DOA UNTUK SAHABAT LITERAT

 

Tempat tidur pasien. Foto credit https://www.istockphoto.com

SAYA mengenalnya sejak kali pertama mengajar di Madrasah Pembangunan, pada 2005. Perawakannya kekar, berkumis tebal, hitam manis, dan suka humor. Senyummya khas. Saya rasa, senyumnya itu jadi daya tariknya yang memesona. Jarang orang yang punya senyum seperti dia. Ya, saya sedang bermain deskripsi seorang Rusli Ishaq. Saya memanggilnya Pak Rusli.

Pak Rusli guru karier yang yang memuncak di Madrasah Pembangunan (MP). Guru ekonomi ini pernah menjadi Kepala MTs, Kepala UPT Perpustakaan, dan Wakil Direktur pada periode Pak Dr. Ahmad sofyan, MA. Tentu, menjadi Wali Kelas pastilah ia lewati juga di MP.

Gaya bicaranya kadang ceplas-ceplos. Asyik diajak dan mengajak bercanda. Meski dalam beberapa sisi Pak Rusli tegas sekali, tapi ia tidak kehilangan sense of humor-nya. Sisi kritisnya juga kuat, menandakan ia orang yang suka berpikir dan mampu menyampaikan gagasan pemikirannya di ranah publik warga MP.

Ia juga literat, sebab banyak bersinggungan dengan dunia literasi perbukuan dan jurnalisme di MP. Menurut cerita Pak Dani, Pak Rusli termasuk yang menyemai dan membesarkan Al Ashri, majalah madrasah yang sempat ia perkenalkan ke seluruh Indonesia melalui pintu Departemen Agama bersama Pak Dani.

Di sinilah kesan pribadi saya melekat pada sosoknya di samping kumis dan senyumnya yang khas itu. Bahkan harus saya akui, karier menulis saya dimulai dari Pak Rusli saat dahulu diajak terlibat projek menulis buku Alquran Hadits untuk kelas 9. Saya lupa itu tahun berapa.

Dapat uang jutaan untuk penulis pemula waktu itu sesuatu banget. Tentu, pengalaman menulis pada kali pertama itu, dapat uang, dan buku diterbitkan meskipun dengan kontrak "Jual putus" itu mewah sekali. Memang, menikmati royaltinya hanya sekali, tapi royalti pengalamannya tetap saya nikmati sampai hari ini. Dan, ini yang mahal, tak cukup berapa pun harga untuk dikonversi.

Kalau boleh, saya mengadu, Pak. Di sini, bukan tadi saat menjengukmu tergolek lemah di bangsal rumah sakit karena saya tak sanggup berucap banyak. Saya ingin katakan, bahwa pengalaman menulis saya yang Pak Rusli semai, masih saya hidupsuburkan. Jemari saya belum berhenti menulis, menulis apa saja yang sekira saya bisa meghibur hati saya di kala penat. Syukur-syukur bila tulisan saya bisa membuat orang bahagia karena terhibur. Hilang pula penat mereka walau sesaat. Tentu, saya jadi bahagia karena tulisan saya jadi obat dan membahagiakan orang.|

HARI ini saat menjenguk, rasa hati tertusuk. Ustadz Mardi yang mengabari keadaannya usai Jum'atan sebelum menjenguk, hati sudah lebih dahulu tertusuk. Tusukan itu mengurai titik embun di pelupuk saat saya menyapa dan memberinya semangat. Sisanya hanya doa-doa lirih semoga ia segera pulih.

Perasaan saya tak nyaman menggambarkan keadaan detail Pak Rusli di sini. Biarlah itu akan jadi milik saya pribadi yang terus memantik doa- doa kebaikan untuknya sampai ia benar benar pulih dan kami bisa bercanda lagi.

Hanya saja, menyeruak juga rona bahagia dari wajah kami di antara masygul yang bergumul-gumul. Pak Rusli masih menyisakan ruang canda yang membuat saya, Pak Sandy, dan Pak Rudi tertawa lebar. Sense of humor-nya masih segar bugar. Ia tersenyum lebar, senyum khas miliknya di kala ia masih sehat. Semoga ini pertanda baik Pak Rusli akan kembali sehat seperti sedia kala. Aamiin.|

"Pak Abdul harus sehat terus, ya. Enggak enak di sini."

Dada rasanya tersedak mendengar pesan Pak Rusli ini. Meski disampaikan dengan suara yang nyaris tenggelam di dasar tenggorokannya karena sakit yang ia tahan, tapi pesan itu jelas di permukaan telinga saya. Hanya sanggup mengangguk sambil  menggenggam erat tangannya yang terbelit selang.

Pikiran pun mengembara ke mana-mana  sampai ke ujung insaf, bahwa manusia, siapa pun dia, tidak selamanya sehat. Manusia tidak selamanya bersuka cita dengan tubuh yang bugar, pikiran yang bahagia, dan jiwa yang segar. Adakalanya, satu waktu, fisik dan jiwa manusia layu karena penyakit.

Sebaliknya, yang sakit biarlah mengeluh sejenak. Itu manusiawi. Sebab, ada masanya jiwa dan raganya akan kembali sehat, seperti bunga yang baru mekar disiram embun pagi yang segar. Maka, tugas yang sehat menjenguknya, mendoakan, dan menghiburnya memerankan embun pagi yang segar itu di samping bangsal hospital.

Bagi jiwa yang melimpah iman, sehat atau sakit sama-sama ujian. Di antara keduanya ada celah menganga yang harus diisi sabar di sana. Orang beriman tidak akan membiarkan celah itu kosong, sebab akan ditempati lupa diri dan putus asa. Akan tetapi, dengan sabar, penyakit menjadi keajaiban, semuanya adalah kebaikan.

Dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Perkara orang mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya." (HR. Muslim)

Lekas sembuh, Pak. Doa kami semua untuk kesembuhan Pak Rusli, doa untuk sahabat literat.

Cirendeu, Pangkalan nyuci motor. Jumat 17 Maret 2023.

SI CANTIK YANG GATAL

SORE INI, Ahad 12 Maret 2023 aku bertemu dengan "Si Cantik" berwajah pink, di sebuah resto di Kota Gudeg. Sungguh beruntung bertemu dengannya di saat yang tepat meski berpisah sore ini juga karena esok pagi aku sudah harus kembali ke Jakarta.

Namanya juga cantik; Cayratia Mollisima. Sekali lagi, Cayratia memang  cantik hingga aku terpesona. Saat kali pertama bertemu itu, ingin kujawil saja tubuhnya yang pink itu. Atau Kucium lembut wajahnya yang bulat atau kecup kelopak matanya saja yang jeli.

Akan tetapi, betapa aku terkejut. Ternyata, Cayratia tak secantik fisiknya. Aku pikir, cantik fisiknya yang pink itu, cantik juga buah cintanya. Nyatanya tidak. Saat aku mencari tahu pada pelayan resto yang sudah mengenal Cayratia sangat dekat beberapa saat setelah aku selesai makan malam, Cayratia ternyata "gatelan". Aku langsung menjulukinya "Si Cantik Yang Gatal". Aku kecewa.|

CAYRATIA berasal dari Singapura. Namun, ia kerap hadir di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Filipina. Reputasinya sebagai "Si Cantik Yang Gatal" seperti julukan dariku rupanya ia memang suka melanglang buana.

Begitulah dia, The Bush Grape, alias si anggur semak. Dia tumbuh di pekarangan depan resto Pring****, tempat aku makan malam yang sudah aku singgung. Saat itu, dia sedang berbuah lebat, ranum, dan masak.

Akan tetapi, seranum dan semasak lazimnya jenis buah, si anggur semak tak bisa dicicip, apalagi dimakan seperti kita menikmati anggur yang lezat. Bila kita memaksa juga memakannya karena terpesona dengan tampilan fisiknya itu, maka siap-siap saja merasakan gatal di seluruh area mulut dan tenggorokan. Itu karena Cayratia menyimpan racun (kalsium oksalat ) yang tinggi.

Pernah ada tamu resto mendapati Cayratia sedang ranum. Sang tamu langsung memetik dan menikmatinya, tidak minta izin sekadar basa-basi kepada pemilik atau pelayan resto. Maka, drama dimulai. Tamu itu keracunan. Mulut dan tenggorokannya terasa gatal tanpa bisa dia garuk. Sejak itu, pemilik resto menggantung maklumat "Buah Ini Tidak Bisa Dimakan".|

Cayratia Mollisima, Si Anggur Semak. Foto Credit: Abdul

SEBENARNYA, Cayratia bukan buah yang tidak bisa dimakan. Dia bisa dimakan, hanya saja, mulut dan tenggorokan tidak bisa beradaptasi dengan efek racunnya yang kuat. Karena itu, meskipun dia sejenis anggur, tapi dia bukan anggur yang ramah seperi Pinot Noir, Concord, Moon Drops, atau berbagai jenis anggur yang lain yang sedap di mulut dan tenggorokan.

Kodrat Cayratia memang hanya sebatas dipandang. Disentuh masih boleh, asalkan dia jangan dilumat lidah, sebab mulut dan tenggorokan akan menanggung sengsara.

Allah memang menciptakan buah sesuai kodratnya masing-masing. Ada yang hanya cukup sampai di pandangan mata sebagai hiasan, ada buah yang ditakdirkan untuk kelezatan cita rasa pengecap di ujung lidah agar berfungsi ia menerjemahkan manis, kecut, pahit, atau tawar yang segar. Tugas manusia hanya sebatas  mematuhi batas-batas kodrati buah, tidak lebih. Walaupun satu saat, dengan akalnya, manusia bisa saja menghadirkan penawar racun Cayratia yang "kegatelan" itu.|

CAYRATIA Mollisima di resto itu sedang berbuah lebat dan ranum. Siapa saja yang melihatnya pasti jatuh hati, seperti aku yang klepek-klepek. Akan tetapi, ia bukan menawarkan ranum yang sedap. Ia laibun wa lahwun saja. Ia bagian dari perumpamaan dunia yang disebut Alquran sebagai "kesenangan yang menipu".

Namun begitu, Cayratia masih menampilkan sisi baik di samping fisiknya yang memesona, yaitu ibrah. Ibrahnya  sangat pas untuk kolega-kolega saya semisal Pak Eko, Alvian, Wiko, Fauzan, atau Widi yang ganteng-ganteng itu.

Dengarlah nasihat seniormu yang juga lumayan ganteng ini wahai Pak Eko dan sedulur-sedulurnya. Jangan memilih seperti Cayratia, si anggur semak yang cantik, tapi beracun. Pilihlah yang cantik seperti anggur Pinot Noir, Concord, atau Moon Drops yang manis dan aman. Tidak usahlah jauh-jauh melempar pandangan mencari-cari. Mereka dekat sekali dari meja kerjamu. Eaaaaaaa!

Gudlak!

Malioboro, malam Senin yang bersahaja, 12 Maret 2023.

DIENG DAN FILOSOFI KETINGGIAN

Puncak Botorono. Sumber foto:https://www.prodesae.com

KETINGGIAN adalah hal keadaan tinggi. Bisa juga berartitempat dan sebagainyayang lebih tinggi letaknya. Itulah ketinggian.

Ketinggian itu memesonakan, seperti ketinggian Dataran Tinggi Dieng yang dijuluki orang sebagai "negeri di atas awan" di kabupaten Wonosobo. Dan saya, pun terpesona.

Jalan menuju Gunung Dieng saja sudah memesona. Boleh percaya boleh tidak,  bahkan ada yang menjuluki pemandangan di kiri kanan untuk sampai ke puncaknya bak pesona Selandia Baru; New Zealand yang jelita. Tapi, saya belum buru-buru percaya. Sebab, berkunjung ke negara yang berjuluk Negeri Kiwi itu buat membuktikannya sendiri saja tak pernah. Namun, boleh jadi penilaian itu tak jauh meleset. Ah, semoga ada keajaiban berpihak bisa membawa saya rihlah ke sana.

Ada anomali musim antara Wonosobo —khususnya di sekitar Dieng dengan New Zealand. Anomali itu berlangsung pada Agustus.

Pada Agustus, Dieng sedang berada pada puncak musim panas. Uniknya, pada bulan ini sering muncul embun es. Suhu Dieng menjadi sangat dingin. Di pagi hari, suhu terdingin di Dieng bisa menyentuh minus 1,25 derajat Celsius.

Sementara di New Zealand, Agustus masih musim dingin. Pada 2022 kemarin, suhu rata-rata di sana mencapai 9,8 derajat Celsius dan dinilai sebagai yang terhangat dan terbasah selama musim dingin sepanjang tahun. Sebelumnya, pada 2021, suhu musim dingin menyentuh 1,3 derajat Celsius.|

SAYA tak sempat mencatat nama daerahnya, salah satu kawasan yang diapit lembah Sindoro-Sumbing yang saya lewati di jalur Parakan-Wonosobo, panorama sangat menakjubkan. Awan seperti sejajar dengan badan bus yang saya tumpangi. Bus laiknya sedang melaju terbang di atas awan. Begitulah imajinasi saya membayangkan.

Pada kawasan itu, sesekali wujud rupa  sawah terasering elok meliuk-liuk di beberapa bagian yang curam. Tumbuh rimbun di tiap keloknya itu: padi, sayur mayur, dan palawija.

Di sisi kiri bus yang melaju melambat, di antara lembah yang menggantung searah Gunung Sumbing, ada kawasan menjulang. Pada badan puncaknya, ada tulisan terbaca samar; "Botorono".  Saya duga, karena belum sarapan, "Boto" dibaca "Soto" oleh Pak Agung. Jadilah ia berbunyi  "Sotorono". Itu sekira pukul 08.15 menit, waktunya sarapan yang terlewatkan. Tentu, "Boto" menjadi "Soto" adalah sebuah distorsi.

Selain lapar, mengantuk juga bisa menjadi sebab seseorang melakukan distorsi. Tulisan "OUTLET STORE" di depan Masjid Sabilul Istiqomah di Rest Area KM 379 A Tol Batang-Semarang dibaca "TOILET STORE" oleh Pak Efron saat hendak menuju bus usai shalat Subuh. Haaaa.

"Maklum, masih ngantuk." Pak Efron berkilah sambil tertawa.

Bila saja Pak Agung dan Pak Efron sedang bersungguh-sungguh dalam lapar dan kantuknya, maka, kesimpulan saya: jangan percaya pada dua orang; orang yang sedang lapar dan orang yang masih mengantuk. Besar kemungkinan ada distorsi.|

Saat otak dan bobot tubuh membuat lelah, maka berbaringlah. Foto Credit: M. Agung Sya'ban.

DIENG memang memesona dalam ketinggian fisik. Meski orang harus berlelah-lelah untuk bisa sampai ke puncaknya, ditempuh jua meski jantung kerap bedegup kencang saat bus menanjaki tikungan tajam di sisi jurang yang menganga. Sebenarnya, mahal sekali taruhannya bila pandangan dibuang sampai ke dasar jurang.

Akan tetapi, di balik taruhan yang mahal itu, mata hati yang jernih menemukan kepuasan atas lukisan alam Mahakarya Sang Pencipta yang mengantar pada kekaguman dan tasbih; "rabbana ma khalaqta hadza bathila subhanak".

Begitulah.

Secara psikilogis, dalam bingkai filosofis, ketinggian—jabatan, karier, popularitas, uang, reputasi, bahkan ilmu dan amal— sering melenakan. Tidak jarang, ketinggian psikis dapat menjadikan pemiliknya lupa diri karena merasa di atas segala orang per orang. Ia bisa mengubah perilaku, pola pikir, dan pola hidup. Distorsi yang dihasilkannya jauh lebih merusak.

Distorsi yang paling ringan dari ketinggian psikologis adalah lupa. Orang mudah lupa bahwa tidak ada lagi tangga menuju ke atas sesudah puncak selain harus turun tersuruk ke bawah, suka atau tidak suka. Atau dalam bahasa syair Bang Haji Oma, "Pesta Pasti Berakhir".

Bila tidak mawas diri, jiwa mudah tertipu oleh ketinggian, seperti tertipunya mata dari ketinggian perspektif atas dan bawah. Bukankah saat kita sedang berada di ketinggian, umumnya akan merasa bahwa orang di bawah sana terlihat begitu kecil? Akan tetapi, sadarkah kita, bukankah orang yang berada di bawah sana, pun melihat kita begitu kecil? 

Maka, di mana pun ketinggian itu dipijak, biarkan puncaknya tetap membumi. 

Happy weekend.

Yogyakarta, Sahid Raya Hotel, 11 Maret 2023.

SEPIRING RINDU GULAI PAKU


Katupek Gulai Paku. Foto Credit Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Pariaman

BILA aku kangen Bunda, aku datang ke lapak Katupek Gulai Paku, Sate Padang, atau warung Nasi Padang sekalian. Dengan cara itu aku dapat dua kepuasan; kangen yang sedikit terobati dan perut kenyang.

Pagi ini, kangen pada Bunda dan keluarga terasa kuat sekali. Ada apa, ya. Kalau sudah begini, aku cuma berharap, semoga Bunda dan Ayah sehat-sehat, anak-anak, dan sanak saudara Bunda juga sehat-sehat. Lalu, ingatan ini terbawa lagi ke Kuranji, rumah Bunda yang bersahaja.

Sambil mengantar Mikal, putri sulungku mampir ke teman kost sebelum latihan di teater kampusnya, sepintas kulihat ada warung Katupek Gulai Paku di sisi kiri jalan Kertamukti, tidak jauh dari seberang jalan depan Gedung Pascasarjana UIN Jakarta. Ah, kebetulan, pikirku. Maka, beres urusan mengantar, aku menepi.

Kali pertama aku menikmati orisinalnya Katupek Gulai Paku itu di Pasar Ateh, Bukittinggi. Aku dan seorang kawan, namanya Lukman Hakim Sidik. Waktu itu, aku dan Lukman tinggal duduk dan makan. Ayah yang traktir. Itu sarapan pagi yang sukar aku cari padanan gembiranya sampai sekarang.

Sedapnya Katupek Gulai Paku di Pasar Ateh yang aku nikmati meresap sampai ke hati. Di lidah, sedapnya kadang masih datang sendiri bila diingat lagi. Seperti pagi ini, tiba-tiba saja air liurku terbit. Ya, bagaimana tidak, sudahlah makannya ditraktir, makannya di pasar bersejarah pula kala itu.

Pasar Ateh memang bersejarah. Ia mewujud dari keringat jasa masyarakat Agam. Pada 1858 M, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan tenaga rodi yang berasal dari Agam Tuo, Agam bagian timur untuk mendatarkan puncak tertinggi di Bukittinggi yang kemudian menjadi pasar Loih Galuang atau Pasar Ateh itu.|

AJIB, Katupek Gulai Paku di Kertamukti yang aku nikmati barusan hampir setara sedapnya dengan yang aku nikmati di Pasar Ateh. Aku tanya Uda si penjual, rupanya dia orang Pariaman.

Meski Katupek Gulai Paku merupakan makanan khas Sumatera Barat, di Kota Pariaman makanan ini termasuk urutan paling atas kuliner khas kota kabupaten ini. Kota Pariaman yang bermotto “Saiyo Sakato”, sedap Katupek Gulai Paku-nya seiya sekata dengan lidahku. Kapan waktu, ingin rasanya bisa menikmati seporsi Katupek Gulai Paku di Parit Malintang, Ibukota Kota Pariaman bersama Bunda dan Ayah. Tentu, kalau bisa bersama Pak Lukman lagi, sebab dia urusan pengadaan tiket Jakarta-Padang pulang pergi. Wkwkwkwk.

Suer, asli. Katupek Gulai Paku di Kertamukti ini sedap sekali. Aku pasti datang lagi lain waktu. Jaraknya pun tidak terlalu jauh dari tempat aku mengajar. Tinggal kontak Roni dan Sandy, kawan satu atap tempat aku mencari sesuap nasi di madrasah, gaspoll.

Pada 2017 itu, Roni dan Sandy juga ikut ke rumah Bunda. Dua orang kawan ini wajahnya pucat pasi saat mobil yang dikemudikan Ayah yang mengemudi macam Hiroshi Masuoka pereli legenda Paris-Dakar melintas di kelok Ampek Puluah Ampek. Sementara, Bunda, Adek Uti, dan Uni Santia tenang-tenang saja, seperti tak terjadi apa-apa di antara jantung tiga orang ini yang empot-empotan dan ramai macam suara bedug bertalu-talu di malam lebaran.

Aku yakin, di dalam hati, dzikir Roni dan Sandy juga tak putus-putus sepanjang kelok. Mulut Pak Lukman sendiri kulirik tak henti komat-kamit sepanjang mobil menanjak, menikung, dan menurun sebelum kami sampai di Bukittinggi. Wajah mereka baru kembali semringah saat kami sudah menikmati Puncak Lawang. Hanya aku yang tetap berusaha terlihat tenang, meskipun jantungku lebih ramai degupnya daripada degup jantungnya Roni, Sandy, dan Pak Lukman. |

Gulai paku makanan berkuah dari kaldu udang rebus yang dicampur dengan santan. Rasa gurih santan berpadu dengan pedas cabai, segarnya asam kandis, sedikit aroma dari daun jeruk purut, daun kunyit, dan batang serai yang digeprek.

Hanya saja, seporsi Katupek Gulai Paku yang aku nikmati pagi ini, kangen pada Bunda bukan malah hilang, tapi tambah merindu berat. Bermula dari kebaikan Uda si penjual yang menawarkan sebungkus Gulai pakunya untuk seorang ibu tua, seorang pengemis.

“Uda, biar gulai paku untuk si ibu saya bayar, ya.” Bisik saya, pelan-pelan.

“Tidak, Pak. Tidak usah. Saya juga mau memberi.” Si Uda membalas setengah berbisik.

Dan, aku hanya tertegun. Rindu pada Bunda, orang yang kebaikannya lestari di hatiku tak jua surut. Ia tidak luruh meski sudah aku hibur dengan seporsi gulai paku khas Pariaman.

Bunda dan Ayah, sehat-sehat, ya. Sebentar lagi Ramadhan 1444 H menjelang. Padang Jakarta terlalu jauh di pandang mata. Tapi, ia begitu dekat di hati dengan doa-doa kebaikan.

Salam sayang dari aku, istri, dan anak-anakku.

Jumat, 18 Sya’ban 1444 H/ 10 Maret 2023 M.