnya, saya merasa amat kecil dalam antologi itu nantinya. Betapa tidak, nama-nama dari penulis puisi yang lolos kurasi adalah para senior, para penyair, mereka yang darahnya sudah menyatu dengan puisi. Begitulah yang saya tangkap dari komunikasi penghuni Grup WA menuju KLB 4, rumah maya bagi para peserta yang lolos kurasi. Sementara saya, baru merangkak dan tertatih-tatih memilih diksi, belum sampai pada jiwa yang membuat sebait dua bait puisi terasa bernyawa dan hidup.

Meski merasa kecil, saya punya harapan besar. Satu saat, bukan mustahil keinginan punya antologi puisi sendiri bisa terwujud. Dari mana? Dari hasil belajar dengan para penyair dalam antologi "Ketika Jakarta Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota Negara", tema yang digagas KLB untuk event menulis puisi tahun ini. Dan, pagi ini masih menjadi pagi menunggu bahagia antologi itu.

Kedua, draft recover novel "Pengantin Fort van der Capellen Romansa Tanah Batavia dan Padangsche Bovenlanden" pun, sudah mewujud. Gobagsodor, agen yang menggarap perwajahan sampul novel ke-6 saya ini, membuat speechless. Gobagsodor seperti memindahkan 99,99 persen presisi imajinasi di kepala saya.


New Cover Pengantin Fort van der Capellen. Foto Credit, Gobagsodor.

"Pengantin Fort van der Capellen Romansa Tanah Batavia dan Padangsche Bovenlanden" saya tulis dalam durasi cukup panjang, hampir tiga tahun beberapa bulan. Jika bukan karena cinta pada sejarah dan sayang pada karakter dalam ceritanya, rasanya ingin menyerah saja menggarap novel berdurasi 500 halaman lebih sedikit ini.

Saya memulai membuat draft novel ini pada akhir Desember 2017 selepas berkunjung ke Sawahlunto, tambang batu bara Ombilin. Lokus ini menjadi sebagian dari latar cerita dibangun, cerita tentang pendekar dari Batavia yang dibuang Belanda pada 1896, menjadi buruh paksa atau "Urang Rantai" pada tambang emas hitam yang ditemukan insinyur Belanda Willem Hendrik de Greve pada tahun 1868. Akhirnya novel ini rampung juga pada Desember 2020 dan revisi sekitar 3 bulan sesudahnya.

Pada soft launching novel ini, pada Rabu, 28 April 2021 di MULA, Kota Tua, Jakarta, Walikota Sawahlunto hadir dalam perbincangan. "Pengantin Fort van der Capellen" dibicangkan dalam pendekatan dua budaya saat itu; Betawi dan Minang. Wali Kota Sawahlunto bertutur sebagai representasi budaya Minang sekaligus pemegang otorita tambang batu bara Ombilin, dan Bang Icoel (Muhammad Sulhi Rawi), jurnalis Betawi meniliknya dari sisi Batavia era kolonial.

Mendapat masukan setelah soft launching dari beberapa pihak, kover "Pengantin ..." yang dinilai belum utuh menggambarkan emosi cerita (asmara, agama, budaya, etnik, dan patriotisme) dengan konflik yang rumit, ia terlalu sederhana. Maka, meski dengan perasaan masih sayang pada kover lama, recover harus dipilih. Pukul 03.21 dini hari kemarin, Gobagsodor membuat mata berbinar-binar. Wajah "Pengantin ..." jadi semakin menggemaskan.

Ketiga, kabar dari Mas Dede Darmawan, kolega saya di Divisi Media dan Jurnalistik pada organisasi kami bernaung. Mas Dede yang berencana akan membuka kelas menulis mengirim pesan dan gambar. "Alhamdulillah kelas kami lengkap... Dengan Proyektor, Kursi, soundsystem, kipas, wify... Ana mau lanjutin kerjasama kelas menulis ustazšŸ™šŸ˜Š," tulisnya.

Wah, keren! Seakan saya sudah terlempar ke ruang kelas menulis, masuk dalam gambar yang dikirim Mas Dede. Speechless lagi.

Rencana Mas Dede yang tertunda hampir 8 bulan setelah kami ngobrol di sebuah kedai kopi bernuansa etnik, tampaknya mendekati hari eksekusi. Kami akan segera punya kelas menulis dalam waktu yang tidak terlalu lama.Turunannya semisal penerbitan, workshop, pesta literasi, dan agenda membangun budaya literasi berbasis santri dan peserta didik sudah dipikirkan Mas Dede sebelumnya. Mas Dede dengan background pendidikan manajemen, tentu sangat paham soal ini. Bagian saya merancang kurikulum dan mengampu kelasnya.

Ah, belum tentu juga akan jadi seindah yang kami bayangkan. Akan tetapi, indah bayangan itu harus kami perjuangkan. Begitulah aksioma kehidupan, bahwa apa pun harus diperjuangkan, harus ada keringat yang diteteskan, otak yang diperas, ongkos yang ditanggung, dan waktu yang didermakan.

Ruang Kelas Menulis. Foto Credit, Dede Darmawan.


Berang-berang naik pangkat,
Brangkaaaaat!


Dan, pagi ini saya semringah lagi dipantik dua kover dan satu kelas menulis.

Depok, 1 Juli 2023. Di atas balkon yang belum berpagar.